Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 205 - Jhonny - Jennie

Chapter 205 - Jhonny - Jennie

Jakarta

Author POV

Meskipun hati Serena masih mendongkol akibat peristiwa semalam, dan ia ingin tahu bagaimana perasaan Jhonny sendiri sesudah pertengkaran pendek mereka semalam, tetapi pada permukaannya ia bersikap biasa-biasa saja. Seolah, semalam tidak ada persoalan yang muncul di antara mereka berdua.

Dan tampaknya, Jhonny pun tidak ingin memperlihatkan apa yang saat itu berkecamuk dalam dadanya. Sikapnya juga biasa-biasa saja sehingga acara makan pagi dan kesibukan sehari-hari sebagaimana biasanya terjadi, dapat berjalan dengan lancar. Bahkan ketika Serena selesai menyiapkan roti untuk Leon dan Indah di dekat tas anak-anak itu, Jhonny menawarinya ikut mobilnya.

Memang ajakan ikut mobilnya itu bukan baru sekali itu dilakukan oleh Jhonny kalau kebetulan lelaki itu mempunyai urusan yang tidak jauh dari kantor Serena.

"Tetapi tentu saja kalau kau belum mempunyai janji untuk dijemput oleh salah seorang dari pengagummu!" katanya menambahkan.

Serena tidak berusaha menindas kejengkelannya.

"Belum, belum ada janji dengan salah seorang di antara mereka," jawabnya "Tetapi kau sendiri apakah tidak ada acara mengantar seseorang sehingga kalau aku ikut, tidak mengganggu kalian?"

"Kalau pagi, acaraku memang selalu mengantarkan orang. Mengantar Leon dan indah ke sekolah mereka!" sahut Jhonny kalem.

"Kalau memang tidak mengganggu, aku akan berterima kasih kalau sekali ini kau ajak ikut mobilmu," kata Serena sambil membawa Leon dan indah yang masih sibuk dengan botol minuman mereka.

"Tidak... tidak menggangggu."

"Tetapi seperti biasa, kita antar anak-anak dulu ke sekolah mereka!"

"Ya."

Leon dan indah memang biasa diantar oleh Jhonny kalau pagi. Siangnya baru diikutkan mobil antar jemput sekolah. Hal itu bukan demi penghematan, tetapi demi keakraban suasana antara ayah dan anak-anaknya. Di mobil, mereka bisa mengobrol ini dan itu bersama-sama. Dan keuntungan yang kedua, dengan naik mobil ayah mereka, keduanya tak perlu harus bangun lebih pagi. Karena, kalau ikut mobil jemputan sudah menjemput merek pagi- pagi sekali untuk mengejar waktu yang dipakai untuk menjemout anak-anak lainnya.

Pagi hari itu baik Indah maupun Leon tampak lebih riang daripada biasanya. Kehadiran Serena yang hampir-hampir tak pernah ada bersama mereka jika berangkat pagi, itu menyenangkan keduanya. Ada-ada saja yang mereka tertawakan. Melihat ayam bertumpuk di bak belakang truk entah mau dikirim ke mana, mereka tertawa. Padahal tidak lucu. Melihat penjual koran di perempatan jalan 'main sembunyi-sembunyian' dengan polisi, mereka tertawa. Padahal biasanya mereka mengungkapkan keprihatinan mereka. Pendek kata, kedua anak itu sungguh-sungguh mencetuskan kegembiraan hati mereka atas kehadiran Serena. Dan itu disadari baik oleh Jhonny maupun oleh Serena sendiri.

Ketika kedua anak itu sudah mencium pipi masing- masing sekecupan pada pipi Jhonny dan Serena dan pamit ke sekolah, suasana di dalam mobil berubah mendadak. Tidak ada lagi celoteh lucu anak-anak mereka. Yang ada hanyalah kediaman, kebisuan, dan ketegangan yang menekan perasaan.

Merasa tak enak, Jhonny menyalakan radio dan berpura-pura menaruh perhatian kepada acara-acara yang dihidangkan. Serena mengimbanginya dengan sesekali mengetuk-ngetuk jemarinya mengikuti alunan lagu yang kadang-kadang diselingi oleh iklan itu. Namun toh keadaan seperti itu lama-lama tak menyenangkan juga. Lebih-lebih karena pikiran Serena tak bisa melepaskan diri dari bayangan kegembiraan Leon dan Indah pagi tadi. Entah bulan depan keadaan seperti itu akan terjadi lagi ataukan sudah berakhir? Perceraiannya dengan Jhonny sudah semakin mendekat saja harinya. Kalau itu sudah terjadi dan Jhonny sudah pula mendapatkan rumah, tentu Leon dan Indah tidak ada yang mengantar ke sekolah lagi. Mereka akan ikut mobil antar jemput sekolah yang suasananya pasti berbeda.

Serena merasa sedih dengan tiba-tiba. Betapa banyaknya yang akan hilang dari kehidupan mereka.

"Mas Jhonny. " katanya sesudah menekan rasa sedih itu.

"Hm...?" Jhonny menoleh ke arah Serena beberapa saat lamanya, kemudian tangannya terulur, mengurangi volume suara radio di depannya. la merasa, ada sesuatu yang akan dikatakan oleh Serena. Menikah dengan perempuan itu menyebabkan ia cepat mengenali gelagat yang ada pada diri ibu anak-anaknya itu.

"Apakah kau tak merasa bahwa selama 3 bulan ini kita belum satu kali pun memberi isyarat bahwa kita berempat tidak akan lagi dapat bersama-sama seperti hari ini?"

"Ya, aku merasa...." Jhonny merasa agak gugup. la menyadari kesalahannya. la terlalu takut menghadapi air mata kedua anak yang masih begitu muda itu. "Tetapi... aku sungguh-sungguh tak sampai hati."

"Aku pun demikian," sahut Serena menimpali. "Kadang-kadang aku merasa bersalah tidak memakai kesempatan selama 3 bulan ini untuk menyiapkan hati mereka. Tetapi... bagaimana lagi, aku juga tidak sampai hati untuk memulainya."

"Lebih-lebih kalau teringat betapa riangnya hati mereka baru saja tadi," kata Jhonny sambil menarik napas panjang. "Akan ada lagikah tawa ria dan canda seperti itu sesudah perceraian kita nanti kalau kita katakan kepada mereka?"

"Tetapi bagaimana pun juga, berita itu harus disampaikan juga," Serena mencoba untuk menghadapi kenyataan dengan pikiran dingin. "Lusa, mereka libur panjang. Jadi, kita berdua sudah harus menyiapkan hati mereka. Ini sudah 3 bulan lebih sejak kedua belah pihak keluarga kita menyetujui rencana perceraian kita. Terlalu lama, tidak baik jadinya."

"Karena akan menghalangi gerak langkah kakimu untuk segera dapat bersama-sama dengan mantan terindahmu?"

"Jangan memulai pertengkaran Mas!" bentak Serena tegas. "Kita sedang membicarakan hal-hal yang ada di seputar diri kita. Hal-hal lainnya bisa menyusul kemudian kalau kita benar-benar sudah berpisah!"

"Maaf."

"Maaf saja tidak cukup!" bentak Serena lagi. "Kamu harus mengubah penilaian rendah terhadapku maupun terhadap teman-temanku. Kami bukan orang yang suka mengail ikan di air keruh. Dan bagiku, sedikit foya-foya yang tidak lewat dari rel-rel kesemestian, kurasa itu bukan kejahatan. Aku bukan malaikat. Aku juga membutuhkan hiburan sekali-sekali. Kehidupan yang kujalani belakangan ini terlalu berat untuk ditempuh dengan serius dan terasa tegang. Jangan kamu kira karena aku seorang perempuan IaIu tidak mempunyai kebutuhan bersenang-senang seperti dirimu yang bisa setiap saat terbang entah ke mana!"

Jhonny merasa sentuhan pada hatinya mendengar keluhan yang baru kali itu diucapkan oleh Serena dengan terus-terang semenjak retaknya hubungan mereka sebagai suami istri. Dan apa yang dikatakan oleh perempuan itu dapat dipahaminya. Memang tidak mudah menjalindah kehidupan gersang sebagaimana yang ditempuh oleh Serena akhir-akhir ini.

"Maaf sekali lagi, kalau begitu!" katanya dengan tulus.

Serena dapat merasakan kesungguhan dan ketulusan dalam suara Jhonny kali itu. la terpaksa menganggukkan kepalanya.

"Kembali ke soal semula," katanya kemudian. "Kurasa memang sekarang ini kita sudah harus mulai menyiapkan hati mereka. Tetapi aku masih belum mempunyai rencana apa pun mengenai itu. Apakah kau mempunyai rencana atau saran bagaimana baiknya?"

"Bagaimana kalau kita ajak mereka ke satu tempat. Ke Puncak misalnya. Jumat sore berangkat dan Minggu sore kembali ke Jakarta. Di sana, kita bisa pelan-pelan membuka persoalan secara santai, seolah perceraian itu bukan akhir dari segala-galanya. Kita tunjukkan bahwa kita berdua masih tetap bersekutu, bersahabat, dan menjadi orangtua mereka yang penuh kasih kepada mereka meskipun kelak sudah bukan sebagai suami istri lagi."

"Aku setuju. Tetapi bagaimana cara kita membuka persoalan itu?"

"Yah, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan secara terbuka bahwa kita berdua tidak lagi bisa bersama-sama karena... karena... tidak cocok. Daripada setiap hari bertengkar, misalnya. Yah, nantilah kita susun cara bagaimana menyampaikan berita itu secara pelan, terbuka, dan dalam suasana santai dan damai sehingga menghindarkan mereka dari rasa takut dan rasa tak aman yang mungkin muncul di hati mereka menghadapi perceraian kita nanti. Pokoknya, sedapat mungkin kita harus berusaha jangan sampai terlalu melukai hati mereka!"

"Memang ada baiknya mereka ikut mengerti persoalan-persoalan yang terjadi di antara kita," Serena menyetujui usul Jhonny. "Bagaimana pun pahitnya, mereka harus diajak untuk melihat permasalahannya dan meletakkannya pada proporsi sebenarnya baik yang positifnya maupun yang negatifnya. Kehidupan ini tidak selalu berjalan mulus seperti jalan tol. Mereka harus mampu melihat semua itu sebagai bagian dari kehidupan

ini. Yang penting, kita berdua jangan sampai membohongi mereka, yang akan dapat menimbulkan rasa tak percaya dan kehilangan respek mereka terhadap kita berdua. Bagaimana pun yang terjadi di antara kita berdua, kita ini adalah ayah dan ibu mereka. Kelahiran mereka adalah karena kita berdua!"

"Memang benar, begitu Ren. Hal-hal semacam itu, di mana anak-anak dihadapkan kepada kenyataan hidup yang sebenarnya, akan dapat mendewasakan pikiran mereka. "

"Yah, memang. Tetapi juga harus dengan cara hati- hati, sesuai dengan daya tangkap mereka!"

Jhonny menganggukkan kepalanya.

"Oke, kalau begitu!' gumamnya, lebih ditujukan kepada dirinya sendiri.

"Jumat malam nanti, kita akan berangkat ke Puncak. Kurasa waktunya sangat tepat. Karena bersamaan dengan masa liburan mereka."

"Yah, mudah-mudahan keadaan semacam itu bisa tetap berlangsung meskipun aku nanti tidak bisa ikut mengawasi mereka setiap hari...." suara Jhonny semakin lemah kemudian diakhiri dengan helaan napas panjang.

"Aku tidak ingin hal-hal semacam itu terjadi pada diri Indah maupun Leon. Kita berdua harus berhati-hati menyiapkan hati anak-anak kita, Ren!"

"Tentu saja. Itu adalah tugas kita berdua."

"Dan akan kita mulai mempersiapkannya secara hati-hati dan bijaksana, pada akhir minggu ini."

Tetapi pada kenyataannya, seindah apa pun kata- kata yang bernapaskan tekad dan sehebat apa pun suatu rencana yang telah matang, tidaklah semudah kedengarannya dan juga tidak semudah bayangannya. Bukan saja itu tergantung kepada situasi, kondisi dari si penyampai yaitu pihak Jhonny dan Serena, tetapi juga tergantung kepada situasi dan kondisi kedua anak mereka. Sulit sekali mencari saat-saat yang cocok satu sama lainnya. Setiap kali Serena dan Jhonny sudah saling memberi isyarat, bahwa mereka berdua telah siap untuk mulai mengatakan tentang kehidupan pernikahan mereka yang sudah hampir terputus itu, setiap kali pula mulut mereka seperti digantungi oleh berton-ton batu. Karena, kondisi dan situasi yang ada pada diri Indah maupun Leon tidak memungkinkan. Kalau mereka tidak sedang begitu gembira sehingga siapa pun tak akan tega merenggutkan kebahagiaan murni anak-anak yang tak berdosa itu, tentu keduanya tampak sedang berada dalam keadaan letih sesudah bermain-main sepanjang hari tadi. Seperti juga yang tadi terjadi.

Siang itu, sesudah makan dan sebelumnya asyik berenang di belakang rumah, Serena memanggil anak- anak itu ke ruang santai.

"Mama tadi menyuruh orang membuatkan puding karamel!" katanya. "Ayo kita makan ramai-ramai sambil nonton video. Pilihlah film apa yang ingin kalian tonton. Di sana tersedia film anak-anak yang lucu-lucu Iho!"

Menurut rencana yang sudah disusunnya, nanti bersama Jhonny ia akan membicarakan adanya ketidakberesan di dalam pernikahan mereka sebelum memutar salah satu dari film yang dipilih oleh anak-anak itu. Serena ingat buku yang pernah dibacanya, bahwa berbicara dengan perut dalam keadaan kenyang, akan lebih baik hasilnya daripada bicara dengan perut kosong. Dan Jhonny tadi mengatakan sebaiknya mereka bicara dengan santai tetapi serius sehingga anak-anak itu tahu bahwa persoalan yang dihadapkan kepada mereka itu sungguh penting, tetapi tidak perlu harus membuat mereka menjadi takut karenanya.

Begitulah rencana Serena dan Jhonny. Tetapi begitu melihat Leon dan indah ribut memilih film dan sempat bertengkar karena saling berebut film yang mereka sukai agar diputar lebih dulu sehingga piring puding Leon tertumpah ke lantai, segala yang sudah direncanakan oleh Serena dan Jhonny menjadi tergantung kembali. Keduanya sama-sama menyadari bahwa Leon dan indah tidak dalam keadaan siap secara lahir maupun secara mental. Tidaklah tepat kalau dalam keadaan masih ribut seperti itu mereka akan menambahinya lagi dengan persoalan yang berat.

Begitu pun yang terjadi ketika pagi hari Minggunya sesudah mereka semua makan nasi tim yang lezat di Cipanas dan berkuda di sekitar tempat penginapan yang mereka sewa. Serena dan Jhonny tak sanggup untuk melaksanakan rencana-rencana mereka yang sudah matang untuk menyiapkan hati anak-anak itu. Tak sampai hati merusak kegembiraan yang begitu memancar bukan saja dari wajah dan mata mereka, tetapi juga dari sikap mereka.

"Lalu kapan lagi kita bisa segera mulai berbicara kepada mereka, Mas?" Serena menjadi tidak sabar. "Semakin lama ditangguhkan semakin perutku terasa tegang. Kalau disamakan dengan bisul, barangkali sedang matang-matangnya. Terasa menyakitkan. Aku ingin bisul itu segera pecah. Sakit sebentar tetapi kemudian akan mengering dan berangsur sembuh!"

"Bicara memang mudah, Serena. Tetapi lihatlah anak- anak itu, mereka bukan benda yang bisa kita atur IaIu kita bicara sesuatu yang penting dan yang berkaitan dengan hidup mereka di masa depan dan kemudian dengan tenang mereka terima berita itu begitu saja. Apakah kau tega menjatuhkan sebuah bom di atas anak-anak yang masih dalam keadaan gembira dan terbius segala macam acara baru yang menyenangkan itu?"

"Memang tidak, Mas. Aku tidak tega. Tetapi IaIu kapan kita bicara? Nanti sore kita sudah akan kembali ke Jakarta."

"Kita lihat kemungkinannya sekali lagi," jawab Jhonny. "Tadi aku mendengar anak-anak itu akan memutar film lagi sambil menunggu cuaca agak teduh di belakang. Mereka ingin berenang lebih dulu sebelum mleon dan berangkat kembali ke Jakarta!"

"Baiklah."

Kesempatan itu datang ketika Leon dan indah duduk dengan santai sekali di atas sola menonton film. Kepala

mereka bersitumpu pada bantalan kursi. Dan wajah mereka terlihat senang.

"Sekarang?" tanya Jhonny berbisik di dekat Serena.

"Ya, sekarang!" sahut Serena juga berbisik. "Mumpung mereka berdua dalam keadaan santai!"

Jhonny IaIu duduk di salah satu kursi dan Serena memilih tempat di sampingnya. Melihat kedua orangtua mereka ikut bergabung, Leon dan indah menoleh kepada mereka dengan wajah senang.

"Pa, Ma, filmnya bagus Iho!" katanya.

"Oh ya, film apa itu?" tanya Serena dengan suara yang diusahakannya agar terdengar riang.

"Film tentang ikan lumba-lumba yang bersahabat dengan seorang anak kecil. Lumba-lumbanya pandai sekali!" sahut Indah. "Ya kan Leon?"

"He eh."

Serena mulai merasa resah. la melirik ke arah Jhonny, kalau-kalau lelaki itu memberi isyarat untuk mulai bicara. Tetapi tampaknya isyarat itu belum juga muncul sebagaimana yang diharapkannya.

"Mam, apa rencana kita sore nanti?" tanya Indah tiba- tiba. "Sesudah berenang, kita jadi pulang ke Jakarta?"

"Ya. Besok Mama dan Papa kan harus ke kantor!" jawab Serena.

"Sayang ya...." terdengar suara Indah yang menurun kegembiraannya. "Coba Mama dan Papa juga libur panjang seperti kita ya, Leon? Kita masih bisa menginap lebih lama lagi di sini!"

"lya. Leon juga tidak suka pulang ke Jakarta. Liburarn di rumah melulu. Papa dan Mama baru pulang sorenya!" sambung Leon.

Serena menatap ke arah Jhonny. Jhonny ganti membalas pandangan Serena. Tetapi sama seperti apa yang tersirat di mata Serena, mata lelaki itu pun tampak resah. Apalagi dengan ditunjang tangannya yang mengepal-ngepal sendiri.

"lya Pa, apakah Papa dan Mama bisa minta izin satu hari saja besok? Malam ini kita tidur di sini lagi dan besok siang pulang ke Jakarta!" Indah menambahi kata-kata adiknya. "Di Jakarta tidak enak kalau Papa dan Mama ke kantor seharian!"

"Dan kita bisa makan nasi tim ayam seperti tadi. Leon ingin makan itu lagi!" kata Leon menyambung bicara kakaknya lagi. "Habis, ayamnya enak dan empuk sih. Dan nasinya wangi!"

Serena melayangkan pandang matanya lagi ke arah Jhonny dan memberi isyarat supaya Jhonny segera masuk kepada pembicaraan yang sudah mereka rencanakan. Anak-anak itu sudah harus digiring ke arah sana sebelum kegembiraan atau kekecewaan merusak suasana. Tetapi Jhonny menggelengkan kepalanya dan balik memberi isyarat supaya Serenalah yang bicara lebih dulu.

"Kamu saja Mas," Serena berbisik di dekat telinga Jhonny, takut kalau-kalau kata-katanya didengar oleh kedua anak itu.

"Sebaiknya kamu, Ren," Jhonny ganti berbisik di sisi telinga Serena. "Kamu lebih pandai merangkai kata-kata daripada aku. Jadi mulailah dengan bahasa yang jelas dan mudah ditangkap oleh anak-anak itu."

"Kenapa bukan kamu saja?"

Serena menggelengkan kepalanya dan Jhonny sedang memberi isyarat kepada perempuan itu. Pada saat itu, Leon persis menoleh ke arah mereka. Dan ia melihat mereka saling berbisik dan memberi isyarat. Anak itu IaIu tertawa.

"Indah," panggilnya ke arah Indah. "Papa dan Mama pacaran dengan memakai bahasa alien. Asyik!"

Mendengar dan melihat kegembiraan, anak-anak itu ketika menyangka kedua orangtua mereka sedang berpacaran, baik Serena dan Jhonny menjadi terpana. Keduanya saling memandang dengan perasaan yang sulit dirumuskan ke dalam kata-kata. Tetapi kedua pasang mata mereka sama-sama menyiratkan kesepatakan untuk tidak melanjutkan rencana mereka mengatakan tentang perceraian itu. Bahkan Jhonny menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gerakan cepat.

Yah, siapa yang tega merenggutkan dengan tiba- tiba kegembiraan dua orang anak yang sejak sepagian tadi melucu dan bercanda bukan? Apalagi kalau anak-anak itu anak kandung mereka sendiri. Tak mungkin mereka sampai hati mengubah suasana yang ceria di saat kedua anak itu begitu lincah, begitu riang, menjadi suasana yang menakutkan, yang mengancam kehangatan batin dan yang meneror rasa aman dalam dekapan kedua orangtua mereka sekaligus. Maka tidaklah mengherankan apabila hari ini Jhonny dan Serena gagal lagi memasuki pembicaraan yang sudah direncanakan baik-baik itu. Penjahat atau pembunuh bertangan dingin saja pun tak mungkin akan tega membalik kebahagiaan anaknya menjadi sesuatu yang bertolak belakang. Apalagi mereka berdua yang setiap hari berdoa bagi kebahagiaan anak-anaknya.

"Ih, Papa dan Mama dari tadi pacaran terus!" suara Indah yang mengomentari kata-kata kakaknya, menyerbu masuk ke telinga Jhonny dan Serena sehingga keduanya menghentikan komunikasi bahasa isyarat itu.

"Masa sih Papa dan Mama pacaran?" sahut Jhonny, mengalihkan perhatiannya kepada kedua anaknya. "Papa tak merasa!"

Leon dan indah tertawa.

"Papa dan Mama malu mengaku pacaran!" kata Indah lagi. "Asyik, sampai pertanyaan Leon dan indah tidak dijawab baik oleh Papa maupun Mama!"

"Pertanyaan apa?" tanya Serena menyela.

"Permintaan kami supaya Mama dan Papa mau membolos sehari saja. Supaya kita masih bisa menginap semalam di sini!"

"He, kalian mau mengajari Papa dan Mama berbuat dosa, membolos dari pekerjaan tetapi mau mendapat gaji penuh! lya?" Jhonny berlagak marah.

"Ah, satu kali kok Pa. Masa berdosa?" pinta Leon.

"Satu kali atau seribu kali, yang namanya membolos itu tetap dosa namanya," sela Serena lagi. "Bayangkanlah, orang lain bekerja sedangkan kita enak-enakan di sini. Pekerjaan yang harus kita selesaikan, dibiarkan begitu saja. Kan merugikan kantor!"

Jhonny memperhatikan wajah kedua anak itu tampak kecewa, sehingga ia merasa tak sampai hati untuk mengurangi kegembiraan yang semula begitu berjaya di sekitar mereka itu. la mencari akal.

"Begini sajalah," katanya meraih perhatian ketiga orang di dekatnya itu. "Papa akan menelepon ke kantor dari rumah pengurus penginapan ini. Mau mengatakan supaya gaji Papa dan Mama dikurangi yang sehari besok."

Serena menatap mata Jhonny, tetapi lelaki itu tak mau membalasnya. Perhatiannya dicurahkan kepada kedua wajah mungil yang berubah-ubah antara rasa gembira dan rasa bersalah itu.

"Tetapi Pa... nanti uang Papa dan Mama berkurang...?" tanya Indah ragu. la tidak tahu harus gembirakah dia, atau membiarkan rasa bersalah mencubiti perasaannya?

"Ah, gaji Papa dan Mama kan besar dikurangi sedikit, tak apa!" sahut Jhonny.

"Ya kan Ma?"

"Ya. " Serena menjawab dengan terpaksa.

"Nah, Papa akan telepon dulu. Kalau kantor mengizinkan, kita masih akan menginap lagi di sini!" kata Jhonny lagi.

"Ya. " Leon dan indah menjawab hampir bersamaan.

Jhonny IaIu berdiri dan keluar. Tetapi baru sampai di ambang pintu, Leon berteriak memanggilnya.

"Terima kasih ya Pa!" kata anak itu.

"Indah juga mengucapkan terima kasih ya Pa!" sambung Indah. "Dan maafkan Leon dan indah ya Pa. Ya Ma!"

"Maaf apanya?" pancing Serena sambil menatap berganti-ganti wajah kedua buah hatinya itu.

"Maaf karena Papa dan Mama jadi tidak masuk kantor besok gara-gara kami berdua," jawab Indah mendahului adiknya. "Dan IaIu gajinya dikurangi."

Baik Serena maupun Jhonny merasa terharu mendengar kata-kata itu. Apalagi alasan dikurangi gajinya dan akan menelepon ke kantor itu tidaklah benar. Mereka berdua hanya ingin menanamkan rasa disiplin bahwa membolos itu suatu perbuatan yang keliru dan pelanggarannya mendapat sanksi. Dalam hal ini keduanya mengarang seolah gaji mereka akan dikurangi karena kesalahan atau pelanggaran disiplin itu.

"Kalian tidak perlu minta maaf," kata Jhonny akhirnya. "Toh Mama dan Papa juga merasa senang masih akan menginap satu malam lagi di tempat yang menyenangkan ini. Dan bisa bersama-sama kalian, anak-anak kami yang tercinta. Ya kan Ma?"

"Ya," sahut Serena. "Anggap saka uang gaji yang dipotong itu sebagai pembayaran atas kesenangan yang kita peroleh."

"Oh iya ya Mam," sela Leon. "Kita pun kalau mau bersenang-senang naik apa pun di Dunia Fantasi kan juga diharuskan membayar."

"Betul. Memang demikian, Tuan Besar. Karena uang itu untuk dipakai sebagai gaji para pekerja yang merawat ini dan itu. "

"Tukang bersih-bersihnya juga," sela Indah. "Tukang penjual karcisnya juga. Membayar listriknya. "

"Kok listrik, Ndah?" sela Leon.

"Ya, listrik. Apakah kau kira menjalankan jet coaster, jungkat-jungkit, Gajah Beledug, dan lain-lainnya itu memakai listrik yang dicolokkan ke hidungmu?" sahut Indah menggoda.

Semua tertawa mendengar gurauan itu. Maka waktu pun berjalan dengan menyenangkan. Jam demi jam diisi dengan canda dan tawa mereka berempat sehingga betapa pun resahnya hati Jhonny maupun Serena, menjadi terusap karenanya. Bahkan ketika Leon dan indah sudah tidur karena kecapekan, Jhonny mengatakan apa yang dirasakannya.

"Canda tawa mereka mengusap keresahan hatiku, Ren!" katanya. "Tetapi sebagai akibatnya, aku tak mempunyai keberindahan untuk mulai membuka masalah kita kepada kedua anak itu!"

"Aku pun begitu juga Mas. Tak sampai hatiku melihat kedua belah mata mereka begitu bersinar-sinar. Rasanya aku akan merasa berdosa kalau sesudah masalah kita mereka ketahui nanti IaIu kecemerlangan mata mereka berubah menjadi sayu!"

"Itulah yang juga kupikirkan!" Jhonny IaIu menghela napas panjang dan tercenung menatap layar televisi tanpa tahu apa yang sedang ditayangkan di sana.

"Begini sajalah Mas," kata Serena sesudah ia juga tercenung beberapa saat lamanya. "Rencana peresmian perceraian kita diundur dulu. Ya, sekitar dua atau tiga minggu mendatang. Dalam waktu-waktu itu, kita coba lagi mencari kesempatan yang lebih baik untuk mengatakan kepada anak-anak. Kita jangan gegabah!"

"Aku sangat setuju!" sahut Jhonny. "Bahkan kalau memang perlu, kita tangguhkan lebih lama lagi juga tak apa. Yang penting, jangan sampai ketergesaan kita mengakibatkan kerusakan jiwa-jiwa lembut anak-anak yang masih begitu muda itu. Kecuali. "

"Kecuali apa?" tanya Serena sambil menoleh ke arah Jhonny. Sebab lelaki itu menghentikan kata-katanya dan membiarkannya terbang ke udara.

"Ya kecuali kalau kamu sudah ingin lekas-lekas lepas dari ikatan pernikahan supaya bisa segera mulai hidup baru yang tak ada ikatannya dengan diriku lagi."

"Hidup baru yang bagaimana misalnya?" Serena mulai cemberut, tahu ke arah mana pikiran Jhonny sedang bergerak.

"Yah, menikah misalnya!"

Pelipis Serena bergerak-gerak sesaat lamanya.

"Kau mulai lagi menyebut-nyebut tentang hal itu," katanya kemudian. "Seolah aku ini sudah tidak betah hidup sendirian!"

"Aku hanya ingin anak-anakku mendapat ayah sambung yang baik melalui proses yang baik jalannya. Ada unsur pendekatan kepada anak-anak. Ada unsur penyesuaian, dan sebagainya. Jadi bukan hanya unsur- unsur cinta menggebu saja!"

"Kamu bicara seolah aku ini gadis remaja belasan tahun yang masih mengagung-agungkan cinta di atas segala-galanya!" sembur Serena. "Padahal, apa yang kamu lakukan di luar dan dengan siapa maupun ke mana, barangkali mutunya tak lebih baik daripada yang kulakukan. Atau boleh jadi lebih hebat lagi. Kamu kan lelaki. Dan dunia ini kan berbaik hati kepada kaum pria dengan memberi sekian prioritas yang tidak diberikan kepada kaum windahta atau warga kelas kedua dunia ini!"

"Jangan sinis!"

"Kamu yang memulainya, Mas!" sembur Serena. "Padahal sepanjang sore hingga malam ini suasananya begitu mindahs dan hangat!"

Jhonny terdiam. Kemudian sambil menyandarkan punggungnya, ia bergumam pelan, seolah berbisik kepada angin IaIu.

"Maafkan."

Serena melirik sesaat kemudian juga bergumam pelan menjawab permintaan maaf lelaki yang duduk di dekatnya itu.

"Kumaafkan...." sahutnya nyaris tak terdengar, seolah juga ditujukan kepada angin yang lewat.

Begitulah akhirnya mereka berempat baru pulang kembali ke Jakerta esok sorenya. Tetapi persoalan yang sebenarnya mendorong Jhonny dan Serena pergi berlibur ke Puncak itu terhenti sampai di situ saja. Rencana mereka gagal sebelum dimulai. Bahkan ketika dua minggu berlalu lagi dan liburan kenaikan kelas masih berlangsung, keadaan masih tetap seperti biasanya. Tidak ada perkembangan baru yang berarti. Baik Serena maupun Jhonny sama-sama masih belum tega mengajak kedua anak itu untuk membicarakan masalah perceraian mereka. Apalagi karena kedua anak itu sudah mulai merengek-rengek dan merayu supaya diperbolehkan menginap di rumah kakek nenek mereka. Alasannya, liburan masih panjang tetapi mereka sudah bosan tinggal di rumah saja.

"Jadi Mama, kami ingin menginap di rumah Eyang Tebet selama dua atau tiga hari dan kemudian menginap di rumah Eyang Kebayoran juga selama dua atau tiga hari," kata Indah mewakili bicara adiknya. "Ya kan Leon?"

"Ya. Liburan di rumah terus, tidak enak," sahut Leon. "Jadi kami ingin menginap di rumah Eyang Tebet. Lalu ke rumah Eyang Kebayoran!"

Yang dimaksud dengan Eyang Tebet adalah orangtua Serena, karena mereka tinggal di Tebet. Dan orangtua Jhonny yang tinggal di Kebayoran mereka sebut dengan Eyang Kebayoran.

"Mam, boleh ya?" Indah menyela sambil menarik-narik pelan baju ibunya dengan sikap manja.

"lya Mam, boleh ya?" Leon ikut merengek.

"Bersabarlah. Nanti kalau Papa pulang, kita bicarakan kembali. Persoalan ini kan harus dibicarakan bersama-sama dulu," kata Serena dengan suara lembut. "Jadi sekali lagi, bersabarlah dulu!"

Sesudah bicara seperti itu, Serena menarik napas panjang. la memahami perasaan kedua anaknya itu. Libur panjangn tanpa kegiatan pun tentulah terasa membosankan. Apalagi niat Serena untuk membelikan electone organ masih belum lagi terlaksanakan. Uangnya masih belum mencukupi. Padahal ia sudah menjanjikan untuk sedapat-dapatnya membawa barang itu pulang pada saat kedua anak itu liburan kenaikan kelas. Meskipun Serena sudah minta maaf karena situasinya belum mengizinkan dan rencana membeli organ itu terpaksa ditangguhkan, tetapi perasaannya tak enak. Anak-anak itu pasti merasa kecewa. Mudah- mudahan dengan diperbolehkannya mereka menginap di rumah nenek dan kakek dari kedua belah pihak orangtua, mereka agak terhibur karenanya. Di rumah para kakek dan nenek mereka, memang selalu ramai kalau libur begini. Ada sekian sepupu yang juga menginap keliling bergantian.

Ketika Jhonny pulang, Serena menyampaikan keinginan Leon dan indah itu kepadanya. Hari itu Jhonny harus menemindah atasannya menjamu relasi.

"Sebenarnya aku bisa mengerti mengapa mereka ingin menginap di sana," kata Serena. "Di sini mereka bukan saja merasa bosan tetapi juga mereka merasa kesepian. Kita berdua sudah berangkat pagi-pagi sekali dan pulang sudah senja. Apalagi kau. Kadang-kadang sudah larut malam baru tiba dan saat seperti itu anak- anak sudah tidur!"

"Lalu sudah kau beri izin?"

"Belum. Kuminta mereka supaya bersabar dulu karena, aku akan meminta pendapatmu lebih dulu dalam hal ini," sahut Serena. "Aku bingung Mas. Mau mengatakan jangan, tetapi mereka benar-benar membutuhkan selingan dan suasana liburan yang serba ceria dan bukannya hanya tinggal di rumah dengan asisten rumah tangga saja. Tetapi mau mengatakan boleh, IaIu kapan kita mempunyai kesempatan bercakap-cakap dengan mereka mengenai rencana perceraian kita kalau keduanya berada di rumah kakek nenek mereka? Jadi bagaimana baiknya, Mas?"

Jhonny menghela napasnya yang tersangkut IaIu tercenung diam. Melihat itu, Serena merasa tak sabar.

"Dimintai saran kok malah diam sih!" gerutunya.

"Aku merasa kasihan kepada mereka berdua. "

sahut Jhonny sambil menarik napas panjang lagi. "Mereka itu mengalami kesepian, rasa bosan, dan merasa sayang hari-hari libur mereka menjadi kurang berarti. Sedangkan kita berdua sedang menyiapkan sebuah bom yang sewaktu-waktu akan meledak di muka mereka. Sungguh kasihan. Mereka berdua masih terlalu hijau dan begitu muda untuk mengenai pahitnya kehidupan ini!"

"Kau jangan membuatku merasa bersalah, Mas. "

Serena menyela dengan perasaan sedih.

"Aku tidak bermaksud demikian, Ren. Aku hanya mau mengatakan tentang kenyataan yang sebenarnya."

Sekarang Serena yang terdiam. Memang benar apa- apa yang dikatakan oleh Jhonny, ia sendiri pun menyadari itu. Tepat seperti kata ayah Serena, bahwa dalam suatu perceraian yang paling damai pun, orang yang paling menderita akibat perceraian itu adalah anak-anak mereka. Seluruh rasa aman, rasa hangat yang pernah mereka miliki, akan lenyap. Dan sebagai gantinya, entah sedikit entah banyak akan muncul rasa cemas, rasa tak menentu menghadapi masa mendatang yang masih kabur, yang masih tak teraba. Tetapi, bahwa mereka kelak entah cepat entah lambat akan mempunyai ibu sambung dan ayah sambung, itu sudah terbayangkan. Dan itulah salah satu penyebab dari rasa tak aman, rasa cemas, dan keraguan menentang masa depan itu. Memang, kasihan sebenarnya anak-anak itu!

Melihat Serena terdiam, Jhonny melirik perempuan itu. Lalu sesudah menarik napas panjang lagi untuk kesekian kalinya, ia baru berkata.

"Lepas dari itu semua, Ren, bagaimana menurut pendapatmu sendiri? Apakah anak-anak itu kita izinkan menginap ke rumah Bapak Ibu, ataukah jangan?" tanyanya kemudian.

"Terserah kamu saja, Mas!"

"Kok terserah kepadaku? Aku juga membutuhkan saran darimu sehingga kita bisa berunding bagaimana baiknya!" sahut Jhonny.

"Kan tadi sudah kukatakan, aku bingung mau mengatakan apa!" suara Serena terdengar letih. "Sungguh- sungguh aku tidak tahu apa yang sebaiknya harus kita katakan kepada mereka. Dan alasannya sudah kukatakan kepadamu tadi, kalau tidak boleh pergi menginap, mereka memerlukan selingan dan hiburan sesudah satu tahun belajar agar dapat naik kelas dengan nilai yang bagus. Tetapi kalau bilang boleh, kita kehilangan kesempatan untuk bicara dari hati ke hati dengan mereka!"

Jhonny terdiam lama sambil termenung menatap ke arah kegelapan malam. Serena tak tahan menghadapi suasana diam dan sunyi tetapi yang menggelisahkan itu. la berniat menguraikannya dengan suaranya. Tetapi belum sampai mulutnya terbuka, Jhonny sudah berkata- kata,

"Kalau persoalan semacam itu tidak bisa diputuskan dengan baik, rasanya perlu kalau kita mengambil kemungkinan ketiga yang kita tidak perlu harus mengatakan boleh atau tidaknya!"

"Apa misalnya?"

"Kita pergi lagi keluar kota. Kebetulan Jumat mendatang kan libur. Dan kau giliran mendapat liburan hari Sabtu. Nah, kita bisa pergi lagi keluar kota seperti waktu itu."

"Ke mana misalnya?'

"Sekarang ganti pergi ke laut. Ke Pangandaran, misalnya. Ada usul lain, Ren?"

"Ke Pangandaran boleh juga," sahut Serena. "Tetapi itu agak terlalu jauh."

"Kan Jumat Ibur. Sudah kukatakan tadi. Jadi kita berangkat ke sana hari Jumat pagi-pagi sekali dan Minggu siang sesudah makan, langsung kembali ke Jakarta!"

"Baiklah, kalau begitu. Tetapi bagaimana dengan yang dua hari ini? Anak-anak tidak mempunyai kesibukan yang berarti. Kasihan mereka."

"Itu masalah gampang. Pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor, mereka akan kuantar ke rumah Bapak-lbu Kebayoran. Agak jauh, tak apalah. Pulang dari kantor, mereka akan kujemput. Dan esok hari berikutnya, ganti ke rumah Bapak dan Ibumu," Jhonny berkata dengan optimis.

"Tetapi apakah itu tidak mengganggu acaramu dengan... dengan seseorang?" Serena bertanya ragu.

"Ah, itu bisa diatur...." Jhonny menjawab dengan melengos. Entah merasa malu, entah merasa tidak enak, Serena tak bisa menduganya. "Yang penting pada saat ini adalah urusan anak-anak, maka itu pulalah yang harus dilakukan. Urusan lain-lainnya bisa dipikirkan kemudian."

"Baiklah, kalau begitu."

"Eh, apakah kau bertanya seperti yang kau tanyakan itu karena menyangkut kepentinganmu juga?" tanya Jhonny sambil menatap mata Serena. "Karena urusanmu dengan seseorang jadi tertunda oleh rencana kita ke Pangandaran tadi?"

"Ah, tidak...." Serena tersipu. "Itu juga bisa diurus belakangan kalau urusan kita bersama anak-anak sudah selesai!"

Untuk sesaat ada keheningan di antara mereka. Masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Entah berisi sesuatu yang menyenangkan, entah tidak, masing-masing pihak tak bisa menerkanya. Tetapi yang jelas, hampir secara bersamaan sesudah itu keduanya menarik napas panjang.

Suara Leon dan indah yang sedang berebut sesuatu di ruang depan, terdengar oleh kedua orang yang sedang duduk tercenung itu. Serena tersentak dan melepaskan segala yang semula bermain-main dalam pikirannya.

"Apakah rencana kita ke Pangandaran itu sudah bisa dikatakan sekarang kepada anak-anak, Mas?" tanyanya kemudian.

"Boleh saja. Tetapi sebelum itu, aku ingin mendengar persetujuanmu mengenai kesempatan untuk bicara kepada anak-anak itu!"

"Maksudmu?"

"Maksudku, di Pangandaran nanti, selain kita berekreasi, juga mencoba melangkah ke arah yang selama ini tak pernah mendapat kesempatan yang pas, yaitu membicarakan masalah kita di hadapan anak-anak. Suasana yang akrab di antara kita semua akan membantu anak-anak itu untuk melihat hal-hal yang masih bisa dimasukkan ke dalam golongan yang bersifat positif mengenai perceraian kita nanti."

"Aku setuju. Cepat atau lambat toh rencana kita harus didengar oleh mereka. Bahwa itu, adalah suatu kenyataan yang harus dijalindah," sahut Serena. "Hanya saja caranya harus cocok dengan keadaan di sana nanti. Apakah akan dikatakan secara langsunug semuanya ataukah diberi sedikit gambaran bahwa kita berdua tidak mungkin lagi hidup sebagai suami istri, itu nanti tergantung keadaan di sana."

"Baiklah. Nah, panggillah mereka. Rencana ke Pangandaran bisa kau katakan sekarang. Mengenai menginap di Tebet atau di Kebayoran bisa dilaksanakan setelah pulang dari Pangandaran!"

Berita mengenai kepergian mereka ke Pantai Pangandaran itu disambut dengan gembira sekali oleh Indah maupun Leon. Air muka yang memancar dari wajah keduanya yang begitu muda itu sungguh-sungguh menyiratkan kegembiraan yang murni dan spontan.

"Asyik!" kata Indah. "Aku akan mempunyai kesempatan memakai pakaian renangku yang baru. Kita akan membawa apa, Leon?"

"Bola dan pakaian renang, tentu saja. Mungkin juga sekop untuk bermain pasir. Dan jangan lupa Ndah, mainan monopoli supaya kalau malam-malam di penginapan nanti kita berempat bisa bermain bersama," sahut Leon dengan gembira. "Ya kan Pa, Ma, mau ikut main monopoli kan?"

"Mau!" sahut Jhonny spontan.

"Mama sih mau-mau saja, Leon. Tetapi terus-terang saja Mama lupa cara bagaimana memainkannya."

"Nanti akan kami bantu, Mam. Tetapi kalau sudah pernah bermain monopoli, biasanya kalau diingatkan sebentar saja sudah teringat kembali."

"Lalu sesudah dari Pangandaran kami boleh menginap di Tebet atau Kebayoran kan Mam?"

"Boleh," sahut Serena sambil berharap sepulang dari Pangandaran anak-anak itu sudah mulai menerima kenyataan yang akan didapatkan olehnya maupun oleh Jhonny. "Nanti akan diantar oleh kami, Papa dan Mama."

"Asyik!" Leon dan indah berseru-seru gembira.

"Ah, hari-hari yang menyenangkan!" komentar Indah, menyambung kata-kata adiknya tadi. "Kalau begini ini, rasanya kita ini keluarga yang berbahagia ya? Indah senang menjadi anak Mama dan Papa!"

"Leon juga!"

Tanpa sadar, Serena dan Jhonny saling berpandangan. Wajah mereka menyiratkan perasaan yang kacau. Yang sukar dirumuskan ke dalam kata-kata. Ah, anak-anak ini tidak mengerti bahwa badai sedang bersiap-siap menerpa mereka.

"Mama juga merasa senang menjadi ibu kalian!" sahut Serena sesudah mampu menguasai perasaannya.

"Papa lebih-lebih lagi. Papa bukan saja senang menjadi ayah kalian, tetapi juga merasa bangga mempunyai anak-anak yang pandai, baik, dan suka bercanda. Ya kan Ma?"

"Ya."

"Kalau begitu, apakah Mama dan Papa merasa kesepian kalau Leon dan indah nanti sepulangnya dari

Pangandaran, menginap di rumah Eyang Tebet dan Eyang Kebayoran?" tanya Indah memancing.

"Tentu saja kami akan merasa kesepian," jawab Jhonny dan Serena hampir berbarengan.

"Kalau begitu Mbak Indah, kita jangan lama-lama menginap di rumah Eyang. Kasihan Papa dan Mama hanya berdua-dua saja," sela Leon.

Indah menatap adiknya dengan nakal dan kemudian memandang Jhonny dan Serena ganti-berganti dengan matanya yang berkilat-kilat. Serena membatin, anak itu kelak pasti akan menjadi gadis yang cantik. Dan Jhonny berkata di dalam hatinya, Indah kelak pasti akan menjadi windahta yang sangat menarik dan menawan. Dan ia jadi bangga karenanya.

"Kalau Mama dan Papa hanya berdua-dua saja kan mereka bisa pacaran tanpa ada yang mengganggu, Leon!" terdengar suara Indah yang nakal. Dan Leon tertawa- tawa karenanya.

"He he. Mama dan Papa pacaran seperti Papa dan Mama dalam film... film... apa tuh Mbak. Growing... Growing... apa...?"

"Growing Pains!" jawab Indah setengah melotot. "Begitu saja lupa. Biarpun Indah tidak tahu apa artinya, tetapi kan hafal judulnya!"

"Tentu saja, kau kan lebih besar daripada Leon!" Leon membela diri dengan sengit. "Sok pintar!"

"Idih, begitu saja marah!" ejek Indah. "Dasar!"

"Sudahlah... sudahlah!" Serena menyela. "Sekarang yang penting, rencana kita sudah jadi. Tinggal pelaksanaannya, nanti Jumat pagi. Kau sudah boleh bersiap-siap mau membawa apa nanti ke sana, Indah. Bantu adikmu mencari pakaian renangnya. Mama lihat, lemari pakaian Leon berantakan!"

Leon menyeringai dan Jhonny tertawa sambil memburaikan rambut anak itu. Tetapi Indah menjulurkan lidahnya ke arah adiknya.

"Pemalas, kau!" katanya.

"Kau juga pemalas!" bantah Leon.

"Apa buktinya?" tantang Indah. "Lihat dulu lemari pakaianku baru bisa bilang aku malas atau tidaknya."

"Maksudku... kau malas membantu aku merapikan pakaianku!" Leon menjulurkan lidahnya dengan mimik muka menggoda. Lalu lari sambil tertawa-tawa.

"Dasar bandel!" Indah mengejar adiknnya. Suara pekik dan tawa kedua anak itu semakin menjauh.

Serena dan Jhonny saling berpandangan. Keduanya sama-sama merekam kembali kata-kata kedua anak itu mengenai penyamaan mereka dengan ayah dan ibu dalam film Growing Pains yang tampaknya selalu mesra dan penuh canda itu. Dan keduanya juga sama-sama merasa hati mereka tersentuh. Jangan lagi mereka berdua dapat semesra dan serukun ayah dan ibu dalam film Growing Pains itu, mempertahankan pernikahan mereka saja pun tak mampu. Perceraian ada di ambang pintu, dan pasti akan meruntuh dan menghancurkan gambaran tentang ayah ibu yang suka bermesraan di hadapan anak-anak demi menunjukkan cinta kasih dan kehangatan yang ada di antara mereka. Maka bukan mustahil apabila kemudian Leon dan indah akan kehilangan rasa pengharagaan terhadap mereka berdua selaku orangtua yang semestinya dapat menjadi panutan.

Tetapi apa boleh buat, hibur Serena dalam hatinya. Kehidupan ini bukanlah film yang barangkali para pemainnya sendiri pun tak pernah merasakan apa itu kebahagiaan yang sebenarnya. Sebab pada kenyataan sebenarnya, seringkali kehidupan ini begitu pahit dan jalannya tak semulus jalan tol Jagorawi.

Tetapi apa boleh buat, begitu kata hati Jhonny menghibur dirinya sendiri. Dua orang yang semula mencinta, telah berkembang sendiri-sendiri dan menghasratkan terwujudnya cita-cita mereka yang semakin tampak bertolak belakang. Ternyata cinta saja tidak cukup. Masih ada sekian banyaknya hal-hal lain yang juga amat perlu dalam sebuah rumah tangga yang harmonis seperti saling menghargai serta saling menerima kekurangan, akan menjadi goyah. Dan kegoyahan itu semakin lama akan semakin parah sehingga akhirnya mengikis cinta mereka sedikit demi sedikit. Dan sebelum itu semakin menjadi neraka yang membakar semua penghuninya, akan lebih baik kalau mereka berpisah secara damai dan dalam suasana kekeluargaan. Nyatanya, baru saja perceraian di ambang pintu, ia dan Serena hampir-hampir tak pernah lagi saling menyakiti, saling mendebat, dan saling adu argumentasi, seperti sebelumnya. Jadi tidak semua perceraian selalu berakhir buruk. Begitulah, Jhonny mencari dalih yang paling bisa dijadikan alasan untuk pembenaran diri.

Dengan pembenaran-pembenaran diri semacam itulah, Jhonny dan Serena menggiring kedua anak mereka pergi berakhir pekan ke Pantai Pangandaran. Begitu mindahs dan menyenangkan kepergian mereka kali itu. Semua serba menyenangkan. Penginapan yang tak terlalu mahal tetapi berada tak jauh dari pantai, dan udara cerah yang menggugah kegembiraan hati. Selama tiga hari dua malam bersama-sama, keakraban juga terjalin di antara mereka semua. Pagi-pagi sesudah bangun dan sarapan nasi uduk yang masih hangat, mereka berempat menyewa sepeda dan bersepeda berkeliling sekitar pantai, menyusuri jalan beraspal yang menghubungkan pantai dengan perkampungan di sekitarnya. Selama dua hari berturut-turut pula mereka singgah di pasar yang banyak menjual pakaian-pakaian santai. Serena membeli blus dan celana kulot. Untuk Indah, ia membelikan kaos dan celana tiga per empat. Sementara Jhonny membeli celana pendek berbunga-bunga warna- warni, Leon minta dibelikan celana pendek loreng. Dan mereka berenang-renang kemudian. Bosan berenang, mereka naik perahu menuju pulau yang tak jauh dari pantai di mana mereka dapat memandang tingkah laku monyet-monyet yang tampaknya begitu jinak menunggu pemberian makanan dari para pengunjung. Dan melihat pemandangan lucu semacam itu, tak henti-hentinya Leon dan indah memberi komentar lucu-lucu yang membuat Jhonny maupun Serena tertawa. Bukan main gembiranya anak-anak itu. Dan bukan main pula berlipatnya napsu makan mereka.

Tetapi memang menyenangkan dapat memilih dan membeli sendiri ikan-ikan yang langsung digoreng di mana nasinya selalu mengepul dan aroma ikan goreng atau ikan bakarnya menyebar ke seluruh penjuru. Belum lagi godaan sambalnya yang tampak menggiurkan. Bukan hanya Leon dan indah saja yang terbangkitkan selera makannya, demikian juga halnya dengan Jhonny dan Serena. Ternyatalah, kedua orang itu pun menikmati libur akhir pekan itu.

Singkat kata, acara berakhir pekan sambil akan mencoba menjajagi kesempatan kalau-kalau Jhonny dan Serena bisa memasuki pembicaraan tentang rencana perceraian mereka itu ternyata terlalu menggembirakan untuk dinodai. Baik Serena maupun Jhonny sama-sama menekan keinginan mereka untuk bicara. Bahkan kalau salah seorang di antara mereka menunjukkan tanda- tanda akan bersikap serius dalam rangka usahanya mencari kesempatan bicara, yang seorang segera menggamit atau memberi isyarat untuk menundanya dulu. Dan akhirnya, ketika kejadian semacam itu berulang kali terjadi, Serena menarik lengan Jhonny dan mengajaknya bicara agak jauh dari jangkauan telinga anak-anak.

"Dari tadi kita berdua hanya saling memberi isyarat agar tidak merusak suasana," katanya. "Maka ada baiknya kalau kita memastikan langkah yang paling bisa kita lakukan, supaya acara liburan yang menyenangkan ini tidak berakhir dengan hal-hal sebaliknya."

"Memastikan langkah bagaimana?"

"Kita mau bicara sekarang-sekarang ini, ataukah kita tunda lagi?" tanya Serena. "Nah, bagaimana pendapatmu?"

"Kalau aku harus bicara sekarang, hati nurindahku pasti menentang. Siapa diriku ini, binatangkah atau monster, sampai-sampai begitu tega melihat darah dagingnya sendiri yang masih begitu muda dan dalam keadaan bahagia, tiba-tiba dijungkirbalikkan dan membenturkan kepala mereka kepada kerikil-kerikil tajam kehidupan?" sahut Jhonny sambil mengawasi Leon dan indah yang sedang bermain-main air dengan beberapa orang anak yang baru mereka kenal kemarin sore.

Serena menarik napas panjang, melonggarkan rasa sesak dalam dadanya.

"Sebetulnya, aku pun demikian, Mas. Tetapi kalau kita selalu ditekan oleh rasa tak tega, rasa bersalah, IaIu bagaimana dengan persoalan kita yang menjadi terkatung-katung begini?" katanya.

Jhonny menatap tajam mata Serena.

"Apakah kau sudah begitu tak tahan hidup seatap denganku, Pop?" tanyanya dengan nada serius. "Katakanlah sejujurnya!"

"Bukan begitu, Mas. Tetapi terus-terang saja aku merasa risih, merasa sungkan, hidup seatap dengan lelaki yang seharusnya bukan apa-apaku lagi. Hatiku tertekan karenanya!"

"Sungkan dan risih terhadap siapa?"

"Sebenarnya yah.... mungkin terhadapmu maupun terhadap diriku sendiri!" jawab Serena terus-terang.

Jhonny tertawa tipis.

"Itu karena pengaruh super egomu, Pop!" katanya kemudian. "Seharusnya kau melihat realita dengan kacamata bening dan rasiomu jangan kau singkirkan oleh hal-hal lain yang semuanya serba menyangkut perasaan belaka. Sadarilah bahwa bagaimana pun buruknya hubungan kita dan bagaimana pun kuat dan tebalnya tekad serta rencana perceraian kita, saat ini kau dan aku masih terikat tali pernikahan. Kenapa harus merasa sungkan hanya karena kita berdua terpaksa harus menunda peresmian atau pengesahan perceraian kita? Apalagi tertundanya itu karena alasan yang bukan saja sangat tepat, tetapi juga sudah seharusnya demikian. Kita tidak boleh menempatkan perasaan- perasaan kita sendiri di atas kepentingan anak-anak, darah daging kita yang harus kita cintai, kita pelihara kesejahteraan lahir dan batin mereka. Jadi Serena, lepaskanlah pikiran-pikiran yang kurang pada tempatnya itu dari hatimu. Kita sudah bertindak benar dalam hal ini!"

Serena menganggukkan kepalanya.

"Yah, mungkin kau benar Mas!" gumamnya.

"Jadi, ayolah, jangan kau rusak semua kegembiraan yang telah kita reguk itu dengan hal-hal yang tak perlu dirisaukan. Oke?"

"Oke!"

"Dan ingat, masih ada hari esok. Menunda masalah sebagaimana masalah kita berdua, bukan sesuatu yang buruk kalau itu demi sesuatu yang lebih baik dan lebih penting!"

"Ya."

"Jadi, ayolah kita bergembira bersama anak-anak selagi hal itu bisa kita lakukan bersama-sama!"

"Baiklah... " Serena menjawab sambil kembali ke dekat

Leon dan indah yang sedang berenang-renang.

Jhonny mengawasi perempuan itu sebelum ia menyusulnya. Dalam hatinya, ia memuji bentuk tubuh ibu anak-anaknya itu. Masih bagus. Pinggulnya bulat berisi, pinggangnya kecil, dan perutnya rata. Dan buah dadanya pun masih tampak padat. Rambutnya, wajahnya begitu cantik dan....

Jhonny mengibaskan pikirannya jauh-jauh. Dia merasa malu memikirkan hal-hal intim itu, mengenai diri perempuan yang sebentar lagi sudah bukan istrinya itu. Tetapi yah, Serena saat itu memang tampak cantik dan menarik sekali dalam pakaian renangnya yang berwarna kuning kunyit itu. la tahu betul tidak semua windahta akan pantas memakai warna kuning kunyit semacam itu. Tidak juga Rini teman sekantornya yang belakangan ini menjadi kawan dekatnya.

Jhonny yang sedang mengagumi Serena dengan diam- diam itu tak pernah tahu bahwa saat itu Serena pun sedang memujinya di dalam hati. Perempuan itu mampu menilai bahwa belakangan ini Jhonny bukan saja lebih sabar, tetapi juga lebih manusiawi. Ada banyak perkataannya yang bukan saja masuk ke kepala. la mampu mengatasi keadaan dengan cara yang bisa dikatakan sebagai cara yang bijaksana. Mengiakan bahkan mematuhinya, merupakan sesuatu yang diterima atau diturutinya dengan lega hati.

Kalau suasana sudah seperti itu, orang akan memahami dan mungkin juga mengacungkan jempol apabila sampai liburan akhir pekan itu habis, baik Serena maupun Jhonny masih menyimpan rencana perceraian mereka itu dari pendengaran anak-anak mereka. Namun meskipun keduanya gagal menggiring Leon dan indah kepada pembicaraan penting mengenai perceraian mereka, tetapi keduanya tidak menyesalinya. Sebab bagaimana mungkin mereka berdua tega merenggut piala kebahagiaan dari depan mulut kedua anak darah daging mereka sendiri dan menggantinya dengan racun yang membahayakan? Dan bagaimana mungkin pula mereka memberi makanan-makanan busuk berbelatung sesudah sekian lamanya mereka berdua menghidangkan makanan-makanan lezat di muka anak- anak itu?

Oleh karena itu mekskipun rencana bicara di Pangandaran itu gagal, Serena dan Jhonny tidak tertekan karenannya. Memang saatnyalah yang belum tepat. Dan memang situasi dan kondisinyalah yang tak menunjang.

Sesampai di rumah kembali, Leon dan indah yang masih belum lepas dari mabuknya anggur kebahagiaan, belum mau mengakhiri suasana itu. Senin sorenya tatkala Serena dan Jhonny pulang dari kantor, mereka menagih janji.

"Ma, Pa, kapan kami diantar ke rumah Eyang?" tanya Indah.

"Ya Ma, kapan?" sambung Leon.

"Tunggu Mama dan Papa beristirahat dulu baru nanti kita bicara. Oke, Anak-Anak?" sahut Jhonny menenangkan kedua anakny yang tampak tak sabar itu.

"Yah, biarkan Mama dan Papa mleon, makan, dan beristirahat dulu!" kata Serena menyambung perkataan Jhonny. "Kalian tahu kan bahwa kami pulang dari bekerja dan masih merasa lelah!"

"Yah," sahut Indah yang cepat memahami keadaan orang lain. "Memang Papa dan Mama harus beristirahat dulu. Apalagi kemarin kita baru saja pulang dari perjalanan yang cukup jauh."

"Kalau begitu, kita harus menyuruh Mbok Ali supaya membuatkan air panas untuk mleon Papa dan Mama!" sambung Leon.

"Tidak usah," sahut Serena tersenyum. "Yang penting, istirahat."

"Tetapi Papa mau juga kalau kalian segera ke dapur dan meminta tolong kepada Mbok Ali supaya Papa dibuatkan coklat susu."

"Asyik, Leon juga mau ah!"

"Indah juga," sambung Indah IaIu melirik ke arah ibunya. "Mama juga mau?"

"Boleh, Indah!" jawab Serena. "Tetapi katakan kepada Mbok Ali, yang untuk Mama gulanya agak dikurangi."

"Takut gemuk ya Ma?" tanya Indah sambil mengamat- amati tubuh ibunya.

"Itu juga," senyum Serena. "Tetapi yang penting, demi menjaga kesehatan Mama, Mama tidak ingin sakit gula seperti Eyang Putri Tebet. Jadi mulai sekarang, Mama sudah harus menjaga diri!"

Di kamar, ketika Jhonny sedang mengambil baju dalamnya dari lemari pakaian, perkataan Leon dan indah untuk menginap di rumah kakek nenek mereka, disinggung oleh lelaki itu.

"Kurasa ada baiknya juga kalau anak-anak menginap di sana," katanya. "Selain ganti suasana, aku juga mengharapkan bantuan Bapak-lbu kita masing- masing untuk menyiapkan hati anak-anak itu dalam menghadapi perceraian kita nanti!"

"Maksudmu, kita memerlukan bantuan Bapak dan Ibu untuk memasuki pembicaraan mengenai rencana kita berdua itu?"

"Tepat. Kita memang membutuhkan bantuan mereka. Sebab sudahj sekian kali kita gagal menyampaikannya sendiri!"

"Kurasa, memang kita membutuhkan bantuan mereka, Mas," Serena menyetujui pandangan Jhonny.

"Nanti kalau aku mengantar anak-anak ke sana, hal itu bisa kusampaikan kepada Bapak dan Ibu. Aku yakin, mereka lebih mampu berbicara. Pengalaman mereka segudang. Apalagi kedua orangtuamu, Pop. Mereka ahli- ahli pendidikan!"

Serena menganggukkan kepalanya.

"Lalu kapan anak-anak itu akan kau antar ke sana?" tanyanya kemudian.

"Tergantung kepada kemauan anak-anak itu,"jawab Jhonny. "Pokoknya aku siap mengantar kapan saja!"

"Kalau begitu, nanti sesudah makan malam aku akan menyuruh mereka mengatur pakaian-pakaian yang akan dibawa menginap ke sana. Dengan begitu, kapan saja mereka ingin pergi, segala sesuatunya sudah siap!"

"Kalau perlu bantulah!"

"Tidak. Aku hanya akan mengawasi saja. Aku ingin supaya mereka belajar mleonri dan memikirkan kebutuhan mereka sendiri seperti sikat gigi, odol, sandal jepit, dan keperluan-keperluan sehari-hari lainnya. Liburan yang IaIu, mereka lupa tidak membawa handuk dan baju tidur. Pengalaman akan mengajar mereka lebih baik!"

Jhonny tersenyum.

"Dasar puteri pakar pendidikan!" katanya.

Serena juga tersenyum. Tetapi pujian itu tidak singgah ke hatinya. Sebab ia teringat kepada perceraian yang sedikit atau banyak pasti akan melukai hati anak-anaknya. Pantaskah seorang puteri ahli pendidikan menyodorkan perceraian untuk masa depan anak- anaknya dan kelak entah kapan memberi pula seorang ayah sambung atau ibu sambung bagi mereka?

"Nanti aku akan bertanya kepada anak-anak itu kapan mereka akan siap pergi ke rumah kakek nenek mereka!" kata Jhonny lagi tanpa tahu apa yang sedang berkecamuk di hati Serena itu.

Sebagaimana yang sudah diduga, berita bahwa mereka boleh menginap di rumah kakek nenek mereka kapan saja mereka ingin berangkat, disambut dengan pekikan girang.

"Besok sore ya Mama?" tanya Leon kepada Serena. "Boleh!" jawab Serena pendek.

"Mama tidak kesepian kan?" tanya Indah menimpali.

"Tentu. Tetapi Mama mempunyai banyak kesibukan sehingga tidak akan terlalu merasa sepi meskipun akan kehilangan suara dan canda kalian di rumah ini," Serena menjawab dengan terus-terang.

"Nah, kalau memang kalian akan siap besok sore, Papa harap kalian sudah siap begitu Papa pulang dari kantor. Bisa?"

"Bisa!"

Tetapi ternyata rencana tinggal rencana belaka. Sore hari berikutnya tatkala Serena sedang meneliti barang-barang yang akan dibawa oleh Leon dan indah untuk pergi berlibur ke rumah kakek nenek mereka di Tebet, ia mendengar suara mobil masuk ke halaman.

"Indah, mobil yang masuk itu seperti bukan mobil Papa," katanya kepada anak perempuannya yang sedang melipat baju-bajunya itu. "Suaranya lain."

Leon yang sedang menunggu giliran Serena memeriksa tas pakaiannya yang sudah siap di kamarnya, menajamkan pendengarannya.

"Ya Mam, bukan. Itu mobil disel. Suaranya kasar!" katanya kemudian.

"Coba kau lihat ke depan sana. Mama biar menyelesaikan urusan di sini sebentar," kata Serena. "Ayo Indah, lekas selesaikan pekerjaanmu. Lalu lihat dan ingat- ingat, apakah ada barang-barang penting yang masih belum kau masukkan ke dalam tas pakaianmu itu!"

Tetapi baik Indah maupun Serena segera melupakan ucapan mereka di kamar anak perempuan itu ketika mereka mendengar suara Leon yang berseru girang di luar.

"Indah... Indah Indah!" teriak anak lelaki itu. "Ada Bude Mimi datang bersama Mbak Tini dan Mas Tono!"

Mendengar berita itu, Indah terpekik girang. Bude Mimi sebagaimana yang disebut oleh Leon itu adalah kakak sulung Serena. Dan Mbak Tini serta Mas Tono adalah anak- anak Bude Mimi yang terkecil. Mereka tinggal di Solo.

Bersama-sama Indah yang begitu riang berlari menghambur keluar, Serena melangkah keluar dari kamar anak perempuannya. la juga senang mengetahui kakaknya datang. Tetapi ia pun sadar, bahwa itu berarti gagalnya lagi pembicaraan ke arah soal perceraiannya dengan Jhonny. Sebab kalau Mbak Mimi dan kedua anaknya akan menginap di rumah ini, itu artinya Leon dan indah batal menginap di rumah kakek nenek mereka!