Chereads / Bahagia Itu Adalah Kita / Chapter 2 - II. Latihan Dan Kesedihan

Chapter 2 - II. Latihan Dan Kesedihan

Sejatinya, begitulah sikap dan sifat saya, jika kalian memandang sikap dan sifat saya buruk, saya dengan baik akan menerimanya. Saya tahu setiap manusia memiliki caranya masing masing dalam menyikapi sesuatu, terserah orang ingin mengatakan apa tentang saya, jika selagi sikap saya tidak merugikan orang lain, maka akan terus saya jalani, Begitulah saya rasa.

Jika ada kesalahan pada diri saya, ya itu wajar. Sebab saya juga hanya manusia biasa, yang tidak luput dari kesalahan.

Bahkan pada waktu itu, pada saat ayah awal merencanakan supaya saya berlatih bela diri, ibu tidak menyetujui. Ibu bilang nanti wajahku bengkak karena terlalu banyak terkena pukulan.

Sebenarnya alasan ibu masuk akal, sebab saya adalah seorang gadis, yang dimana seperti kalian ketahui, bahwa seorang gadis perempuan harus pandai menjaga penampilan terutama wajah. Ibu juga menuntut saya supaya tetap menjaga penampilan.

27 Oktober 2005, saya datang kembali ke Dojo(tempat berlatih karate), dalam pelatihan karate, saya telah sampai di sabuk cokelat. Letak Dojo tempat saya berlatih, berada di daerah Balaraja, jaraknya 1 kilometer dari rumah saya. Seperti biasa, saya datang dengan mengendarai RX-King kesayangan saya. Jadwal pelatihannya hari kamis dan sabtu, dimulai dari pukul 10.00 sampai 17.00 WIB.

Sesampainya saya di Dojo, saya melihat Radit, Dimas, Astri, dan Abdul mereka juga terlihat baru sampai di Dojo, Radit, Dimas, Astri, dan Abdul adalah teman latihan saya, sabuk karate yang saya miliki berada satu tingkatan diatas mereka, karena saya masuk di pelatihan lebih dulu dibanding mereka.

Radit memiliki perawakan kurus, dan mata yang sipit, dia adalah anak seorang pemilik rumah makan Sunda di daerah talaga bestari, kecamatan Balaraja.

Dimas sama seperti Radit, perawakannya kurus, yang membedakan adalah Dimas memiliki tubuh yang lebih tinggi dan mata yang tidak sipit atau normal.

Astri dia cantik, kulitnya juga mulus, putih, manis, mungkin dia adalah impian para pria diluar sana.

Sedangkan Abdul, memiliki tubuh yang gemuk, dia adalah orang yang lucu, neneknya pemilik kedai es campur yang laris manis, diantara kami saya akui, Abdul adalah orang yang paling bisa membuat tertawa.

Kami memiliki hobi yang sama yaitu berburu buku novel Best seller. Di saat diluar jadwal latihan, sesekali kami sering pergi ke toko buku bersama, yang berada di daerah citra raya, kecamatan Panongan.

"Indira"

Saat saya membuka helm, ada yang memanggil saya, saya sudah bisa menebak bahwa itu adalah suara Abdul.

Dia memanggil saya dari depan pintu Dojo, mereka sedang duduk santai.

"Iya Dul" kata saya, berjalan menghampiri mereka.

"Kang Deni sudah datang?" tanya saya kepada mereka.

Kang Deni adalah pelatih karate kami, dia berusia sekitar 47 tahun.

"Belum Ra, kayaknya sih, hari ini yang melatih bukan kang Deni" jawab Astri.

"Terus siapa?" tanya saya lagi.

"Gak tau deh, mungkin kang Basir" Jawab Dimas.

Kang Basir adalah murid kang Deni yang sudah mencapai sabuk hitam, biasanya ketika kang Deni tidak hadir, kang Basir lah yang melatih kami, menggantikan kang Deni.

"oh begitu, yasudah kita siap siap yuk" kata saya, menganggukan kepala.

"kalian siap siap duluan aja ya, aku sakit perut, tadi sebelum berangkat aku makan mie pakai cabai sepuluh" kata Abdul, memegang perut dengan wajah menahan sakit, dahinya melipat.

"Makanya kamu jangan berlebihan kalau makan" kata Dimas, nyengir.

"yasudah kita duluan ya, Dul" kata saya.

Sorenya, setelah selesai latihan, langit mulai terlihat gelap, entah karena ingin hujan, atau karena memang sudah sore, namun kami bertindak seolah semuanya normal.

"kamu bawa motor Dul?" tanya saya kepada Abdul .

"Enggak ra, aku bareng Dimas" jawab Abdul cepat.

"Kalo Astri berangkat dengan siapa?" tanya saya, kepada Astri.

"aku berangkat diantar ayahku Ra" jawab Astri.

"mau pulang bareng aku gak?" kata saya, menawarkan Astri.

"boleh deh, kayaknya seru" jawab Astri, tertawa ringan.

Astri menerima tawaran saya, kami pulang bersama. Di perjalanan menuju rumah Astri, Astri mengajak saya bicara, membahas segala macam hal. Salah satunya dia bertanya pada saya, tentang kapan kita akan ke toko buku lagi.

"Astri maunya kapan?" tanya saya.

"Kamu bisanya kapan" Astri, balik bertanya.

"Ya kalau aku sih sebenarnya bisa kapan saja"

"Gimana kalau Minggu depan, sepulang dari latihan"

"Boleh, nanti kita bicarain lagi deh" kata saya.

"Oke, nanti aku coba ajak Radit, Abdul, dan Dimas" kata Astri.

"Yasudah, nanti kamu coba ajak mereka, siapa tau mereka mau ikut"

Sekitar 30 menit, akhirnya sampai dirumah Astri, disebuah perumahan Villa Balaraja, di jalan raya kresek.

Setelah itu, kami berpisah, saya kembali menancap gas pulang ke rumah.

Langit terlihat sudah gelap, lebih gelap dari pada sore tadi, mungkin dikarenakan hari yang sudah semakin gelap.

Perjalanan menuju rumah Astri, melewati pasar tradisional bernama pasar sentiong, lokasinya berada di jalan raya kresek. Sudah sering saya lewat sini, jarang sekali tidak macet, selalu saja macet, karena kepadatan orang orang yang berbelanja. Namun sore ini, saya melihat jalanan tidak macet, tidak seperti biasanya. Saya merasa sore ini sangat tenang dengan matahari yang mulai terbenam, kegelapan mulai menggerogoti seisi bumi, lampu lampu sudah mulai dinyalakan, ditemani dengan RX-King pemberian ayah, rasanya sangat menyenangkan.

Tepat disaat adzan magrib saya sampai dirumah, lalu setelah itu memarkirkan motor, menaruh helm, menyapa ayah dan ibu, lalu pergi mandi.

Setelah selesai mandi, dan melaksanakan shalat, lalu saya pergi ke ruang tamu menggunakan baju tangan panjang, bergambar grup band Metallica, dan duduk di sofa depan teve yang terletak di ruang tamu.

"Gimana tadi latihannya?" tanya ibu, saat dia sedang mencari sesuatu di ruang tamu.

"Seperti biasa Bu, berjalan lancar, tapi kang Deni gak masuk barusan"

"Lalu siapa yang melatih?"

"Kang basir, murid kepercayaannya kang Deni" kata saya.

"Ibu lagi cari apa?" tanya saya.

"Ibu lagi cari sepatu ibu, kamu lihat nggak?" jawab ibu, matanya melirik kesana kesini kesitu mencari sepatu.

"Aku gak lihat, lagian ibu aneh, malam malam gini cari sepatu " kata saya, memanyunkan bibir.

"Iya, besok ibu mau arisan sama temen temen ibu, kalau ibu cari sepatunya besok, takutnya gak ketemu" kata ibu, masih melihat kesana kesini mencari sepatu.

Terkadang ibu mengajak teman temannya kerumah, untuk sekedar silaturahmi, teman teman ibu adalah tergolong ibu ibu yang narsis, termasuk ibu saya. Sering kali ketika mereka berkumpul disini saya ikut bergabung, bukan tanpa alasan, saya memandang mereka sebagai orang tua yang berjiwa muda.

Tetapi ketika kumpul arisan, mereka lebih sering berkumpul di toko baju milik ibu saya, ibu pernah mengatakan kepada saya, bahwa pertama kali yang mengajak berkumpul di toko baju milik ibu adalah ibu sendiri. Karena supaya teman teman ibu, sekalian belanja baju di toko ibu.

Saat pertama kali mengetahui itu, saya tidak kuat menahan tawa, itu adalah teknik marketing yang lucu menurut saya.

Pembicaraan dengan ibu telah berakhir, saya kembali ke kamar dengan membawa camilan, memutar lagu favorit saya, Metallica berjudul Master of puppets, menggunakan handphone yang saya miliki, lalu mengangguk anggukan kepala layaknya vokalis band metal, dan memakan camilan.

Ketika saya sedang menikmati musik, terdengar suara dering telepon, ternyata Astri yang menelepon, dia membahas hal yang tadi kami bahas di motor, Astri mengatakan bahwa Radit, Dimas, dan Abdul, bersedia untuk ikut ke toko buku yang kami rencanakan.

Tentu saja, kabar itu membuat saya senang, walaupun saya belum tahu, buku apa yang akan saya beli nanti.

Namun tiba tiba saya berpikir secara acak, untung saja Dika tidak pernah menelepon saya lagi, jika Dika menelepon, pasti akan mengganggu saya, dan hal itu juga akan membuat pandangan saya terhadap dirinya semakin memburuk.

"memang nanti kamu mau beli buku apa" tanya saya, kepada Astri.

"Aku mau beli buku cerpen" jawab Astri.

"kalau kamu Ra? Kamu mau beli buku apa?" tanya Astri.

"Aku belum tahu sih mau beli buku apa, lihat disana saja nanti" jawab saya.

"Nanti kamu berangkat bareng aku ya Ra" kata Astri.

"Iya tri, nanti aku jemput kamu"

"Gak usah Ra, nanti kamu tunggu di patung Balaraja saja, kita ketemuan disana" jawab Astri.

Patung Balaraja yang dimaksud Astri adalah patung yang terletak di bawah fly over Balaraja, jaraknya sangat dekat dengan sekolah saya, hanya sekitar 50 meter.

"Oh, yaudah kalau begitu" kata saya.

Keesokan harinya, sekitar pukul 06.00 kurang lebih, saya bersiap untuk lari pagi, lari pagi adalah rutinitas saya setiap minggunya, kira kira seminggu bisa sampai tiga atau dua kali, tergantung mood dan kemauan.

Tempat biasanya saya lari pagi yaitu di Talaga Bestari atau orang orang memanggilnya disingkat menjadi TB, rata rata orang orang yang tinggal di Balaraja, jika ingin lari pagi biasanya ke TB, karena menurut saya pribadi, kawasan ini adalah kawasan yang sejuk, pohon pohonnya rindang menghiasi jalanan, jadi tidak aneh jika kawasan ini dijadikan sebagai tempat lari pagi.

Setelah selesai lari pagi di TB, saya pergi kerumah Rini, Rini tinggal disebuah perumahan di TB, perumahannya tidak terlalu besar, namun saya menilai halaman perumahan Rini bagus, di halaman nya terdapat sebuah ayunan dengan ban mobil bekas sebagai tempat duduknya yang di tali ke pohon.

Rini tinggal bersama ayah, ibu dan adiknya. Rini sendiri adalah anak pertama, ayah Rini bekerja sebagai satpam, sedangkan ibunya bekerja sebagai karyawan pabrik sepatu dengan gaji UMR.

Sesampainya dirumah Rini, motor saya parkir di samping ayunan di halaman rumah Rini, beberapa saat kemudian saya melihat Rini, dia baru saja keluar dari rumah, kebetulan sekali tanpa saya harus mengetuk pintu, Rini sudah terlebih dulu keluar.

"Hai" Rini berteriak, berlari kearah saya meloncat loncat kecil.

"Hai" jawab saya, datar.

"Udah larinya?" tanya Rini.

"Udah, lari dua jam lumayan" saya menjawab Rini, tersenyum.

Lalu saya duduk di samping ayunan, sedangkan Rini duduk di atas ayunan.

"Kalau aku mah sekarang udah jarang lari" kata Rini.

"Kenapa? padahal enak, kamu Deket, bisa lari kapan saja" kata saya.

"Ya biasalah, aku malas" jawab Rini.

Disaat saya berbicara dengan Rini, rumah Rini sedang sepi, saya juga melihat dari wajah Rini, sepertinya dia sedang ada masalah matanya berkaca kaca, sejak awal saya datang, senyum Rini begitu memaksakan, seperti layaknya orang yang sedang sedih namun dipaksa untuk bahagia.

"Rumah kamu sepi ya?" tanya saya, melihat kearah rumah Rini.

"Iya, mamah dan bapaku lagi kerja, adikku lagi main" jawab Rini.

"Oh" lalu dilanjutkan "Kamu kenapa, kok kayak lagi sedih gitu si" kata saya.

"Aku gak apa apa kok" jawab Rini, menunduk.

"Kita itu udah sahabatan sejak SMP, aku tahu kalau kamu lagi sedih?" kata saya, lembut, menatap Rini.

Sesaat setelah itu, Rini memeluk saya.

Lalu tak lama kemudian, dia bercerita bahwa dia sedang ada masalah dengan pacarnya yaitu Reksi, dia cerita bahwa dia telah melakukan kesalahan, dan membuat Reksi pacarnya kesal pada Rini.

"Kamu kenapa, ada masalah? Cerita ya" kata saya, lembut dengan tangan mengelus rambutnya.

"Reksi marah sama aku Ra" kata Rini terisak - Isak.

"Marah kenapa?" tanya saya.

"Di-dia sa-salah paham, semalam aku teleponan dengan dia, tapi saat aku memanggil dia, aku malah menyebut nama mantanku, saat itu juga dia marah minta putus" Rini berbicara patah patah, terisak Isak air mata mengalir di pipinya.

Sejujurnya saya bingung harus mengatakan apa, disisi lain saya mengerti perasaan Reksi mengapa dia bisa marah, disisi lain saya juga merasa kasihan dengan Rini, ditambah lagi dia adalah sahabat saya sejak SMP.

"Rini, udah ya, gak usah nangis lagi, masih banyak kok pria pria yang lebih baik diluar sana, apalagi kamu punya wajah cantik, pasti banyak pria yang menunggu kamu, udah, jangan nangis lagi, ikhlasin aja, mungkin dia bukan jodoh kamu" kata saya, mengelus elus rambutnya mencoba menenangkan.

Dengan apa yang di alami oleh Rini, saya mulai khawatir apalagi dia mengidap suatu penyakit, saya khawatir akibat kejadian ini, kesehatannya akan menurun, seperti yang kalian tahu sendiri, jika seorang wanita habis putus dengan pacarnya, wanita sering mengalami kesedihan yang mendalam.

Dalam hal ini saya tidak bisa membantu banyak, karena saya sendiri tidak berpengalaman dalam urusan seperti ini, apalagi saya tidak pernah berpacaran, di posisi sekarang, yang saya pikirkan adalah mengurangi kesedihannya.

"Sekarang lebih baik kamu siap siap, aku mau ajak kamu ke suatu tempat, supaya kamu gak sedih lagi" kata saya lagi, tersenyum.

Rini menerima ajakan saya, dan mulai melepas pelukannya, lalu beranjak bangun. Saya ingin mengajak Rini pergi ke rumah saya, dan memberikan sepatu yang saya miliki kepada Rini, karena saya juga waktu itu sudah menawarkan itu kepadanya.

Setelah Rini sudah keluar dari rumahnya, dia sudah rapih, saya mendorong keluar motor saya, lalu setelah itu kami jalan.

Saya merasa, kesedihan yang dirasakan Rini belum berkurang, sepanjang jalan Rini hanya diam, menatap kosong ke arah samping jalan, saya melihat melalui kaca spion motor saya, namun saya juga tidak bisa melakukan apa apa, saya harap sesampainya di rumah saya nanti, kesedihan Rini berkurang.

Tak lama kemudian, kami sampai didepan rumah saya, gerbang di buka oleh pak Harjo, dan saya memasukan motor saya, lalu memarkirkan motor.

"Kenapa kamu bawa aku kesini Ra?" tanya Rini, pelan.

"Aku mau kasih kamu kejutan, ayo masuk" kata saya, menarik tangannya.

Pintu rumah saya buka, saya menuntun Rini berjalan ke arah kamar saya, dan membuka lemari khusus sepatu sepatu yang saya simpan.

"Sekarang kamu pilih, mau yang mana" kata saya, membuka lemari tempat menyimpan sepatu.

"Maksudnya?" tanya Rini.

"Ya, kamu pilih mau yang mana"

"Sepatu kamu banyak banget Ra" kata Rini, sambil melihat lihat sepatu di lemari saya.

"Jadi kamu mau yang mana" kata saya.

"Aku bingung Ra, sepatunya banyak"

"Biar aku pilih yang cocok untukmu" kata saya, mengambil salah satu box sepatu.

"Nah, ini kayaknya cocok untukmu" kata saya lagi menambahkan

"Wah! Bagus Ra sepatunya" kata Rini, menyentuh sepatunya.

"Suka?" tanya saya, tersenyum.

"Suka banget Ra, makasih ya" kata Rini dengan wajah girang, matanya berbinar binar.

"Sama sama Rin, sudah ya, jangan sedih lagi, coba kamu pakai dulu"

"Makasih ya Ra" Rini memeluk saya.

"Iya, yasudah kita ke ruang tamu yuk, kita santai santai" saya berbicara.

Saya bersyukur, usaha saya untuk mengurangi kesedihan Rini, nampaknya lumayan berhasil, terdapat perubahan besar pada wajahnya, yang awalnya murung, kini sudah berubah dihiasi senyuman ceria.

Kebetulan hari ini ayah dan ibu sedang tidak dirumah, mereka sedang pergi menghadiri acara pernikahan anaknya teman ibu di Bitung. Yang ada dirumah sekarang hanya bibi(asisten rumah tangga), dan pak Harjo supir pribadi saya yang sedari tadi ada di luar rumah.

"Mau minum apa rin? biar aku ambilin" tanya saya.

"Air putih saja Ra" jawab Rini.

"Yakin?" tanya saya lagi.

"Iya Ra"

Saya pergi ke dapur mengambilkan minum untuk Rini, walaupun dia hanya meminta air putih, namun saya bawakan dia jus alpukat.

Setelah mengambilkan air putih, dan membuat jus, saya kembali ke Rini.

kemungkinan usahaku untuk mengurangi kesedihan Rini sukses, karena setelah saya mengantar Rini pulang, wajah Rini sudah ceria seperti biasa. Semoga saja itu bukan kesedihan yang ditutupi dengan senyuman, saya harap Rini dapat mengikhlaskan keputusan Reksi untuk memilih berpisah dengannya.

Walaupun begitu, untuk saya yang belum pernah berpacaran rasanya sangat rumit menghadapi kesedihan Rini, saya membayangkan bagaimana jika saya yang ada di posisi itu.

jangan sampai itu terjadi pada saya!