Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Digitalisan13

Gusti_Fikri
--
chs / week
--
NOT RATINGS
478
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - The Stroke of Serendipity

Pada sebuah kota yang anggun di mana waktu seolah-olah berhenti, Bi tenggelam dalam dunia nya. Sketsa dan lukisannya seperti bisikan dari hati, cerminan emosinya, dan tempat berlindung dari bayangan yang menghantuinya. Pada usia dua belas tahun yang rentan, untaian takdir kejam merenggut kedua orang tuanya, meninggalkannya terombang-ambing dalam lautan kesepian. Namun, seperti seorang pertapa yang menemukan ketenangan dalam pelukan hutan yang terlupakan, cinta Bi pada seni tetap teguh.

Di tengah palet hidup yang jelas ini, Tan, putri seorang politikus dan pengusaha ternama, bergerak seperti seorang ratu, dibalut dalam aura kemewahan dan kedinginan. Tawanya memiliki pesona yang menggigit, menyembunyikan keinginan-keinginan yang dia kunci. Namun di balik mata-mata es itu tersembunyi dunia kerinduan yang tak terucapkan, seperti melodi lagu tersembunyi.

Di tengah senja yang semakin menyapu, Bi berjalan lunglai melintasi lorong sekolah, larut dalam dunianya sendiri, mencoba mengabaikan kerumunan di sekitarnya. Di ruang seni yang sunyi, dia temukan ketenangan dalam dunia kreatifnya, tempat dia mengungkapkan imajinasinya dari setiap goresan kuasnya, seperti menyelamatkan diri dari luka dalam kehidupannya.

Pada sebuah hari yang penuh misteri, pameran seni di sekolah berubah menjadi panggung tak terduga. Dinding-dinding yang semula dipenuhi dengan lukisan-lukisan indah para siswa tiba-tiba merasakan belenggu gelap saat pemadaman listrik menyelimuti gedung. Keheningan mendalam terasa, hanya terpotong oleh kebingungan para siswa yang berusaha mencari cahaya dari ponsel-ponsel mereka.

Di tengah keributan itu, Bi menemukan dirinya berdiri di dekat karya rumit yang ia ciptakan. Cahaya redup dari senter ponsel menyentuhnya, dan dalam genggaman erat, ia memegang buku gambarannya, berharap agar listrik segera kembali untuk menerangi karyanya.

Sementara itu, Tan dan teman-temannya sedang asyik bercerita tentang kisah-kisah hantu yang menggigit ketegangan udara. Teman pertama berkata dengan suara gemetar, menyebut adanya desas-desus tentang suara-suara aneh di ruang klub seni. Tan hanya membalas dengan nada sarkastik dan keraguan, tanpa menduga bahwa beberapa detik kemudian, pemadaman mendadak akan menyebabkan teman-temannya berlarian panik.

Namun, Tan menemukan dirinya terisolasi dalam kegelapan saat ia menjelajahi lorong sekolah lalu terhenti disebuah ruangan. Sentuhan tidak sengaja pada sebuah kanvas mengirimkan gelombang perasaan melalui dirinya, seolah-olah inderanya yang lain meresapi lukisan tersebut melalui sentuhan halus.

Sementara itu, Bi yang penasaran, tak sengaja menabrak meja kecil, membuat buku gambarannya terjatuh di dekat kaki Tan. Dalam kejutan dan kekacauan itu, Tan dengan cepat mengeluarkan kilat cahaya dari ponselnya, menyorotkannya ke wajah terkejut Bi, dan berkata dengan lega, "Jadi, akhirnya muncul juga hantu penjaga ruang seni?"

Ketika listrik perlahan kembali, ruangan itu disinari kembali. Di tengah gemerlap cahaya, Bi dan Tan berdiri di antara koleksi lukisan yang sekarang terungkap dengan jelas. Pertemuan tak terduga mereka menjadi kenangan yang terpahat dalam jiwa mereka, ditulis oleh alam dan pesona seni. Sejak saat itu, kehidupan mereka terjalin dalam tarian tak terduga antara ketidakpastian dan keajaiban, menyatukan kisah-kisah mereka dalam kanvas kehidupan yang tak terduga.

Setelah hari dia menyaksikan kehadiran misterius Tan masuk ke dalam ruangan itu, dan rasa penasaran pun menyala dalam hatinya. Seiring berlalunya waktu, Bi diam-diam mengawasi Tan, mencuri pandang pada kehangatan tersembunyi di balik wajahnya. Lalu, tak terduga, mereka bertemu di kantin sekolah ketika Tan tanpa sengaja menyenggol dan membuat minuman Bi tumpah saat dia tengah fokus menggambar. Teman-teman Tan pun mengoceh dengan sindiran, mengejek karya Bi yang mirip dengan Tan.

Rasa malu dan amarah terpancar dari wajah Bi, namun dia tetap tegar dan tak beranjak. Baginya, seni adalah lebih dari sekadar sekilas permukaan; melalui karya-karyanya, dia menangkap esensi manusia. Namun, Tan yang tersenyum dingin, menghampiri dengan tajam.

"Jadi, inikah kegemaranmu? Menggambar orang asing seperti seorang penguntit?" ucapnya dengan ejekan.

Bi, tak gentar, balas menantang, "Ini adalah seni, bukan penguntitan. Aku mencoba menangkap jiwa orang, bukan sekadar penampilannya. Beda dengan beberapa orang, aku melihat lebih dalam."

"Apakah benar?" sahut Tan, dengan sindiran seperti pedang yang memotong angin. "Baiklah, mari buktikan bakatmu. Gambarkan aku lagi besok, dan lihat apakah kamu bisa membuatku lebih dari sekadar karikatur."

Dengan perasaan yang berdebar, Bi menerima tantangan itu. Baginya, seni adalah sarana melawan kenyataan pahit dalam hidupnya, dan kali ini, dia akan membuktikan betapa jauh imajinasinya bisa membawanya.

Suatu siang, Bi mendapati dirinya sendirian di klub seni, menciptakan karya baru. Tenggelam dalam khayalan kreatifnya, dia tidak menyadari Tan yang diam-diam mengamatinya dari pintu masuk.