Sebagaimana kita maklumi bahwa sifat jalan mencapai sesuatu maksud dan tujuan adakala karena iman dan yakin, atau adakalanya karena sesuatu harapan yang berhasil, dan tentulah harapan itu tak dapat tidak dibarengi dengan amal dan usaha. Apabila tidak disertai dengan amal dan usaha, maka sifat jalan untuk mencapai tujuan merupakan angan-angan belaka. Dan bagaimana orang-orang 'Arifbi1lah, yakni hamba-hamba Allah yang demikian dekat dan kenalnya kepada Allah dalam gambaran maksud tujuan perjalanan mereka kepada Allah s.w.t., maka yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah menyebut dalam Kalam Hikmahnya yang ke-79 sebagai berikut:
"Tujuan orang-orang yang kenal kepada Allah ialah benar dalam kehambaan dan melaksanakan dengan hak-hak ketuhanan (Allah s.w.t.) ."
Kalam Hikmah ini kejelasannya sebagai berikut:
I. Manusia selaku hamba Allah s.w.t. apabila sudah sampai ke tingkat 'Arif-billah yakni tingkat di mana lahir dan batinnya sudah mengarah sedemikian rupa kepada Allah s.w.t. Tujuan dan maksud mereka bagaimana kiranya Allah s.w.t. melimpahkan kepada mereka dua nikmat; pertama, benar dalam 'ubudiyah, yakni kehambaan mereka kepada Allah s.w.t., dan yang kedua; dapat melaksanakan hak-hak ketuhahan, baik lahir maupun batin.
Yang dimaksud dengan benar pada kehambaan ialah melaksanakan dengan ikhlas adab sopan santun kehambaan kita kepada Allah s.w.t. Dan berakhlak dengan akhlak kehambaan itu, misalnya bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmatNya dan bersabar atas bala dan cubaanNya. Di samping itu menyerah sebulat-bulatnya kepada Allah s.w.t. sambil mengharapkan rahmatNya dengan selalu taqwa kepadaNya.
Benar pada 'ubudiyah, berarti juga ikhlas dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban kita yang bersifat kehambaan kepada Allah s.w.t. Jika demikian, meskipun amal kita sedikit, tetapi dianggap cukup oleh Allah s.w.t. Karena itu Saiyidina Umar bin Al-Khaththab r.a. telah berkirim surat kepada Abu Musa AI-Asy'ary, di antara isinya sebagai berikut:
"Barangsiapa yang ikhlas niatnya, niseaya Allah memberikan kecukupan kepadanya segala sesuatu (yang sifatnya) antara Tuhan dan manusia."
Maksudnya, niat yang ikhlas akan dibalas oleh Allah sehingga Allah s.w.t., akan memberikan kecukupan kepada kita hal-hal yang kita perlukan antara kita dengan Tuhan. Ikhlas berarti hakikat kebenaran dalam kehambaan kepada Tuhan. Sebab ikhlas berarti lupa kepada makhluk Allah demi penglihatan hati yang tidak putus-putus kepada Allah s.w.t. Deng an demikian bersihlah amal kita dari segala kotoran. Artinya tidak ingin dipuji orang, dan tidak ingin disebut orang, dan tidak ingin dilihat orang, bahkan tidak ingin diketahui orang. Karena itu murid-murid Nabi Isa a.s. bertanya kepada beliau: "Apakah amal yang betul-betul bersih?" Nabi Isa menjawab: "Ialah amal yang diamalkan karena Allah Ta'ala, tidak disertai keinginan supaya dipuji orang."
Jadi barangsiapa yang melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Allah s.w.t. dengan betul-betul ikhlas dan benar, maka itulah tujuan yang hakiki bagi hamba-hamba Allah yang 'Arif dalam melaksanakan amal ibadahnya kepada Allah s.w.t.
Yang dimaksud dengan yang kedua, yakni melaksanakan hak-hak ketuhanan, ialah supaya kita dapat melaksanakan hak-hak itu lahir dan batin.
Maksudnya hak-hak Tuhan di mana wajib atas kita mentaatiNya dalam arti yang luas, ialah supaya lahiriah kita menggambarkan ketaatan kepada Allah betul-betul sebagai seorang mukmin yang melaksanakan ajaran-ajaran agamanya.
Atau dengan kata lain, taat kita kepada Allah bukan karena paksaan, bukan karena malu dan lain-lain, tetapi karena betul-betul melaksanakan taat itu sebagai hak Tuhan dan sebagai kewajiban kita. Sedangkan batin kita tidak lupa kepada Allah, yakni selalu berkenalan hadir hati kita serta Allah yang tidak ada umpama dengan sesuatu. Meskipun kadang-kadang kita melihat masalahnya sangat halus sehingga jika tidak diperhatikan betul-betul tidak akan kelihatan. Misalnya kita melihat satu hikayat yang disebut oleh Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin, juz IV, hal 368 sebagai berikut:
"Ada salah seorang hamba Allah berkata: Saya telah mengerjakan sembahyang jamaah di masjid selalu di shaf pertama selama 30 tahun, kemudian pada satu hari saya telah masuk masjid, akhirnya saya tidak mendapat shaf pertama, maka sembahyanglah saya di shaf kedua. Kemudian terasa oleh saya perasaan malu pada manusia karena mereka melihat saya pada shaf kedua. Maka tahulah saya bahwa yang menimbulkan tenteram hati dalam sembahyang karena saya selalu berada di shaf pertama."
Kemudian Imam Ghazali memberikan ulasan, bahwa hal ini adalah gambaran halus di mana sedikit sekali amal ibadat yang dirasakan oleh orang beramal seperti orang tersebut dan orang itu termasuk sedikit jumlahnya sebab terbangun hatinya pada penilaian yang demikian karena taufiq Allah s.w.t..
Dapat difahami dari contoh tersebut bahwa ibadat lahiriah orang itu adalah baik, tetapi pada hakikatnya dia belum melaksanakan hakikat hak ketuhanan yang sebesarnya.
II. Ubat untuk mencapai benar pada 'ubudiyah dan melaksanakan hak rububiyah, tak lain dan tak bukan kita harus memerangi hawa nafsu, membasmi habis tamak pada dunia dan semata-mata tujuan beramal .karena Allah, bukan karena takut nerakaNya, karena yang demikian itu belum benar dalam melaksanakan ikhlas, tetapi ikhlas demi untuk keuntungan, meskipun sifatnya ukhrawi.
Kesimpulan:
Berusahalah apabila kita ingin meningkat dalam ibadat dan 'ubudiyah, yaitu benar yang hakiki dan sejati, artinya ikhlas yang sesungguhnya dalam menjalankan kewajiban kehambaan kita kepada Allah dan melaksanakan hak-hak ketuhanan Allah kepada kita.
Hilangkanlah segala maksud dan tujuan yang bersifat menguntungkan, karena semuanya itu akan datang dengan sendirinya, apabila kita selalu beserta Allah, di samping amal lahiriah yang kita kerjakan sebagai ibadat kita kepadaNya.
Mudah-mudahan Allah s.w.t. memberikan kepada kita tujuan yang hakiki dari apa yang dihayati oleh orang-orang yang 'Arif-billah dalam cita-cita mereka.
Amin, ya Rabbal-'alamin .... !