Dan ternyata pintu kamar dikunci Papa dari dalam.
"Tok tok tok tok tok"
"Papaa... Papa bangun papa... Papa bangun Pa"
Setengah teriak aku memanggil Papa sambil mengetuk pintu. Walau belum ada balasan, tapi aku berhenti membangunkan Papa. Karena walaupun tak disahut, biasanya Papa akan terbangun bila sudah mendengar suaraku membangunkannya.
Saat aku sedang membereskan buku dan peralatan sekolah dalam tas, tiba-tiba Papa memanggilku.
"Windaa...Windaaaa..."
"Iya Pa" Jawabku sambil bergegas cepat menemui Papa, yang berdiri di pintu kamarnya, hanya mengenakan boxer bertelanjang dada.
"Nanti tunggu Papa ya sayang...biar sekalian Papa yang antar kamu ke sekolah"
"Ok Papaa..."
Ucapku sambil menyodorkan kepalaku untuk dicium Papa.
"Mmuuach"
"Papa mandi dulu ya sayang"
Ucapnya sambil mengacak rambutku yang sudah ku tata rapi.
"Uumm Papa...rusak lagi kan rambut Winda"
Protes ku dengan sikap manja. Padahal bukan main bahagianya hati ini.
Saat itu, sungguh aku ingin sekali memeluk Papa, ingin sekali berlabuh di sandaran dadanya yang bidang...ada getaran rindu di kalbuku. Papa adalah pujaan hatiku...semangatku dan hidupku.
Aku menunggu Papa mandi didalam kamarnya, menyiapkan seluruh keperluan Papa...pakaian dalam, kemeja celana formalnya, kaos kaki, sepatu dan tidak lupa dasi dan jacket.
Merasa bangga dapat melakukan semua ini lagi untuk Papa. Perasaan nyaman dan sangat berartinya hidup ini bila selalu berada didekat Papa.
Hanya, aku masih tetap saja merasa cemburu... karena banyak sekali didalam kamar Papa pakaian si wanita jalang itu. Hampir 2 lemari yang berukuran besar, terisi penuh pakaiannya wanita itu.
Sebelum Papa keluar dari kamar mandi, aku meletakkan seluruh perlengkapan pakaian yang akan dikenakan Papa diatas kasurnya. Lalu aku segera keluar kamarnya dan duduk di ruang makan menunggu Papa untuk sarapan.
****************
Akhirnya, rumah pun dijual Papa pada sepasang suami istri, dan dalam seminggu itu masing-masing sibuk dengan pengurusan perpindahan ke rumah baru. Namun badai pertengkaran antara Papa dan Tante Shania mulai sering terjadi.
Tante Shania ingin rumah itu atas namanya, tapi Papa belum berani mengabulkan permintaannya. Alhasil Tante Shania jarang sekali ada di rumah.
"Apa mas pikir, aku hanya untuk pemuas nafsu mas saja setiap hari...aku gak akan mau tidur di rumah ini...sebelum rumah ini mas hadiahkan atas namaku..."
"Apa gunanya beli rumah baru, apa gunanya aku punya suami bila tidak bisa menghadiahkan aku sebuah rumah.."
Serang wanita picik itu ke Papa, memulai pertengkaran dirumah baru kami pada malam hari.
"Ini rumah kita... rumahmu juga...apa bedanya? Sebagai istri, kamu punya hak yang sama atas rumah ini." Balas Papa pada istri mudanya
"Aku ingin hadiah sebuah rumah...bukan milik bersama, apa lagi Mas punya anak yang bukan anak kandungku...rumah ini akan jadi milik anakmu kelak, bukan milikku"
Kata wanita picik itu, yang terus menuntut Papa agar rumah ini menjadi miliknya.
Dan tiba-tiba dia pergi keluar sambil menangis ke arah garasi mobil... Papa mengejarnya dan terjadi keributan lagi didepan rumah... Papa meminta wanita picik itu agar jangan meninggalkan rumah. Tapi wanita picik itu malah pergi dengan mobilnya.
Dalam dua Minggu ini hampir setiap malam mereka bertengkar, persis seperti waktu Mama masih hidup dan tinggal bersama Papa.
Hanya bedanya, kalo dulu aku akan menangis dikamar mendengar Papa dan Mama bertengkar...namun sekarang ini, aku merasa senang dan lega melihat Papa bertengkar dengan wanita jahat itu.
Hampir setiap malam juga wanita jahat itu pergi meninggalkan rumah, dan entah mengapa Papa masih mengharapkan dan menyayanginya.
Hingga di suatu hari Papa menyerahkan kepemilikan rumah ini sepenuhnya ke tangan wanita picik itu...
Dan aku sudah tidak ambil peduli sama sekali dengan keputusan Papa. Karna kupikir, gak ada gunanya juga aku protes ataupun mencampuri. Jika Papa lebih memilih menuruti kemauan si wanita picik itu, yaa... sah-sah aja karena dia istrinya...
Namun ada satu hal yang aku tunggu-tunggu...jika pada akhirnya si wanita jalang ini akan meninggalkan Papa di suatu hari nanti, bila semua yang diharapkannya dari Papa telah dikuasainya. Dan aku berharap itu segera terkabul.
Aku sudah terlalu lelah untuk terus menerus merasa kecewa dan menangis...lebih baik aku mengalah dan bersabar menunggu, hingga tiba waktunya buatku untuk memiliki Papa, aku sangat memahami karakter Papa...dia sangat tak ingin ditentang...
Yang penting aku masih bersamanya...
****
Suatu malam...Aku berdiri dari luar pintu kamar Papa, saat itu dia sedang duduk dimeja kerjanya yang ada dalam kamar. Seperti termenung dan tatapannya kosong menatap laptop nya. Malam itu Tante Shania belum pulang, padahal sudah hampir pukul 10 malam. Sejak rumah ini sudah menjadi miliknya sepenuhnya... Tante Shania semakin jarang berada di rumah...Bahkan dia memberhentikan asisten rumah tangga di rumah. Dan hampir setiap hari, aku beli makan diluar rumah.
"Papaa...?"
Sebutku memecah lamunan Papa.
"Emmhh...sayang..."
balasnya dengan hanya melirikku sekilas lalu buru-buru memalingkan wajahnya.
Ternyata Papa sedang bersedih...
Matanya tak menangis tapi aura wajahnya menyiratkan kekecewaan...
Posisiku yang cuma sebagai kekasih yang tak dianggap...hanya bisa mencoba menghibur hati Papa.
"Emm... Pa...tiga hari lagi ultah Winda loh Pa, tepatnya hari Sabtu nanti. Papa mau kasih kado apa untuk Winda?"
Ucapku sambil kesempatan memegang bahu Papa yang masih duduk menatap laptop nya.
"Wah...Putri Papa sudah 18 tahun sekarang... terimakasih sudah ngingatkan Papa..."
Jawabnya sambil membalikkan badan hampir sepenuhnya ke arahku...
"Oh ya...kamu mau Papa belikan apa sayang...? Kebetulan besok pagi Papa harus berangkat ke Singapura, untuk promosi dari perusahaan Papa. Dan Sabtu sore Papa sudah pulang ke rumah"
"Ayo katakan ..kamu mau kado apa dari Papa...mobil, tiket liburan atau apa sayang?"
Tanya Papa tulus dan tanpa beban...tapi sepertinya aku jadi bingung mau minta apa...aku merasa bahwa aku adalah kekasih Papa... padahal Papa menganggap ku tidak lebih sebagai seorang putri semata wayangnya.