Hebat menyembunyikan perasaan adalah satu kelebihan dari seratus kelemahan yang ada di dalam diri gue.
-Bella
****
Kedua gadis yang memakai seragam SMA dengan nama sekolah yang sama itu berjalan menuju depan gerbang rumah mereka.
"Kakak kenapa pergi ke tempat itu lagi? Kalau Mama tau, Mama pasti marah, Kak," beritahu Shae pada Bella yang tetap melangkah untuk halte depan kompleks.
Bella terus mengabaikan perkataan Shae. Dengan wajah datar khas dirinya.
"Kak," panggilan Shae barusan berhasil menghentikan langkah gadis itu.
Tubuhnya berbalik. Menatap datar wajah Shae yang selalu terlihat manis. "Lo nyuruh dia dateng?"
Shae mengangguk, dia mengerti maksud pertanyaan Bella barusan.
"Dan lo pikir gue seneng?" Bella berdecih sinis.
"Sama sekali nggak! Gue nggak suka sama sikap sok baik dan sok peduli lo itu!" Bella maju satu langkah. Dan mengangkat dagu Shae dengan kasar. "Dan satu hal lagi. Gue nggak pernah berharap Arkan suka sama gue. Asal lo tau." setelah mengucap itu, Bella berlalu dari sana.
Shae menghapus air matanya yang baru saja menetes. Ia menunduk. Mengapa Bella selalu berpikir seperti itu? Mengapa dia tidak bisa bersikap baik layaknya seorang Kakak pada Adiknya?
Suara klakson mobil membuat Shae dengan cepat menghapus air matanya lagi. Arkan turun dari mobil, menatap heran kearah Shae.
"Kenapa?" tanyanya. Shae menggeleng sebagai jawaban.
"Dia ngomong kasar lagi?" tebak Arkan yang sudah mengerti bagaimana Bella terhadap Shae.
Shae mengangkat wajahnya. Tersenyum tipis pada Arkan. "Nggak kok kak, yuk berangkat, ntar kita telat ke sekolah," kata Shae lalu masuk kedalam mobil.
****
Seperti hari-hari biasanya, jika seseorang yang melintas dengan tampang dinginnya itu selalu membuat orang-orang yang berada di sekitarnya menunduk dan melangkah mundur.
Siapa lagi kalau bukan Cabella Aureline.
Sampai seorang cewek yang tidak Bella kenal menyenggol lengannya dengan tidak sengaja.
"Maaf Kak, aku buru-buru," ucap gadis itu tanpa melihat mata Bella. Kepalanya tertunduk takut.
Bella maju selangkah, mata tajamnya itu selalu membuat lawan biacaranya tak mampu berkutik. Sama seperti gadis ini.
"Mata lo itu gunanya buat apa, hah?"
"Maaf, Kak," cicitnya dengan suara pelan.
"Maaf-maaf, lo pikir gue mau gitu maafin lo?" Bella bersedekap. Menatap penampilan gadis itu dari atas hingga bawah.
"Ck, kampungan." desisnya sinis.
Seperti biasa, beberapa panghuni sekolah yang kebetulan melintas memberhentikan langkah mereka. Sekadar melihat, hari ini siapa yang menjadi santapan seorang Bella.
"Karena penampilan lo yang menjijikkan ini, lo harus jadi babu gue selama seminggu." kata Bella dengan senyum miringnya.
"Ta-tapi kak--,"
"Kak Bella," Mendengar seruan itu, Bella sontak memutar bola mata malas dengan tangan yang masih bersedekap.
"Kakak apaan sih, dia 'kan nggak sengaja,"
"Lo nggak usah ikut campur!"
Shae melihat kearah Fanny. "Fan, kamu bisa pergi sekarang," perkataan Shae membuat Bella semakin marah.
Melihat Fanny berlari menjauh dari sana, Bella mendorong kasar tubuh Shae, membuat gadis itu meringgis akibat terhempas ke dinding yang tepat dibelakangnya.
"Lo itu cuma sampah! Nggak usah sok peduli! Gue muak sama tingkah lo itu!"
Shae berusaha berdiri tegak. Saat ini sudah banyak penghuni sekolah yang berkumpul di sekitar mereka. Dan anehnya, tidak ada satupun dari mereka yang berani mengadukan peristiwa ini pada Guru.
Alasannya hanya satu. Mereka takut pada Bella.
"Kak, Shae nggak ada maksud apa-apa. Shae cuma nggak mau Kakak kena masalah lagi," kata Shae dengan suara lirih.
Mendengar itu Bella langsung tertawa sinis. "Lo nggak mau gue kena masalah?" Shae mengangguk kecil. "Dengan adanya lo di hidup gue, itu cukup ngabuat masalah besar dalam hidup gue! Paham lo?" ucap Bella dengan suara yang meninggi.
Shae berusaha menahan air matanya agar tidak menetes. Hatinya sakit saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut seseorang yang telah dia anggap seperti Kakak kandungnya sendiri.
Shae maju perlahan. Dia berlutut pada Bella dengan suara isak tangis yang terdengar samar-samar.
"Kak, Shae minta maaf kalo selama ini Shae selalu jadi masalah dalam hidup kakak. Shae minta maaf karna selama ini nggak pernah ngertiin Kakak. Tapi Shae mohon kak, tolong jadi kak Bella yang dulu. " lirih Shae.
Bella memundurkan langkahnya dengan wajah yang berpaling. Berubah seperti dulu lagi? Bella tertawa dalam hati.
Tidak akan.
"Lo nggak berhak buat ngatur hidup gue." kata Bella lalu pergi begitu saja.
Shae yang masih pada posisi itu pun dibantu oleh kedua temannya untuk berdiri.
"Sha, lo nggak papa??" tanya Olla.
Dan Shae hanya mengangguk sebagai jawaban.
****
Bukannya masuk kedalam kelas karena bel masuk telah berbunyi, Bella malah naik ke atap sekolah. Bukan pertama kalinya, dia memang sering datang ke tempat ini.
Tempat yang sunyi, udara yang sejuk, serta pemandangan awan yang bergumpal di atas sana sudah cukup menenangkan perasaan Bella.
Sesungguhnya, dia ingin sekali memiliki teman, saling bercerita dan tertawa bersama. Tetapi lagi-lagi dia harus menyadari.
Jika dia dilahirkan hanya untuk merasakan pahitnya kehidupan.
Menghembuskan napas perlahan, Bella melangkah mendekati dinding pembatas yang hanya sebatas dadanya. Kepalanya tertunduk melihat objek yang berada di bawah sana.
Ia tersenyum tipis. Di sana ada Arkan dan teman-temannya yang sedang latihan basket. Entah mengapa, melihat Arkan mampu membawa ketenangan tersendiri di dalam hatinya. Dia tidak menyangkal jika dia mencintai cowok jangkung itu.
Tetapi, apa ada seseorang yang menerima cewek seperti Bella?
Jawabannya, tidak.
Bella sendiri sadar, jika dia memang tidak pantas untuk bahagia.
Bella memundurkan langkahnya saat tiba-tiba Arkan mendongak lalu melihat kearahnya. Lalu tak lama kemudian, sebuah pesan masuk kedalam ponselnya.
Arkan : Ngapain lo disana? Turun.
Bella : Bukan urusan lo.
Arkan : Turun atau gue aduin lo yang bolos pelajaran?
Bella mendengus pelan, terlalu malas untuk turun. Ingin membantah tetapi Bella tahu Arkan tidak pernah main-main dengan ucapannya.
Bukan berarti dia takut jika akan dihukum karena bolos. Dia hanya malas untuk berdebat dengan Bu Beria yang notabennya Guru BK.
Ia meletakkan tasnya di sebuah sofa yang telah usang, karena kalau tidak, bisa-bisa dia akan ketahuan jika sedang bolos pelajaran. Dan setelah itu, Bella turun dari rooftop.
****
Setelah sampai di bawah, Bella tidak menuju lapangan basket, melainkan kantin. Namun seruan seseorang yang memanggil namanya itu membuat langkahnya terhenti.
"Lo lanjut aja latihannya,"
Bella menatap malas Arkan yang berjalan menuju kearahnya.
"Ngapain lo manggil-manggil gue?" tanya Bella dengan nada ketus.
"Ngapain lo bolos?" tanya Arkan balik. Bella memutar bola mata malas mendengarnya.
"Bukan urusan lo. Yang bolos 'kan gue bukan elo,"
Arkan menyisir rambutnya yang basah dengan jari, Bella yang melihat itu pun mengalihkan wajahnya.
"Balik kelas." titah Arkan bak raja.
"Apa urusannya sama lo?"
"Gue cuma nggak mau ada murid yang bolos di sekolah gue,"
Bella yang mendengar itu pun memasang wajah sinis.
"Trus, lo pikir gue takut?"
Arkan menganggukkan kepalanya.
Dia memanggil seorang cewek yang kebetulan melintas didekat mereka.
"Lo anggota OSIS 'kan?"
"Iya," jawab cewek itu.
"Dia bolos pelajaran, lo bawa dia ke ruang BK." kata Arkan.