* * * * *
'Damian, perlu kau ketahui. Aku tidak peduli dengan posisi kepala keluarga. Terserah kau mau melakukan apa selama kau tidak mengusikku. Aku akan mencoba menjadi kakak yang baik sebisaku walaupun mungkin itu agak sulit. Tapi, aku tidak mengharapkan ekspektasimu yang berlebihan terhadapku, karena kau hanya orang luar.'
"Kakak yang baik? Huh! HAHAHA..lucu sekali... Kau bahkan menghindariku selama satu minggu ini!."
Damian mengeraskan rahangnya sambil menatap dari jendela ke arah kursi taman tepat di mana Marianne biasa menghabiskan waktunya. Tidak ada dirinya. Hanya kursi taman yang kosong.
Semenjak pertemuan kedua mereka, tidak ada interaksi lebih lanjut antara keduanya kecuali saat berada di ruang makan. Ya, Damian akhirnya tahu bahwa wanita yang ditemuinya di pasar adalah Marianne. Namun, beberapa hari ini dia menjauh. Seolah-olah Marianne mencoba untuk menghindarinya secara terbuka.
Sebenarnya tidak ada hal khusus yang perlu Damian khawatirkan, namun entah kenapa dia tidak suka jika Marianne melakukan ini.
Di satu sisi masa Relix kian meningkat dan Duke Hugo semakin mudah dikendalikan. Tapi, mengingat Marianne yang begitu santai mengatakan akan melepaskan posisi kepala keluarga dan seakan menyerah dengan semuanya membuat Damian meradang. Ia membencinya.
Damian tahu jika Marianne sangat menyayangi ayahnya, begitu juga dengan Duke Hugo. Ia mengetahui segala informasi terkait keluarga ini dari Banjak, kepala pelayan kediaman Hugo setelah seminggu ia melakukan upaya untuk menumbuhkan reputasi sebagai 'tuan yang baik'. Sungguh, Damian sendiri sangat jijik dengan tindakannya saat ini. Berpura-pura ramah dan tersenyum kepada semua orang. Dibandingkan dengan apa yang ia lakukan saat ini, sifat aslinya lebih berkebalikan dari itu semua. Ingin rasanya ia langsung menebas leher mereka yang terlalu banyak bicara. Tapi, dia harus menahannya untuk saat ini. Setidaknya sampai Duke Hugo hancur.
Damian masih memandangi bangku taman itu. Tujuannya hari ini adalah ke perpustakaan keluarga. Namun, saat berjalan di lorong, matanya teralihkan pada taman timur hingga ia pun berhenti sejenak.
TAP
TAP
TAP
Damian mendengar langkah menuju ke arahnya. Ia pun menoleh ke kanan dan mendapati Marianne yang juga menatapnya.
Ia berjalan ke arah Marianne. Marianne yang melihat itu pun terpaksa menghentikan langkahnya. Damian tahu tujuan Marianne kemari bukan untuk dirinya. Ia juga tahu jika Marianne pasti akan kembali ke kamarnya. Tapi ia tidak peduli. Seminggu sudah cukup.
"Kakak"
Damian memanggilnya dengan menatap matanya sambil tersenyum. Damian ingin melihat reaksinya saat ini. Apakah ia akan berjalan lagi dan mengacuhkannya atau-
"Bagimana kabarmu?"
Marianne tersenyum sambil menatapnya.
'Apa ini? Apa kau bercanda?'
Damian tidak menyangka akan reaksi yang diberikan oleh wanita yang mengaku sebagai 'kakaknya' ini. Namun, ia mencoba untuk tetap mengendalikan ekspresinya.
"Aku baik, kakak. Bagaimana denganmu? Selama beberapa hari ini aku tidak melihatmu."
"Maafkan aku, akhir-akhir ini aku sibuk."
Damian ingin mencoba menyangkal kalimat Marianne. Tapi ia urungkan.
'Sibuk? Sibuk menghindariku?'
Ia mencoba tetap tersenyum dan kembali bertanya.
"Kakak, apa kau lusa ada waktu?"
"Hm? Lusa?"
"Iya, lusa. Aku ingin mengajak 'kakakku yang baik' untuk minum teh bersama di taman"
Damian sengaja menekan citra 'kakak yang baik' untuk Marianne. Dengan begitu ia yakin, dia tidak akan bisa menolaknya.
"Hmm..Damian, aku tidak berniat untuk menolak ajakanmu. Tapi, lusa pagi aku diundang ke kediaman Lady Hariet. Maafkan aku."
Marianne mengucapkannya sambil menatap Damian sendu. Damian yang melihat itu pun bertanya lagi.
"Apakah sungguh tidak bisa? Bagaimana jika sore di taman timur?"
"Sepertinya lusa sore aku tidak ada jadwal. Baiklah..aku akan minum teh bersamamu di waktu itu." ucap Marianne sambil tersenyum.
"Tentu kakak. Aku akan menantikannya."
Damian menatap Marianne dan membalas senyumannya. Ada sedikit perasaan aneh di hatinya. Lega? Senang? Entahlah Damian tidak tahu itu. Ia terus memandangi Marianne dan masih tersenyum sampai Marianne menghilang dari pandangannya.
* * * * *
Hari ini adalah waktu yang ditentukan untuk Damian dan Marianne menghabiskan waktu minum teh bersama.
Aneka cemilan dan teh narcissus vintage tertata di meja. Bunga-bunga sengaja ia tambahkan ke beberapa pot. Namun, sebelum memasuki taman di atas pintu masuk taman terdapat bunga petrea volubilis yang merumbai ke bawah dan menciptakan kesan yang manis bagi siapa saja yang melihatnya.
Sebelum melakukan itu, Damian memang sempat bertanya pada para pelayan di kediaman ini. Tentang bagaimana menjalankan tea time serta apa yang Marianne suka dan tidak suka saat tea time. Dari semua pertanyaan yang ia ajukan, satu hal yang pasti dapat Damian simpulkan dari Marianne bahwa ia tidak suka keramaian, dan Damian menyukai itu.
Damian sengaja menunggu Marianne terlebih dahulu dan duduk di kursi taman. Sesungguhnya ia saat ini merasa gugup. Damian tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Itulah mengapa ia datang lebih awal untuk merilekskan kegugupannya.
30 menit berlalu
Damian menyesap tehnya terlebih dahulu. Sesekali ia melihat ke arah pintu masuk taman. Ia tidak percaya melakukan tea time bersama orang lain selain Max dan Lucius akan segugup ini. Tentu tea time dengan Max dan Lucius sangat berbeda. Bahkan tidak bisa disebut tea time. Di mana hanya mereka berdua yang minum teh sedangkan dirinya sibuk dengan kertas-kertas yang menjulang.
2 jam berlalu
Marianne masih belum menampakkan batang hidungnya. Damian yang melihat segala sesuatu yang telah disiapkannya menjadi murka. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal sampai memperlihatkan uratnya.
"Kau bodoh Damian. Untuk apa kau menunggu wanita itu!" katanya dengan tegas
'Dari awal memang apa yang kau harapkan dari hubungan ini?! Tidak ada gunanya! Buang-buang waktu saja! Sial!' batinnya
Damian bangkit dari kursi dengan cepat hingga membuat kursi tersebut jatuh ke belakang. Ia berbalik dan mencoba meninggalkan taman.
'Tidak ada waktu untuk bermain-main lagi! Cukup sudah!'
Namun, sebelum ia benar-benar pergi, seorang pelayan berlari dari kejauhan menuju ke arahnya.
"Hosh! Hosh! Hosh! Tuan..hosh! Saya tidak terlambat..hosh! kan?."
Pelayan tersebut berdiri di depan Damian dan menunduk. Ia mengucapkan kata demi kata dengan nafas yang tersengal-sengal.
Baru setelah pelayan itu dapat mengatur nafasnya. Ia memberikan sebuah surat kepada Damian.
"Ini. Nona Marianne menyampaikan kepada saya untuk memberikannya kepada Tuan Damian. Kata Nona, Nona akan menunggu Tuan Damian di perpustakaan."
Damian yang awalnya marah menjadi sedikit lega. Ia kira Marianne memang tidak ingin menemuinya. Tapi, ia tidak menduga bahwa Marianne akan mengutus pelayan pribadinya untuk mengantarkan surat kepada dirinya yang berada di taman timur yang mana jarak taman dengan perpustakaan cukup jauh.
Ia kemudian membaca isi surat tersebut.
[Hari ini terlalu dingin di luar. Angin berhembus terlalu kencang. Aku takut kita akan sakit jika berada di luar terlalu lama. Jadi, kuputuskan untuk mengganti tempatnya di perpustakaan. Kemarilah. Aku akan menunggumu.
Marianne]
Damian tanpa sadar tersenyum kecil melihat isi surat tersebut. Kemudian, pandangannya kembali beralih pada pelayan yang mengantar surat itu.
"Siapa namamu?"
"Nama saya? Saya Rahum, Tuan."
"Baiklah Rahum, sepertinya aku akan memberikanmu bonus lain kali."
Setelah mengatakan itu, Damian kemudian berbalik, berjalan ke arah perpustakaan.
Di pertengahan jalan, jauh dari jangkauan pelayan, ia memperlebar langkahnya dan setengah berlari.
Damian ingin segera bertemu dengannya.
Dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya saat ini. Yang jelas, Damian hanya ingin melihatnya segera.
Damian menggerakkan kakinya dengan cepat.
Tidak lama kemudian dia sampai di depan pintu perpustakaan. Ia masuk dan melangkahkan kakinya ke dalam.
Di samping pintu masuk Damian bertemu dengan penjaga perpustakaan.
"Di mana kakakku?" tanya Damian.
"Nona berada di sebelah rak kiri samping sofa yang dekat jendela, tuan."
Damian yang mendengarnya langsung menuju ke rak kiri tempat di mana Marianne berada.
Saat dirinya sampai, dia melihat Marianne yang tengah duduk di sofa dekat jendela sambil membaca buku di tangannya. Dengan cahaya matahari yang menyinari wajahnya hingga menciptakan kesan bak dewi.
Damian yang melihat itu kemudian berjalan ke arah Marianne. Namun, Marianne sepertinya tidak menyadari itu sampai salah satu tangannya diambil lalu terangkat dan mengelus pipi seseorang.
Untung saja tangan kirinya yang memegang buku itu dengan erat sehingga buku tersebut tidak terjatuh.
Marianne kemudian melihat siapa yang berani menyentuhnya, saat pandangannya turun ke bawah. Ia melihat Damian yang dibawahnya dengan menumpu salah satu kakinya. Tangan kiri Damian memegang tangan Marianne dan mengarahkannya untuk mengelus pipinya.
Damian menatap Marianne yang juga menatapnya. Ia sengaja menaruh tangan Marianne di pipinya untuk melihat reaksi dari wanita itu.
"Kakak."
"Kau sudah sampai? Kenapa aku tidak tahu?" tanya Marianne
"..."
Damian tidak menjawab tetapi justru semakin mengeratkan tangan Marianne yang berada di pipinya itu. Ia kemudian menatap Marianne sebentar dan mengecup telapak tangannya.
CUP
"Aku sengaja. Karena kurasa kakak sedang fokus pada buku itu."
Pandangan Marianne yang awalnya pada Damian lalu beralih pada bukunya. Diletakkannya buku itu di samping dengan posisi masih terbuka.
"Damian, kemarilah"
Marianne memperbaiki posisinya. Kakinya yang awalnya berada di sofa lalu diturunkan membiarkan Damian meletakkan kepalanya di pahanya dengan posisi masih di bawah. Tangan Damian beralih memeluk pinggang Marianne.
Marianne yang melihat itu awalnya terdiam, namun sedetik kemudian tangan kirinya terangkat dan mengelus surai perak milik Damian.
Damian menutup matanya, menikmati elusan yang diberikan Marianne.
"Apa kau tahu bunga Middlemist Red?"
Marianne membuka percakapan di tengah keheningan. Damian yang mendengar itu lalu menatap buku yang tadi Marianne buka dengan kepalanya yang tetap diletakkan dipangkuan Marianne.
"Eum. Bunga merah yang langka." kata Damian. Namun beberapa saat kemudian dia bertanya dengan masih melihat buku yang menampilkan gambar bunga itu.
"Kau menyukainya?."
Marianne menghentikan kegiatannya mengelus rambut Damian. Dia ikut menatap buku itu.
"Heum. Aku suka. Tapi tidak bisa kumiliki."
Damian melihat Marianne dari bawah. Ia menatap matanya dengan lekat.
"Kenapa?" Damian bertanya.
"Karena itu berharga?"
Bukannya menjawab, Marianne justru mengajukan pertanyaan kepada Damian.
"Aku hanya orang biasa. Rasanya tidak pantas menerima sesuatu yang luar biasa seperti itu." tambah Marianne.
Damian tersenyum. Dia melihat gambar bunga itu sekilas dan menatap Marianne kembali. Tangan kanan Damian terangkat menyelipkan rambut Marianne ke belakang telinganya. Ia kemudian memegang pipi Marianne.
"Jika aku yang memberikannya, apa kau akan menerimanya?."
'Aku akan menunggumu, bahkan jika itu harus memakan waktu ribuan tahun. Tapi, bisakah aku egois? Aku mencintaimu. Izinkan aku untuk memelukmu walau sebentar saja sebelum kau pergi meninggalkanku lagi.'
Middlemist Red-