Chereads / AL HIKAM / Chapter 99 - Sebaik-Baik Waktu Menurut Hamba Allah Yang Saleh

Chapter 99 - Sebaik-Baik Waktu Menurut Hamba Allah Yang Saleh

Sebagai dimaklumi bahwa setiap ibadah yang diamalkan tidak sunyi dari waktunya masing-masing, di mana sesuatu ibadah itu dikerjakan dan diamalkan di dalamnya. Meskipun kita mengetahui waktu-waktu yang baik menurut Hadis-hadis Rasulullah s.a.w. tetapi hakikat daripada waktu-waktu yang baik itu bukan melihat lahiriah waktu-waktu itu saja, bahkan melihat kepada hubungan hati dengan amal yang dikerjakan dalam sesuatu waktu. 

Oleh karena itu, maka yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah membuat rumusan tentang waktu yang baik itu dalam Kalam Hikmahnya yang ke-99 sebagai berikut:

"Sebaik-baik waktu anda ialah waktu di mana anda melihat dalamnya ada hajat anda. Dan anda kembali dalam waktu itu kepada ada kehinaan anda."

Maksud Kalam Hikmah ini ialah:

I. Menurut pandangan hakikat tauhid dan tasawuf, bahwasanya sebaik-baik waktu, atau dengan kata lain waktu-waktu yang baik, bukan mdihat kepada lahiriah zamannya saja, seperti malam jum'at, hari Jum'at, bulan Ramadhan, dan lain-lain. Tetapi baiknya sesuatu waktu ialah waktu di mana kita dalam waktu itu tidak lupa kepada Allah s.w.t., yakni hati kita ingat kepada Allah dalam waktu itu dan putus kita dari segala keadaan yang membawa kita jauh dari Allah s.w.t. dengan segala ajaran-ajaranNya. Karena itu maka kebalikannya, yaitu apabila dilihat baiknya waktu karena ditentukan zaman dan masa, seperti contoh di atas, ·maka bukan itu yang kita maksudkan. Sebab sering terjadi dalam waktu yang baik-baik itu kita lupa kepada Allah, sebab kita asyik dengan apa yang kita hadapi. Jadi, meskipun malam Jum'at misalnya, waktu yang baik, atau malam yang baik, tctapi hati kita tidak beserta Allah s.w.t. maka adalah waktu yang baik itu seperti tak ada manfaatnya buat kita.

Dalam hal ini, marilah kita melihat bagaimana gambarannya hamba Allah, apabila mendapatkan gambaran waktu seperti tersebut di atas, yakni gambaran waktu yang baik, bukan gambaran waktu yang tidak baik.

Seorang wali Allah bernama Atha' As-Sulamy r.a. di mana beliau pernah selama tujuh hari tidak merasakan makanan, karena beliau tidak sanggup mencari sesuatu sebagai makanan. Dengan sebab itu hati beliau selalu gembira, karena tidak ada makanan itu telah membawa hatinya dekat kepada Allah s.w.t. 

Beliau berkata: Wahai Tuhanku! Jika Engkau tidak memberi aku makanan tiga hari lagi sungguh aku sembahyang buatMu, ya Allah, 1000 rakaat! 

Contoh yang lain, seorang wali Allah bernama Fathul Maushily r.a. Pada satu kali beliau pulang ke rumahnya di malam hari. Sesampai beliau di rumah, beliau tidak mendapatkan makanan malam (mungkin disebabkan beliau seorang miskin). Beliau dapatkan pula kegelapan, tak ada lampu dan tak ada kayu api untuk memasak makanan. Beliau hanya memuji Allah s.w.t., merendahkan diri kepadaNya dan berkata: Wahai Tuhanku! Sebab apakah, dan jalan apakah, serta hak apakah, Engkau ya Allah berbuat terhadapku seperti apa yang telah Engkau perbuat pada Wali-waliMu, ya Allah?!

Seorang ahli tasawuf bernama Bisyrul Haafy r.a. berkata: Telah sampai berita kepadaku tentang puteri Fathul Maushily tidak ada kain dan baju sebagai kain yang layak buat penutup aurat wanita. Orang bertanya kepada Fathul Maushily: Kenapakah Tuan tidak berusaha mencari kalau-kalau ada orang yang dapat memberikan pakaian buat puteri Tuan? 

Fathul Maushily menjawab: Biarlah begitu, sehingga aku melihat keadaannya, dan bagaimana pula kesabaranku atas yang demikian. Hal keadaan ini sampai kepada musim dingin yang memerlukan kepada pakaian yang cukup bagi keluarganya dan anaknya, dan beliau jadikan kain selimut yang satu buat semua. Kemudian beliau bermunajah kepada Allah s.w.t. Wahai Tuhanku! Engkau telah fakirkan daku, Engkau telah fakirkan keluargaku, Engkau telah laparkan daku dan keluargaku, dan Engkau tidak memberikan pakian kepadaku dan keluargaku. Jalan apakah yang aku dapat pergunakan untuk sampai kepadaMu? Dan sesungguhnya keadaan begini sewajarnya Engkau berikan buat wali-waliMu dan kecintaan-kecintaanMu. Aku tidak tahu apakah aku sebahagian dari mereka, sehingga aku bergembira karenanya!!

II. Dari contoh-contoh di atas kita melihat, bahwa kefakiran dan kemiskinan bagi hamba-hamba Allah yang saleh di mana hati dan perasaan mereka telah bulat kepada Allah s.w.t. menunjukkan kemiskinan dan kefakiran itu adalah laksana pupuk yang membawa kesuburan, bertambahnya keimanan dan keyakinan terhadap yang Maha Pencipta alam mayapada ini. Meskipun mereka merasakan secara lahir kepahitan kemiskinan dan kefakiran, sehingga mereka sampai bertanya-tanya pada diri mereka sendiri: Apakah keadaan yang demikian itu berarti Allah s.w.t. memasukkan mereka dalam golongan hamba-hambaNya yang saleh?! Atau dengan kata lain: Dalam golongan para WaliNya. Dan kalau betul demikian kehendak Allah, itulah yang mereka cari. 

Tetapi mereka kadangkala masih bertanya kepada Allah, jalan apakah yang seharusnya untuk lebih cepat mereka dekat kepadaNya. Dan perasaan yang begini tidak hilang dalam hati rnereka.

Waktu-waktu yang penuh dengan perasaan-perasaan demikian itu, menimbulkan rasa kehambaan mereka terhadap Allah, dan rasa kefakiran dan kemiskinan mereka dalam segala hal kepada Allah, sehingga dalam setiap detik rnereka memerlukanNya, mereka berhajat kepadaNya, dan selalu saja Dia dengan segala sifat-sifatNya yang Maha Agung berada dalam ingatan mereka. Waktu-waktu mereka yang penuh dcngan pcrasaan sedcrnikian rupa adalah waktu-waktu yang paling baik menurut rnereka, rneskipun waktu-waktu tersebut menurut pandangan lahiriah tidak jatuh pada hari-hari atau malam-malam yang menurut lahiriahnya adalah lebih baik seperti hari Jum'at, malamnya, dan lain-lain sebagainya.

Waktu-waktu yang demikian itu adalah hari-hari raya buat rnereka. Sebab dalam waktu-waktu itulah mereka merasakan kegembiraan. Sebab mereka betul-betul mendapatkan kelezatan perasaan yang dihayati oleh seluruh jasrnaniah mereka. Lahir dan batin mereka bertemu dengan yang mereka cintai, yakni Allah s.w.t. Berarti mereka telah mendapatkan gedung yang indah yang dikurniakan Allah s.w.t. buat mereka, di mana dalam gedung itu berdiamlah hati mereka, yang bercampur rindu dan susah, antara gembira dan gelisah. 

Gembira, melihat titik-titik terang kurnia Allah yang diliputi dengan kasih sayangNya. Resah dan gelisah, melihat pada keadaan mereka, laksana musafir di padang sahara, dalam panas terik matahari, yang melihat rantau perjalanan yang begitu panjang, di mana penuh dengan cubaan-cubaan dalam rerjalanan tersebut.

Laksana itulah keadaan hati mereka, sebab mereka pun tidak dapat menjamin keselamatan terakhir yang membawa kepada kebahagiaan yang abadi. Sungguhpun dernikian, mereka yakin bahwa mereka akan dimasukkan Allah dalam gedung kurniaNya, dan Tuhan akan mengunci pintunya, dengan anak kunci kesabaran dalam segala hal. Sabar ketika tiada, sehingga perjalanan tidak terhenti. Dan sabar dalam keadaan ada, sehingga nikmat-nikmat Allah s.w.t. selalu dipergunakan pada keridhaanNya dan tidak terpengaruh dari godaan syahwat dan hawa nafsu. Inilah yang dimaksudkan oleh syair mereka:

Allah membuat gedung bagi para kecintaanNya, Loteng-lotengnya susah dan gundah sedangkan mudharat adalah tiangnya.

Allah masukkan mereka ke dalamnya dan mengunci pintunya, Dia katakan pada mereka: sabar itu kunci pintunya. 

Syair-syair serupa ini adalah rumusan gambaran, bagaimana indahnya waktu yang dipergunakan dalam gedung yang indah, di mana seluruh perasaan menghayati keindahan-keindahan sedemikian rupa. Tetapi apabila keindahan-keindahan itu tidak kita temukan, oleh karena perasaan yang kita hayati adalah di luar perasaan kehambaan hamba terhadap Tuhannya, maka tentu saja keindahan-keindahan itu tidak dapat dirasakan, apalagi dihayati. Dan ini sangat ditakuti oleh manusia yang betul-betul menghayati keimanannya kepada Allah, lahir batin dan mendalam.

Kesimpulan:

Hamba Allah yang saleh atau wali-wali Allah bukanlah dilihat pada kelebihan karamah atau karamat yang dikurniakan Allah atas mereka dengan amal ibadat mereka. Tetapi hakikat hamba Allah yang saleh dan hakikat para waliNya ialah siapa saja dari hambaNya yang selalu berada dalam wakut-waktu, di mana dia tidak pernah lupa kepada Allah, dan terasa oleh perasaannya, bahwa ia dalam semua hal berhajat kepada Allah, dan Allah saja di atasnya. Dia adalah hambaNya yang hina dan tak ada apa-apanya. Apabila perasaan yang demikian itu selalu menunggu-nunggu waktunya dalam hidup dan kehidupannya, berarti yang bersangkutan telah memperoleh waktu-waktu yang baik, dan waktu-waktu yang bermanfaat dalam kehidupannya, sebagai hamba Allah s.w.t..

Dan mudah-mudahan kita dijadikan Allah termasuk dalam hamba-hambaNya yang diridhai olehNya serta taat dan patuh pada melaksanakan ajaran-ajaran agamaNya. Amin, ya Rabbal-'alamin!