"Apa alasannya, Pak?" Tanya Biba kepada seorang Bapak berjenggot tipis, yakni Pak Kepsek.
"Masa Bu Biba enggak tahu? Yang Bu Biba pukulin itu, anak kepala yayasan!"
Biba melangkah keluar ruangan, lalu berhenti sejenak buat mengacungkan jari tengahnya ke hadapan Pak Kepsek yang mendelik kaget.
Kalau dipikir-pikir, sudah lima tahun Biba bekerja di sekolah ini tapi dia enggak merasakan ikatan emosional sama sekali ke tempat itu. Selain karena punya Kepala Sekolah yang suka grepe-grepe tubuhnya, serta kolega yang acuh terhadapnya, Biba juga kecewa karena ternyata sekolah bukan tempat sakral seperti dalam bayangannya.
Biba berpapasan dengan wanita selingkuhan tunangannya – ups, mantannya. Wanita itu tersenyum kepada Biba seolah enggak tahu menahu tentang apa yang terjadi kepada dirinya.
"Bu Biba, sayang sekali Bu Biba harus pergi. Semoga baik-baik saja ya Bu." Tuturnya lembut, senyumnya bagai rubah.
Biba mendengus. Dia melewatinya tanpa menggubris wanita itu. Tapi semakin ia pikir, semakin mulutnya gatal.
"Woy." Panggil Biba sok preman banget. Tangan berkacah pinggang dan mulut gerak-gerak kayak ngunyah permen karet.
Si selingkuhan mantannya itu tampil sok berani, tapi enggak bisa menyembunyikan getaran di matanya.
"Kalau dia memperlakukanmu begitu manis, dia belajar itu sama aku selama lima tahun. Tapi kalau dia tiba-tiba pindah ke cewek lain, cukup tahu aja, kalau dia belajar itu dari Anda." Sedikit sarkasme mungkin bisa melegakan hatinya sedikit.
Wajah wanita itu kelipet-lipet. Dan Biba enggak jauh lebih menikmati pemandangan siang hari itu.
Tut. Tut. Tut ...
"Cherish~ sahabatku sayang. Hari ini aku punya kabar baik dan kabar buruk. Mau denger yang mana dulu?" Biba mengapit ponselnya di antara telinga dan bahunya, sedang tangannya digunakan untuk melahap dua tusuk sempol sekaligus.
"Wah, masih ada kabar baik setelah lo putus dari Dikma?" Sahut Cherish dari seberang panggilan telepon.
"Ada dong,"
"Oke. Kabar baik coba."
"Kabar baiknya adalah..... aku dipecat dari sekolahan! Hwahahaeheheh,"
"Seriously? Akhirnya Bi! Kepsek cabul itu enggak bakal bisa macem-macemin lo lagi kan? Terus lo juga enggak perlu berurusan sama mantan lo yang tahi itu kan?" Cherish nyerocos abis. dari suaranya aja udah kedengaran kalau dia happy banget.
"Udah enggak dong. Fyuh, lega rasanya."
"Terus terus … kabar buruknya apaan?"
"....."
"Ya... aku dipecat dari sekolahan, Cher." Tutur Biba dengan intonasi datar.
"....."
"Ouch… terus, lo udah ada gambaran mau kerja di mana?"
"Belum lah Cher."
"Pas banget Bi. Lo gantiin kerjaan gue sekarang ya Bi, plis~" Rengekan Cherish bikin kuping Biba gatel.
"Emang kamu kerja apaan sekarang?"
"Jadi nanny buat bocah laki-laki umur sembilan tahun, Bi."
"Woah! Hahahahaha, sumpah?! Seorang Cherish, jadi nanny? Lah sendirinya ngapain kerja jadi nanny kalau tau bakal enggak betah?"
"Gue butuh duit lah. Duitnya lumayan bok,"
Biba nyengir. "Anak keluarga konglomerat butuh duit?"
"Anjir. Kan gue anak haram, lo tau sendiri gue enggak dikasih duit jatah bulanan setelah lulus kuliah"
"Iya sori sori. Emang udah kerja berapa lama sih Cher?"
"Hmm... semingguan."
"....."
"….. gila. Ya udah dibetah-betahin aja dong! Baru juga seminggu!" Sembur Biba.
"NGGAK BISA! Duh Bi, kepala gue rasanya pengen gue jedotin ke tembok delapan kali sehari."
"Coba aja sih."
"Anjir. Hidup gue aja semrawut, ini malah disuruh ngurusin hidup orang lain. Mana gue enggak sabaran juga kan Bi orangnya."
"Salah sendiri."
"Iya memang. Huh! Gue pikir, gue bukan orang yang sulit Bi. Tapi kenapa ya gue selalu enggak betah sama kerjaan yang gue lakuin?"
Biba menelan sisa sempol di mulutnya, lalu ngomong.
"Kamu bukan orang yang sulit kok Cher. Kamu itu … cuma enggak paham realita."
"Ouch."
"Terus, kenapa aku yang diminta ngegantiin?" Tanya Biba sambil melahap sempol terakhir.
"Kan lo suka anak-anak, Bi. Terus di kontrak kerja bilangnya gini Bi, kalau gue mau resign, kudu cari nanny pengganti yang speknya sama kayak gue. Atau kalau enggak bisa, gue kudu bayar tiga kali lipat gaji satu bulan gue di sini … hing! Gue duit dari mana?!"
"Kan anda anak keluarga tajir."
"Kan gue anak haram! Anjir lo suka banget ngeledekin gue gini!" Cherish merajuk.
"Sori."
"Lagian gue enggak ada temen lain yang bisa atau mau ngegantiin posisi gue, Bi. Come on~"
"Ya iya lah enggak ada. Kan temenmu cuma aku, Cher." Biba cengengesan, akan lebih menghibur kalau dia bisa lihat muka sahabatnya secara langsung.
"Ouch. Anyway! Apa lo enggak pengen menghidupkan kembali mimpi lo untuk ngurus anak-anak gemesin?"
"Pengen sih. Tapi Cher, kerjaanmu ini di Jakarta kan?"
"Yoi."
"Nah itu yang susah."
"Balik ke Jakarta deh Bi,"
"Enggak deh. Di Malang aja."
"Lo sedemen itu sama Kota Malang? Lebih demen Malang ketimbang gue?!"
Cherish lumayan sering membanding-bandingkan dirinya dengan sesuatu kepada Biba. Pernah ada masa di saat Cherish membandingkan dirinya dengan pecel lele, karena pada saat itu Biba sedang terobsesi dengan pecel lele.
"Bi, nih bocah tuh imut banget. Ngegemesin gitu. Anaknya aktif banget dan demen banget belajar. Lah gue kan gubluk, ditanyain ini-itu gue enggak paham. Makanya Bi, gantiin gue, pliiis~"
"Hmm ... pengen sih. Bisa enggak tuh bocah pindahin ke Malang aja, bakal aku rawat sepenuh hati!"
"Gila ya, tetep kekeuh loh enggak mau balik ke Jakarta."
"Ya lebih enak di sini Cher. Sambil bantuin om dan tante."
"Dua belas juta Bi … sebulan."
"Wih itu gajiku lima bulan kerja jadi guru, Cher."
"Lumayan, kan? Makanya gantiin gue. Come on!" Rengekan Cherish makin menjadi-jadi.
"Kok ngotot? Lagian, mencurigakan tahu. Apa gajinya enggak kegedean cuma buat jadi nanny? Takutnya ada apa-apa lagi," Biba menyipitkan matanya sok jeli.
"Plis deh Bi. Ini tuh keluarga yang punya Siastone, duit segitu bisa didapetin balik dalam semenit atau sedetik. pokoknya se-tajir itu bok."
Bibia menyesap udara. "Ouch. Aku tertarik sih Cher, tapi Jakarta itu lho yang… haa. Kayaknya enggak deh Cher. Semangat kerja di sana ya, aku bakal cari kerjaan di sini aja. Pasti ada dong kerjaan buat aku, hehe."
"Tapi Bi-"
Tut. Tut. Tuuuut…
Berbanding terbalik dengan harapannya. Biba menganggur selama sebulan lamanya! Kerjaannya hanya lontang-lantung di jalanan Kota Malang. Sesekali duduk di halte bus buat ngelihatin plat nomor kendaraan yang lewat. Saking nganggurnya.
Siang itu dia baru selesai wawancara kerja untuk yang kesekian kalinya dalam minggu ini. Tapi firasatnya mengatakan kalau dia enggak akan diterima di tempat barusan.
Biba meringis kecut. Membayangkan kembali bagaimana wawancaranya tadi berjalan.
"Bu Biba Berlianti, hmm 29 tahun ya? Sudah menikah?" Tanya ibu-ibu dengan tahi lalat gede mempesona di pipinya.
"Belum menikah bu. Juga tidak ada pacar dan tidak ada niatan menikah dalam waktu dekat." Jawab Biba antusias biar dinilai sebagai orang yang bisa fokus kerja.
"Mhm. Kok belum menikah? Ada yang enggak beres kali ya?" Gumam si ibu itu sambil mandangin Biba dari kepala sampai kaki.
Sepertinya Biba harus mulai program diet deh. Apalagi ditambah faktor usia yang enggak kebilang muda lagi sebagai wanita, kesempatan kerjanya jadi semakin sempit.
Biba membuka dan menutup buku tabungannya yang angkanya miris.
"Haha.. kerja lima tahun, di tabungan cuma ada lima ratus ribu. Woah, fantastik banget hidupku." Biba tepuk tangan sambil ketawa kecut.
Gajinya sebagai guru memang kecil, apalagi selama lima tahun kerja gajinya enggak pernah naik. Boro-boro naik, bonus aja enggak dapet. Ini semua gara-gara Kepsek sialan itu tuh.
Tapi Biba enggak pernah mengeluh kekurangan, malah memberikan sebagian gajinya kepada Om dan Tante yang sudah merawatnya sejak dulu. Tapi setelah lihat keadaan tabungannya sekarang, hatinya jadi goyah.
Ditambah, kemarin dia dengar percakapan keluarga Om dan Tantenya tentang dirinya.
"Ma, Pah, Kak Biba itu sampe kapan mau ikut kita terus? Sekarang nganggur pisan." Oceh adik sepupunya kepada om dan tantenya.
"Hush. Mbak Biba nyari kerja gitu lho. Juga suka bantuin warung papa mama, kamu jangan ngomong gitu tah nduk. Nanti kalau Mbak Biba denger gimana?" Tukas Omnya sambil mengacak-acak lembut rambut putri semata wayangnya.
"Huh! Tapi sampai kapan pah? Aku pengen punya kamar sendiri."
"Tapi ya pah, Biba itu enggak dinikahin aja tah? Apa papa enggak punya kenalan yang punya anak laki baik?" Tantenya menimpali.
Obrolan itu terngiang di kepala Biba sampai keesokan harinya.
Selama ini, tantenya akan selalu bilang ke Biba kalau mereka adalah keluarganya. Jadi Biba diminta untuk enggak sungkan. Dan karena ucapan itu, Biba dengan muka tebal tetap berada di antara ketiganya. Bermain keluarga sampai batas waktu tertentu.
Sebab sendirinya pun sadar kalau dia enggak akan jadi bagian dari keluarga mereka seutuhnya.
Di tengah kegamangannya - masih sambil ngelihatin plat nomor kendaraan yang lewat dan menebak dari mana asal kendaraan itu, ponselnya berdering.
Biba mendengus kesal.
"Apa lagi sih Cher?"
"Enggak keterima kerja ya kan? Ya dong? Ya kan?"
Biba sempat heran kenapa dia bisa bersahabat dengan cewek macam Cherish yang sumringah banget mendengar kabar buruk temannya.
"Oke Cher. Aku gantiin posisimu." Biba mengibarkan bendera putih.
Sampai saat itu, dia enggak membayangkan kehidupan macam apa yang akan menimpanya.