Hospital
Author POV
Mika mengecup bayi dalam gendongannya dengan penuh kasih sayang. Matanya berbinar memancarkan kebahagiaan. Binar di matanya seakan-akan menebarkan sinar ke seluruh ruangan. Membagikan kehangatan kepada setiap orang yang berada di sana.
Devan yang tegak di sisi istrinya melingkarkan lengannya ke bahu Mika. Bibirnya mengguratkan senyum bangga ketika matanya menatap bayi montok dan lucu dalam gendongan istrinya.
"Selamat ya, Ka Devan," Dara, rekannya yang baru datang bersama saudaranya, menjabat tangan Devan. "Anakmu lucu sekali!"
"Heran," sambung Juan, temannya yang lain, yang juga baru datang. "Bapaknya jelek begini kok anaknya cakep!"
"Terima kasih!" Devan tertawa cerah. Tawa yang menyimpan kebahagiaan. Kebanggan seorang ayah. "Mulutnya lebar ya, Ju, seperti mulutku"
"Dia memang mirip Devan," Juan memberi pendapatnya. "Mulutnya, hidungnya, matanya..."
Refleks Devan mengetatkan rangkulan di bahu istrinya. Parasnya bersinar cerah. Senyumnya melebar.
Apa lagi yang dibanggakan seorang ayah selain bayinya mirip darinya? Sungguh suatu keajaiban bagaimana matanya dapat melekat di wajah anaknya. Bagaimana mulutnya dapat menjelma menjadi mulut sang bayi.
Merasakan pelukan hangat suaminya, Mika menengadah. Dan matanya bertemu dengan mata Devan.
Dua pasang mata yang memancarkan senyum bahagia berpapasan diam-diam. Terkunci dalam kehangatan cinta yang membuncah.
***
Dara POV
Anak laki-laki bernama Rafa itu masuk Ruang ICU pada pukul dua lewat dua puluh menit dini hari setelah dilahirkan.
Lima jam lagi menuju perjalanan pulang ke rumah, menuju kasur empuk dengan tumpukan bantal.
Tanpa menunggu panggilan interkom, aku bangkit dan meninggalkan mejaku. Duty calls.
"Pasien bernama Rafa Putra Wardana" lanjutku selagi bergegas mendampingi Dad. "Ibunya menemukannya dalam keadaan membiru, tak bernapas setelah dilahirkan. Kondisinya sudah distabilkan, tapi setibanya di sini, kondisinya kembali terulang." Aku menyebutkan laju denyut jantung dan level saturasi oksigen dalam darah yang sudah dicatat tim paramedik.
"Cek ulang suhu tubuh, saturasi oksigen dan laju denyut jantung," perintah Dad, diikuti respons singkat dari para anggota timnya yang baru saja tiba dan langsung bergerak.
Dengan hati-hati kumiringkan kepala itu ke belakang, mencari denyut nadi sekaligus mendengarkan suara paru-paru dan jantung.
Tubuh Rafa kaku, nyaris seperti boneka. Dia tak bergerak, tak bernapas.
"Laju denyut jantung di bawah enam puluh per menit," sahutku.
"Lakukan CPR." Dad berpaling kepadaku, "Lakukan kompresi dada."
Aku menyentuh dada Rafa dengan ibu jari, lalu mulai menekan. Satu, dua, tiga, mengikuti alur ketetapan resusitasi, seratus sampai seratus dua puluh per menit.
"Dia tak merespons." Aku berujar, bulir-bulir keringat mulai membasahi pelispisku. Ketika aku mendongak untuk menatap Dokter Devan yang baru saja datang setelah menemani istrinya melahirkan juga, kekhawatiran jelas terpancar dalam sorot matanya.
"Kita butuh epinefrin." perintah selanjutnya
Aku mengangguk setuju, yang diulangi Dokter Devan sebelum diberikan kepada Rafa.
Kami mengamati perkembangannya dengan napas tertahan, namun bayi laki-laki yang terbaring di tempat tidur tak juga bergerak. Ayolah, aku ingin memberitahunya. Bangun, Ka Rangga dan Ka Gwen khawatir sekali di luar sana. Ayo, berjuanglah.
Rafa bergeming. Aku masih terus menekan dadanya, tak ingin dan tidak bisa menyerah. Angka pada monitor terus berkedip turun, seberapa pun Dokter Devan memelototinya. Kami berdiri mengelilingi Rafa tanpa daya. Kesenyapan di antara kami memekakkan, lebih nyaring dibanding suara yang menandakan garis datar pada monitor.
Rafa Putra Wardana sudah tidak bersama kami.
Satu lagi kehidupan yang lenyap di tanganmu. Pikiran itu menelusup, membuncahkan rasa sakit yang tak asing di dadaku.
Sayup-sayup kudengar Dokter Devan mengucapkan seutas doa untuk mengantar Rafa pergi. "Eternal rest grant unto them, O Lord, and let perpetual light shine upon them. May the souls of the departed, through the mercy of God, rest in peace."
Beberapa dari kami bergumam untuk mengamini doa tersebut. Dad berdeham, "Waktu kematian, pukul dua lewat lima puluh lima menit."
Perlahan, aku melepaskan tekanan, kemudian memalingkan wajah untuk menyembunyikan ekspresi.
"You alright?"
Aku melepaskan napas begitu Dokter Devan menyentuh sikuku, lalu mengulas senyum singkat yang sedikit kupaksakan. "Dia baru dilahirkan. Hanya seorang bayi."
Dokter Devan mengiyakan ucapanku dengan sorot mata lembut, dan aku tahu dia sedang memikirkan bayinya, yang baru saja lahir. Aku mengikuti arah pandangnya, menuju dua sosok yang sedang menunggu kabar di ruang tunggu.
The parents
***
Dad menghampiri mereka dengan langkah gontai. Ka Gwen yang bersih keras ikut walaupun harus duduk dikursi roda, yang lebih dulu melihat Dad, serta-merta menarik suaminya untuk menghampirinya.
"Anak kami..."
Pengharapan yang kentara dalam raut wajah mereka membuatku ingin segera pergi dari sini.
Dad memulai. "I'm sorry to tell you that Rafa is no longer with us."
Ka Rangga mulai menangis. Air mata mengaliri kedua pipinya, dan dia buru-buru mengusapnya sambil berusaha menguasai diri.
Tears are normal. Air mata adalah cara tubuh memberitahumu bahwa hal buruk baru saja terjadi. It is human's way of coping. Tapi di sisinya, Ka Gwen mematung, ekspresinya sulit dibaca. Sorot matanya teguh, sesuatu yang jalas tak kurasakan sekarang. "Pernapasannya terhenti karena otak gagal memberikan sinyal kepada otot untuk bernapas, sehingga kesulitan mengontrol refleks pernapasan," terang Dad sesederhana mungkin.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi tubuhnya tak merespons." Dad mengulangi permintaan maaf yang sama; permintaan maaf yang tak berarti, karena tak akan ada yang bisa mengurangi sakit yang mereka rasakan saat ini.
"Rafa." Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Ka Gwen, setelah sekian waktu berlalu. "Aku ingin melihatnya."
Dad membimbing mereka menuju ruang perawatan tempat Rafa masih terbaring. Seseorang telah merapihkan selimutnya. Dia terlihat seperti sedang tidur, seperti bayi yang sebentar lagi akan membuka mata dan menangis meminta susu ibunya.
Pada detik Ka Gwen menjatuhkan pandangan pada bayi kecilnya, barulah tangisannya terdengar-raungan seorang ibu yang baru saja kehilangan hal paling penting dalam hidupnya. Dia maju untuk merangkul anaknya, seperti berusaha melindunginya dari segala hal buruk di dunia ini. Air matanya mengalir deras membasahi wajah sang anak, dan tak ada kata yang keluar dari mulutnya kecuali suara-suara tercekik yang menyakitkan. Meskipun begitu, apa yang tak dikatakannya jelas kudengar. Jangan pergi.
Ka Rangga masih tak bergerak dari ambang pembatas ruangan, seperti tak mampu memaksakan diri untuk masuk. Kekalutan terlihat jelas lewat matanya yang memerah. Tatapannya nanar, seolah baru saja menyadari bahwa ini bukan sekedar mimpi buruk di tengah malam dan ia harus tegar demi istri yang kini hancur-lebur di hadapannya. Dengan sia-sia, dia berusaha menyembunyikan tangannya yang gemetaran dalam saku.
Aku tahu aku seharusnya mengatakan sesuatu kepada Ka Gwen yang sedang meratapi kepergian anaknya, atau Ka Rangga yang berdiri layaknya patung di belakangnya. Aku harus menanyakan perihal kemungkinan donor organ, memastikan kematian tidak disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian, atau bahkan beranjak untuk menangani pasien-pasien lain yang membutuhkan pertolonganku. Namun aku malah membeku di sana.
Mereka yang hidupnya tak akan pernah sama lagi, akibat kepergian yang berada di luar kuasanya.
So i let them grieve. I let them grieve.
Aku sendiri memalingkan wajah, berupaya agar emosi yang kurasakan tak kentara pada ekspresiku. Rasa tak berdaya karena tak bisa melakukan lebih banyak.
Satu-satunya yang bisa kulakukan agar tidak tenggelam adalah fokus pada tugas di depan mata. Oleh sebab itu, setelah menata ekspresi dan setiap rasa yang menggelegak, aku pun berbalik, meninggalkan kedua pasangan yang berdua tersebut, dan kembali bekerja.
***
Rangga POV
Saat menit kelima belas berlalu, aku menyadari kalau aku tidak akan pernah melihat putraku lagi. Tak akan ada lagi senyuman bercahaya saat aku membawa anak itu ke Gwen.
Kesadaran itu muncul tiba-tiba, memukul dengan semacam kekuatan yang hampir membuatku terhuyung-huyung.
Aku ingin berdiri, tapi kaki ini seperti melekat pada kursi rumah sakit ini. Bagaimana jika otot ini menolak untuk menahan beban? Aku membayangkan diriku sendiri roboh ke lantai berlapis marmer dan terbaring di ruang tunggu. Aku merasa seperti akan pingsan, tapi bahkan sedikit kemurahan Tuhan membuatku masih tetap terjaga.
To Be Continued