Jakarta
Author POV
Tatkala hari-hari berlalu dan kehidupan baru mulai berjalan, Serena mulai menyadari satu hal lagi. Segala hal yang pernah diucapkannya, segala hal yang pernah direncanakannya baik di dalam pikiran maupun yang sudah terucapkan, ternyata bukan hal yang mudah untuk dijalindah. Lebih-lebih jika itu berkaitan dengan diri Jhonny. Suatu hal yang cukup bisa dimengerti sendiri olehnya. Dalam banyak hal yang menyangkut kehidupan rumah tangga, mereka berdua tak terlalu banyak berubah. Berangkat pagi-pagi ke kantor, pulang, mandi, makan bersama, mengobrol dengan anak-anak sambil menonton televisi. Atau terkadang salah seorang di antara mereka membantu pekerjaan rumah Indah atau Leon kalau anak-anak itu menemui kesulitan.
Dan terkadang pula, pada hari libur mereka nonton bersama-sama atau berjalan-jalan keliling Ancol sesudah mandi-mandi di gelanggang renang ataupun di Dunia Fantasi. Pendek kata, segalanya hampir-hampir tak ada perubahan kalau itu dilihat dari permukaan.
Tetapi tidaklah demikian yang terjadi pada diri Serena dan juga Jhonny kalau itu menyangkut tentang perasaan yang satu kepada yang lain. Serena tak bisa mendustai dirinya sendiri bahwa jauh di relung batinnya ia merasa adanya suatu rasa kehilangan. Dan itu bukan hanya karena ia sekarang tidur seorang diri di ranjang besar yang jadi terasa dingin, tetapi juga karena sekarang dalam banyak hal ia tak tahu apa pun mengenai perasaan maupun kehidupan pribadi Jhonny. Dan kenyataan bahwa kini ia tidak lagi mempunyai hak untuk mengetahui apa pun yang dilakukan oleh Jhonny, dan segala urusannya adalah urusan lelaki itu sendiri. Bukan urusan Serena. Dan ia tak berhak untuk mengetahuinya.
Melanggarnya berarti ia telah melawan batas pemisah yang semestinya tak boleh dilangkahi. Mau pergi ke manakah Jhonny atau mau melakukan apakah Jhonny di luar rumah dan bersama siapa, itu semua tak lagi perlu dikatakan kepadanya seperti selama ini jika lelaki itu akan pergi melewati jam kantor.
"Aku nanti harus menjamu seorang relasi," misalnnya. Atau, "Aku jangan ditunggu makan, ada rapat."
Pikiran bahwa Jhonny telah memiliki kehidupannya sendiri itu ternyata menimbulkan sesuatu yang kurang menyenangkan dalam batin Serena yang meskipun ia sudah meramalkan tentang kenyataan itu. Sebab rasanya sungguh lain sama sekali dengan apa yang semula dibayangkannya. Udara bebas yang ingin dihirupnya dan telah menjadi kenyataan itu berbeda sama sekali daripada apa yang disangkanya. Semula ia mengira bahwa begitu ia bisa terbebas dari Jhonny dan demikian pun sebaliknya, begitu pula kebahagiaan batin akan mewarnai perasaannya. Tetapi sekarang, jangankan merasa berbahagia, merasa senang dan tenggang saja pun tidak. Tak ada kedamaian di dalam hatinya. la merasa ada sesuatu yang lepas dari dirinya. Tetapi apa itu, ia masih belum tahu dan tak mampu memastikannya. Segalanya serba kabur.
Kalau pun ada yang membuatnya merasa lega dan gembira, itu adalah ia dapat keluar dari Dharma Windahta tanpa harus merasa bersalah. Dan kedua, dengan lepasnya ikatan pernikahannya dengan Jhonny, ia bisa melakukan apa saja yang diinginkannya untuk meniti karier sebagaimana yang dicita-citakan selama ini. Tidak perlu meminta izin Jhonny. Dan sama sekali tak perlu menunggu persetujuannya. la bebas menentukan dirinya sendiri tanpa harus menegangkan perasaan orang lain.
Dan selama berminggu-minggu lamanya, Serena juga sibuk menulis surat lamaran kerja. Ia ingin bekerja. Tetapi sudah sampai sejauh itu, belum satu suratnya pun yang dibalas. Ternyata tidaklah mudah mencari pekerjaan. Apalagi kalau yang melamar itu seorang nyonya berusia 29 dengan dua orang anak. Tetapi ia tidak mau berputus asa.
Diam-diam Jhonny mengetahui bahwa Serena telah melepaskan diri dari keanggotaan pengurus Dharma Windahta dengan alasan terlalu sibuk dengan berbagai macam kegiatan. Dan diam-diam pula Jhonny tahu bahwa Serena sedang sibuk menjawab lowongan kerja dari beberapa perusahaan yang menawarkan lowongan pekerjaan di kantor-kantor. Tetapi, ia pura-pura tak tahu. Dan lebih-lebih lagi, ia juga tak mengatakan komentar apa pun. la sadar, itu tidak lagi menjadi urusannya. la tak berhak mengatakan apa pun tentang kegiatan Serena sekarang. Tak ada haknya lagi untuk mencampuri apa pun urusan Serena. Kalau perempuan itu pergi keluar rumah terlalu lama, meskipun ia kurang suka melihatnya, hal itu disimpannya saja di dalam hati. Dan kalau Serena lebih suka menelepon ke rumah orangtuanya untuk meminta pendapat mereka daripada membicarakannya dengan Jhonny, lelaki itu juga tak berindah memberinya komentar. Pendek kata, sekaranglah baru tampak jelas bahwa dalam segala urusan yang menyangkut kegiatan masing-masing pihak sudah tidak ada sangkut-pautnya lagi. Mereka boleh dan bisa berbuat sekehendak hati tanpa harus memusyawarahkan berdua lebih dulu sebagaimana biasanya di masa-masa yang IaIu. Kenyataan semacam itu meskipun memang sudah semestinya demikian bagi Jhonny pun terasa kurang mengenakkan perasaannya. Jadi bukan hanya Serena saja.
Perasaan tak enak dan merasa berada di luar garis terasa semakin nyata tatkala Jhonny menyadari hari itu adalah hari ulang tahun Serena. Justru lucunya Jhonny langsung ingat begitu bangun pada pagi hari itu. Biasanya, di sepanjang 10 tahun lebih pernikahan mereka, ada beberapa kali ia lupa dan baru mengingatnya ketika sudah berada di kantor. Atau kalau ada teman atau adik-adik Serena yang datang ke rumah dengan membawa makanan dan kado, ia baru ingat. Jhonny memang tak terlalu romantis dalam hal-hal semacam itu. Tetapi kini sesudah ia tidak tidur dalam satu kamar dengan Serena, justru ia mengingatnya dengan baik. Namun ia tak berkata apa-apa. la merasa sungkan untuk menunjukkan bahwa ia masih ingat hari ulang tahun Serena.
Tetapi ketika sore harinya ia melihat anak-anak mencium pipi Serena dan menyerahkan bungkusan yang dibalut kertas kado dengan cara yang jauh dari kerapian, Jhonny merasa harus mengatakan sesuatu kepada perempuan itu.
"Selamat ulang tahun ya Serena.," katanya sambil mengulurkan tangan kepada Serena yang malam itu tampak cantik dengan gaun merah batanya. "30 tahun adalah usia yang sedang masak-masaknya bagi seorang manusia. Fisik maupun mental!"
"Terima kasih," Serena menjawab dengan suara pelan. Ada rasa perih yang mewarnai hatinya tatkala ia tadi menerima jabatan tangan Jhonny. Alangkah asing rasanya menerima ucapan selamat dari Jhonny dengan cara menjabat tangannya. Menerima ucapan selamat semacam itu dari Jhonny dialaminya tatkala mereka berdua masih pada tahap awal percintaan mereka beberapa belas tahun yang IaIu. Sesudah mereka hidup menjadi suami istri, paling sedikit yang mereka masing-masing terima jika salah seorang berulang tahun adalah mencium pipi. Tak pernah sebuah jabatan tangan seformal itu! Jabatan formal sudah berganti menjadi acara ucapan selamat yang jauh lebih intim dan mesra. Tetapi yah, segala sesuatunya memang sedang berubah.
Rasa tak enak yang mengganggu hati Serena maupun Jhonny itu masih saja terasa meskipun saudara-saudara Serena datang dan ikut menyemarakkan hari ulang tahun.
Memang, Serena tidak pernah mengundang mereka dan tidak juga mempersiapkan sebuah pesta ulang tahun. Tetapi karena sudah menjadi kebiasaan apabila salah seorang di antara kakak beradik itu berulang tahun maka tersedia makanan ataupun tidak, mereka adik kakak pasti akan datang untuk mengucapkan selamat. Maka hari itu makanan di rumah lebih istimwewa dan lebih banyak daripada biasanya. Begitu pun suasana menjadi lebih semarak. Lebih-lebih karena masing-masing pihak bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara Jhonny dan Serena, sehingga kedua orang itu mampu bersikap wajar di antara mereka.
Namun tatkala mereka semua sudah pulang dan Indah beserta Leon sudah pula masuk kamar masing-masing, Jhonny mendekati Serena yang sedang mengumpulkan kado- kado yang dihadiahkan oleh saudara-saudaranya yang datang tadi.
"Ren... " katanya.
"Ya...?" Serena menoleh dan melihat kecanggungan pada diri ayah anak-anaknya itu.
"Kamu mendapat beberapa kado dari saudara- saudaramu," kata Jhonny sambil menatap bungkusan kadp-kado itu dengan kikuk, "Hmm... apakah... apakah aku boleh juga memberimu sebuah kado?"
Serena tertegun beberapa saat lamanya. Ah, betapa asingnya mereka berdua kini. Seolah mereka berdua dilontarkan kembali ke masa-masa IaIu sewaktu antara satu dengan lainnya masih merasa sungkan dan ragu- ragu karena takut melakukan suatu tindakan yang keliru.
"Kalau memang kamu ingin memberi kado untukku kenapa tidak?" katanya kemudian. Tanpa sadar, suaranya terdengar amat lembut. Suatu hal yang belakangan ini hampir-hampir tak pernah dilakukannya di hadapan Jhonny. Entah sudah berapa lamanya ia tak pernah selembut itu kepada lelaki itu. "Jangan lagi di antara kita berdua pernah terjalin suatu hubungan suami istri, Mas. Terhadap kenalan biasa saja pun kalau kita ingin memberi suatu kado ulang tahun sebagai tanda ikut bergembira, kan tidak apa-apa!"
"Kalau begitu, aku akan memberimu sesuatu di hari ulang tahunmu ini, Serena...." Jhonny menganggukkan kepalanya menanggapi kata-kata Serena tadi. Dan kemudian dari saku kemejanya ia mengeluarkan sebuah kotak sebesar bungkus rokok. "Selagi kita masih tinggal di bawah atap yang sama."
Serena terdiam. Tetapi di dalam hatinya berkata-kata sendiri. Hadiah itu pastilah sudah dibeli Jhonny sejak tadi. Pantaslah saku kemejanya agak menggelembung, tadi Serena mengira itu rokok kesayangannya. Jadi rupanya sudah sejak awal lelaki itu menunggu kesempatan baik untuk memberikan kado itu kepadanya. Barangkali ia merasa malu kalau hal itu terlihat oleh kakak dan adik- adik Serena. Karenanya ketika Jhonny mengulurkan bungkusan hadiahnya, Serena menerimanya dengan sikap santun.
"Kok repot-repot sih Mas," katanya sambil menekan perasaannya yang galau. Ah, sejak kapan ia tidak pernah lagi mengucapkan kata-kata semacam itu kepada Jhonny? Serena hanya ingat bahwa biasanya kalau lelaki itu membawakan sesuatu untuknya, apalagi kalau itu kado ulang tahun, dengan tak sabar ia akan menyobek kertas pembungkusnya agar dapat segera mengetahui isinya. Tetapi kini jangan lagi segera menyobeknya, menerimanya saja pun dengan sopan-santun.
"Ah, tidak repot kok. Kebetulan aku teringat hari ulang tahunmu, tadi!" sahut Jhonny dengan sama santunnya. Ah, sandiwara macam apa ini, pikir kedua orang itu di dalam hati mereka. Kalau saja masing- masing mereka tahu bahwa pikiran mereka sama, pasti keduanya akan tertawa geli.
"Terima kasih banyak Iho Mas," Serena masih dengan sikap santunnya tadi.
"Apakah aku boleh membukanya sekarang?"
"Silakan," Jhonny menjawab dengan suara halus. "Mudah-mudahan kamu menyukainya. Bukan barang istimewa kok."
Dengan hati-hati seolah belum pernah menyobek kado dari Jhonny secara serampangan sebagaimana yang sudah mulai menjadi kebiasaannya selama ini, Serena membuka kertas kado itu. Isinya sebuah kotak berisi sebotol minyak wangi kesukaannya, diorissimo-nya Christian Dior. Dan melihat itu ia tersenyum indah dan menatap Jhonny dengan pandangan lembut.
"Aku hampir saja membelinya, Mas!" katanya kemudian. "Kebetulan minyak wangiku habis semua, tinggal yang mahal oleh-oleh kakakmu dari Paris waktu itu. Sayang kalau sering kupakai. Nanti cepat habis."
Apa yang dikatakannya itu memang merupakan kenyataan. Tetapi andaikata hubungannya dengan Jhonny masih seperti ketika mereka belum banyak berdebat dan bertengkar, pastilah bukan kata-kata yang penuh dengan basa-basi sebagaimana yang diucapkannya itu. Paling- paling dia akan mengatakan, "Lumayaaan!"
"Aku tahu," kata Jhonny. "Di atas meja riasmu, sekian banyak botol minyak wangimu hampir kosong semua."
"Kalau begitu, aku harus mengucapkan terima kasih lagi atas kejelianmu menangkap kekurangan- kekuranngan yang ada di atas meja riasku!" Serena tersenyum lagi.
Sesudah acara basa-basi itu berakhir, dan Mbok Ali mulai menyingkirkan segala bekas pesta, Serena membawa tumpukan kado yang diberikan untuknya itu masuk ke kamarnya. Karena di situ ada Mbok Ali yang sedang sibuk mengatur-atur kembali susunan kursi dan penataannya di ruang keluarga itu, Jhonny mengekor di belakang Serena dengan terpaksa.
"Maaf, aku terpaksa mengekor langsung di belakangmu. Takut ditatap dengan tanda tanya besar oleh Mbok Ali seandainya aku langsung pergi ke kamar depan," Jhonny berkata di belakang Serena, setengah berbisik.
"Aku tahu. Lagi pula pakaianmu masih tersimpan di lemar pakaian di kamar kita," sahut Serena setengah berbisik juga, "Bersikap bebaslah supaya tidak mencurigakan orang!"
"Baik."
Di dalam kamar bekas tempat mereka berdua tidur bersama, Jhonny mengambil pakaian yang akan dikenakannya tidur nanti dan sesetel lagi yang akan dipakai untuk pergi ke kantor besok. Dengan menyembunyikannya dari pandangan mata Mbok Ali yang masih saja mondar-mandir, Jhonny membawanya diam-diam keluar kamar. Tetapi sebelum ia membuka pintu kamar, tubuhnya berbalik dan berkata dengan sikap ragu-ragu yang tertangkap dengan jelas oleh pandangan mata Serena.
"Sebagai tanda ikut bergembira di hari ulang tahunmu, apakah aku boleh menraktirmu makan malam di suatu tempat bersama Leon dan Indah? Sudah lama sekali kita tidak makan bersama-sama di luar."
"Boleh saja. " sahut Serena merasa tak enak. Kenapa justru sesudah mereka akan bercerai. Jhonny malahan lebih menaruh perhatian kepada hal-hal kecil semacam itu?
Jhonny menatap wajah Serena dan melihat keraguan yang memancar dari sana.
"Kalau kamu merasa ragu-ragu, lupakanlah ajakanku tadi!" katanya kemudian. "Aku mengerti keenggananmu. Tetapi sebenarnya itu tidak perlu. Aku hanya ingin lebih banyak berhandai-handai dengan kalian, terutama dengan Leon dan indah sebelum nanti kita berpisah."
"Bukannya aku ragu Mas," sahut Serena lekas-lekas. "Tetapi aku sedang berpikir apakah... apakah itu tidak berlebihan mengajakku ikut serta sedangkan sebentar lagi kita akan berpisah."
"Nah Serena, sebagaimnaa biasanya, lagi-lagi kita mempunyai cara berpikir yang berbeda!" kata Jhonny terdengar agak pahit suaranya. "Padahal menurut pendapatku peristiwa-peristiwa kecil seperti makan di luar bersama-sama misalnya, amat penting bagi perasaan kita semua, terutama perasaan Leon dan indah. Aku ingin memberi kesan kepada mereka bahwa meskipun ayah dan ibu mereka bercerai, tetapi kita masih tetap akrab dan adanya perpisahan itu bukan berarti bahwa di antara kita ada permusuhan dan kebencian!"
"Oh, begitu. "
"Bukan hanya begitu saja, Serena!" kata Jhonny lagi dengan tak sabar. "Sebab di dalam ajakanku makan malam bersama itu juga terkandung keinginan agar kita menghadapi perceraian dengan damai dan hendaknya ada rasa persaudaraan. Aku tak ingin berpisah dengan membawa pergi perasaan dendam, benci, dan saling menyakiti hati. Jadi hendaknya pula perpisahan itu nanti berjalan dengan lancar dalam suasana damai dan persaudaraan bagi semua pihak. Bagi keluarga kita masing-masing dan terutama bagi anak-anak kita. Kuharap kau mau memahami keinginanku!"
"Aku mengerti, percayalah!" sahut Serena lembut. "Aku juga menginginkan seperti itu sehingga kalau kelak kamu sudah menikah lagi dan begitu pula halnya dengan diriku, kita masih dapat berhubungan dengan baik sebagaimana halnya antar kenalan lama!"
"Syukurlah," komentar Jhonny dengan suara yang membiaskan perasaan leganya. "Jadi sampai besok sore ya."
"Ya."
Sepeninggal Jhonny, Serena mengeluh di dalam hatinya. Alangkah kaku dan canggungnya hubungan mereka sekarang. Seolah ada tembok pemisah yang tak bisa dilampaui maupun ditembus dengan apa pun, padahal di masa-masa sebelumnya bahkan dalam perang dingin ataupun perang terbuka ketika mereka masih menjadi suami istri suasananya tidak seperti sekarang ini. Kekakuan dan kecanggungan tidak pernah menggantung di udara sekitar mereka berdua. Tetapi sekarang ini masing-masing pihak seperti berusaha membentengi sikap mereka bahkan dalam berhandai- handai pun agar jangan sampai melampaui hal-hal yang bersifat intim. Dari cara sikap yang bersopan-santun, berbasa-basi, sampai kepada penghindaran sentuhan fisik. Kalau mereka berada di tempat sempit, salah satu pasti berhenti dulu supaya mereka jangan bersenggolan. Kalau Jhonny mau mengambil pakaiannya atau barang- barang miliknya yang lain di kamar Serena, ia selalu mengetuk pintu lebih dulu sehingga perempuan itu bisa bersiap-siap kalau-kalau ia sedang dalam keadaan yang merikuhnya. Tetapi seandainya tanpa sengaja ia masuk ke kamar di saat Serena sedang tiduran atau sedang berganti pakaian, serta-merta Jhonny akan mengatakan 'maaf'. Begitu pun sebaliknya.
Memang di saat-saat sebelumnya, suasana di rumah itu tampak tenang, damai, dan orang-orangnya kelihatan rukun-rukun saja. Tetapi damainya adalah suatu kedamaian yang gersang dan bahkan menekan perasaan. Sebab itu semua bukanlah sikap dasar mereka. Itu semua adalah selubung, bersifat semu dan tentu saja jadi seperti sedang bermain sandiwara yang mereka sendiri tak menyukai ceritanya maupun peran-peran yang harus mereka bawakan. Tetapi baik Serena maupun Jhonny tidak tahu lagi apa yang sekiranya dapat mereka lakukan dengan lebih baik dan yang tidak menekan perasaan sebagaimana yang sekarang sedang dialami mereka itu.
Namun demikianlah, mau tak mau perjalanan hidup itu harus juga dijalindah oleh mereka. Dan karenanya, baik Jhonny maupun Serena sudah pula mulai menekuni urusan mereka masing-masing, yang hampir-hampir sudah tidak lagi ada sangkut-pautnya. Jhonny sibuk dengan pekerjaan dan relasi-relasi kantornya. Dan Serena sibuk dengan surat-surat lamaran kerjanya.
Sebulan kemudian, yaitu beberapa waktu sebelum kenaikan kelas anak-anak, Serena mendapat pekerjaan. Saudara sepupunya yang bekerja di sebuah bank swasta dan mempunyai jabatan yang cukup tinggi di tempat itu memberitahu Serena bahwa ada lowongan yang cocok untuk Serena di kantornya. Sang sepupu yang tahu betul bahwa sebentar lagi Serena akan menjadi janda dan memerlukan pekerjaan untuk menunjang kehidupannya, berusaha mendekati teman-temannya yang berwenang terhadap penerimaan pegawai sehingga akhirnya perempuan itu diterima. Syukur, bahwa Serena memang tidak mengecewakan mereka semua. la bukan saja seorang pekerja yang rajin dan efektif, tetapi juga berkepribadian menarik. Dan ditunjang oleh kecantikan dan penampilannya yang selalu rapi dan pantas dengan cepat sekali ia sudah dapat merebut hati orang-orang di Ilingkungan kerjanya itu. Maka suasana kerja yang menyenangkan di antara Serena dan kawan-kawan barunya segera tercipta.
Sungguh, Serena merasa amat bersyukur menerima nasib baik itu. Sebab rasanya semua seolah seperti sudah diatur oleh tangan-tangan tak terlihat bahwa begitu perceraian semakin mendekati ambang pintu pelaksanaan dan peresmian, begitu pula ia mendapat pekerjaan dengan gaji lumayan. Rasanya kalau hidup tanpa berlebihan bersama Leon dan indah yang masih duduk di SO, gajinnya lebih dari cukup.
Beberapa minggu sebelum kenaikan kelas anak- anak SD, Serena menerima gajinya yang pertama. Dengan gembira ia membeli beberapa gaun untuknya dan satu lagi pakaian santai. Sejak perceraian disetujui oleh kedua belah pihak keluarga dan Jhonny diharuskan membiayai hidup Serena dan kedua anaknya, Serena tak pernah membali barang-barang pribadi untuk dirinya sendiri. la merasa sungkan. Uang dari Jhonny sementara statusnya sudah akan menjadi mantan istri. Oleh sebab itu sungguh menyenangkan baginya bisa mencari uang sendiri. Rasanya lain, membelanjakan sesuatu untuk pribadinya dengan uang hasil keringat sendiri daripada diberi oleh Jhonny dulu.
Demikianlah hari-hari terus berlalu. Sambil menanti peresmian perceraian mereka, baik Serena maupun Jhonny semakin menyadari akan tibanya babak baru dalam kehidupan mereka masing-masing. Tetapi keduanya juga sama-sama menyadari pula akan tugas mereka yang sejauh itu masih belum dilakukan, yaitu tugas menyiapkan hati Leon dan indah menghadapi perceraian mereka. Masing-masing mereka terlalu sibuk meniti karier dan masa depan pribadi mereka sendiri. Padahal, perceraian sudah di ambang pintu.
Tetapi anehnya, baik Serena maupun Jhonny sama- sama berusaha melupakan segala hal itu. Bahkan juga berusaha menghindarinya. Mereka tidak sampai hati menggiring anak-anak tak berdosa itu kepada suatu kenyataan pahit yang mau tak mau harus dihadapi oleh keduanya. Suatu hal yang sedikit banyak memunculkan rasa bersalah dalam hati Jhonny dan Serena. Dan itulah sebenarnya yang menjadi hambatan keduanya.
***
Serena menarik napas panjang. Rasa bersalah yang belakangan ini terhunjam ke hatinya datang lagi. Tetapi ia mencoba mengibaskannya. la tidak ingin merusak hari yang indah ini dengan perasaan negatif. Namun ketika beberapa saat kemudian ia dijemput oleh Rangga, rasa bersalah itu muncul kembali dengan lebih kuat. Apalagi tatkala ia melambaikan tangannya ke arah teras di mana Leon dan indah berdiri mengantar kepergiannya. la tahu bahwa Jhonny juga melihat kepergiannya bersama Rangga itu dari jendela. Sungguh tak enak rasanya. Apalagi bukan baru sekali itu Rangga menjemputnya. Selama lebih dari sebulan bekerja di bank itu, di mana Rangga juga mencari nafkah di tempat yang sama, sudah beberapa kali lelaki itu menjemputnya untuk kemudian bersama- sama berangkat ke kantor. Alasannya karena kebetulan lewat di dekat rumah Serena. Jadi apa salahnya sekalian menjemputnya demi kesetiakawanan?
"Kebetulan saja aku ingin mencari jalan yang tak begitu macet, Mbak!" katanya ketika di suatu hari Serena merasa keberatan terus-terusan dijemput olehnya. "Jadi apa salahnya menjemputmu sekalian. Sebagai teman, masa aku tak mau berbelok sedikit saja untuk mengajakmu ikut bersamaku? Naik kendaraan umum entah bisa secepat ini atau tidak. Lihat saja, penuh semua!"
Tetapi Serena tidak mempercayai alasan seperti itu, rumah Rangga jauh, dan mencari alternatif jalan yang bisa ditempuh menuju kantor, itu jelas tidak praktis kalau harus lewat dekat rumah Serena. Jadi apa yang dikatakan demi kesetiakawanan itu hanya mengada-ada saja. Rangga memang sengaja menjemputnya karena lelaki itu menaruh perhatian khusus terhadapnya.
Memang terlalu cepat prosesnya. Lelaki itu langsung saja mulai mendekatinya ketika tahu bahwa Serena sedang menghadapi proses perceraian dengan suaminya. Itulah salah satu risiko dari keterbukaan Serena. Serena memang tidak menutupi kenyataan yang sedang dihadapinya dengan tujuan mempersiapkan suasana pengertian di antara dirinya dan teman-temanya. Sekarang maupun nanti kalau ia sudah hidup menjadi seorang janda. Sebab ia tidak ingin menjadi bahan pergunjingan di saat ia nanti harus beradapatasi di lingkungan maupun dengan kehidupan yang baru sebagai seorang janda. la tahu, itu tidaklah mudah. Janda cantik, muda, dan menarik seperti dirinya pasti sulit melepaskan diri dari perhatian orang. Dan ia mengharapkan keterbukaannya itu akan memberi pengertian dan penerimaan yang tulus dari teman-temannya. Suasana sehat di lingkungan kerjanya merupakan idaman hatinya. Untuk itu ia harus mempersiapkannya meskipun terpaksa harus mengorbankan nama baiknya. Tetapi ternyata kadang- kadang keterbukaan dengan maksud yang paling baik pun akan ada dampak negatifnya. Dan sebenarnya Serena sudah memperhitungkan hal itu sebagai risiko yang harus dihadapinya. Tetapi bahwa akan ada duda baru yang tampaknya sudah bosan hidup sendirian, ia tak pernah menyangkanya. Dan kini, lelaki itu sudah mulai merepotkannya. Istimewa di minggu pagi ini, pada saat kedua anaknya membutuhkan kehadirannya sebagai pelengkap dari kebahagiaan mereka dengan berjalan- jalan sekeluarga.
Karena menyadari bahwa sering bersama dengan Rangga akan semakin merepotkannya dan juga akan menjadi bahan pembicaraan orang, Serena tak mau membatasi pergaulannya hanya dengan orang-orang tertentu saja. Dengan demikian ia juga mau dijemput oleh teman-teman pria lainnya atau diantarkan sampai di muka pintu pagar rumahnya kalau ada di antara mereka yang kebetulan lewat di dekat tempat tinggalnya. Sungguh, dalam hatinya Serena masih belum mau menjalin hubungan khusus dengan seorang pria mana pun. Bukan saja demi menjaga mulut usil orang entah kenalan, entah tetangga, entah teman sekantornya, tetapi juga demi dirinya sendiri. la ingin menikmati kesendiriannya. la ingin mengembangkan segala potensinya agar jangan lagi terkekang sebagaimana ketika ia masih menjadi istri Jhonny. Pendek kata, kesendiriannya di mana tidak ada seorang lelaki yang menjadi suaminya, akan dipakai sebaik-baiknya untuk meniti karier, dan mengembangkan identitas dirinya sebagai seorang windahta yang mleonri, yang otonom. Tetapi memang tidaklah mudah menghalau begitu saja kumbang-kumbang di sekitar dirinya. Seorang wanita berumur 30an adalah saatnya sebagai kembang yang sedang mekar-mekarnya karena yang mekar bukan hanya bagian luarnya saja tetapi juga bagian dalamnya. Lahir dan batin. Dan Serena memenuhi segala hal yang menarik hati kaum pria. Cantik, menarik, cerdas, ramah, berkepribadian, dan tahu membawa diri.
Entah karena melihat Serena sudah disibukkan dengan kehidupannya sendiri bahkan ada pria-pria yang sering menjemput atau mengantarkannya berangkat atau pulang kantor, Jhonny pun belakangan ini sudah pula melirik-lirik wanita lain. Dan Serena mengetahuinya atau menduganya dalam dugaan tebal ketika ia memergoki Jhonny menerima telepon dari seorang windahta. Ketika itu Serena ada di ruang makan.
Dari tempatnya Serena melihat wajah Jhonny tampak ceria ketika mengucapkan kata 'haIo'nya. Dan suaranya terdengar riang sedangkan tawanya begitu lantang, sesuatu yang belakangan ini tak pernah didengar oleh Serena berkumandang di rumah ini.
Serena merasa tak enak melihat kenyataan itu. la tak pernah menyangka bahwa membayangkan Jhonny akan menjalin hubungan istimewa dengan wanita lain itu berbeda rasanya dengan kalau ia mendengar dan melihat dengan mata kepalanya sendiri seperti saat ini. Bahwa ada kehidupan lain di luar dirinya di mana Jhonny akan menempatkan windahta lain bukan saja pada hatinya, tetapi juga pada mobilnya, pada waktunya, dan pada seluruh kegiatan pribadinya, itu terasa mencubit batin Serena. Dan itu disadarinya pada saat ia mendengar keriangan suara Jhonny, tawanya yang lepas dan penuh kegembiraan tatkala berbicara dengan seseorang, lewat telepon di dekatnya itu. Bah, betapa beraninya perempuan itu menelepon Jhonny padahal lelaki itu masih tinggal di rumah yang nanti tidak lagi menjadi haknya, melainkan menjadi hak Serena.
Perasaan tak enak yang mulai mencubit hati Serena itu terus berkembang dan berkembang tatkala sejak menerima telepon dari wanita itu, Jhonny mulai jarang makan di rumah. Apalagi berbeda daripada ketika mereka masih menjadi suami istri, Jhonny merasa tak perlu mengatakan kepada Serena di mana ia tadi telah makan dan bersama siapa. Malahan juga kalau sepulangnya dari kantor IaIu pergi lagi dengan pakaian rapi dan aroma wangi yang sebelumnya tak pernah terjadi, Serena juga tidak diberitahu kecuali hanya dua patah kata: "Aku pergi, Ren." Itu pun kalau kebetulan Serena memergokinya sudah rapi dan dalam keadaan siap pergi.
Namun betapa pun tak enaknya perasaannya dan adanya rasa tersingkir yang tiba-tiba mengganggu perasaannya, Serena selalu sadar bahwa memang begitu itulah kehidupan barunya yang mau tak mau akan menjadi bagian dari perceraiannya nanti. Kehidupannya tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan Jhonny dan sebaliknya kehidupan Serena juga bukan lagi menjadi bagian kehidupan Jhonny. Seperti juga ketika ia piknik bersama teman-teman sekantornya, ia pun tiak memberitahu Jhonny lebih dulu dan baru pamit ketika Rangga menjemputnya. Impas, sudah. Itu perlu diingat-ingat. Masing-masing di antara dirinya dan Jhonny sudah tidak mempunyai hak lagi untuk mencampuri urusan masing-masing. Bahkan bertanya mau pergi ke mana dan dengan siapa saja pun, tak semestinya dikatakan. Jadi sikap yang paling baik dan perlu dilakukannya adalah berdiam diri. Suka ataupun tidak. Enak ataupun tidak enak perasaannya. Dan kalau pun merasa tak enak sebagaimana yang sekarang dirasakannya itu, adalah kewajibannya untuk menghilangkan atau menekannya jauh-jauh di lubuk batinnya yang terdalam.
Tetapi sayang sekali, usaha Serena untuk menenggelamkan rasa tak suka dan tak enaknya itu gagal. Semakin ditenggelamkannya ke lubuk hatinya yang terdalam, semakin perasaan-perasaan itu mengganggunya dengan setiap kali muncul mengambang di permukaan kesadarannya. Dan perasaan seperti itu tiba di puncaknya tatkala tiba-tiba ia menjadi sadar apa sebenarnya dasar dari perasaan- perasaan semacam itu. Seperti kelip-kelip lampu di malam gulita, Serena mulai menyadari sesuatu yang menerangi mata batinnya, yaitu suatu kesadaran bahwa sumber dari semua perasaan itu adalah karena ia merasa cemburu. Bahwa ada seorang wanita lain yang menjadi pusat perhatian dan keceriaan hati Jhonny, itu tidak dikehendakinya. Padahal perasaan semacam itu, tak diinginkannya ada dalam hatinya. Sebab, ia tidak mau mengakui bahwa perasaan cemburu itu masih ada padanya. Karena, rasa cemburu adalah teman akrab rasa cinta. Dan itu sungguh menakutkan bagi Serena. Sedangkan ia tidak ingin berpisah dengan Jhonny dengan perasaan cinta yang masih ada di dalam batinnya. la ingin semua hal dan semua perasaan yang dulu pernah ada dan terjalin di antara dirinya dan Jhonny, benar-benar telah musnah. Adanya cinta meski hanya merupakan sisa-sisanya belaka pun, pasti akan memberatkan langkah kakinya dan mungkin juga akan melukai dirinya.
Merasa takut kepada dirinya sendiri dalam hal perasaannya terhadap Jhonny menyebabkan Serena mencoba untuk melakukan sesuatu. la ingin menetralisir segala sesuatu yang mengganggu perasannya belakangan ini. Dan satu-satunya jalan yang terpampang di hadapannya adalah menerima ajakan Rangga menonton film di suatu ketika. la merasa itu bukan suatu kesalahan karena ia menerima ajakan itu sesudah berulang kali Rangga menyodorkan ajakannya dan yang selalu dijawab dengan pelbagai macam alasan. Rasanya, tak apalah kalau sekali-sekali meluluskan ajakan mainnya itu. Rangga toh tidak meminta sesuatu yang bukan-bukan dan yang melampaui batas-batas semestinya.
Tetapi Serena lupa satu hal, bahwa sekali ia meluluskan ajakan seorang lelaki, maka lelaki itu tidak akan mau berhenti sampai di situ saja. Apalagi di dalam ajakan-ajakannya itu terkandung suatu perasaan khusus terhadapnya. Begitu pun halnya Rangga. Bahwa Serena mau diajak nonton film, mau diajak jalan-jalan ke suatu tempat, dan mau pula ditraktir makan malam, itu sesuatu langkah maju yang patut diperhitungkan. Oleh sebab itu ketika pada kali ketiganya Serena mau dibawa pergi oleh Rangga, lelaki itu membawanya nonton pertunjukan musik klasik di Gedung Kesenian dan dilanjutkan makan nasi uduk tengah malam di sebuah rumah makan yang masih tetap ramai pada jam yang menunjukkkan lewat tengah malam itu.
la masih merasa tak enak ketika dengan kunci duplikat membuka pintu ruang tamu dan masuk ke rumah kembali sesudah Rangga pergi. Dan perasaan tak enak itu mencapai puncaknya tatkala ia melihat lampu di ruang tengah masih menyala. Jhonny yang dikiranya masih belum pulang, sedang duduk menonton video sendirian. Dan begitu melihat Serena melangkah melintasi tempatnya duduk menuju ke kamarnya, tiba-tiba saja Jhonny menegurnya.
"Kok baru pulang, Ren?" katanya.
Langkah kaki Serena terhenti. Itu bukan kebiasaan Jhonny sesudah perceraian mulai dikibarkan di antara keluarga mereka. Apalagi dengan nada yang tajam seperti itu. Rasa-rasanya pun, Jhonny memang sengaja menunggunya pulang. Lelaki itu bukan pecandu nonton video.
"He eh. Acaranya padat!"
"Dengan lelaki istimewamu itu?" suara Jhonny masih terdengar tajam. Tetapi pandangan matanya terarah ke layar kaca di mukanya.
"Ya... "
"Apakah dia yang akan menemanimu di hari-hari esok?"
"Mungkin...." perasaan Serena tak enak. Ini adalah pertama kalinya Jhonny ikut campur urusan pribadinya. "Kenapa kamu tanyakan itu?"
"Karena prosesnya terlampau cepat. Kilat malah!" sahut Jhonny. Kini pandangan matanya beralih ke arah wajah Serena.
"Kenapa kamu katakan terlalu cepat prosesnya?" tanya Serena lagi, meskipun ia menyadari apa yang dikatakan oleh Jhonny itu benar. Kalau memang ada apa-apa antara dirinya dengan Rangga, prosesnya terlalu cepat. Bukankah meskipun bendera perceraian itu sudah dikibarkan, tetapi secara sah kini ia masih istri Jhonny?
"Aku mengkhawatirkan dirimu, khususnya bagi Leon dan indah. Aku khawatir kamu keliru pilih. Sebab biasanya, api yang cepat menyala akan cepat pula padamnya!" sahut Jhonny sambil menatap tajam mata Serena. "Maaf, bukannya aku mau ikut campur urusan pribadimu tetapi aku memikirkan kepentingan kedua anak kita!"
"Sudah dua kali kamu menyebut tentang kepentingan Leon dan indah. Apa kaitannya dengan urusan pribadiku?"
"Aku tidak ingin mereka mendapat ayah sambung yang keliru gara-gara ibu mereka terbius api asmara yang terlalu cepat menyala."
Mendengar itu, bibir Serena bertaut rapat. Diliriknya wajah Jhonny dengan sengit. Baru kemudian bibir yang bertarut rapat itu mengurai.
"Hmm, IaIu calon ibu sambung yang bagaimana yang tidak keliru dan yang akan kamu berikan kepada Leon dan indah nanti? Apakah orang yang sering kencan denganmu itu akan menjadi ibu sambung yang baik?" tanyanya, terlontar begitu saja apa yang selama ini terpendam dalam batinnya.
"Oh, itu lain, Ren!" sahut Jhonny tenang. "Seorang lelaki kalau mengadakan hubungan dengan wanita lain sesudah ia gagal dalam pernikahan pertamanya, belum tentu hubungan itu bersifat serius. Apalagi berpikir untuk menjadikannya ibu sambung dari anak-anakku. Pikir- pikir panjang lebar dulu aku ini, Ren. Otakku masih lebih waras daripada hasrat kelelakianku untuk mengikatkan diri dengan seorang wanita yang belum lama dikenal!"
"Oh, kamu pikir aku tak mempunyai otak sewaras dirimu, Mas," bantah Serena jengkel. "Seperti dirimu, aku juga tidak pernah serius dengan seorang pria sebelum aku yakin itu akan baik jadinya bagiku maupun bagi Leon dan indah!"
"Wah, itu lebih buruk lagi nilainya!" komentar Jhonny
Serena menatap mata Jhonny dengan menyipitkan matanya yang sedang menyala-nyala itu. Ini adalah perdebatan mereka yang pertama selama 3 bulan semenjak perceraian mereka disetujui oleh keluarga masing-masing.
"Apanya yang buruk?" semburnya.
"Kalau kamu tidak serius berhubungan dengan lelaki itu berarti kamu itu iseng-iseng dan coba-coba belaka. Dan bahkan mau pula dicium olehnya di teras rumah yang masih ada suaminya!" kata Jhonny dengan suara mengandung kemenangan. "Apakah itu tinggi nilanya, Ren?"
Pipi Serena merona merah. Ternyata Jhonny mengintip perbuatannya bersama Rangga di teras tadi. Dan untung pula, Serena tidak menyambutnya dan membiarkan tangannya tetap lunglai berada di sisi tubuhnya, tidak melingkar ke leher Rangga!
"Mas, jangan suka menilai sesuatu itu berdasarkan indrawi yang suka menyesatkan," katanya. "Aku masih berotak waras dan tahu menjaga martabatku sendiri!"
"Dengan mencoba-coba bagaimana rasanya dicium lelaki Iain?" sindir Jhonny. "Ingat Ren, kamu itu seorang wanita. Harus berhati-hati dalam tindakanmu. Jangan mempermalukan dirimu sendiri!"
Mendengar kata-kata itu, Serena menjadi marah sekali. la teringat pada pertengkaran-pertengkaran mereka yang IaIu.
"Sejak dulu, kamu selalu menempatkan pria di atas tempat wanita. Rupanya itu sudah merupakan penyakit yang mendarah daging dalam dirimu!" semburnya. "Wanita tidak baik begini begitu, tetapi baik untuk kaum pria. Huh, pikiran yang sempit. Membangun dunia itu bukan hanya dikerjakan oleh kaum pria saja tahu! Tapi... sudahlah. Percuma saja mempertentangkan pendapatku dengan pendapatmu. Tak pernah ada titik temunya. Dalam hal ini kita berdua toh sudah sama-sama tahu bahwa kita berdua memang berbeda dalam banyak hal. Hanya akan membuang-buang waktu saja kalau kita mempersoalkannya. Jadi selamat malam. Aku sudah mengantuk!"
"Tunggu dulu!" suara Jhonny yang begitu kuat dan tegas membuat langkah kaki Serena terhenti tanpa disadarinya.
"Apal lagi?" tanya perempuan itu.
"Aku sebenarnya cuma mau bilang hendaknya kamu meletakkan dirimu sebagai wanita terhormat dengan perbuatan-perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang wanita yang tahu menjaga nama baiknya!" kata Jhonny. Suaranya terdengar sabar dan lembut, melepaskan segala ketegangannya yang semula. "Bagaimana pun juga kamu harus mau menerima kenyataan bahwa dalam banyak hal, kaum pria mempunyai beberapa prioritas yang kurang pantas kalau itu dilakukan oleh kaum wanita!"
"Itu karena ditunjang oleh egoisme kaum pria!" Serena menggerutu sambil melangkah masuk ke kamarnya, tanpa mau mendengar apa pun kata-kata Jhonny di belakangnya. "Dan aturan-aturan yang menguntungkan kaum pria itu dipertahankan sedemian rupa sehingga menjadi aturan yang seolah-olah milik umum yang harus dipegang!"
Di dalam kamarnya, kaki Serena merasa gemetar, pertengkaran pertama sepanjang 3 bulan ini memang tidak sehebat dulu dan juga tidak selama pada masa-masa ketika ia dan Jhonny masih hidup sebagai suami istri yang sesungguhnya. Tetapi semua itu tidak menguras tenaga sebagaimana yang dialaminya malam ini. la betul-betul merasa jengkel dan tersinggung atas ikut campurnya Jhonny dalam urusan pribadinya, padahal sepatah kata pun ia tak pernah menyebut-nyebut tentang kegiatan lelaki itu, tentang mengapa belakangan ini ia sering makan malam di luar dengan berpakaian bagus dan aroma yang menyegarkan. Padahal pula, ia sangat ingin mengetahui ke mana lelaki itu pergi makan malam dan bersama siapa. Lalu sesudah makan malam pergi ke mana pula? Apakah nonton film ataukah jalan-jalan ke Ancol atau pula menyewa kamar di suatu tempat entah di mana Serena tak pernah tahu mengenai hal-hal semacam itu, dan IaIu mereka berbuat sesuatu...?
Betapa besar hasrat Serena untuk mempersoalkan itu semua karena ia sebenarnya merasa tidak suka melihat kenyataan itu. Tetapi toh karena itu semua adalah risiko yang harus dihadapi, mulutnya dikunci rapat-rapat agar jangan sampai menyingkapkan sedikit saja rasa hatinya itu. Namun malam ini, justru Jhonny sendirilah yang mempersoalkan kepergiannya dengan Rangga. Dan bencinya, lelaki itu merendahkan hubungannya dengan Rangga. Seolah apa saja yang dilakukannya bersama Rangga merupakan suatu perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh windahta baik-baik. Sungguh, Jhonny sialan. Sialan. Sialan!
To Be Continued