Chereads / AL HIKAM / Chapter 50 - Antara Kurnia dan Keadilan Allah Mengenai Pahala dan Dosa

Chapter 50 - Antara Kurnia dan Keadilan Allah Mengenai Pahala dan Dosa

Jika dalam Kalam Hikmah yang lalu telah kita ketahui, bahwa bagaimanapun besar dosa makhluk kepada Allah s.w.t., tidak boleh bagi makhluk berputus asa kepada rahmat Allah, karena kemuliaan Allah dan kemurahanNya lebih besar daripada dosanya, sehingga dosa itu bagaimanapun besarnya adalah kecil sekali, bahkan tidak ada artinya jika dinilai dengan kemurahan Allah s.w.t.

Kemudian mengenai dosa dan pahala, apakah dosa itu besar atau kecil, dan apakah pahala demikian. pula dan bagaimana hubungan pahala dengan kurnia Tuhan, dan dosa dengan keadilanNya, yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah menyimpulkan hakikat mmusan hal tersebut dalam Kalam Hikmah beliau yang ke-50, sebagai berikut:

"Tidak kecil (semua dosa), apabila berhadapan akan anda oleh keadilanNya (Allah). Dan tidaklah besar (semua dosa), apabila berhadapan akan anda oleh kurniaNya (Allah)."

Pengertian Kalam Hikmah ini sebagai berikut:

I. Arti perkataan "ADL" dalam Kalam Hikmah tersebut, demikian pula dalam istilah Tauhid Tasawuf ialah:

"Meletakkan sesuatu pada tempatnya tanpa mendebat atas yang memperbuat atau yang menciptakan."

Misalnya ada hukum apabila ada kesalahan; hukuman berat apabila kesalahan berat, dan huk uman ringan apabila kesalahan kecil. 

Orang yang dijatuhkan hukuman atasnya tidak boleh mendebat atau menyangkal, kenapakah hukuman harus demikian? Maka demikian pulalah Allah s.w.t., yang menjatuhkan hukum dosa pada perbuatan yang melanggar ketentuan yang ditentukan olehNya.

Apabila dosa besar tentu berarti besar pula kesalahan yang diperbuat, bahkan pada hakikatnya perbuatan durhaka yang dosanya kecil, jika dihadapkan kepada keadilan Allah, maka tidak ada kecil pada semua dosa, tetapi dosa-dosa kecil itu menj adi besar sehingga segala kebaik an yang telah dikerjakan dapat terhapus dan tidak ada artinya. Sebab Allah s.w.t. berbuat segala sesuatu pada milikNya dan pada makhlukNya. Kita tidak boleh bertanya dengan perasaan mendebat Allah atas ketidak-layakkan yang demikian, dan kita tidak boleh mencap perbuatanNya yang demikian dengan aniaya, sebab yang demikian itu tidak pantas bagi kita selaku makhluk-makhlukNya. Lawan dari keadilan adalah kezaliman. Definisi kezaliman ialah:

"Meletakkan sesuatu bukan pada temp atnya di s ampmg mendebat atas yang memperbuatnya."

Misalnya, kebalikan dari misal di atas, yakni jika makhluk atau alam mayapada ini bukan ciptaan Tuhan, tetapi Dia (All ah) menjadikan semaunya pada menetapkan dosa, apakah dosa itu besar ataukah kecil. Hal ini barulah dapat dikatakan Allah itu zalim, sebab Dia telah berbuat pada sesuatu y ang bukan pada tempatnya.

Untuk lebih mantap mengenai contoh keadilan Allah, dan Allah itu tidak zalim, ialah dengan kejadian yang telah terjadi pada zaman dahulu di negeri Baghdad. Pada zaman itu di negeri Mesir terdapat seorang alim besar dalam Ilmu Syariat dan Hakikat, Tuan Syeikh Afifuddin. Beliau mendengar berita, bahwa di Baghdad telah terjadi huru-hara yang paling besar antara ummat Islam dan ummat Kristen. Hingga dalam masa 40 hari saja ratusan ribu manusia telah terbunuh. Dan orang-orang Kristen telah menggantungkan Al-Quran pada leher-leher anjing mereka. Kebanyakan masjid dijadikan gereja dan kebanyakan kitab-kitab ulama Islam telah dilemparkan ke dalam sungai Dajlah, sehingga timbunan kitab-kitab yang dilemparkan ke dalam sungai itu laksana jembatan dari seberang ke seberang yang dapat dilalui keledai-keledai.

Mendengar berita yang demikian, Tuan Syeikh Afifuddin mengingkari, bahwa hal yang demikian itu tidak pantas dijadikan oleh Allah s.w.t. Ya, mungkin beliau merasa kaget dan terkejut mendengar berita tersebut. Lantas beliau bermunajat kepada Tuhan dan bertany a dalam munajatnya itu: "Wahai Tuhanku! Kenapakah begini, padahal pada mereka (ummat manusia di Baghdad) terdapat anak-anak kecil dan orang-orang yang tidak berdosa."

Setelah beliau bermunajat kepada Allah, beliau tertidur dan dalam tidurnya beliau bermimpi, bahwa beliau melihat seorang laki-laki yang membawa sebuah buku, maka beliau ambil buku itu dan rupany a di dalamnya tertulis dua syair sebagai berikut:

Tinggalkanlah mendebat, karena bukan segala sesuatu itu milikmu. Dan bukan pula ketentuan-ketentuan itu terjadi menurut gerakan-gerakan alam.

Dan jangan anda bertanya kepada Allah tentang perbuatanNya. Karena barangsiapa menyelam ke dalam gelombang laut binasalah ia.

Kedua syair ini mengandung arti, bahwa makhluk dan alam ini dijadikan oleh Allah dan bukan jadi dengan sendirinya. Kita harus menyerah diri kepada Allah, kita tidak boleh bertanya kepadaNya, kenapakah Allah telah menjadikan yang demikian itu, kenapakah harus demikian Dia jadikan dan lain-lain sebagainya, berupa pertanyaan di mana hati kita banyak sedikitnya menganggap kurang pada tempatnya sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah s.w.t. Manusia yang bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang berdasarkan atas sifat tersebut adalah manusia yang kurang ajar kepada Tuhannya.

Walhasil, tidak ada manfaat bagi Allah segala amal ibadat yang kita kerjakan dan tidak akan memudharatkanNya perbuatan-perbuatan kedur-hakaan yang dikerjakan oleh hamba-hambaNya. Atau dengan kata lain, Allah s.w.t. tidak tinggi karena taat yang datang dari hamba-hambaNya, dan tidak pula Tuhan itu rendah, apalagi Dia mudharat karena maksiat yang diperbuat oleh makhluk-makhlukNya. Oleh sebab itulah, maka taat yang kita kerjakan tidaklah memestikan adanya pahala, dan maksiat yang diperbuat oleh makhluk-makhlukNya tidak pula mewajibkan adanya siksa, tetapi perbuatan taat adalah tanda atas pahala yang diberi kan kepada yang mengerjakannya, dan perbuatan maksiat itu adalah tanda pula atas azab yang dijatuhkan kepada pelaku-pelakunya. Di samping itu pula seandainya Allah berkata: "Barangsiapa yang taat kepadaKu akan kusiksa dan barangsiapa yang durhaka kepadaKu akan Kuberikan pahala." 

Sungguh perkataan yang demikian benar dan tidak salah, dan perkataan itu adalah baik dan tidak jelek. Dan kita boleh mendebat Tuhan, kenapakah harus demikian, sebab Allah s.w.t., berbuat sekehendakNya atas makhluk-makhlukNya yang diciptakan olehNya. Ini adalah menurut jalan rasio, tetapi menurut syara' isi Kitab-kitab SuciNya yang diterima oleh Rasul-rasul dan Nabi-nabiNya, bahwa Allah telah menjanjikan pahala atas taat. Dan andaikata Tuhan menyalahi janjiNya, maka tidak masuk akal, sebab Dia telah berjanji dan tidak akan mungkin menyalahi janjiNya.

Tetapi berkenaan dengan maksiat yang aturannya dijatuhi hukuman 'iqab pada si pelakunya, bagi Allah s.w.t. dalam hubungan ini boleh menyalahi janjiNya. Artinya orang yang berbuat maksiat tidak dimasukkan ke neraka oleh Allah, tetapi diampuniNya dengan memasukkan ke syurga Jannatunnaim, sebab Allah Ta' ala adalah Maha Pemurah dan Dia memiliki sifat kurnia yang agung dan Maha Besar, sehingga semua dosanya diampuni oleh Allah s.w.t.

Oleh sebab itulah yang mulia Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmahnya di atas menerangkan, bahwa jika Allah melaksanakan sifat keadilanNya atas makhluk yang tidak diridhai olehNya, maka dosa kecil akan menjadi besar dan amal kebaikan makhluk itu akan sirna. Tetapi kemurahan dan kurniaNya adalah lebih besar atas segala-galanya.

II. Pengertian kurnia Allah s.w.t., yang dalam bahasa Arab disebut dengan "Al-Fadhlu" ialah:

"Pemberian yang datang dari pilihan (bukan kemestian) yang sempurna, bukan yang datang dar i kewajiban (yang tidak dapat tidak harus adanya)."

Maksudnya, Allah Ta'ala memberi pahala kepada kita dengan amal ibadah yang kita kerjakan adalah semata-mata kurniaNya. Artinya kemurahanNya yang berdasar kepada kehendakNya yang sempurna di mana tidak wajib atas Allah s.w.t. memberikan pahala itu.

Inilah ketetapan Ahlus Sunnah wal Jamaah tentang pengertian kurnia Allah s.w.t. Ada pun pendapat Al-Hukama atau pendapat para filosuf, dengan kata lain pendapat ahli-ahli filsafat, bahwa kurnia Tuhan itu adalah suatu kemestian. Perbuatan taat yang dikerjakan tak dapat tidak mesti ada balasan pahala, dan Allah s.w.t. tidak boleh menyimpang dari ketentuan itu. Sebab pahala diberikan Allah adalah karena taat, laksana bergerak cincin karena bergerak tangan. Tidak diterima oleh akal, cincin bergerak, sedangkan jari tidak bergerak. Artinya gerak jari melahirkan adanya gerak cincin, demikian pulalah perbuatan taat memastikan adanya pahala.

Pendapat para ahli filsafat di atas bertentangan dengan Tauhid. Adapun orang-orang Muktazilah berpendapat, bahwa apabila perbuatan taat dikerjakan, wajib bagi Allah s.w.t. memberikan pahala, jika Dia tidak memberikan pahala maka tidak baik pada akal, dan itu disebut dengan hal yang keji, dan berarti Tuhan, menurut mereka, adalah seperti zalim terhadap makhlukNya.

Pendapat Muktazilah ini sarna tidak baiknya dengan pendapat Al-Hukama (para filosuf) di atas. Oleh sebab itu, maka pendapat yang benar adalah pendapat Ahlus Sunnah wal jamaah, bahwa kurnia Allah bukanlah suatu hal yang terjadi semata-mata disebabkan karena ibadah atau taat, dan bukan pula karena suatu kemestian bagi Allah memberikan kurnia dari perbuatan-perbuatan taat. Sebab segala amal perbuatan taat meskipun banyak sehingga alam ini penuh, namun masih belurn cukup mensyukuri sebagian nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-hambaNya. 

Inilah maksud firman Allah dalam Al-Quran Al-Karim:

"]ika kamu ingin hitung nikmat-nikmat Allah pastilah kamu tidak akan mungkin menghitungnya (meliputinya)." (Ibrahim: 34)

Oleh sebab itulah, maka yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary merumuskan, bahwa tidak ada dosa yang besar melainkan semuanya kecil belaka, bahkan terhapus semua dosa itu jika berhadapan dengan kurnia Allah s.w.t.

Kesimpulan:

1. Allah s.w.t. adalah Maha Adil, karena itu Dia berhak, berbuat sekehendak-Nya. Dosa kecil akan menjadi besar dan perbuatan taat akan sima jika Dia telah marah kepada hambaNya. Demikian pula semua dosa akan kecil bahkan akan terhapus sama sekali meskipun dosa-dosa itu dosa-dosa besar, jika dihadapkan dengan kurnia Allah. Jadi, apabila Allah telah melahirkan sifat kurniaNya kepada hambaNya yang dikasihi, maka hilanglah semua kesalahannya dan jadilah semua dosa besarnya menjadi kecil bahkan mungkin dihapuskan olehNya.

2. Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily, seorang ulama besar Tasawuf telah menyebutkan dalam doanya sebagai berikut:

"Ya Allah! Jadikanlah segala kejahatan kami merupakan kejahatan-kejahatan orang yang Engkau cintai, dan jangan Engkau jadikan semua kebaikan kami sebagai kebaikan-kebaikan orang yang Engkau marahi, karena kebaikan tidaklah ada artinya di samping kemarahan Engkau, dan kejahatan tidak memberikan kemudharatan apa-apa di samping kecintaan Engkau.Sesungguhnya Engkau telah menyembunyikan hakikat sesuatu atas kami supaya kami selalu mengharap dan takut kepadaMu (ya Allah). Karena itu amankanlah kami (dari) ketakutan, dan jangan Engkau sia-siakan harapan kami, dan Engkau perkenankanlah buat kami permohonan kami ..... "

3. Demikianlah penjelasan Kalam Hikmah di atas, mudah-mudahan kita dimasukkan Allah dalam jamaah hamba-hambaNya yang dicintai olehNya, dan kita berlindung diri dengan Allah selaku hamba-hambaNya yang dimurkai.

Amin, ya Rabbal-'alamin!