Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Slave Path: Gladiator

🇮🇩Uncomfortable
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.9k
Views
Synopsis
Sorak-sorai di colloseum bergema di telinganya yang mati rasa. ia, yang entah dengan tujuan apa, datang pada abad pertengahan sebagai seorang budak, mengambil sebuah misi untuk dirinya sendiri; untuk membebaskan diri. ketika ia telah memahami dunia tempatnya berpijak dengan sempurna; kakinya melangkah, mencari jalan untuk seorang budak. Mungkin sang kaisar atau penyihir yang mahatahu, atau mungkin sang Gladiator yang memperjuangkan kehormatannya sekuat tenaga; langkahnya tidak teratur; dunia tidak menghentikannya. - Up: Waktu senggang.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - 00 Prolog

Prolog— Devon Holland in the arena.

Teriakan keras membangunkannya. Ia membuka mata namun terhenti ketika ia merasa kepalanya berdengung.

Setelah beberapa menit, akhirnya dengungan berhenti, 'Apa-apaan? Apakah hari ini pesta pernikahan Monica?' Mendengarkan sorak-sorai di kejauhan, Devon tanpa sadar mengingat acara pernikahan orang yang ditaksirnya.

Namun ia segera tersadar dengan lingkungan disekitarnya yang asing, tembok dibuat oleh batu, debu dimana-mana, dan yang paling penting; adanya deretan senjata di sebelah kanan ruangan.

"Ini... Dimana?" Keheranan menyapu pikirannya. Devon tanpa sadar bangun dari posisi duduk, mengamati deretan senjata tajam di dekatnya. Ia kemudian sadar akan adanya bekas darah yang mengering di senjata-senjata itu.

'Sudah menempel seperti itu, pasti tidak ada yang membersihkannya.' Devon membatin.

Tiba-tiba, bau busuk yang seolah menembus hidungnya langsung ke otak tercium, devon mengerutkan kening dan menutupi hidungnya. 'Bau ini lebih busuk dari selokan di gang 'bebas'.'

'Tunggu,' ia merasa tangannya terlalu kasar. Matanya melebar ketika menyadari tangannya berbeda, 'Tunggu– apakah tubuh ini...' Pikiran menakutkan terlintas di pikirannya.

Namun sebelum ia bisa memastikan, Devon segera merasakan pusing dan terjatuh dengan mata terbuka lebar.

Gruntius

Ini adalah hari terburuknya, bangsawan terhormat, mantan ksatria dibawah raja yang kini melayani di pemerintahan; Gruntius Lane merasakan pusing hebat ketika memikirkan para budaknya yang mati di arena pada pertandingan gladiator yang diadakan oleh madam Bellona, istri dari gubernur Monstius.

Aku akan dibunuh Mera. Gruntius membatin. Namun tidak ada yang bisa ia lakukan selain berharap pada pertandingan terakhir, dimana satu-satunya budaknya yang tersisa akan bertanding.

"Jangan mati, hasilkan uang untukku!" Gumamnya.

Tidak lama, arena segera di bersihkan dan para budak baru atau yang masih hidup mulai melangkah ke arena. Bersiap untuk putaran kematian lainnya.

Kerumunan segera hidup, membahas budak mana yang akan mereka dukung... Gruntius memilih untuk percaya pada bawahannya dan menaruh 10 Rekt perunggu, kemudian menaruh 10 Rekt perak pada budak galdiator terkenal, ia tentu butuh jaminan, kan?

Melihat para penjudi mulai bertaruh, para pelaksana tidak membiarkan mereka menunggu lama dan segera memulai pertandingan.

Sang narator memulai dengan semangat. "Pada pertandingan hari ini anda akan menyaksikan babak mendebarkan dimana 10 Orang akan bertarung satu sama lain pada saat yang sama, mencoba untuk tidak mati sambil menunggu berdetak nya waktu! — Ketika sang narator berkata demikian, Sorakan mulai terdengar —  Tidak perlu menunggu lagi, MARI KITA SAKSIKAN SURVIVAL KALI INI!"

Mengikuti sang narator sorakan yang menggelegar terdengar tepat ketika para peserta menginjak arena, seolah menyambut kematian mereka.

Diantara sepuluh peserta, Gruntius melihat budaknya, namun ia memperhatikan budaknya terlihat linglung.

Aku akan tidur diluar!

Devon

Ketika Sorak-sorai yang menggelegar memasuki telinganya, Devon mulai mengangkat kepalanya dengan linglung, mengamati kerumunan setidaknya ribuan orang. Apa yang kulakukan disini? mengingat kejadian tiga puluh menit yang lalu, ia merasa pusing.

Ketika Devon terbangun, ia dapat dengan jelas mengingat 'kehidupan'nya yang sama sekali berbeda.

Ia ingat, dan percaya bahwa identitasnya adalah Devon Holland, seorang pemuda piatu yang hidup di negara kebebasan, Amerika. Ia hidup tanpa seorang ibu dan hanya memiliki ayah yang mengalami sakit parah dan harus tinggal di rumah sakit selama bertahun-tahun, seorang pekerja serabutan yang tanggap, dan pernah bercita-cita menjadi petinju.

Ingatan itu jelas di Benaknya, namun ia sekarang memiliki 'ingatan' lain di benaknya.

'Devon' adalah seorang budak. Seorang budak dengan hutang segunung di punggungnya. Namun, itu bukanlah hutang miliknya, melainkan ayahnya, dan karena orang yang sama juga ia sampai menjadi budak, yang sekarang di ikutsertakan dalam acara gladiator di Tinges untuk melunasi hutang... atau mati mencoba.

Sekarang, pikirannya kacau dan Devon merasa hampa.

"Kurasa, aku mengalami krisis identitas." Gumamnya. Dia tidak bisa disalahkan dibagian ini, siapa yang tidak akan mengalami krisis identitas ketika berhadapan dengan dua ingatan yang beradu?

Devon mendengar teriakan lainnya kali ini teriakan tersebut dekat dengannya. Menyadarkannya dari pikirannya.

Ketika Devon mengalihkan pandangannya pada teriakan, ia melihat para peserta galdiator telah mulai bertarung, mencoba bertahan hidup dengan membunuh yang lain.

Pemandangan ini membuat wajahnya memucat. Mau bagaimana lagi... Pertama-tama, aku harus hidup, baru kemudian berpikir. Devon membatin, mengatasi rasa takut di hatinya.

ia mengangkat Pedang dan perisai di kedua tangannya. Kurasa aku harus pasif.

Jantungnya berdebar, darahnya berkobar dan emosinya kacau, namun entah bagaimana pikirannya tetap tenang.

Seorang budak kulit hitam yang memegang kapak besar dengan kedua tangannya melihat Devon hanya berdiri dengan linglung, merasa bahwa itu adalah sebuah kesempatan, mengangkat kapak besar ditangannya, berlari menyerang Devon.

Devon melihatnya, ototnya mengeras, dan ia bersiap untuk bentrokan yang akan terjadi.

Jarak mereka tidak jauh dan si Gladiator berkulit hitam segera mendekati Devon.

Ia berteriak dan mengayunkan kapaknya mengincar area dada. Tanpa sadar, Devon mengangkat perisai nya.

Perisai yang devon pegang adalah perisai Bundar dengan bahan kayu. Devon dapat merasakan lengannya bergetar akibat benturan, telinganya sekali lagi berdengung. Namun, Devon melihat kapak yang tersangkut di persiainya.

Ketika melihat serangannya di blokir, gladiator berkulit hitam berniat menarik kapaknya dan sekali lagi menyerang. Namun Devon mendorong persiainya dan dengan kuat memutarnya kesebelah kanan.

"Akch, sialan!"Si gladiator berkulit hitam tak dapat menahan umpatan sebelum terjatuh, ia tidak memiliki waktu untuk berfikir ketika Pedang tajam menembus bagian belakang kepalanya.

Darah menyembur dan bau darah yang kuat seolah menusuk hidung Devon, membuatnya merasa mual. Namun satu pikiran menghentikannya dari muntah, 'aku akan mati jika tidak bergerak sekarang!'

Segera, ia menarik pandangannya dari mayat gladiator yang ia bunuh, matanya menyapu arena dan menemukan titik buta yang cocok untuk bersembunyi di sebelah timur arena.

Ia berjalan sepelan mungkin untuk menghindari menarik perhatian para gladiator yang sedang bertarung. Ketika mencapai titik buta, Ia menghembuskan napas yang ia tahan

Ia dapat merasakan emosinya yang tak karuan, napasnya yang tergesa-gesa, dan rasa mual yang mengganggu. Namun pikirannya bersih, tidak terpengaruhi oleh keadaan ditubuhnya.

Devon bergumam."Aneh, sebelumnya tidak seperti ini."

Devon mengesampingkan masalah ini dan memfokuskan pikirannya. Ia mengamati arena dan mendapati bahwa ada satu gladiator yang menatapnya, namun gladiator itu segera teralihkan oleh serangan dari gladiator lain.

'Pria dengan rambut merah, Pedang dan perisai.' Ia mengingat ciri dari galdiator yang menyadari tempatnya dan mengamati gladiator itu, mencoba menganalisis dan mengantisipasi serangannya.

Namun seorang gladiator wanita dengan rambut coklat, memegang sebuah tongkat besi sebagai senjata, berjalan kearahnya dengan tongkat besi yang siap diayunkan.

"Sialan."

"Jangan cemas begitu, kakak ini enggak menggigit kok." Melihat Devon yang wajahnya berubah muram, si gladiator wanita tersenyum dan menggoda.

Devon menarik dan menghembuskan nafas, sebelum kemudian membalas." Aku cemas, karna ada satu lagi mayat berjalan kearahku."

Provokasi harus dibalas dengan provokasi, jika tidak, yang memprovokasi akan semakin merajalela Adalah ajaran yang ditanamkan oleh pamannya. Dan Devon mempercayai kata-kata ini di hatinya.

"Dik, kuajari satu hal. Jangan meremehkan wanita!" Sementara mulutnya mengucap, Si gladiator wanita berlari kencang menuju Devon.

Tongkat, aku tidak bisa memakai trik yang sama... sementara ia berpikir, tubuhnya mengikuti gerakan gladiator wanita.

Devon maju kedepan dengan perisai bundar diletakkan di depan wajahnya, pedang yang masih berdarah telah siap diayunkan.

Gladiator wanita menyerang dengan mengayunkan tongkat besinya keatas secara diagonal. Devon mengantisipasinya dan berhasil memblokir dengan perisainya, lengannya bergetar.

Devon melanjutkan dengan menusuk tepat ke arah dada Gladiator wanita, namun ia berhasil menghindar dan mundur beberapa langkah.

Bentrokan singkat ini membulatkan pikiran mereka; ini akan berlangsung lama.

Serangan si gladiator wanita sangat berat, tangan Devon masih bergetar akibat menahan serangan tadi. Ia mau tidak mau berpikir; terbuat dari apa wanita ini? Baja?

Namun, refleks dan kecepatan Devon dapat mengimbangi kekuatan gladiator wanita.

Tepat saat ini si gladiator tiba-tiba berkata dengan tenang. "Aku di sebut sebagai Iron maiden."

Saat seorang gladiator menyebutkan julukannya, lawan bicaranya harus membalas dengan julukan yang relevan. Devon mengingatnya.

"Aku tidak memiliki julukan." Yang berarti dia baru menjadi seorang gladiator.

Iron maiden terlihat terkejut ketika mendengarnya, matanya penuh kecurigaan sebelum kemudian ia membuang muka dan berjalan pergi ke bagian tengah arena: ia tidak menginginkan pertarungan yang sulit di pertarungan survival. Sebaliknya, lebih baik mencari lawan yang mudah dibunuh.

"Hah, kita lihat apakah pengecut sepertimu bisa bertahan di arena ini." Dia juga tidak lupa memberi pujian.

Pengecut selalu menjadi yang paling lama hidup... Devon melamun. Dia menyegarkan pikirannya pada detik berikutnya, memandang arena berdarah dengan mata kusam.

Langkah mana yang harus kuambil? Sementara ia berpikir, kakinya telah mengambil langkah.

Sebenarnya, langkah mana yang kita harus ambil?

Yang putih kelak akan menguning, yang menguning kelak akan memerah, namun segalanya akan kembali pada asalnya.

Berkunjunglah nanti.