Cahaya pagi menyinari sela-sela dedaunan, memancarkan kehangatan pada wajah perempuan berambut pink yang mencapai sepinggang. Dia mengenakan baju pelaut hitam dengan aksen garis emas, serta membawa sebuah koper biru laut dan sebuah pedang putih yang terletak di atas kopernya.
Suara dedaunan yang berdesir dan angin yang lembut menyentuh pipi perempuan itu, memberikan perasaan nyaman yang begitu dia sukai. Berjalan melewati gedung sekolah di sekelilingnya tanpa membuka matanya. Mengingatkan dengan suasana ketika masih di pertempuran yang mana selalu tercium bau darah, besi, bubuk mesiu, dan petrikor. Berbeda dengan suasana saat ini yang sejuk dan nyaman. Perempuan itu sangat menyukai suasana yang seperti ini. Terakhir kali perempuan itu merasakan suasana ini adalah tiga belas tahun yang lalu, ketika orangtuanya masih ada di sini.
Ia merasa bahwa ia memilih pilihan yang tepat mungkin jika ia tidak keluar dari OPA, ia tidak bisa merasakan suasana ini. Matanya yang masih tertutup membuat tidak memperhatikan yang ada didepannya dan terus berjalan. Sampai akhirnya, dia menabrak seseorang di depannya mengakibatkan berjalan kebelakang dan tidak bisa menjaga keseimbangan hingga akhirnya terjatuh. Perempuan itu merintih kesakitan.
Perlahan, perempuan itu membuka matanya dan melihat bahwa orang yang menabraknya adalah seorang lelaki berambut biru muda cerah, seperti warna langit siang hari. Dia mengenakan jas hitam yang dihiasi dengan aksen emas di garis jasnya, serta celana abu-abu. Lelaki itu merintih kesakitan dan terlihat sedikit kesal.
"Ah, maaf. Aku tidak melihat ke depan, jadinya menabrakmu," ucap perempuan itu.
"Kalau jalan buka matamu, bagaimana bisa orang berjalan dengan ma—" ucap lelaki itu secara bersamaan.
Lelaki itu tidak melanjutkan ucapannya dan wajahnya menjadi memerah padam. Perempuan itu sedikit bingung dengan reaksi lelaki tersebut. Setelah melihat wajahnya yang memerah, dia melihat teman lelaki itu di sebelahnya juga terlihat bingung.
"Panda," gumam lelaki itu dengan wajah merah padam.
Panda? Ada apa dengan panda? Jelas tidak ada panda di sini, pikir perempuan dalam kebingungan.
"Lucu," gumam lelaki itu lagi dengan wajah merah padamnya
Lucu? perempuan semakin bingung lagi. Tadi dia menabrak lelaki itu, sekarang dia menyebut panda dan mengatakan lucu. Apa maksud dari kata-kata tersebut?
Perempuan itu bangkit dan mengambil kopernya yang terjatuh tadi. Meskipun dia tidak mengerti maksud dari lelaki tersebut, dia tahu bahwa dia harus segera pergi.
"Maaf, aku tidak mengerti apa maksudmu dengan panda dan lucu. Tapi sekarang aku harus melanjutkan perjalanan. Tentang kejadian ini, aku memang salah. Jadi, jika kita bertemu lagi, aku akan segera membayar utangku," kata perempuan itu dengan sedikit kebingungan.
Seketika angin kencang tiba-tiba saja berhembus sukses ikut menghempas rok perempuan itu, memperlihatkan sesuatu yang tidak seharusnya terlihat di balik roknya itu. Wajah kedua lelaki itu langsung memerah saat melihatnya.
Perempuan itu baru sadar apa yang dimaksud oleh lelaki biru. Dia terkejut dan segera menutupi rok hitamnya. Wajahnya ikut memerah dan merasa sangat malu. dia melirik dan melihat wajah kedua lelaki itu memerah saat melihatnya.
Sungguh memalukan...
Perempuan itu mengepalkan kedua tangannya dan memukul kedua lelaki tersebut dengan sekuat tenaga sambil berteriak gagap, "D—dasar mesum sinting!"
Dengan cepat, perempuan itu mengambil kopernya dan meninggalkan kedua lelaki tersebut. Siapa sangka di hari pertama dia masuk yang pertama dia temui adalah seorang lelaki mesum tingkat bawah. Dia berharap agar tidak bertemu dengan mereka lagi, terutama lelaki yang tidak sengaja dia tabrak.
Setelah dipukul oleh perempuan itu, kedua lelaki itu terbangun dan merasakan rasa sakit di pipinya. Tidak disangka, dia mendapat sebuah tinjuan dari seorang perempuan, dan lagi tinjuannya sangat kuat.
"Dasar perempuan gila! Dia yang salah, kenapa aku yang terkena tinjuannya?" gumamnya sambil mengusap pipi yang terasa sangat sakit.
Temannya pun terbangun dan tersenyum, "Sudahlah, nggak apa-apa. Salah kita juga karena telah melihatnya. Ngomong-ngomong, sepertinya dia murid pindahan, tadi dia membawa koper," ucapnya.
"Hah? Murid pindahan?" tanya lelaki itu sambil menggosok-gosok pipinya.
"Ya, mungkin dia akan masuk ke kelas kita. Karena hanya kelas kita yang masih memiliki bangku kosong," jawab temannya.
"Berarti kalau dia memang masuk ke kelas kita, aku bisa membalasnya. Hari ini ada pelajaran itu, 'kan?" Lelaki itu tertawa jahat, tidak tahu apa yang akan dia rencanakan.
"Iya," temannya hanya bisa tertawa kecil melihat lelaki itu.
Di samping itu, perempuan itu sudah sampai di tempat tujuannya, yaitu ruangan presiden dewan siswa. Dia menekan sebuah tombol tersembunyi di sebelah pintu besi. Pintu yang hanya bisa terbuka dengan identifikasi telapak tangan presiden dewan siswa atau menggunakan kartu pelajar presiden dewan siswa dari dalam pun terbuka.
"Hey, aku sudah sampai," ucapnya.
Pintu besi yang tadinya menutup rapat pun terbuka, memungkinkan perempuan itu untuk masuk ke dalam ruangan. Ruangan itu terasa gelap, hanya sedikit cahaya matahari yang masuk melalui jendela, menerangi ruang dengan samar. Di dalam ruangan, terdapat seorang lelaki yang mengenakan seragam seperti kedua lelaki yang dia temui sebelumnya, hanya terdapat sedikit hiasan emas pada bajunya.
"Selamat datang di Akademi Azalea, Rhea Celestine—bukan, tapi Reina Calasthane," sambut lelaki itu dengan senyuman.
Perempuan itu adalah Reina Calasthane, murid pindahan di Akademi Azalea yang terkenal sebagai sekolah elite di seluruh dunia. Akademi Azalea adalah salah satu dari lima akademi khusus Venesia yang telah berdiri selama sepuluh tahun terakhir.
"Terima kasih, Arthur," jawab Reina sambil tersenyum. Arthur Myron, seorang presiden dewan siswa di Akademi Azalea dan juga teman Reina. Dia merupakan sosok yang sangat dikagumi oleh para murid di sekolah.
Reina pergi duduk santai di sofa, dengan kakinya bersilangan. Melihat Reina yang begitu santai, Arthur menyalakan lampu ruangan dan duduk di hadapannya.
"Jujur, aku nggak nyangka kamu memilih masuk ke sini. Aku pikir kamu bakal pilih akademi lain," kata Arthur.
"Tentu saja, kenapa aku harus pilih akademi lain, sedangkan temanku ada di sini?" jawab Reina.
"Ah, kalau begitu sepertinya aku harus siap-siap turun jabatan, karena kamu sudah masuk ke sini," kata Arthur sambil tertawa.
"Apa maksudmu?" tanya Reina heran. "Aku nggak pernah berencana jadi presiden dewan siswa. Aku sudah muak dan lelah dengan semua tumpukan kertas sialan itu."
"Hahah, bukankah terlalu kejam menyebut kertas itu dengan sebutan sialan? aku memang tahu kamu bakal jawab begitu," kata Arthur.
"Lagipula, aku cuma ingin menikmati masa sekolah dan suasana yang nyaman di sini," sambung Reina.
"Aku ngerti, suasana di sini emang asik dan enak," kata Arthur.
"Ya, kan?"
"Lalu, sebenarnya apa alasanmu masuk ke Akademi Azalea?" tanya Arthur dengan pandangan serius. Dia tahu bahwa Reina tidak akan seenaknya masuk ke Akademi Azalea tanpa ada alasan yang jelas. Karena sudah terlihat jelas dari wajah Reina yang penuh terlihat kekhawatiran.
Reina hanya diam dan tersenyum tipis. Arthur, sebagai teman masa kecil Reina, tahu betul bagaimana ekspresi wajahnya saat khawatir, senang, atau sedih.
"Aku ingin memenangkan Carnival," jawab Reina dengan serius. Arthur terkejut mendengarnya, tapi dia menyembunyikan kejutannya dengan senyuman. Tanpa alasan yang jelas.
"Kalau begitu, aku akan mendukungmu sepenuh hati!" seru Arthur.
Reina menjawab dengan senyuman. "Kamu nggak penasaran kenapa aku ingin memenangkan Carnival?"
"Lumayan? Aku tahu, pasti ada alasannya dan aku nggak akan bertanya. Karena kamu akan pasti akan memberitahukannya padaku," jawab Arthur dengan tersenyum. Reina tertawa mendengar jawaban Arthur.
Tidak salah...
Arthur memberikan sebuah bracelet putih dengan kristal biru di tengahnya kepada Reina. Reina mengambil gelang tersebut dan langsung memakainya di tangan kanannya, seolah-olah sudah pernah memakainya sebelumnya.
"Nggak perlu aku jelaskan lagi, karena kamu sudah tahu. Bracelet itu adalah logicmu yang sekarang," jelas Arthur.
Bracelet yang diberikan oleh Arthur bukanlah sekedar bracelet biasa yang digunakan untuk hiasan tangan biasa. Bracelet tersebut dirancang khusus untuk mengakses internet dan informasi sekolah. Selain itu, dapat menampilkan statistik diri dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan Orion Lux. Bracelet tersebut diberi nama "Logic". Setiap sekolah memiliki bentuk Logic yang berbeda-beda, dan untuk Akademi Azalea, bentuknya menyerupai bangle bracelet.
"Aku sudah mengatur tempat penyimpanan Orion Lux, karena senjata yang kamu miliki bukanlah Orion Lux. Jadi, aku menghapus tempat penyimpanan Orion Lux dan menggantinya dengan akses sekolah yang sama seperti milikku," lanjut Arthur menjelaskan.
"Tolong jangan dihapus tempat penyimpanannya, karena aku akan membutuhkan sekarang,"
Reina menekan kristal biru di tengah gelang, dan muncul berbagai informasi dalam bentuk hologram. Kemudian, Reina mengetuk statistik dirinya dan melihat bahwa tidak ada perubahan sama sekali. Semua statistiknya berada pada peringkat S+ dalam kemampuan sihir dan kemampuan khusus, kecuali fisik.
Reina mematikan Logicnya dan menatap Arthur. Arthur hanya tersenyum melihat tatapan Reina.
"Terima kasih," ucap Reina dengan tulus.
"Sama-sama," jawab Arthur dengan senang hati.
Mereka saling bertatapan, sudah lama mereka tidak bertatapan seperti ini. Arthur merasakan sedikit rindu dengan saling tatapan seperti ini, tetapi di balik tatapan Reina, ada kegelapan yang menyelimutinya dan kesedihan.
"Apa kamu sudah tahu kelas mana yang kamu masuki?" tanya Arthur.
"Sudah, kelas 2-3, bukan?" balas Reina.
"Iya. Sayang sekali, kita nggak sekelas. Aku kelas 2-1. Padahal aku berharap kita bisa sekelas," kata Arthur dengan wajah terlihat seperti anjing yang sedang sedih. Reina tertawa melihat Arthur. Bagaimana mungkin Arthur sedih hanya karena berbeda kelas dengan temannya?
"Ekspresimu sangat lucu," tawa Reina dan kembali tersenyum. Lalu, dia mengambil pedangnya yang bersarung putih dari dalam kopernya.
"Arthur, tentang Sapphire. Aku ingin menitipkannya di sini dan aku akan mencoba menggunakan Orion Lux," pintanya. Arthur bingung, karena Reina menitipkan senjata kesayangannya kepadanya. Sapphire adalah senjata yang telah membawa Reina ke puncak, menjadi satu-satunya teman dekat Reina, dan sekarang Reina ingin mencoba menggunakan Orion Lux.
"Mengapa kamu menitipkan Sapphire padaku dan ingin menggunakan Orion Lux?" tanya Arthur.
Reina tersenyum sambil menatap pedangnya, "karena jika aku terus menggunakan Sapphire, identitasku akan terbongkar. Sebisa mungkin identitasku tidak terbongkar, jadi tolong titipkan Sapphire," jawabnya. Matanya terlihat berat karena harus menitipkan Sapphire, tetapi jika dia terus membawa dan menggunakan pedang tersebut, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Tapi, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Arthur sekali lagi. Reina tersenyum dan memberikan Sapphire pada Arthur.
"Aku baik-baik saja, karena suatu hari nanti aku pasti akan mengambilnya kembali," jawab Reina.
"Baiklah, kalau begitu aku akan menyimpannya sampai kamu mengambilnya lagi. Tentang Orion Lux-nya, aku akan mengatur semuanya untukmu," kata Arthur sambil menerima Sapphire dari Reina. Lebih tepatnya, bukan hanya menerima, tetapi Arthur akan menyimpannya. Setiap janji yang diucapkan Reina akan selalu ditepati.
"Terima kasih, Arthur,"
Setelah berbincang-bincang dengan Arthur, Reina memutuskan untuk kembali ke kelasnya. Dia telah selesai memberitahu apa yang ingin dia sampaikan kepada Arthur.
"Baiklah, aku akan pergi ke kelas sekarang," ucap Reina sambil mengucapkan permintaan pamit.
"Baiklah. Aku akan meminta seseorang untuk mengantarkan kopermu ke asramamu. Kamu bisa melihatnya melalui logicmu untuk menemukan asramamu nanti," kata Arthur.
Reina, yang sudah berdiri di depan pintu, menoleh ke arah Arthur dan tersenyum.
"Terima kasih," ucapnya.
Reina pun meninggalkan Ruangan Presiden Dewan Siswa. Dia tidak menyesali keputusannya untuk menitipkan Sapphire kepada Arthur. Dia yakin bahwa dia telah membuat pilihan yang tepat dan percaya pada Arthur.
Saat hampir tiba di kelasnya, Reina melihat seorang wanita mengenakan seragam olahraga yang berdiri di depannya sembari memegang pemukul bisbol yang penuh dengan paku. Tampaknya wanita itu telah menunggunya.
"Tch, lama sekali, kamu berbicara dengan Arthur. Aku sudah menunggu dari tadi," kesalnya. Reina tertawa kecil.
"Saya minta maaf. Apa anda akan jadi wali kelas baru saya?" tanya Reina. Wanita itu menghela napas tanpa menjawab pertanyaan Reina dan pergi.
"Ikut aku, kita akan pergi ke kelas," perintah wanita itu.
Wanita itu terlihat benar-benar kesal terhadap Reina. Mungkin karena dia telah lama berbicara dengan Arthur, jadi wanita itu sedikit kesal atau memang begitulah sikapnya. Reina mengikuti perintah wanita itu.
"Kalau boleh tahu, siapa nama anda?" tanya Reina dengan ragu.
"Hah? Nama? Jezebel, Jezebel Royanne," jawabnya.
Setelah mendengar nama Jezebel Royanne, Reina langsung mengingatnya. Jezebel adalah seorang mantan anggota Organisasi yang diusir karena melanggar peraturan, tetapi Reina tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh Jezebel. Dulu Jezebel terkenal karena kekejamannya, terutama ketika dia membunuh Abyss dengan cara yang sadis menggunakan Grim Reaper, benar-benar seperti julukannya.
Saat mereka sampai di depan kelas, Reina dan Jezebel masuk bersama. Suasana di kelas sangat tenang, dan Reina berdiri di sebelah Jezebel.
"Baiklah, seperti yang kalian lihat, kita memiliki murid pindahan. Dia adalah Rhea Celestine," kata Jezebel sambil menyodorkan pemukul bisbol ke arah Reina.
"Salam kenal, semuanya," jawab Reina dengan ramah.
"Kalian akan berteman atau tidak, terserah kalian," ujar Jezebel dengan santai, masih memegang pemukul bisbol di depan Reina. Reina hanya tersenyum polos, berpura-pura tidak memperhatikan pemukul bisbol ada di depannya.
"Tempat dudukmu, oh, pas sekali, Felix! Tempat duduk di sebelahmu kosong, jadi Reina akan duduk di sebelahmu," Jezebel menunjuk kursi kosong dengan pemukul bisbolnya. Reina melihat ke arah yang ditunjuk oleh Jezebel.
Felix, yang disebut oleh Jezebel, tidak setuju. Dia berdehem dan menepuk meja. "Hah? Kenapa dia harus duduk di sebelah sa—" Dia melihat ke arah Reina "—ya?" Matanya melebar saat melihat Reina.
"Kamu? Si Panda!" teriak Felix. Ternyata bukan hanya Felix yang terkejut, Reina juga terkejut. Ternyata Felix adalah lelaki yang tidak sengaja dia tabrak sebelumnya dan disebut sebagai mesum tingkat bawah. Namun, tunggu...
Panda?
Semua orang dikelas, termasuk Jezebel langsung bingung dengan ucapan Felix yang memanggil Reina dengan sebutan Panda.
Wajah Reina memerah, rasa kesal mulai muncul. Dia mengepalkan tangannya untuk menahan amarahnya. Apa yang sedang terjadi? Takdir macam apa ini?
"Panda? Tadi kamu bilang panda? Aku tidak mengerti apa maksudmu," tanya Reina dengan senyuman menakutkan. Dia benar-benar berusaha menahan amarahnya agar tidak merusak citranya di hari pertamanya. Sementara itu, Felix tersenyum dengan senyuman yang tak bisa dijelaskan.
"Ya, panda. Benar-benar lucu, 'kan, Panda? Aku juga suka panda," senyumannya terlihat aneh. Temannya merasa bahwa Felix berada dalam bahaya.
"Ho-Ho. Guru Jezebel, bolehkah saya meminjam pemukul bisbol anda?" tanya Reina. Ternyata Felix belum melupakannya, dan amarah Reina benar-benar tidak bisa lagi di tahan.
"Boleh saja," jawab Jezebel, Sepertinya firasat temannya Felix tidak salah, karena Felix akan benar-benar bahaya.
Jezebel memberikan pemukul bisbolnya kepada Reina. Reina segera mengambilnya dengan senyuman penuh amarah. Tanpa aba-aba, Reina langsung melemparkan pemukul bisbol Jezebel ke arah Felix.
Felix terkejut saat pemukul bisbol Jezebel tiba-tiba muncul di depan matanya dan tidak bisa menghindar. Dia segera mengaktifkan barier untuk melindungi dirinya, namun pemukul bisbol Jezebel berhasil menembus barier itu. Felix tidak bisa lagi menghindar atau menahan pemukul bisbol milik Jezebel.
Pemukul bisbol Jezebel mendarat tepat di kepala Felix. Berkat adanya barier terakhirnya, kepala Felix tidak terluka hanya terbentuk benjolan besar. Semua murid terkejut melihat insiden tersebut, dan melihat Reina sebagai murid baru yang menakutkan.
"Felix, kamu beruntung memiliki Reina di sampingmu sekarang. Bersyukurlah," kata Jezebel sambil tertawa. Felix, yang merasa pusing akibat lemparan dari Reina, hanya bisa memberi isyarat OK. Tampaknya kedatangan Reina membuat hidupnya menjadi tidak tenang.
Reina tersenyum manis kepada Felix.
"Aku akan mengawasimu," ucap Reina dalam hati.
To be continued...