Dua puluh menit berlalu, terasa seperti berabad-abad, dan akhirnya, aku berhasil memadamkan api sepenuhnya.
"Fiuh... Selesai juga," ucapku dengan napas tersengal. Sambil mengelap keringat yang membasahi wajah dan menatap langit yang kini bebas dari amukan api. Setiap hembusan angin yang menyentuh pipiku memberikan kesejukan, meredakan beban di hati.
Setelah memastikan tidak ada sisa bara api, aku terperanjat melihat mayat-mayat musuh yang tergeletak di tanah. Aku memutuskan untuk memeriksa pakaian mereka, dengan harapan menemukan barang berharga yang akan berguna di kemudian hari.
Aku menyadari bahwa tindakan mengambil barang pribadi dari orang yang telah gugur di medan perang jelas melanggar Konvensi Jenewa, yakni hukum perang yang berlaku di dunia sebelumnya. Sebenarnya aku tidak perduli dengan itu, toh ini adalah dunia lain. Selain itu, mereka bukanlah prajurit Kombatan, hanya sekumpulan bandit yang mungkin sering merampok barang milik orang lain. Hukum tersebut tidak berlaku untuk para bandit seperti mereka.
Sesuai dugaan, di antara pakaian mayat-mayat tersebut, aku menemukan beberapa barang menarik. Ada koin perunggu dan perak dengan ukiran wajah seseorang, serta beberapa perhiasan emas yang berhasil kudapatkan. Selebihnya, tidak ada yang spesial, kecuali senjata mereka. Aku juga mengambil salah satu pedang dari mayat-mayat tersebut untuk digunakan sebagai alat pemotong seperti parang.
"Lumayan buat motong kayu," gumam ku sambil mengangkat bilah pedang itu.
Dengan hati-hati, aku mulai mengumpulkan semua mayat itu ke satu tempat yang lebih tersembunyi. Meskipun merasa lelah mengangkat dan menyeret tubuh mereka satu per satu, aku melakukannya agar gadis harimau putih tidak melihat pemandangan mengerikan ini yang mungkin akan mempengaruhi kondisi mentalnya jika kami harus melewati jalur ini lagi.
Namun, selama aku sibuk dengan tugas itu, pikiran teralih pada pria pemanah yang tadi menghilang begitu saja. Rasa curiga muncul dalam diriku, dan membuat bertanya-tanya."Kemana dia pergi, ya?" Aku tidak menyangka bahwa dia memiliki kemampuan untuk menghilang seperti itu. "Apa dia bisa teleportasi? Atau mungkin dia cuma pake sihir invisible?"
Pertanyaan-pertanyaan ini mengisi pikiranku, mencari jawaban yang masuk akal. Jika dia memang mampu berteleportasi, pastinya dia tidak akan meninggalkan jejak apapun di tempat ini. Tetapi, jika dia menggunakan sihir yang tidak terlihat, hal tersebut bisa menjadi petunjuk bahwa dia tidak jauh dari sini.
Setelah menyadari bahwa pria pemanah tadi mungkin menggunakan sihir, aku kembali memeriksa tempat kejadian dengan lebih teliti. Benar saja, dugaanku terbukti. Di sepanjang jalan yang ia lalui, terdapat jejak tetesan darah yang ia tinggalkan. Jejak itu pasti akan mengarahkannya ke suatu tempat.
Namun, setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk tidak mengikutinya. Lebih baik aku kembali ke tenda dan memeriksa apakah gadis harimau itu baik-baik saja. Keselamatannya lebih penting saat ini.
***
POV 3
"Ah sial, darahku terus mengucur. Luka ini tampaknya cukup parah," desis Kael dengan suara yang gemetar. Ia berusaha berjalan meski tubuhnya terasa goyah, sambil menahan rasa sakit di bahu kirinya yang terluka.
Pada dini hari itu, Kael berhasil lolos dari serangan mendadak Yudha dengan sedikit keberuntungan. Ia memanfaatkan jubah ajaibnya untuk menghilang dari pandangan Yudha dan berhasil meloloskan diri dari tempat itu.
Sekarang, dengan segala upaya, dia berusaha menahan rasa sakit yang ditimbulkan oleh luka tembakan dari senapan yang digunakan oleh Yudha. Kael terus berjalan menyusuri jalur di tengah hutan belantara, hingga akhirnya tiba di lokasi di mana pertempuran antara Yudha dan tiga orang lainnya terjadi sebelumnya. Namun, karena hari masih gelap, ia tidak menyadari sesuatu yang membuatnya tersandung.
"Apa ini?" Kael berusaha keras untuk memfokuskan pandangannya pada sesuatu yang membuatnya tersandung. "Astaga!!! Ada mayat? Uh, baunya sudah mulai busuk. Tunggu, apakah dia??" Kael berusaha keras untuk melihat dengan jelas wajah mayat tersebut.
"Sudah kuduga, dia adalah anggota yang gugur- Ah!! Sial, aku harus segera kembali ke markas." Sambil merintih kesakitan dan tanpa memperdulikan mayat yang baru ditemukan, Kael melanjutkan langkahnya yang penuh tekad menuju markas.
***
Setelah berjalan cukup jauh, ketika fajar mulai menyingsing, ia akhirnya mencapai gerbang markas dengan tubuh tak berdaya dan kehilangan banyak darah akibat luka parah yang dialaminya. Saat sinar matahari pagi menerangi wajahnya yang pucat, ia sudah melampaui batasnya dan kehilangan kesadaran sebelum menginjakkan kakinya masuk ke markas. Beruntung baginya, beberapa penjaga yang melihatnya roboh langsung menolongnya dengan penuh perhatian.
***
POV Yudha
Pukul 07.35 pagi, aku kembali ke tempat berkemah dengan membawa seekor ayam hutan hijau sebagai hasil buruan. Meskipun tidak banyak, setidaknya ini bisa menjadi tambahan makanan untuk kami.
Aku meletakkan ayam di dekat tenda dan membersihkan daun dan rerumputan yang menutupi mulut tenda. Lalu, aku membuka resletingnya untuk memeriksa kondisi gadis harimau putih di dalamnya. Ketika tenda terbuka sepenuhnya, aku melihat gadis itu sedang duduk manis. Terbungkus selimut, dan memperhatikan ku dengan raut wajah polosnya.
Dia tersenyum, dan aku pun membalasnya dengan senyuman pula. Meskipun tidak bisa saling berbicara, kami menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Aku mencoba menjelaskan kepadanya bahwa tadi hanya pergi sebentar.
"Aku... Tadi... Pergi... Sebentar..." kataku sambil menggunakan bahasa isyarat.
Gadis itu mengangguk dengan penuh pengertian. Walaupun mungkin tidak memahami sepenuhnya, setidaknya dia bisa tahu bahwa aku pergi hanya sebentar dan kembali dengan selamat. Memang sulit berkomunikasi dengan seseorang yang tidak mengerti bahasa kita, tetapi setidaknya gadis kecil itu paling tidak bisa memahami sedikit bahasa isyarat yang aku gunakan. Aku ingin memastikan bahwa dia merasa aman dan nyaman.
Aku memutuskan untuk melepaskan senapan yang dari lengan, termasuk magazine pelurunya. Aku tidak ingin memunculkan rasa ketakutan atau kekhawatiran di dalam diri gadis itu. Fokusku sekarang adalah menjaga kesejahteraan dan keselamatannya.
Aku melihat gadis kecil itu bangkit dari tempat tidurnya dan keluar dari tenda. Dia terlihat menikmati udara segar pagi sambil meregangkan tubuhnya. Gadis itu kemudian berjalan menuju bibir sungai dan mencuci wajahnya dengan air. Aku melihatnya berusaha melepas pakaian dengan sedikit mengangkat rok gaunnya. Namun dia menyadari kehadiranku, saat menoleh kepada ku gadis itu dengan malu-malu menurunkan kembali gaunnya.
"Ah, Maaf, maaf aku gak maksud. Ahahaha, oke-oke kamu mandi aja!" dengan perasaan gundah, aku berhenti mengawasinya. Dari gerak tubuhnya, tampaknya dia ingin mandi di pagi ini. Sementara dia mandi aku melanjutkan memasak hidangan pagi.
Setelah mandi selesai, gadis kecil itu kembali ke tenda dengan gaun usang yang masih ia kenakan. Sambil menunggu daging buruan matang, aku mengambil kaos salinan loreng dalam tas dan melemparkan itu kepadanya, seraya berkata, "Pakai ini!"
Gadis itu terlihat bingung saat menerima kaos yang ku lemparkan. Dengan tatapan penuh pertimbangan, dia akhirnya memutuskan untuk mengenakannya. Dia melapisi kaos dengan gaun usangnya, dan aku sadar bahwa tidak ada celana yang cocok untuknya.
Oleh karena itu, aku membiarkannya menggunakan gaun itu sebagai lapisan tambahan untuk menutupi bagian bawahnya. Meskipun kaos itu agak besar baginya, tetapi itu adalah pilihan terbaik yang bisa ku berikan, agar meminimalisir sengatan sinar matahari.
"Kayaknya kamu udah sehat ya? Oke, habis ini kita bakal berkemas terus pergi dari sini, mengerti!" kataku sambil memandangi gadis kecil itu.
Gadis itu menunjukkan ekspresi bingung saat aku menjelaskannya. Setelah sarapan, kami dengan cepat mulai mengemas barang dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Aku sebenarnya ingin mengetahui asal usul gadis ini. Tapi sepertinya akan sangat sulit karena faktor komunikasi. Sebaiknya untuk sementara, aku akan membawanya pergi ketempat yang lebih aman. Baru disaat itu aku akan mencari tahu tentang dirinya. Mengevakuasi adalah prioritas utama sekarang.
Kami mengarah ke hulu sungai, yang terdapat air terjun kecil di depan bukit batu. Aku memilih tempat itu sebagai tujuan karena jaraknya lebih aman dari kejaran orang-orang itu. Kemungkinannya lebih kecil bagi mereka untuk menemukan kami di sana. Selain itu, aku berharap bahwa di seberang bukit ada sebuah perkampungan, yang bisa menjadi jalan keluar dari hutan ini.
Hari semakin siang, dan sinar matahari yang terik menyinari melalui celah-celah dedaunan pohon dengan keindahan yang memukau. Kicauan burung dan suara gemericik air sungai menjadi irama yang harmonis yang menemani perjalanan kami. Suasana ini memberikan ketenangan bagi jiwa dan membuat tubuh kami rileks.
Tidak lama kemudian, kami mencapai bukit batu itu dan mendaki ke atasnya. Medannya tidak terlalu sulit, sehingga kami dapat dengan mudah menaklukkan setiap langkahnya. Kami berjalan dengan irama yang selaras dan sejalan, saling memberikan dukungan dan kekuatan satu sama lain.
Sampai di puncak bukit, kami berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan yang menakjubkan di sekeliling. Aroma alam yang segar dan sejuk mengisi udara, sementara burung-burung terbang lepas dengan indahnya. Aku menjulurkan tangan dan memberikan botol air pada gadis kecil itu. Dia mengambilnya dengan senyum penuh terima kasih. Dari puncak bukit tinggi ini, kami memandang ke arah cakrawala yang tidak terbatas.
Pemandangan yang luas dan menghanyutkan, menggambarkan keindahan alam yang silih berganti. Dalam harmoni tercipta di antara kami merasa begitu dekat dengan alam dan menyatu dengan aliran semesta yang indah ini.
"Semoga aja ada peradaban di bawah sana," kata ku sambil meneropong area sekitar.
Saat melihat ke sekitar dari puncak bukit itu, pandanganku terhenti pada pemandangan yang seakan menghempaskan ekspektasi. Tak satu pun pemukiman terlihat, bahkan teropong sekalipun tak mampu mengungkap keberadaan satu pun bangunan. Hanya pepohonan dan semak-semak yang menghiasi panorama dari ketinggian ini.
"Astaga, gak ada satu bangunan pun. Wah... Bentar apaan tuh?"
Tiba-tiba, pandanganku tertuju pada kejadian tak terduga. Dari arah jam 2, sebuah rombongan wagon kuda terperangkap di sana, berhenti di tengah sebuah jalan. Hatiku berdegup kencang oleh pikiran-pikiran gelisah. Penasaran, aku mencoba membidik mereka dengan teropong. Benar saja, yang kupandang adalah hal yang mengerikan. Sejumlah orang terjebak dalam serbuan tak terelakkan oleh segerombolan bandit. Seakan terjadi pertarungan sengit di antara mereka.
"Wah gak bisa ini... Pelanggaran ini!!" gumam ku dari atas bukit.
***
POV 3
Dari sudut yang berbeda sebelum Yudha mendaki bukit itu. Tampaklah dua rombongan wagon kuda megah yang dijaga ketat oleh sekumpulan prajurit. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan pulang dari kerajaan Sivieth menuju kota terdekat di wilayah kerajaan Elceria untuk melakukan persinggahan.
Tidak dapat dipungkiri, wagon itu membawa seorang delegasi penting bersama dengan sejumlah harta berharga di wagon kedua, pemberian kerajaan Sivieth sebagai simbol perdamaian untuk misi diplomasi antara kedua negara. Pada misi diplomat yang penuh tantangan ini, terdapat lima prajurit Knight dan dua pendekar bayaran dari Kekaisaran Mong yang mengawal misi ini. Diketahui bahwa sepasang pendekar itu adalah petualang tingkat tinggi dari salah satu guild terkemuka di Kerajaan Elceria.
Dalam perjalanan mereka melintasi jalan di hutan Fluoran, kedua pendekar itu merasakan adanya kehadiran yang mencurigakan. Hawa nafsu membunuh sangat tebal melingkupi area di sekitar mereka, membuat bulu kuduk merinding. Dengan insting tajam sebagai pendekar kelas atas, mereka mampu mendeteksi ancaman di area sekitar yang dilalui.
Mereka merasa bahwa ada bahaya yang mengintai dalam kegelapan hutan. Setiap gerakan daun yang jatuh atau hembusan angin yang berdesing memancing kecurigaan. Mereka merasakan hadirnya beberapa sosok yang bersembunyi diantara pepohonan, mengintai dengan penuh niat jahat.
Para pendekar itu mengendarai kuda dan mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman. Mereka menggenggam erat senjata masing-masing, siap untuk mengeluarkan keahlian yang paling mematikan.