Sebagai telah kita ketahui, bahwa gundah dan susah karena tidak mengerjakan taat di samping hati danjasmani tidak bangun dan insaf kepada taat, adalah bohong dan tanda tertipu orang-orang yang bersangkutan. Dan jika kebalikannya, yakni gundah karena sebab di atas, tetapi gundahnya itu membangunkan hatinya untuk peningkatan taat dan ibadat di samping mendatangkan keinsafan kepada yang bersangkutan, itulah gundah yang benar dan terpuji.
Gundah yang benar dan yang betul datangnya dari hal-hal yang telahjatuh dalam hati seseorang, di mana merupakan isyarat hati atau gambaran keyakinan hati kepada kebesaran Allah s.w.t., apakah isyarat hati itu dalam gambaran diliputi hati dengan takut kepada Allah s.w.t., yakni takut kepada iqabNya (siksaanNya) atau takut kepada menyalahiNya dan lain-lain. Atau isyarat hati itu dalam gambaran timbul rasa malu kepada keagungan sifat-sifat Allah s.w.t., sehingga terasa malu karena kurang taat dan ibadat yang dikerjakan sebagai 'ubudiyah kepada Allah s.w.t. Dan jika demikian keadaan seseorang, yakni demikianlah yang didapatinya dalam hati, apakah orang itu sudah dapat disebutkan dengan orang 'arif kepada Allah, ataukah belum. Yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary menerangkan hakikat masalah ini dalam Kalam Hikmahnya yang ke-77, sebagai berikut:
"Bukanlah orang 'arif orang yang apabila ia dapat mengisyaratkan (sesuatu dari rahasia Allah) berarti ia menemukan Allah Ta'ala lebih dekat kepadanya dari isyaratnya. Tetapi orang 'arif ialah orang (yang merasa) tidak ada isyarat baginya, karena tenggelamnya dalam wujud Allah dan hilangnya dalam syuhud kepada Allah."
Kalam Hikmah ini agak sulit juga memahaminya, tetapi marilah kita coba memahaminya, mudah-mudahan sesuai seperti maksud penulisnya.
I. Dalam Kalam Hikmah di atas kita menjumpai perkataan "Al-Isyaarah" atau "Isyarat". Perkataan ini lebih halus dari perkataan "Al-'Ibaarah", yang artinya "pengungkapan sesuatu maksud dengan terang dan jelas". Sedangkan perkataan Al-Isyaarah, menurut istilah tasawuf ialah "pengungkapan atas rahasia-rahasia tauhid secara kinayah", yakni bukan dengan kalimat yang terang dan jelas.
Misalnya, Allah s.w.t. telah melimpahkan kepada hambahambaNya yang yakin dan taat berupa ilmu-ilmu ketuhanan, perasaan-perasaan yang mendekatkan kepadaNya dan rahasia-rahasia yang halus yang timbul dari hakikat tauhid kepadaNya. Maka yang begitu itu agak sulit menggambarkannya dengan perkataan-perkataan yang jelas, tetapi antara sesama mereka dapat menyebutnya dengan kalimat-kalimat kinayah, yakni, perkataan-perkataan yang membayangkan kepada hal-hal tersebut. Itulah yang dimaksud dengan perkataan "Al-Isyaarah" menurut istilah tasawuf.
Apabila seorang hamba Allah sudah mulai mendapatkan isyaratisyarat yang demikian, berarti dia tidak dapat menghilangkan hatinya dari isyarat-isyarat itu. Dan apabila di samping isyarat-isyarat itu dia merasakan bahwa dia telah dekat kepada Allah, dari hal-hal tersebut, berarti ia belum disebut dengan 'Arif-billah. Sebab bukan hanya hatinya dan perasaannya saja yang terarah kepada Allah, tetapi juga masih melihat dirinya dan tidak luput dari hatinya isyarat-isyarat seperti gambaran di atas. Selama masih keadaan itu padanya, berarti ia belum boleh keluar dari lingkungan penglihatan perasaan, dan berarti pula dirinya belum tenggelam dalam terarah kepada Allah s.w.t.
Orang yang begini dalam istilah tasawuf masih dalam status "Al-Farqu", belum sampai kepada status "Al-Jam'u".Apakah pengertian tiap-tiap istilah ini?
Al-Farqu ialah segala sesuatu yang masih ditambatkan atau diikatkan kepada makhluk, sedangkan pengertian Al-jam'u ialah segala sesuatu yang sud.ah lepas dari makhluk, tetapi adalah semata-mata datang dari Allah dalam pandangan lahir batin. Tegasnya, Al-Farqu itu penglihatan kita kepada taat dan ibadat di mana masih diikatkan dan disangkutpautkan pada kita selaku makhluk Allah s.w.t. Misalnya sembahyang kita, puasa kita, zakat kita, dan lain-lain apakah sifatnya mengerjakan perintah Allah atau sifatnya menjauhkan larangan Allah. Karena itu maka hakikat firman Allah "Iyyaka na'budu" adalah buat lapangan Al-Farqu. Tetapi "Waiyyaka nasta'in adalah lapangan Al-Jam'u. Atau dengan kata lain, hubungan kita dengan Allah s.w.t. yang bersifat amaliah lahiriah termasuk dalam istilah Al-Farqu. Sedangkan hubungan kita dengan Allah s.w.t. dalam penghayatan hati, akal dan perasaan, termasuk dalam lapangan Al-Jam'u.
Karena itu, jika kita hanya berhubungan dengan Allah pada lahiriah saja, di samping kita mendapatkan pula isyarat-isyarat berupa ilmu ladunni, sebahagian rahasia tauhid dan lain-lain, berarti kita belum menjadi 'Arif-billah, sebab kita masih memandang segala-galanya. Yakni masih melihat isyarat-isyarat itu meskipun hati kita juga berhubungan dengan Allah seperti maksud di atas.
Tegasnya, seorang hamba Allah apabila masih dalam status Al-Farqu saja, berarti ia belum sampai pada pangkat 'Arif-billah.
II. Siapakah 'Arif-billah yang sebenarnya?
Menurut penglihatan kacamata tauhid dan tasawuf, bahwasanya 'Arif-billah itu ialah hamba Allah yang sudah sampai pada tingkat status Al-Jam'u. Maksudnya hamba Allah yang meskipun ia dilimpahkan Allah dengan nikmat Al-Isyaarah seperti di atas, tetapi hatinya tidak melihat di samping ia sendiri tidak mengaku bahwa ia telah memperoleh nikmat tersebut. Padahal nikmat Al-Isyaarah itu betul-betul telah dikurniakan Allah kepadanya.
Kenapa demikian?
Masalahnya adalah karena hamba Allah yang demikian telah asyik perhatiannya kepada Allah, telah mengarahkan lahir dan batinnya kepada Allah, dan seluruh tekanan lahiriahnya dan batiniahnya terarah kepada Allah, sehingga hilanglah dari perasaannya nikmat isyarat dirinya sendiri dan sesuatu yang membawa perasaannya kepada Allah. Tegasnya semuanya hilang dan lenyap dari penglihatannya lahir dan batin. Pada waktu itulah ia merasakan hakikat Hadis Qudsi, yaitu: mendengar dengan pendengaranKu, melihat dengan penglihatanKu dan bertutur dengan pertuturanKu.
Memang agung dan hebat jika kita telah meningkat ke magam fana. Yakni maqam di mana kebesaran dan keagungan Allah yang lahirnya nyata, tetapi menghilangkan segala-galanya, tersapu bersih, karena diliputi oleh penglihatan yang bercampur dengan keimanan dan keyakinan. Tersapu bersih segala-galanya dengan sebab muncul kebesaran dan keagungan Allah pada penglihatan lahiriah dan batiniah. Hingga pada waktu itu dia lupa pada dunia, lupa pada akhirat, lupa kepada darjat-darjat peningkatan batiniahnya, bahkan lupa juga ia kepada zikir, namun semua perasaannya dan peringatannya hanya tertuju dan tenggelam kepada Allah s.w.t. semata.
Dia, lupa kepada segala-galanya, kepada dirinya, kepada akalnya, tenggelam perasaannya dari segala-galanya, dan lupa bahwa ia telah fana pada fananya dari segala sesuatu. Kemana penglihatan yang ia hadapkan, semuanya diliputi dengan karam perasaan pada keagungan dan kebesaran Allah s.w.t.
Orang yang sudah sampai ke taraf yang demikian itulah orang yang berhak bergelar dengan 'Arifbillah.
Itulah hamba Allah yang kenyataan dalam dirinya tujuan syair sufi sebagai berikut:
RupaMu yang Maha Suci terlihat dalam kedua belah mataku, di samping mulutku adalah wadah mengingatiMu. Engkau bertempat dalam kalbuku, karena itu ke manakah Engkau akan hilang (dariku)?
Tentu jawabannya tidak. Tuhan tidak akan hilang, bahkan tidak jauh dari kita, jika kita telah dekat kepadaNya sedemikian rupa. Justeru itulah kepada Saiyidina Ali bin Abu Thalib, orang bertanya kepada beliau: "Apakah kita boleh melihat Tuhan kita?"
Beliau menjawab: "Bagaimana kita beribadat dan menyembah Tuhan yang tidak kita lihat?" (Tidak ada artinya ibadat kita, jika kita tidak melihat Tuhan kita).
Sebagai contoh dari gambaran 'Arif-billah yang sebenarnya seperti yang telah diucapkan oleh Ali bin Abu Thalib di atas, dapat pula kita fahami perkataan ahli Tasawuf besar Al-Hallaj sebagai berikut:
"Aku naik haji, maka aku lihat Ka'bah, tetapi aku belum melihat Tuhan Ka'bah. Kemudian aku haji kali kedua, maka aku lihat Ka'bah dan Tuhan Ka'bah. Kemudian aku naik haji kali ketiga, maka aku lihat Tuhan Ka'bah, tetapi aku tidak melihat Ka'bah." (Lihat Kitab A'laamut-Tasawufil-Islami, oleh Taha Abdul Baqi Surur, Percetakan Nahdhah Mesir, Cairo, hal 81-82).
Dari perkataan Al-Hallaj ini, haji pertama dan haji kedua adalah gambaran status Al-Farqu dan seseorang belum dapat disebut dengan 'Arif-billah. Tetapi haji kali ketiganya, itulah maqam Al-Jam'u.
Apabila penglihatan lahir batin yang demikian sudah naik ke tingkat Al-Jam'u, niseaya itulah tingkat yang barn dapat seorang hamba Allah bergelar dengan 'Arif-billah.
Kesimpulan:
Jika kita masih melihat kepada kelebihan tauhid yang dilimpahkan Allah Ta'ala atas kita, meskipun kita merasakan bahwa kita telah dekat dengan Allah, belumlah kita disebut dengan 'Arif-billah. Sebab pada kita masih terlihat juga selain dari Allah s.w.t. Yakni hati kita masih belum dapat menghilangkan selain dari Allah s.w.t. Tetapi jika apa yang dilimpahkan Allah Ta'ala bernpa kurnia nikmat yang halus, seperti rahasia tauhid dan lain-lain telah hilang dari ingatan kita, meskipun semuanya itu ada pada kita sebagai kurnia Allah, tetapi Allahlah yang kelihatan, kebesaran dan keagunganNyalah yang menonjol atas segala-galanya, sehingga segala-galanya selain Allah hilang semua, barulah kita disebut dengan 'Arif-billah. Artinya betul-betul kita hambaNya yang demikian kenalnya kepada Allah s.w.t. Mendapatkan tingkat yang begini tidak mustahil, tetapi adalah mungkin asal saja ilmu kita bertambah, iman kita bertambah, keyakinan kita bertambah, taat dan ibadat kita selalu meningkat.
Di samping itu pula kita betul-betul berjuang memerangi hawa nafsu, memerangi iblis dan syaitan; lnsya Allah setingkat demi setingkat kita akan terus dekat kepadaNya seperti hamba-hamba Allah yang saleh dalam perjalanan mereka kepada Allah s.w.t.
Berjuanglah dan bermujahadalah dengan ilmu dan amal, dengan iman dan Islam. Mudah-mudahan berhasil maksud kita sebagai makhluk Tuhan yang betul-betul kenal kepadaNya.
Mudah-mudahan, amin, ya Rabbal-'alamin!