Hari ini adalah hari besar, Ibu memakaikan rompi biru berbunga besar pada Kaca. Sudah lima tahun sejak hari lahirnya Kaca dan hari Pengundian Pendengaran Distrik Paus. Meski namanya Distrik Paus, yang hidup di distrik ini bukan paus. Kaca juga bukan paus. Kaca hanya memiliki pendengaran paus biru, berbagi dengan hasil undian pendengaran Ibu yang didapat lima jam sebelum air ketubannya pecah dan menjalani persalinan untuk mengeluarkan Kaca dari perutnya.
Hari ini Kaca akan dapat hasil undiannya sendiri. Semoga bisa dapat lumba-lumba yang langka dan terkenal di Distrik Paus itu, harapnya. Ada satu bonus pendengaran hewan jenis lain yang diberikan di setiap distrik, selama masih dalam klaster yang sama. Distrik Paus ada di dalam Klaster Mamalia Laut, bersama-sama dengan Distrik Lumba-Lumba, Distrik Singa dan Anjing Laut, Distrik Berang-Berang, dan banyak lagi yang Kaca sendiri masih kesusahan untuk mengucapnya. Hari ini di Distrik Berang-Berang pasti ada yang ingin dapat pendengaran paus biru, sama seperti Kaca yang hari ini menginginkan pendengaran lumba-lumba.
"Ayo, lebih cepat lebih baik. Ibu sudah kasih sedotan di botolnya, minum santai sambil jalan saja ya." Kaca menerima botol susu putih dingin kesukaannya dan melompat girang dari kursi kayu pendek tempatnya duduk untuk memakai sepatu.
Ibu merapikan poni rata Kaca sesaat dan membuka pintu. Kaca agak terkejut melihat betapa ramainya jalanan distrik, biasanya hanya ada anak-anak, bus, pengantar susu, dan pengantar surat bolak-balik memijak aspal. Hari ini, semua orang berjalan bersama lewat jalan raya besar di depan rumah Kaca menuju Balai Distrik Paus.
Kaca menoleh ke samping kiri, mencari Nomi. Kaca menoleh ke samping kanan, mencari Suku. Tidak ada. Sekali lagi, menoleh pada Ibu, meminta bantuan untuk menemukan dua kawan sebelah rumahnya.
"Kaca!"
"Kaca!"
Kaca menoleh ke samping kiri lagi, melihat Nomi dan Suku berlari bergandengan tangan melawan arus. Ternyata mereka sudah jalan duluan sampai pohon ceri. Kaca masih ada di pohon suji, harus melewati pohon mangga dan rambutan dulu untuk sampai ke pohon ceri. Pohon ceri ada di depan rumah Kina, pohon mangga ada di depan rumah Mora, pohon rambutan ada di depan rumah Nomi, dan pohon kina ada di depan rumah Suku.
Pak Pilar, guru sekolah Kaca sekaligus pengurus Distrik Paus memerintah kawan kerjanya untuk menanami satu pohon untuk setiap rumah di pinggir jalan raya distrik. Kaca sempat protes kenapa depan rumahnya ditanami pohon suji yang tidak cukup kuat untuk dipakai sebagai ayunan ban bekas, Pak Pilar bilang benihnya didapat dari hasil undian nomor rumah, Kaca cemberut tidak terima, dia hanya bisa meminjam ayunan pohon rambutannya Nomi sampai sekarang.
"Rompimu cakep, deh, tapi pasti gerah ya?" Nomi menyentuh bunga besar yang terjahit di rompi Kaca setelah sampai di hadapan Kaca.
"Biasa aja, kok. Jaket hitam Suku tebal tuh, kayaknya bakal lebih gerah." Kaca menunjuk ke arah Suku dengan botol susu yang sedotannya mengacung.
Suku manggut-manggut tidak nyaman, pasti ibunya memaksanya untuk memakai jaket itu. Kaca sendiri juga akan memaksa Suku untuk memakainya, soalnya jaketnya keren betul, seperti yang dipakai kakak kelas terkenal di sekolah dasar mereka. Kalau Suku, sih, tidak terkenal sama sekali.
Mereka mulai berjalan bersama dan melewati pohon cerinya Kina. Ramai sekali. Seperti iring-iringan pernikahan, tapi lebih heboh. Banyak anak anak memakai topi gambar paus, baju gambar paus, aksesoris paus, ada beberapa yang punya gantungan kunci lumba-lumba, Kaca akan minta Ibu belikan yang sama nanti. Hampir semua orang memakai warna biru, terlihat seperti aliran sungai yang bergerak lambat dari atas langit dengan riaknya yang riuh karena langkah kaki dan percakapan.
Air mancur di bundaran taman balai distrik yang biasanya hanya ramai dengan tawa anak-anak di sore hari sepulang sekolah, hari ini ada banyak orang dewasa saling bersahutan. Banyak pedagang kecil yang berkumpul, Kaca dan Nomi sangat ingin balon lumba-lumba, jadi mereka (dengan Suku juga) sempat hilang dari pandangan para ibu.
Nomi jadi ikut mengharapkan pendengaran lumba-lumba juga setelah mendengar promosi kacangan dari Kaca. Suku tidak memakan kacangnya jadi ia tetap berpegang teguh pada keinginan awal, pendengaran paus pembunuh.
Pak Pilar sudah ada di tengah podium sedang mengobrol dengan kawan kerjanya waktu mereka mencari tempat duduk yang nyaman. Ini pertama kalinya Kaca ada di auditorium gedung balai distrik. Besar sekali, riuh riak sungai jalan raya tadi berubah menjadi gaungan kerumunan lalat di dalam gua yang berulang-ulang, Kaca sedikit kurang nyaman tapi tempatnya benar-benar terlihat hebat, jadi dia senang.
Hari yang besar di tempat yang juga besar, balon lumba-lumba dan bunga biru di rompi Kaca juga besar, semoga kesempatan Kaca mendapatkan pendengaran lumba-lumba hari ini juga besar.