Lombok
Karina POV
Aku sudah siap tidur saat pintuku diketuk. Juan berdiri di depanku ketika daun pintu terkuak. Aku pikir dia sudah ke Jakarta. Dia memang akan pulang malam ini.
"Ada apa?" Aku merapatkan jaket yang kupakai. Udara di luar sangat dingin. Butuh waktu cukup lama saat pertama datang ke sini untuk beradaptasi dengan cuaca dinginnya yang lumayan ekstrem.
"Aku akan ke Jakarta."
"Aku pikir kamu malah sudah berangkat."
"Aku tidak mungkin pergi sebelum pamitan." Juan menujuk ke dalam. "Aku bisa masuk sebentar? Di luar sangat dingin."
Aku memiringkan tubuh, memberinya jalan masuk. "Kamu tidak perlu pamitan. Aku sudah tahu kamu akan berangkat. Udin sudah ada, kan?" Aku menanyakan sopir yang akan mengangtarnya ke bandara.
"Sudah. Aku suruh tunggu di tempat parkit." Juan mengulurkan kantong kertas yang dipegangnya. "Aku mau kembalikan ini."
Aku tidak langsung mengambilnya. "Apa itu?" Aku tidak akan menerima benda apapun dari Juan sekarang.
"Barang kamu yang ketinggalan di Ruby's Store. Baru sempat aku kembalikan karena kita memang baru ketemu." Dia meletakkan kantong kertas itu diatas meja.
Aku tidak merasa meninggalkan apapun di rumahnya. Saat pergi, aku membersihkan jejakku disana. Aku membawa semua barang yang ikut masuk bersamaku ke toko itu. Tidak ada yang tersisa yang bisa membuat dia teringat kepadaku, meskipun aku yakin bagi Juan, melupakanku pasti semudah menjentikkan jari. Mungkin saja dia malah merayakan kebebasannya selama tujuh hari tujuh malah dengan para gundiknya.
"Apa itu?"
"Nanti kamu lihat sendiri. Aku harus ke bandara sekarang. Resiko naik pesawat komersial seperti ini, harus buru-buru." Juan menjelaskan seolah penting untukku tahu kendaraan yang dia gunakan untuk bepergian ke mana-mana. "Aku pergi, ya. Sampai nanti." Dia berbalik dan akhirnya menghilang setelah menutup pintu dari luar.
Aku kemudian duduk dan meraih kantong tersebut. Kira-kira barang apa yang lupa aku ambil dari Ruby's Store? Kantong itu berisi sebuah kotak yang cukup besar. Aku merobek kertas pembungkusnya dan langsung terpaku saat mengenalinya.
Benda itu bukan kulupakan. Aku memang sengaja meninggalkannya karena membawanya akan terus mengingatkanku kepada Juan. Sama seperti aku tidak meninggalkan jejak saat meninggalkannya, aku juga tidak mau membawa benda apapun yang diberikannya. Termasuk perhiasan-perhiasan yang berada di dalam kotak ini.
Dia lumayan royal memberi hadiah. Seandainya dia tahu bahwa aku lebih suka dia memberi hatinya kepadaku ketimbang benda-benda yang dibeli dengan uang. Namun, dia mungkin memang sengaja memberi hadiah karena tahu hatinya terlalu berharga untuk diberikan kepadaku.
Aku membuka tutup kotak itu. Di bagian atas ada cincin pertunanganku. Aku mengeluarkan dan mengamatinya. Benda ini harganya sangat mahal. Aku tahu karena dia mengajakku saat membelinya. Katanya supaya bisa dicoba langsung di jariku. Sebenarnya aku memilih cincin yang jauh lebih sederhana, tetapi dia menolak pilihanku dan menunjuk cincin ini.
Ada keinginan aneh yang tidak bisa kutahan. Apakah cincin ini masih muat di jariku? Aku kemudian memasangnya di jari manis kiri, tempatnya dulu melingkar. Pas. Ukuran jariku rupanya tidak berbeda sejak melepasnya. Aku lalu mengangkatnya ke arah lampu. Berliannya yang besar tampak berkilau. Indah. Sayangnya, keindahannya tidak menulari hubunganku.
Perlahan, aku melepas dan mengembalikannya ke dalam kotak. Cincin ini adalah bukti kebohongan Juan. Bodohnya aku karena harus mendengar dia mengakuinya dengan bibirnya sendiri, padahal ada banyak momen yang seharusnya membuatku curiga. Namun tidak, aku memilih percaya kepadanya. Mungkin karena aku ingin meyakinkan diri, sendiri, bahwa dia juga sudah mencintaiku setelah kami jalan bersama begitu sepakat untuk memulai penjajakan.
Setelah aku ingat-ingat kembali, setelah perpisahan itu, aku begitu mudah menemukan bukti kalau Juan memang tidak bermaksud menjadikan aku permanen dalam hidupnya.
***
Jakarta
Author POV
Hari sudah mulai larut malam Devan pulang ke apartemen. Hatinya merasa lega. Dia menangani masalah salah satu anak koastisen dengan baik, dan Dokter Adam memuji solusinya.
Ketika memasuki ruang apartemennya yang gelap, Devan sedikit bingung. Dia tahu hari ini Bunda Hara tidak masuk kerja. Setidaknya Mika berada di apartemennya. Tapi kenapa lampu apartemennya mati?
Devan hendak menyalakan lampu ruang tamu saat melihat Bunda Hara tidur di sofa. Rupanya Bunda Hara ketiduran. Devan terpaksa membangunkan Mika, untuk mengangkat Bunda Hara dari sofa dan menidurikan di kamar tidur tamu.
Mika hendak berbalik pergi ke kamarnya saat mendengar suara Bunda Hara mengigau.
"Sultan..." katanya perlahan.
Mika terduduk di sisi ranjang Bundanya dan mendesah, "Bunda belum melupakannya, bukan?" Ujarnya perlahan. "Aku rasa Bunda masih menyukainya."
Mika termenung. Dia berpikir keras. Dia tahu mengapa Bunda tidak mau kembali pada Om Sultan. Sebagian karena rasa takut. Sebagian lagi karena Bunda Hara merasa tidak pantas berasa di sisi Om Sultan.
Apalagi setelah kecelakaan yang dialami Bunda. Semua ini karena keluarganya, Mika sudah berhenti menyalahkan dirinya sendiri sejak lama. Bunda telah memberinya kekuatan untuk mengatasi rasa bersalahnya. Bunda mengatakan Mika tidak bisa mengetahui dan mengendalikan apa yang terjadi pada masa depan.
Bunda benar. Mika menatap ibunya yang sedang tidur. Sebuah ide muncul di benaknya. Dia tersenyum pada Bunda.
***
Keesokan paginya, Hara membuka matanya perlahan. Ia melihat jam di meja kamar tidurnya. Sudah jam delapan. Hal terakhir yang diingat Hara adalah kemarin sore saat ia menjatuhkan belanjaannya. Mika pasti membawa nya ke kamar tidur. Hara tidak pernah tidur senyenyak ini. Pasti karena obat antisakit yang diminumnya kemarin.
Hara bergegas mandi. Hari ini ia masuk kerja.
"Selamat pagi," sapa Mika dari ruang makan.
"Selamat pagi," balas Hara. "Kamu tidak lihat Anika?"
"Ini kan Sabtu, dia biasanya pergi ke rumah Wardana untuk mengurus pertunangan dan pernikahannya" Mika mengingatkan.
"Oh iya." Hara menggeleng. "Bunda sudah lupa hari ini hari apa. Bunda harus pergi ke restoran".
Mika menggiring Hara ke ruang makan. "Sarapan dulu bun. Baru pergi kerja."
"Tapi..."
Mika menggeleng. "Tidak ada tapi-tapian. Bunda harus sarapan sampai kenyang."
Hara mengalah. "Baiklah". Ia mulai mengambil roti panggang yang ada di meja makan dan memakannya.
Akibatnya, Hara terlambat sampai di restorannya. Tapi Sarah dan para staf memakluminya. Restoran masih sepi saat Hara datang. Saat jam makan siang, Hara sibuk bekerja di dapur. Sesekali Sarah mengomeli dan menyeretnya keluar dari dapur untuk beristirahat.
Ketika Hara kembali ke apartemen, hari sudah menjelang sore. Malam nanti restorannya akan sibuk. Biasanya malam minggu memang malam yang paling sibuk. Hara ingin beristirahat sejenak di apartemen melepas rasa penatnya. Dan setibanya disana ia lihat Mika baru keluar dari kamar mandi.
"Kamu tidak bepergian sama Devan?" tanya Hara. Luki menggeleng. "Aku baru saja olahraga di lapangan bawah, bun".
"Malam ini aku pasti sibuk," kata Hara. "Kamu tidak perlu menungguku pulang. Tidur saja duluan. Aku pasti pulang malam sekali."
"Oke" kata Mika.
Hara mengambil susu dingin dari kulkas dan menawarinya pada Mika. Ketika Mika melihat tangan kiri Hara, Mika bertanya, "Bunda, tidak mengenakan cincin?"
Hara melihat jari tengah tangan kirinya. Ia tidak ingat kapan terakhir kali melepas cincin itu dari tangannya. Hara langsung berlari ke kamar mandi dan mengecek apakah cincinnya ada disana. Setelah keluar, ia berkata "Aku mungkin meninggalkan cincinku di restoran. Biasanya aku suka melepas cincinku kalau sedang mencuci tangan. Jangan khawatir Mika. Aku pasti
menemukannya kembali."
Mika tersenyum. "Aku yakin Bunda pasti menemukannya".
Dalam hati Hara sedikit panik. Ia benar-benar lupa kapan terakhir kali memakai cincinnya. Ia memang sering melepas cincin tersebut kalau sedang mandi dan mencuci tangan. Kalau tidak ada di apartemen, Hara yakin pasti ada di restoran.
To Be Continued