Kita mengetahui bahwa saksi atas kebaikan Allah s.w.t. atas manusia pada khususnya, ialah pemberian kurniaNya yang merupakan nikmat-nikmatNya. Sedangkan saksi bagi kita atas keagungan, kemahakuasaanNya Allah dan Maha Menentukan atas segala-galanya, ialah dapat kita fahami bahwa Allah kadangkala tidak memberikan pada kita dan tidak mengurniakan pada kita hal-hal yang kita inginkan, yang kita maksud, yang kita kehendaki, dan yang kita citacitakan.
Bagi manusia yang menyadari, bahwa itu semua adalah hak Allah s.w.t. sedangkan kita tidak lebih selain hanya menerima segala ketentuan-ketentuanNya itu. Jika manusia menanggapi yang demikian itu dengan tanggapan seperti ini, berarti bamlah manusia itu termasuk hamba-hamba Allah yang mengerti dan sadar kehambaannya kepada Tuhannya, yakni Allah s.w.t. Tetapi kadang-kadang dorongan hawa nafsu yang demikian kuat dalam diri manusia, dapat menimbulkan manusia itu tidak mengerti atas kehambaannya sebagai hamba-hamba Allah terhadap Allah s.w.t. Untuk kejelasan ini, maka Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah memmuskan dalam Kalam Hikmah beliau yang ke-94 sebagai berikut:
"Hanyasanya merasa pedih pada anda al-manak (tidak memperkenankan Allah atas apa yang kita mohonkan), adalah karena tidak ada pengertian anda tentang Allah pada hal tersebut."
Kalam Hikmah ini kejelasannya sebagai berikut:
I. Kurnia Allah dengan pemberianNya atau tidak memberikan sesuatu, pada hakikatnya adalah dua nikmat yang besar, di mana pada hakikatnya hati kita harus tenang dan tenteram pada menerima apa saja dari salah satu antara dua nikmat itu. Jika seseorang tidak diperkenankan Allah maksudnya, keinginannya, atau cita-citanya, dia merasa tidak enak dan seperti tidak serius menanggapinya dengan kesabaran, sedangkan apabila Allah mengurniakan padanya sesuatu nikmat, dia gembira dan senanglah. Orang yang seperti ini ilmunya pendek, pengertiannya dan fahamnya dangkal, bahkan hampir tidak ada sama sekali ilmunya terhadap Allah s.w.t. Sebab apabila ia berilmu, faham dan mengerti, bahwa semuanya itu adalah ketentuan Allah dan mengandung hikmah yang apabila difikirkan, pasti hikmahnya ditemukan dan mungkin dapat dirasakan hikmah tersebut, pastilah dia akan senang dengan ketentuan-ketentuan Allah yang gambarannya tidak mengizinkan, atau tidak memperkenankan, atau tidak memberikan apa yang kita maksudkan.
II. Akhlak yang lebih sempurna dan lebih afdhal terhadap Allah s.w.t. ialah kita senang apabila Allah tidak memberi. Tetapi kita merasa takut dengan hati yang tidak tenteram jika Tuhan memberi apa yang kita maksudkan.
Sebab kita tidak mengetahui akibatnya karena itulah alim besar Ibrahim AI-Khawwash r.a. telah berkata:
Tidak sahlah kefakiran seorang fakir kepada Allah s.w.t. sehingga ada padanya dua macam:
Pertama: Keimanannya kepada Allah Ta'ala.
Kedua: Bersyukur kepada Allah pada apa yang telah dikumpulkannya (berupa, nikmat-nikmat Allah), di mana orang lain dengan dunianya merupakan bala dan cubaan. Dan tidak sempurna kefakiran hamba Allah itu, sehingga ia melihat bahwa Allah tidak mcmberi itu adalah lebih mulia daripada kebaikan yang diberiNya.
Jadi tanda benarnya seseorang itu ialah, bahwa ia merasa manis, apabila Allah tidak memberi, sedangkan ia tidak merasa manis dan enak apabila Allah memberi.
Dari perkataan Ibrahim Al-Khawwash ini, jelaslah bagi kita, tentang status hamba Allah yang selalu berhajat kepada Allah s.w.t. Sebab kita ini semua adalah fakir terhadapNya. Artinya kita tidak dapat melepaskan diri kita di dalam segala-galanya dari Allah s.w.t. Untuk bukti bahwa kita ini berhajat kepada Allah ialah karena kita percaya kepadaNya pada segala sesuatu apa saja yang Ia tentukan buat kita. Apabila nikmatNya datang, kita bersyukur kepadaNya karena kita tidak dapat melupakanNya. Dan apabila kita tidak mendapatkan pemberian Allah, kita pun harus percaya kepadaNya, bahwa hal itu pasti ada hikmahnya. Perlu diketahui bahwasanya sebagian aulia Allah memandang bahwa Allah tidak memberi itu adalah lebih mulia daripada Dia memberi. Karena takut kalau-kalau dia bisa lupa kepada Allah dengan pemberianNya itu. Karena itulah lebih bagus menurutnya, bahwa Allah tidak memberi, sebab hal keadaan ini mungkin maksud Allah atas kita supaya kita terus berdiri di pintuNya, yakni pintu keridhaanNya di mana kita harns berhubungan terus denganNya.
Mudah-mudahan dengan ini kita termasuk dalam hamba-hambaNya yang Ia cintai. Dan apabila Allah telah mencintai seseorang hambaNya, maka Dia memeliharanya dari godaan-godaan duniaNya.
III. Apabila kita mengerti yang demikian itu, berarti kita telah berjalan pada jalan orang-orang yang dekat dengan Allah seperti para waliNya. Dan karena itulah seorang wali Allah bernama Al-Fudhail berkata dalam munajahnya: Ilahi! (wahai Tuhanku), Engkau telah laparkan daku dan keluargaku, dan hanyasanya Engkau lakukan ini adalah buat hamba-hambaMu yang mulia (khawash). Karena itu jalan apakah aku mengharnskan pada Engkau imbalan dari ini semua?
Munajah ini menggambarkan kepada kita bahwa demikianlah munajahnya seorang hamba Allah yang saleh, yakni menunjukkan bahwa itu adalah ciri khas hamba-hambaNya yang saleh. Justern itulah mereka tidak mementingkan imbalan-imbalan dari penerimaan yang bersangkutan atas ketentuan-ketentuan Allah tersebut. Karena itu maka keyakinan yang demikian itu pasti menimbulkan dalam hati seseorang, bahwa dunia itu tidak kekal.
Kelezatan dunia akan habis, dan dunia itu sendiri akan binasa. Hal keadaan ini menyebabkan ia harus menyimpan perbekalannya di akhirat. Sebab yang kekal dan abadi adalah akhirat jua dengan segala rahmat dan nikmatNya.
Kesimpulan:
Nikmat-nikmat Allah s.w.t. tidak sama gambarannya. Ada nikmat yang mernpakan kurniaNya dan pemberianNya, dan ada pula yang menggambarkan, bahwa menegahnya Allah pada memberikan nikmatNya atas kita, berarti juga nikmat Allah yang Maha Kuasa.
Inilah yang h.arns disyukuri oleh yang bersangkutan, dan yang bersangkutan tidak boleh membedakan antara kedua nikmat tersebut.
Berbahagialah yang bersangkutan itu dengan nikmat-nikmat yang diberikan Allah dalam segala bentuknya.
Amin, ya Rabbal-'alamin!