Seketika Mark mengerutkan alisnya yang tebal, ia membalikkan tubuhnya dan menatap Jolene dengan tatapan tidak mengerti, "Mengapa aku harus berubah pikiran ?",
"Yah, siapa tahu kau berubah pikiran sekarang, kau merasa kecewa setelah tahu ternyata kau keliru menilaiku, aku bukan gadis suci dan lugu seperti yang kau kira sejak awal ?...",
Mark terkekeh, "Tidak, aku tidak sekuno itu, ini bukan hal besar,.. jangan khawatir ini sama sekali tidak akan mempengaruhi perasaanku padamu~, em-m honestly.. menurutku keadaan begini justru lebih menarik.. bukankah demikian", jawab Mark tenang, ia lalu menatap Jolene lekat, ujung bibirnya sedikit naik keatas, tersenyum tipis misterius, seolah mengirim segala macam isyarat yang tak terkatakan, membuat bulu kuduk Jolene seketika meremang, Jolene tiba-tiba merasa gentar sendiri. tanpa disadarinya, Mark kini seolah telah membalikkan situasi dan menguasai permainan yang ia ciptakan.
Ayah dan Vina sedang menunggu kedatangan mereka disofa ruang keluarga, mereka tampak sedang berbicara dengan suara rendah, mereka langsung berhenti saat mendengar detak langkah sepatu hak tinggi Jolene semakin dekat, "Ahh.. Akhirnya kalian datang juga..", ucap Ayah dengan keramahan yang tampak dibuat-buat...
"Jolene sayangku, anak ayah ... kau terlihat sangat cantik sekali...Mark apakah kau bisa membuka botol sampanyenya ...?",Ayah langsung merentangkan kedua tangannya memeluk dan mencium pipi kanan dan kiri Jolene, menatap wajah puteri kesayangannya itu dengan bangga.
"Tentu saja...", jawab Mark riang, tatapannya tertuju kearah kedekatan harmonis ayah dan anak didepannya sana, Mark berjalan menuju kearah meja kecil di samping perapian dan mengangkat botol Bollinger dari timbunan es, dengan gerakan terlatih ia lalu menarik lepas segel dan langsung membuka tutup botol sampanye hingga terdengar suara letupan yang khas, Mark lalu menuang anggur berbuih itu kedalam empat gelas berkaki panjang itu dengan hati-hati.
"Vina....",
"Terima-kasih ", balas Vina canggung, ia menerima satu gelas sampanye pemberian Mark untuknya, senyum Vina terlihat cerah tapi tampak dipaksakan. kemudian setelah menyerahkan dua gelas yang lain untuk Jolene dan Ayahnya, Mark mengambil gelasnya sendiri dan menunggu Ayah Jolene untuk bersulang bersama,
"Untuk kelulusan Jolene... congratulations", seraya menirukan kata-kata Ayah, Vina dan Mark secara bersamaan mengangkat gelas mereka sebelum minum.
Suasana tiba-tiba menjadi hening dan canggung, tidak ada seorangpun yang berbicara, mereka seolah sedang fokus menyesap anggur mereka masing-masing.
Merasa awkward Jolene berusaha memecah suasana namun, saat ia baru akan berbicara, tiba-tiba Vina juga mengajaknya berbicara pada waktu yang bersamaan, dan seketika mereka juga berhenti secara bersamaan, membuat kacau niat yang semula ingin mereka sampaikan... sangat canggung..
Mereka berempat kemudian mengobrol dengan random, dan semuanya tampak merasa lega saat melihat kepala pelayan masuk untuk memberitahu jika mobil yang akan membawa Mark dan Jolene jalan-jalan telah siap dipintu depan.
"Baiklah..Selamat bersenang-senang..", ucap Ayah datar ia meletakkan gelasnya diatas meja lalu ikut berjalan keluar untuk mengantar kepergian mereka.
"Terima-kasih... akan kami lakukan...", jawab Mark sopan. ia membuka pintu mobil untuk Jolene bersikap layaknya gentlemen sejati, setelah itu ia membungkukkan punggungnya kearah ayah sebelum masuk kedalam mobil dan pergi.
Mereka tiba di restaurant Patisserie yang mewah dan tenang setengah jam kemudian, restaurants itu tampak dirancang dengan dekorasi yang menakjubkan, setiap meja ditempati oleh para tamu ekspatriat kaya dan kaum elite jakarta,
Namun meskipun sajian makanan yang mereka nikmati disana tergolong makanan lezat kelas satu, Jolene dan Mark tampak tidak sedikitpun fokus merasakan apa yang dimakannya, karena perasaan mereka kini sedang melambung tinggi, Mark tampak tidak melepas pandangannya dari wajah Jolene yang mempesona, mereka mengobrol ringan diiringi tawa riang keduanya,
Saat penyanyi melantunkan lagu romantis, Mark mengandeng tangan Jolene, mengajaknya berdansa bersama, Mark mengeratkan pegangan tangannya pada pinggang jolene, Jolene tersenyum bahagia, menyambutnya sepenuh hati, mereka lalu berdansa dan tampak tidak peduli lagi dengan tatapan orang-orang disekitarnya, seolah saat ini dunia hanya milik mereka berdua saja, mereka bagai dua sejoli yang saling dimabuk cinta,
Kalau pada saat awal kedatangannya tadi perasaan Jolene pada Mark masih ragu-ragu, tapi setelah mengobrol lebih dalam dan melewati semalam bersama Mark, membuat jolene merasa yakin sepenuhnya, ia mantap untuk memilih Mark menjadi kekasihnya, dan meskipun tanpa ucapan propose cinta secara terbuka, mereka berdua seolah telah sama-sama sepakat bahwa mereka kini adalah sepasang kekasih.
Didalam mobil yang membawa mereka pulang, Mark tampak menjaga jarak yang sopan dua jengkal darinya, sesekali ia tampak menolehkan kepalanya untuk tersenyum kepadanya, padahal dalam hati Jolene ia berharap lebih, Mark adalah seorang lelaki, ia ingin Mark yang mengambil inisiatif duluan memeluknya atau setidaknya mengenggam tangannya, lagian mereka kini telah menjadi sepasang kekasih, mereka juga sudah sama-sama dewasa, sangat wajar jika mereka membuat sedikit kontak fisik...
'Ahhh mungkin Mark merasa sungkan dengan driver, ...', batin Jolene, mencoba memahami sikap dingin Mark padanya,
Setelah sampai dirumah, Mark membuka pintu dan membimbing Jolene menaiki tangga, mereka lalu berhenti didepan kamar Jolene, dengan suara parau Jolene berkata, "Terima-kasih... ini betul-betul malam yang indah ", Mereka berdiri berhadapan dan saling bertatapan dengan lekat,
"Aku senang kau menikmatinya...",
"Tentu saja... kalau begitu Selamat malam...", balas Jolene samar, ia tahu kali ini Mark pasti akan memberinya ciuman Selamat malam padanya, seperti budaya di America pada umumnya, sekaligus itu mungkin akan menjadi ciuman pertama mereka setelah jadian, hmm....
Sambil memasang wajah mengundang, Jolene diam-diam menahan nafas menantikan, tapi alih-alih Mark menciumnya, Mark tiba-tiba mengambil tangan kanan Jolene dan mengangkatnya hingga kedepan bibirnya untuk dicium, "Selamat malam juga Jolene...", ucap Mark suram, sambil mengecup punggung tangannya dengan lembut,
Jolene tertegun, sambil menganggukkan kepalanya mereka berdua kemudian berpisah dan masuk kedalam kamar mereka masing-masing, Jolene akhirnya menyadari, sepertinya Mark memutuskan untuk menahan diri, menjaga tingkah lakunya selama masih tinggal dirumah ayahnya, seperti yang pernah ia katakan sebelumnya padanya bahwa ia sangat menghormati ayahnya, dan sekarang sepertinya ia sedang membuktikan ucapannya.
Sambil mencuci muka dan menggosok giginya, Jolene tampak tersenyum sendiri, memandang wajahnya sendiri pada cermin didepannya, ia terus memikirkan malam indah yang baru ia lalui bersama Mark tadi, ia akui, Mark benar-benar pria matang yang menawan, mereka seolah klop dan dapat masuk dalam segala aspek percakapan, mereka punya kedalaman pemikiran yang sepadan saat membahas tentang masalah pendidikan, pekerjaan yang digelutinya, masalah keuangan yang sedang ditanganinya atau ranah pergaulan mereka yang berbeda, Hal yang tidak pernah bisa ia diskusikan bersama Jay,....
Tidak dapat dipungkiri, selain karena ketampanan wajahnya, Jolene diam-diam mengaggumi sifat ambisius dan kecerdasan Mark, ia juga menyukai kepribadian terbuka dan terang-terangan yang ditunjukkannya, baginya Mark adalah cerminan pria mapan berkharisma yang berkelas.
Jolene sekarang menyadari, apa yang ia rasakan pada Jay selama ini tidaklah menggambarkan sebuah hubungan cinta, karena ia tidak merasakan ada api gairah disana, ia tidak merasakan ketertarikan seksual yang meledak-ledak seperti saat ia bersama dengan Mark, dan meskipun mereka baru saling mengenal, Jolene dapat memastikan bahwa ia tidak akan pernah menikah dengan Jay.
Jolene menarik nafasnya dalam-dalam, ia tahu, memberitahukan hal itu pada Jay dan ayahnya tentu akan sangat sulit. tetapi ini adalah hal yang ia harus lakukan secepat mungkin.
Keesokan paginya....
Jolene bangun terlambat,ia turun menuju ke ruang makan dengan terburu-buru, dilihatnya ayahnya baru selesai minum kopi,Ayahnya langsung mengalihkan pandangannya dari ponselnya dan bertanya dengan nada santai, "Bagaimana semalam.....",
"Yah...sangat senang ",
"Apakah kalian benar-benar mendapatkan meja disana ?",
"Iya. kami dijamu dengan baik disana.."
"Apakah makanannya enak ?",
"Lezat..."
Ayahnya melepaskan kaca matanya dan mengambil jas hitam yang tergantung dipunggung kursi, bersiap-siap untuk pergi.
Jolene mengambil nafasnya dengan panik, ia sadar, ia harus menyelesaikan urusan ini, sambil membulatkan tekad ia lalu berkata dengan cepat, "Ayah...maafkan aku.. tapi aku harus mengatakan ini padamu..."
Ayahnya langsung menegakkan kepalanya, saat ia menatap wajah Jolene, ia seolah dapat menangkap kegelisahan putrinya, pikirannya langsung menebak ke scenario terburuk, ia benar-benar tidak menyangka Mark berani menyentuh putrinya pada kencan pertama mereka.
"Tidak Ayah... ini tidak seperti yang ayah pikirkan. Mark bertindak sangat sopan padaku...", Jolene buru-buru menjelaskan, ia tidak ingin membuat ayah salah paham pada Mark, ia segera memperjelas situasi sebenarnya antara Mark dan dirinya.
seketika Jolene dapat mendengar helaan nafas lega ayahnya, "Ayah. aku baru menyadari bahwa aku tidak akan pernah bisa menikah dengan Jay !",
"Bukankah ini seperti mengaku kalah sebelum bertanding ?, Jay bahkan belum melamarmu ?"
"Aku tahu...tetapi tetap saja, aku tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut sampai Jay melamarku dan aku menolaknya...Ayah aku memang menyukai Jay, tetapi sekarang aku tahu, aku tidak mencintainya",
"Wait !....Jangan kau bilang kau ingin mengatakan padaku bahwa kau sekarang jatuh cinta pada Mark Lee, pria yang baru saja kukenalkan padamu sebulan yang lalu itu ?",
Jolene tampak tidak menjawab. dan ayahnya langsung mengerti. "Jangan bodoh nak... apa yang kau rasakan sekarang hanyalah euphoria sesaat.. itu bukan cinta yang sebenarnya nak~....", ujar ayahnya tenang, mencoba untuk menunjukkan wajah tidak khawatir,
"Ayah...apapun itu, tapi semua ini membuka mataku, perasaan yang kurasakan sekarang lebih kuat dari perasaan yang pernah kurasakan dengan Jay ",
Dengan marah Ayah berkata, "Ayah benar-benar menyesal. seandainya saja ayah tidak pernah mengundang anak itu kerumah ini, mungkin bencana ini tidak akan pernah terjadi !!",