Chereads / AL HIKAM / Chapter 86 - Antara Kemegahan Yang Abadi dan Yang Sementara

Chapter 86 - Antara Kemegahan Yang Abadi dan Yang Sementara

Apabila sekalian makhluk yang disebut dengan alam itu lahiriahnya mempesonakan karena keindahannya dan kebagusannya. Tetapi di balik lahiriah itu mengandung akibat yang merupakan hakikat inti daripada alam itu sendiri. Maka orang-orang yang berakal tidak tertipu pada lahiriahnya, tetapi mereka melihat dengan hati dan akalnya kepada batin yang tersimpan di dalam kandungan lahiriah tersebut.

Batin itulah yang mengungkapkan wajah hakikat, apakah lahiriah itu bermanfaat atau tidak, bergunakah atau tidak. Oleh sebab itu kemuliaan yang sebenarnya dari nilai-nilai sesuatu ialah pada hakikat sesuatu itu, dan bukan pada lahiriahnya. Dari kemuliaan yang demikian itu menimbulkan kemegahan yang benar dan sebenarnya. Itulah kemegahan yang hakiki dan abadi. Dan bagaimana dalam masalah ini, Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah menyimpulkan dalam Kalam Hikmah beliau yang ke-86 sebagai berikut:

"Jika anda menghendakkan kemegahan yang abadi buat dirimu, maka janganlah anda mencari kemegahan yang sementara (yang sifatnya fana dan tidak abadi)."

Kalam Hikmah ini pengertiannya sebagai berikut:

I. Kemegahan dan kemuliaan itu ada dua macam:

[a] Yang sifatnya abadi, tidak hapus dan tidak habis-habisnya. Itulah kemegahan dan kemuliaan yang artinya tidak menggantungkan diri dan mengandalkannya kepada alam dan kepada makhluk keseluruhannya, tetapi adalah kepada yang menjadikannya dan yang menciptakannya. Sebab yang Kekal dan yang Maha Kekal ialah Allah s.w.t. Jadi apabila kita selalu bergantung kepada Allah, tidak lupa kepadaNya, dan selalu mengembalikan segala sesuatu kepadaNya, itulah kemuliaan yang sebenarnya, dan itulah kemegahan yang hakiki dan abadi. Sebab kita tidak akan kehilangan akal dalam menghadapi dunia yang penuh dengan rahasia-rahasia ketuhanan, di mana semuanya itu tertutup dan tersembunyi dari pandangan kita semua.

[b] Kemuliaan dan kemegahan yang sifatnya sementara atau sewaktu-waktu dan tidak abadi. Itulah kemegahan dan kemuliaan yang artinya juga tidak menggantungkan diri dan mengandalkannya kepada alam sebagai makhluk Tuhan, tetapi di samping itu sebagian manusia lupa kepada yang menciptakannya, yaitu Allah s.w.t. Betul juga sepintas lalu pendapat dan perasaan yang demikian, yakni dia mengetahui dan dia merasakan bahwa alam ini tidak abadi dan tidak kekal. Tetapi orang itu tidak mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah. Apakah dia tidak mengenal Allah karena buta sama sekali tentang Allah, atau karena keimanannya sangat dangkal dan tipis, di mana imannya dan Islamnya pula hanya sekedar ikut-ikutan pada orang lain. Tidak lebih padanya bahwa Iman dan Islam itu hanya sekedar pada waktu kawin dan pada waktu mati saja. Yakni kawinnya secara Islam, dan matinya dikuburkan di pekuburan orang Islam, ataupun secara upacara Islam.

Orang-orang yang beginilah yang banyak kita temui dalam masyarakat kita. Apakah dia sebagai orang yang berilmu pengetahuan, bergelar dengan gelar keserjanaan, dan dia tidak mau dipanggil dengan bukan orang Islam, sebab dia mengakui dirinya Muslim, padahal kenyataan dari keimanan dan pengamalan rukun Islamnya tidak ada padanya. Dia mengetahui dan dia meyakini bahwa dia sewaktu-waktu akan mati, suatu waktu akan berpisah dari dunia yang fana ini. Dunia itu tidak kekal, dunia itu penuh dengan huruhara, penuh dengan rahasia-rahasia, tetapi ia tidak ingat kepada Tuhannya, yaitu Allah s.w.t. Buktinya ia tidak pernah sembahyang, tidak pernah puasa, dan tidak pernah kerjakan segala tuntutan agamanya. Jika pun orang begini mendapat kemegahan dan kemuliaan di dunia ini, tidak lain sifatnya adalah kemegahan dan kemuliaan yang sementara saja, tidak kekal dan tidak abadi, meskipun kemegahan dan kemuliaannya itu dibawanya sampai mati. Bahkan yang kebanyakan ialah terbatas dengan zaman-zaman tertentu sesuai dengan situasi dan kondisi. Dan apabila situasi dan kondisi itu sudah tidak mengizinkan lagi adanya kemegahan dan kemuliaan bagi orang itu, jadilah ia seperti manusia-manusia lainnya. Sebelumnya ia disegani, ditakuti dan dihormati, tetapi setelah kemegahan dan kemuliaan itu hilang daripadanya, maka lenyaplah pula embel-embel kemuliaan dan kemegahan itu. Bahkan lebih daripada itu seluruh keburukan dan kejelekannya akan terbongkar sama sekali pada ketika kemegahan dan kemuliaan itu tidak ada lagi padanya.

II. Itulah perbedaan antara dua kemenangan dan kemuliaan seperti yang telah kita sebutkan tadi. Kemegahan dan kemuliaan yang abadi bertentangan dengan kemegahan dan kemuliaan yang tidak abadi. Karena itu apabila kita pilih kemegahan dan kemuliaan yang bersendikan agama, tidak lupa kepada tuntunan-tuntunan agama, maka kemegahan dan kemuliaan yang timbul dari itu akan dipelihara oleh Allah s.w.t. dan tidak seorang pun dari makhlukNya yang dapat mengrong-rong atau menghancurkan kemegahan dan kemuliaan tersebut.

Misalnya sebagai contoh, pada waktu Sultan Harun Ar-Rasyid memegang kekuasaan. Ada seorang Muslim yang selalu gigih dalam usaha dakwah Islamiah menyampaikan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar. Maka Sultan Harun Ar-Rasyid mungkin ingin mencuba orang itu sampai di mana keyakinan perjuangannya untuk ketinggian Islam. Maka beliau perintahkan orang itu diikat, dan setelah diikat supaya ditarik kuda agar orang itu mati. 

Setelah dikerjakan yang demikian, orang itu tidak mati, bahkan tidak apa-apa, maka Harun Ar-Rasyid memerintahkan supaya orang itu ditahan dalam sel dan ditimbun pintu sel itu dengan tanah. Setelah dikerjakan perintah yang demikian, kemudian dilihat orang, laki-laki tersebut sedang berjalan-jalan dalam sebuah taman, sedangkan pintu sel tertutup seperti semula. Jadi berarti orang itu telah keluar dari sel dan tidak ada yang tahu bagaimanakah keluarnya itu. Kepada Sultan Harun Ar-Rasyid disampaikan berita itu dan beliau meminta datang laki-laki tersebut. Setelah ia datang Sultan berkata: Siapakah yang mengeluarkan anda dari sel itu? 

Laki-laki itu menjawab: Yang mengeluarkan saya ialah yang telah memasukkan saya ke dalam taman itu. 

Sultan berkata: Siapakah yang memasukkan anda ke dalam taman itu? 

Laki-laki itu menjawab: Ialah yang telah mengeluarkan daku dari sel tersebut!

Kemudian Sultan memerintahkan supaya menaikkan laki-laki itu atas kendaraan, dan dibawa keliling kota dan negeri sambil menyampaikan kepada rakyat dengan kata-kata: "Ketahuilah oleh tuan-tuan bahwa Sultan Hamn Ar-Rasyid telah bermaksud menghinakan laki-laki ini, tetapi sebaliknya dia telah dimuliakan Allah, maka tidak sanggup dan tidak berkuasa seorang makhluk pun bertentangan dengan kehendak Allah!

Misal yang lain, kita lihat pula seorang wali Allah ziarah pada sebahagian hamba Allah yang saleh. Dia bertanya kepadanya: Apakah keadaan anda? 

Orang itu menjawab: "Guruku telah meninggal dunia! 

Kemudian wali Allah itu bertanya kepadanya: Kenapa anda menjadikan gurumu orang yang mati? 

Karena apabila anda bermegah dengan selain Allah, lantas selain Allah itu suatu waktu hilang dari sisimu, bagaimana? Karena itu lihatlah kepada Tuhanmu di mana anda senantiasa bertalian denganNya.

Dari contoh-contoh ini dapat kita ketahui bahwa apa pun saja bempa kemegahan dan kemuliaan, jika tidak dipertalikan dengan Allah akan hancur dan binasa, tidak kekal dan tidak abadi.

Kesimpulan:

Setiap kemegahan dan kemuliaan duniawi akan habis dan tidak kekal. Sebab kemegahan dan kemuliaan duniawi itu terikat pada sebab-sebab yang sifatnya juga tidak kekal dan abadi. Dan jika sebab-sebab itu hancur dan habis, maka kemegahan dan kemuliaan yang terbina atasnya turut pula hancur dan binasa. Sebab itu jadikanlah kemegahan dan kemuliaan itu selalu disertai dengan keridhaan Allah s.w.t. Itulah niat yang harus dihayati supaya kemegahan dan kemuliaan itu kekal dari dunia sampai akhirat dan jika tidak, maka tidak. Berkata syair:

Jadikanlah hakikat kemegahan anda beserta Tuhan anda niscaya tetaplah ia setetap-tetapnya.

Maka jika anda bermegah dengan orang yang mati pastilah kemegahan anda pun turut mati pula.

Syair-syair ini menganjurkan kita supaya selalu beserta Allah, khususnya apabila kita sedang dalam kemegahan dan kemuliaan, sebab nikmat itu adalah dari kurniaNya. Jika nikmat itu selalu diikatkan dengan Allah, yakinlah bahwa Allah s.w.t. akan mengekalkan nikmat yang demikian, nikmat kemegahan dan kemuliaan dari dunia hingga akhirat yang kekal abadi.

Mudah-mudahan kita semua dapat mengamalkan tuntunan ini. 

Amin, ya Rabbal-'alamin!