Aku pernah membaca sebuah buku. Ada beberapa halaman yang aku lewati karna menurutku isinya tidak menarik dan terlalu banyak kalimat yang membuatku harus berpikir keras. Namun saat berada dipertengahan halaman, aku menyadari satu hal, isi buku itu tidak sempurna terekam di memoriku karna ada beberapa halaman yang ku lewati.
Sama seperti kehidupan, terkadang aku membenci suatu fase yang menurutku penuh dengan kecewa, airmata, rasa sakit dan rasa susah. Saat memasuki fase itu aku selalu ingin berlari, menghindarinya, bahkan tak jarang aku berpikir untuk mengakhiri saja hidupku agar tidak harus melewati fase itu. Namun yang aku lupa, saat aku memutuskan melakukan itu semua, hidupku akan berhenti. Tidak akan ada lagi cerita. Fase sulit memang tidak akan aku lewati, tapi masa bahagia pun tidak akan pernah aku rasakan lagi. Hanya mati. Berhenti. Selesai.
Maka mustahil untuk menghindari fase itu jika aku memang masih ingin punya cerita. Sebab hidup memang satu frame, antara senang, bahagia,kecewa,tawa, duka, airmata, cinta, sakit, semua sudah satu paket. Maka jalani saja, nikmati, dan belajarlah menari ditengah badai.
Namaku Aleta Rinjani Sanggra. Aku anak tunggal dari bunda dan ayah yang selalu saja bertengkar dan jarang sekali aku melihat mereka akur dan romantis seperti orang tua temen temenku.
Ya, aku anak tunggal sampai usiaku delapan belas tahun. Tepat sehari setelah ulang tahunku yang kedelapan belas, ada seorang anak perempuan yang mungkin usianya tak jauh dariku datang kerumah dan mengubah hidupku, bukan cuma hidupku, tapi juga hidup keluargaku.
Namanya Adinda Rianja Sanggra. Ya, Sanggra itu nama belakang ayahku, Andika Sanggra. Dan Adinda adalah anak ayahku yang lain, dari wanita yang lain.
Tentu saja kenyataan itu memukul hatiku dan bunda. Aku tau, bunda lebih terluka daripada aku. Kedatangan Adinda juga secara otomatis membongkar perselingkuhan ayah dengan seorang wanita bernama Rani, ibu dari Adinda. Kedatangan Adinda secara tiba tiba diusianya yang sudah enam belas tahun, tentu aneh. Kenapa baru sekarang dia datang,kalau memang dia tau ayahku juga ayahnya.
Saat itu ayah dan bunda hampir bercerai. Tapi mungkin Tuhan masih menginginkan mereka berjodoh, aku tiba tiba sesuatu terjadi padaku dan membuat kondisiku sempat koma selama seminggu. Ternyata keadaanku yang buruk mampu menyatukan kembali perasaan ayah dan bunda dan membunuh ego mereka.
Meski masih sering bertengkar, ayah dan bunda nyatanya masih jadi suami istri sampai sekarang, hingga usiaku Kini memasuki angka 24 tahun, dan Adinda berusia 22 tahun.
Meski belum sepenuhnya menerima kehadiran adinda, kami berusaha memperlakukan dia dengan baik. Entah dengan adinda,tapi aku masih merasa aneh dengan hubungan kami yang tiba tiba harus satu KK,harus satu rumah, dan tentu yang menjadi beban bagi bunda, harus menerima dia sebagai anak, walaupun itu merupakan luka baginya.
Meski aku sudah berusia dua puluh empat tahun, namun aku belum juga menyelesaikan kuliahku. Entah apa yang membuat pendidikanku selalu berhenti ditengah jalan.
Aku duduk didepan meja yang selalu ku pakai untuk belajar, menulis diary tepatnya. Ella, sahabatku yang bertubuh langsing dan berkulit eksotis mendekatiku sambil menyerahkan selembar formulir pendaftaran universitas swasta dikataku.
" Ini universitas ketiga ta, kalo kali ini mandeg juga, i don't know what you want".
Ucap Ella sambil duduk dikasurku yang hari ini bersprei putih.
" Memangnya kenapa kalau gak kuliah? Berdosa ya? Aku gak minat buat kuliah".
" Ta, ini zaman milenial, kamu kuliah aja belum tentu mudah cari kerja. Apalagi gak kuliah".
" Jadi kita kuliah buat cari kerja?".
Bibir Ella yang seksi seperti bibir Kelly Jenner menurutku sih,sedikit monyong sambil matanya melirik lirik kekanan dan kekiri.
" Gak juga sih.... Tapi ya harus kuliah".
" Gak ngerti sama konsep manusia milenial. Mending gak usah jadi manusia milenial". Jawabku lalu mengambil pulpen di dalam keranjang kecil yang bergambar Winnie the Pooh karakter karton favoritku.
" Aleta, kamu tuh terlalu naif".
" Daripada narsis. Kurang empati dan simpati. Hanya memikirkan kepentingan diri sendiri". Jawabku sambil tetap fokus mengisi formulir pendaftaran yang diberikan Ella tadi.
Terdengar pintu kamarku terbuka. Wajah adinda yang semakin mirip ayah terlihat tersenyum manis.
" Malam mbak, boleh gabung gak?". Tanyanya dengan wajah innocent yang khas.
" Boleh kok". Jawab Ella dengan nada ramah.
" Gak punya temen ya?". Selaku menghentikan langkah adinda.
" Kayaknya seru aja ikut gabung sama kalian. Temen mbak Aleta kan bisa jadi temen aku juga". Sahut adinda masih dengan nada ramah.
Entah kenapa semakin ramah dia, semakin aku membenci hal itu.
" Jangankan temen, ayah aku aja sekarang jadi ayah kamu". Sahutku lagi tanpa rasa segan.
Ella mendekatiku lalu mencubit pinggangku.
" Kalo ngomong bisa gak difilter". Bisik Ella dengan wajah tidak enak melihat adinda.
" Kan cuma kamera yang pakek filter". Jawabku sekenanya.
" Ya udah gak apa apa mbak, lain kali aja aku gabung". Kata adinda lalu bergegas keluar dari kamarku.
" Aleta, kalau dia sakit hati gimana?".
" Dia kan udah dewasa. Tau gimana caranya mengatasi sakit hati". Jawabku sambil menyerahkan formulir yang baru saja kuselesaikan.
" Bilang ke ayah, ini yang terakhir kali aku mendaftar kuliah. Setelah ini, aku gak mau kuliah. Dipecat jadi manusia milenial juga gak apa apa kok". Aku menyerahkan selembar formulir itu ketangan Ella.
" Gak ada yang bisa mecat kamu jadi manusia milenial. Dasar aneh". Gerutu Ella sambil menarik formulir itu dari tangnku.
Aku hanya mengangkat bahuku lalu beranjak keatas kasurku dan membenamkan tubuhku dibalik bantal.
Entah apa yang harus ku pikirkan saat ini. Kosong. Seperti langit langit kamar yang hanya benderang disebagian tempat saja.