Chapter 61 - Pertemuan sahabat

Sesampainya disana, Astela langsung berjalan untuk mencari Lucia dan Liza yang sudah menunggunya di halte kereta, di susul dengan beberapa orang 'Berbagai ras manusia' yang juga sudah datang sama sepertinya.

Astela berlari ke arah depan, terlihat banyak orang di sekitarnya.

"Mudah-mudahan aku bisa tepat waktu, sepertinya mereka ada di depan sana."

Semua orang di tempat itu telah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Astela sebelumnya, 'berteleportasi' dari gelembung dunia Messorovia dari setiap 'Timeline' alam semesta yang berbeda untuk datang ke pesawat luar angkasa dan melakukan perjalanan ruang waktu sesuai keinginan mereka ke berbagai dunia yang ada di dalam gelembung kristal alam semesta Genezis XEnigma.

Meski begitu, ukuran pesawat luar angkasa yang mampu menampung stasiun kereta dan para makhluk dari berbagai penjuru alam semesta tersebut bukanlah sebuah ruangan kecil biasa, melainkan sebuah pesawat seukuran planet yang memuat berbagai macam benda, teknologi masa depan, bangunan, tempat tinggal dan tidak hanya diisi dengan peralatan transportasi stasiun kereta saja.

Ini adalah perhentian kereta multidimensi yang berisi tiga jalur perjalanan awal dan akhir yang terletak di dalam pesawat luar angkasa, serta berada di luar dari gelembung alam semesta Messorovia.

—Azentycal Azure Express—

Tempat dimana setiap orang dari seluruh linimasa lapisan alam semesta Messorovia berada disana untuk melakukan aktivitas perjalanan ke masa depan, masa kini, dan masa lalu.

Sebuah pesawat luar angkasa yang diciptakan untuk melakukan perjalanan melalui ruang dan waktu multidimensi yang telah terhubung ke setiap sumbu alam semesta dari 10 gelembung alam semesta Ascendant Creator menggunakan kereta dari perusahaan Azentycal Azure Express.

Bahkan dari setiap lapisan tak terbatas yang berisi 'Timeline' tak terbatas di dalamnya dapat dicari dengan mudah hanya dengan menggunakan kereta (Himmel) yang dapat melakukan perjalanan ke mana saja hanya dengan memasuki kereta tersebut dengan kode tujuan yang benar.

.

.

Astela melihatnya jauh dari arah depan, mereka menggunakan seragam putih yang sama dengannya.

Bahkan keduanya terlihat sibuk masing-masing, seorang wanita jangkung dengan rambut pendek berwarna pink bersinar sedang menatap serius ke arah gadgetnya—Lucia Salvion.

Sementara itu, di sebelahnya, seorang gadis mungil berambut putih dengan ujung kebiruan terlihat santai memakan pisang sambil melamunkan sesuatu—Liza Frostvin.

Banyak siswa lain yang berkumpul di sana untuk menaiki kereta Himmel seperti mereka.

Astela berseru seraya melambaikan sebelah tangannya ke arah Lucia dan Liza.

"Liza ... Lucia-san!!"

Mereka yang mendengar hal itu langsung menoleh ke arah Astela, tepat berada jauh di sebelah kanan.

"Uh?"

"Ohh, itu dia orangnya ... Mengunyah. Tetapi .... " Berpikir sejenak. "Kenapa penampilan dia terlihat agak sedikit berbeda dari pertama kali kita bertemu? Apakah dia punya kepribadian lain?" Liza bertanya sambil terus mengunyah pisang kesukaannya dengan perlahan.

Astela terus berjalan ke arah mereka dengan wajah ceria yang bersinar manis.

Membuat Lucia sedikit berpikir tentang dirinya.

"Hmmmmm ... Mungkin dia memang memilikinya. Dan jika tidak, itu juga tidak akan menjadi masalah bagi kita, 'kan?" Menoleh ke arah Liza.

Merasa biasa bahwa itu semua sama saja dan tidak akan memunculkan sebuah masalah.

"Mungkin dia memang seperti itu ketika memasuki sekolah."

Lucia memegang dagunya, berpikir sejenak. "Begitukah ... Aku baru pertama kali melihat ada wanita seperti ini di sekolah kita."

"Ya. Dia benar-benar berbeda saat pertama kali kita bertemu pada malam itu."

"Mungkin pendapatmu ada benarnya juga. Terlebih lagi dia ...."

Lucia tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah kedua mata mereka menatap heran ke arah Astela yang terus melambaikan tangannya dengan wajah yang berseri-seri sambil terus meneriakkan nama mereka.

Di tambah dengan orang-orang yang langsung memandang Astela dengan wajah terpesona saat melihat kecantikannya yang terlihat begitu natural.

"Lucia-san! Liza-chan! Tunggu aku!!"

Gumam Lucia. "Sepertinya semangat dia melebihi kita berdua."

"Heemmm ... Apakah memiliki teman baru akan merasakan kesenangan seperti itu?"

"Pastinya. Tidak, tunggu," tambah Lucia merasa aneh terhadap Liza karena curiga kalau dia tidak pernah merasakannya. "Jangan bilang kau tidak pernah merasakannya saat pertama kali kita berkenalan?"

"Uhh ...? Yang mana? Aku tidak tahu itu." Liza berpikir sejenak seraya menyimpan satu jari telunjuk di bibirnya.

Lucia menyesal karena menanyakan hal itu, mengarahkan sebelah telapak tangannya ke arah Liza. ".... Stop ... Lupakan saja."

"Baiklah. Tidak penting."

".... Kau benar-benar selalu bisa membuatku kesal ...."

"Aku sedikit bingung, kenapa semua orang melihatnya seperti itu?" Tanya Liza.

"Entahlah ... Aku tidak terlalu mengerti dan tidak tahu kenapa semua orang memandangnya dengan wajah seperti itu. Mungkin itu karena kecantikan natural yang dimilikinya?"

"Bisa jadi. Kalau itu benar, aku tak menyangka akan memiliki teman sepertinya."

Menghela nafas.".... Haahhhh ... Soal "kecantikan", ya? Perasaanku sedikit tidak enak kalau dia bisa melakukannya. Dan jika itu terjadi, sepertinya poin popularitasku akan turun lagi setelah melihat kecantikannya yang seperti itu saat di sekolah nanti."

Lucia malah merasa gelisah, bertanya-tanya mengapa Astela bisa menarik perhatian orang lain dengan begitu mudahnya.

Bahkan Lucia sendiri tidak bisa melakukan hal itu tanpa poin popularitas yang bisa melakukannya "memiliki peringkat".

Liza bergumam, seolah-olah mengejeknya dengan berani. "Apa? Bahkan poin popularitasmu saja berada 5 tingkat di bawahku. Kau harus lebih berusaha lagi, Lucia."

Melirik. "Ohh, sekarang kau malah berani untuk membahasnya lagi, ya?"

"Memangnya kenapa? Itu terserah aku, kan? Untuk menentukan kapan aku mau mengatakannya."

"Sighhh ...."

"Akhirnya wajahmu terlihat kesal lagi."

"Berisik! Kau tidak berhak membahasnya di tempat seperti ini. Aku pasti akan menyusulmu nanti, sistem popularitas memang merepotkan." Akhir kalimat dengan wajah yang cemberut.

"Kapan? Bahkan poin popularitas kita berbeda 3000."

"Bisakah kau tidak membahasnya disini?!!"

"Kau benar juga, mungkin semua orang akan melihatmu dikalahkan oleh bocah lugu sepertiku yang bisa mengalahkan poin popularitasmu hanya dengan kecantikan mataku."

Lucia menarik nafas panjang dan mengeluarkannya dengan sebuah paksaan kesal karena tidak ingin melanjutkan keributan yang tidak perlu.

".... Haahhhhh ... Sudahlah, sudahlah ... Melawan bocil sepertimu memang merepotkan ... Yang kita inginkan sekarang bukanlah itu, tapi dia yang akhirnya datang dengan cepat, ku pikir kita akan terlambat. Ternyata tidak."

"Benar. Bahkan mata manusia pun langsung tertarik saat dia berjalan seperti itu ... Sepertinya dia benar-benar bisa mengalahkan poin popularitasmu dengan mudah."

Liza terus mengejeknya dengan wajah datar padahal dia sendiri tidak pernah sadar kalau itu adalah ejekan yang akan membuat Lucia benar-benar marah.

"Hei, mau sampai kapan kau akan membual tentang popularitasmu di hadapanku?!" Lucia menyipitkan matanya, kedua bola matanya melirik tajam ke arah Liza dengan serius.

Liza menelannya, menjawab dengan santai. ".... Entahlah. Kalau kau penasaran ingin mengetahui poin peringkat popularitasnya, kau bisa bertanya langsung pada orangnya saja, kan?"

"Hmmmmm ... Itu benar sih." Sadar, lalu berpikir sejenak. "Tapi, apakah dia tidak keberatan jika aku bertanya seperti itu padanya?"

"Ya. Meski kau bisa berharap lebih, kau bahkan tidak akan pernah bisa menang melawanku." Jawab Liza penuh kata percaya diri.

Alih-alih menghentikan suasana keributan dan berusaha mengalah, Liza malah terus membuatnya merasa kesal yang akhirnya membuat Lucia merasa tertantang dengan setiap kata-kata ledekan yang diucapkannya.

Lucia mendengus. "Hmmmph! Oi, Oi, mana mungkin loli sepertimu bisa disukai oleh lelaki tampan di sekolah. Tidak mungkin mereka bisa menyukai loli yang memiliki tubuh kecil dan datar sepertimu, Liza-chan."

Jawab Lucia membalas ejekannya sambil tersenyum seolah tidak akan pernah ada pria yang menyukainya.

Bahkan Lucia sendiri merasa yakin bisa mendapatkan para lelaki karena memiliki bentuk tubuh sempurna bagi pria mana pun yang pasti menginginkannya.

Tambahnya menasihati Liza sambil memamerkan lekukan tubuhnya. "Pikirkan baik-baik ... Tidak mungkin, dan tidak akan pernah terjadi bahwa kau bisa mendapatkan pria tampan selain tubuh memesona seperti milikku ini! Perhatikan ...."

Tiba-tiba orang-orang di luar gerbong kereta memandangnya sementara, meski hanya sesaat lalu pergi kembali.

"Dan lihatlah ... Betapa indahnya lekukan tubuh yang berisi, kulit lembut dan warna rambut yang memesona seperti ini." Menampilkan keindahan tubuhnya pada Liza—bagian dada yang sedikit bergoyang.

"Kau pasti tidak memilikinya bukan?"

Liza hanya bisa memandangnya bingung dengan mulut yang terbuka, "sesuatu yang bergoyang" kemudian melihat dirinya sendiri sambil menepuk-nepukkan telapak tangannya di depan dadanya.

"Tetek kecil? Datar? Aku tidak punya. Aku iri, mungkin kalau aku besar nanti aku bisa mengalahkanmu dengan mudah, Lucia."

Lucia terkekeh senang. "Ahhahhahaha ... Saat "besar" nanti? Yang benar saja, bahkan asetmu terlalu kecil sehingga tidak ada yang mau melihatnya sama sekali. Sekarang akulah pemenangnya!"

Lucia memegang pinggulnya dengan penuh percaya diri, merasa bangga dan berharap bisa menjadi pemenang hati para pria dengan tubuh sempurnanya.

Tak lama kemudian, Astela muncul dan menyapa mereka berdua.

"Selamat pagi!" seru Astela.

"Selamat pagi juga!" Jawab Liza sambil tersenyum tipis.

"Akhirnya sang ratu telah datang." Lucia menambahkan, memujinya sambil tersenyum.

"Eh? Apa maksudmu?" Mata Astela melebar karena terkejut.

Ratu? Bahkan ia sendiri tidak pernah "merasa" dan "tahu" bahwa ia memiliki hal itu ketika ia berjalan di tengah kerumunan orang yang melihatnya.

Lucia mengabaikannya dan berbisik pada Liza. "Sepertinya dia pura-pura tidak tahu, padahal dia sendiri sudah pasti bisa merasakannya."

"Ohh, ohh ... Aku mengerti."

"Kalian berdua ...?"

"Sepertinya dia akan marah, bagaimana kalau kita membuatnya lebih marah lagi?"

"Ide yang bagus."

Liza menggangguk dengan wajahnya yang terlihat polos dan datar.

Astela yang merasa curiga dirinya sedang dibicarakan oleh mereka berdua, tiba-tiba merasa kesal, wajahnya cemberut dengan pipi yang membulat merah.

"Hemmmm, apa yang sedang kalian bicarakan?! Cepat katakan!"

"Gawat, gawat ... Tidak usah cemberut seperti itu, wajahmu terlalu manis untuk di pandang para lelaki lho, Astela-san."

"Huh? Ke-kenapa kau bisa mengatakannya seperti itu? I-Itu ... Mana mungkin ...." Astela tergagap malu sambil melirik ke kanan dan kiri dengan pipi yang memerah apel.

Astela melihat para pria berseragam sekolah tampak takjub ke arahnya, tatapan mereka seolah sedang menatap bidadari berambut panjang berwarna merah menawan yang kilaunya mampu menembus hati para pria yang menginginkannya.

Setelah mereka semua menyadari bahwa Astela sedang melihat ke arah mereka, para lelaki itu langsung membuang muka secara bersamaan karena merasa malu saat Astela menoleh ke arah mereka.

Astela menundukkan kepalanya, berbicara di dalam dirinya sendiri dengan nada yang terlihat sedih?

Kenapa? Aku bahkan tidak akan pernah percaya ....

Seketika Lucia segera menghampiri Astela dan merangkul pundaknya, seolah tidak terjadi apa-apa. Lucia tersenyum.

"Dugaanku benar, kan? Jadi jangan khawatir, kami tidak membicarakan hal jelek tentang dirimu kok. Bahkan itu tidak terlalu penting untuk dibicarakan."

"Bohong. Pasti kalian menyembunyikan sesuatu dariku, kan? Wajah kalian seperti sedang mempermainkan sesuatu."

"Tidak, ini aku serius. Itu sama sekali tidak benar, kan? Liza-chan." Menoleh ke arah Liza, memejamkan mata seraya sedikit memiringkan kepalanya dengan sebuah senyuman— Memberikan sebuah kode.

Astela bergumam, mengangkat kepalanya, lalu sedikit mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Kalian berdua aneh, sebenarnya ada apa dengan kalian sih?"

"Tidak ada yang "aneh" kok."

".... Padahal dari tadi aku melihatnya dari jauh," tambahnya. "Dan sepertinya kalian memang sedang membicarakan sesuatu."

Lalu Liza menjawab sambil menatap mereka berdua dengan nada yang sangat jujur. Ia bahkan menunjukkan senyuman manis yang jarang sekali diperlihatkan kepada orang lain.

"Astela-san."

"Uh, apa?"

"Kamu memiliki tetek yang sangat ideal dengan ukuran yang pas, tapi jauh berbeda dibandingkan dirinya yang memiliki tetek besar namun hasil buatan."

Alih-alih mengerti, Liza malah membuatnya kesal kembali.

"Tetek "hasil buatan"?"

"Iya."

Tersadar karena terkejut, mengedipkan mata berkali-kali. "Ehh ...? Tunggu, tunggu ... Jadi yang kalian sedang bicarakan dari tadi ....?"

"Ahh—"

Lucia menyela dengan jengkel. "Dasar loli brengsek!!"

Lain halnya dengan Lucia, keningnya berkedut jengkel setelah mendengar kalau tetek miliknya adalah 'hasil buatan'.

"Kau bilang "hasil buatan"?! Sepertinya aku harus segera membuang mulutmu ke dalam jurang neraka agar kau mengerti arti kecantikan tubuh alami!"

"Tapi itulah faktanya!"

"Apanya yang "fakta"?!"

"Menurutmu memiliki aset harus dilihat dari hal itu saja? Itu hanya bonus dibandingkan aset lain yang mempunyai sebuah nilai mahal yang sangat berharga untuk dipertahankan."

"Kalian berdua tenanglah. Kenapa jadi ribut-ribut seperti ini?"

"Kenapa gaya bicaramu tiba-tiba berubah seperti itu?! Bermimpi menjadi ahli nasehat ya?!" Seketika Lucia mendekati wajahnya dan menatap Liza dengan serius.

"Tidak. Seharusnya itu kau bukan?"

"Apa?!!"

Kedua tatapan mereka saling bertemu.

Tambah Lucia, menyipitkan matanya. "Aneh ... Kau nampaknya bangga memiliki aset sekecil itu."

Liza tersenyum manis seraya memejamkan matanya.

Lalu ....

"Dari pada lendir Slime buatan sepertimu."

.

.

**********