Jakarta
Author POV
Dari jauh Devan sudah melihat Dara. Sejak masih di bangsal penyakit saraf.
Dara menunggu di tempat biasa. Di lorong rumah sakit yang menghadap ke taman belakang. Berbaur dengan pasien yang sedang menunggu giliran di periksa di poliklinik penyakit saraf.
Dari jendela yang terbuka di kantor perawat, Devan dapat melihat ke luar. Di situlah biasanya dia menunggu Dara. Berpura-pura memeriksa status pasien.
Biasanya begitu datang, Dara akan memandang ke arah jendela itu. Dia tahu Devan sedang menunggu di sana. Mereka akan saling pandang sambil bertukar senyum.
Devan akan memberi kode berapa lama lagi dia dapat keluar menemui Dara. Dan Dara akan menanti dengan sabar di luar.
Tetapi hari ini, Dara tidak memandang ke arah jendela itu. Dia menunduk terus. Bahkan dia berdiri membelakangi jendela.
Devan menjadi gelisah. Ingin rasanya dia melompat ke luar. Menemui Dara. Menanyakan problemnya.
Tetapi perawat kepala ruangan yang judes itu masih bercokol di sana. Dan Dokter Adam yang galak itu belum mulai visite juga. Padahal sudah hampir pukul sebelas siang.
Devan terpaksa membiarkan Dara menunggu selama hampir dua jam. Begitu visite selesai, dia menyimpan bukunya baik-baik di balik baju dokternya. Berjalan sesantai-santainya melewati bangsal demi bangsal. Dan tersenyum ramah kalau melewati kantor perawat.
Karena perawat kepala masih duduk di sana. Dan biarpun kelihatannya dia sedang sibuk, dia tahu sekali dokter mana yang sudah kabur sebelum pukul dua. Esok pagi, laporannya pasti sudah menunggu di atas meja Dokter Adam.
Devan harus mengendap-endap ke kamar ganti pakaian. Menukar baju dokternya dengan kemeja biasa. Lalu kabur secepat-cepatnya ke luar.
"Hi!" sapa Devan sambil menghambur menghampiri Dara.
Ah, setiap kali memandang wajah Dara, hilanglah rasanya semua keletihan dan kejemuan yang dibawanya dari bangsal saraf yang selalu sibuk itu.
Segar rasanya melihat wajah ayu Dara setelah berjam-jam tampang Dokter Adam yang selalu membuat pusing kepala. Belum lagi melihat penampilan pasien-pasiennya. Devan benar-benar merasa jenuh
***
Ketika Devan tiba di bangsal, ruang operasi kosong melompong. Entah ke mana saja pasien-pasiennya. Tetapi Dara ada di sana. Dia sedang duduk menulis. Punggungnya menghadap ke pintu.
Dara mendengar langkah-langkah sepatu di belakangnya. Dia tahu sekali siapa yang datang. Tapi dia tidak menoleh.
"Dara, kita makan dulu, yuk," cetus Devan sambil berjalan menghampiri. "Nanti Dokter Adam keburu datang."
"Makanlah duluan," sahut Dara tanpa menoleh.
Sesaat Devan kehilangan semangat. Tidak tahu harus mulai dari mana lagi.
"Sudah jam satu lewat, Dara. Nanti maagmu sakit lagi."
Tidak ada jawaban. Sia-sia Devan menunggu.
"Case sama Dokter Adam bisa sampai jam empat, Dara."
Tidak ada jawaban juga. Devan sudah kehabisan kata-kata.
"Aku belikan kue saja, ya? Kamu malas ke kantin?"
"Aku malas makan!" bentak Dara jengkel. "Tidak lapar!"
Devan terkejut sekali. Belum pernah Dara berkata sekasar itu kepadanya. Biasanya dia selalu lembut. Selalu sabar. Tetapi belum sempat dia memutuskan hendak diam saja atau pergi, Dara menoleh.
"Maaf," katanya dengan perasaan bersalah. "Saya sedang jengkel."
"Aku hanya mengajakmu makan." Tidak ada nada marah dalam suara Devan.
***
Mika melemparkan ponselnya dengan gemas. Sudah seharian dia mencoba menelpon Devan. Tapi lelaki itu seperti menghilang ke planet lain.
Telepon genggamnya tidak menyahut. Di luar jangkuan atau dimatikan. Di rumah Wardana juga dia tidak ada. Kata bibi belum pulang dari rumah sakit.
"Tiba-tiba dia ke rumah sakit padahal belum sembuh," geram Mika kesal. "Katanya ada operasi mendadak. Sekarang dia menghilang. Padahal seharusnya dia pulang hari ini."
Dengan jengkel Mika mematikan ponselnya. Dan melemparkannya dengan gemas.
Di belakang Mika, televisi sedang menyiarkan berita tabrakan beruntun. Penumpang yang selamat sudah diperbolehkan pulang. Yang luka-luka dirawat di rumah sakit umum.
Tetapi Mika tidak peduli. Di hatinya hanya ada lelaki sialan itu. Devan Sebastian! Entah di mana dia bersembunyi!
Dengan geram Mika masuk ke kamarnya. Matanya menatap sedih ke gaun yang tergantung di sisi tempat tidurnya. Gaun yang sangat indah. Yang dibelikan Devan untuknya merayakan ulang tahun pernikahan kami.
Sekarang gaun itu seperti tertawa mengejeknya. Mika merenggut gaun itu dengan gemas. Di lemparkannya ke sudut ruangan dengan sengit. Lalu dia melangkah ke jendela. Dibukanya jendela itu lebar-lebar. Diisapnya udara sepenuh-penuh parunya. Tapi heran. Dia tetap merasa pengap.
***
Wardana's House
Author POV
Setelah dua bulan berusaha, Kasih akhirnya sembuh setelah melewati berbagai macam operasi dan Gwen akhirnya kembali hamil. Hal itu menjadi hal yang membahagiakan sekaligus menakutkan bagi Rangga, ia bahagia akhirnya bisa melihat istrinya hamil, dan takut atas kesehatan istrinya. Ia takut kesehatan Gwen akan menurun seperti kehamilan pertama.
"Jangan bergerak."
Rangga mengangkat tangan untuk menyuruh Gwen tetap di ranjang setelah wanita itu muntah di pagi hari.
"Aku bosan di kamar sejak pagi."
"Pokoknya jangan bergerak." Rangga kembali mendorong Gwen untuk berbaring. "Ingat kandunganmu."
Gwen memutar bola mata, sedikit kasihan dengan kepanikan yang sering di alami Rangga, sekecil apapun hal yang meinmpa Gwen, Rangga akan menjadi panik luar biasa.
"Mas, aku ini hanya hamil. Bukan sakit keras."
"Istirahat."
"Baiklah." Gwen mengalah, memilih berbaring di ranjang. Padahal ia baik-baik saja, kehamilannya kali ini tidak seperti sebelumnya, ia sehat dan hanya sedikit pusing di pagi hari tapi akan membaik seiring waktu.
"Apa kamu ingin makan sesuatu?"
Gwen tampat berpikir sejenak. "Aku ingin rujak."
"Rujak?"
Gwen mengangguk semangat. "Tapi harus Mas yang membuatkannya untukku."
Rangga tampak menggaruk tengkuknya. "Baiklah, kamu ingin buah apa?"
"Mangga. Yang muda dan yang baru di petik."
Dimana ia akan mendapatkan mangga itu? Saat ini bahkan belum musimnya mangga berbuah.
"Sekarang." Sambung Gwen dengan senyuman lebar.
"Oke tunggu disini."
Dan disinilah Rangga, bersama Satya dan berkeliling ke pasar tradisional terdekat.
"Harus yang baru di petik?" Satya menggaruk rambutnya yang gatal. "Dimana mencarinya?"
"Ayo keliling." Rangga menarik kerah jaket Satya dan menariknya berkeliling untuk mencari mangga muda. Tapi tak satupun penjual yang menjual mangga muda, adapun pasti yang sudah matang.
"Cari dimana lagi?"
Rangga menghela napas. Ini sudah pasar ketiga yang mereka masuki. Hari sudah semakin terik dan panas.
Keduanya duduk di depan sebuah ruko, persis seperti orang yang sedang berputus asa.
"Aku sudah tidak tahu." Satya berdiri. "Ayo pulang."
"Mangganya?"
"Bilang tidak ada." ujar Satya santai. Rangga memelotot, ingin sekali meninju sepupunya itu, tapi ia sendiri juga sudah lelah dan lapar. Ia mengikuti langkah Rangga menuju parkiran motor dan mereka berdua kembali ke rumah.
Tapi begitu melewati sebuah rumah, Rangga menepuk bahu sepupunya berulang kali hingga membuat Satya menoleh.
"Apa?!"
Rangga menunjuk sebuah rumah dengan pagar tinggi, dimana mereka memiliki sebuah pohon mangga yang tidak terlalu tinggi, tapi yang menakjubkannya adalah buah mangganya sedang berbuah lebat.
Satya segera menepikan motornya ke bahu jalan, matanya mengamati pohon itu, lalu ia menoleh pada Rangga yang juga menoleh padanya. Keduanya kemudian tersenyum lebar dan turun dari motor besar itu.
"Ayo." Satya bergerak memanjat pagar, sedangkan Rangga melangkah menuju pintu pagar dan membukanya. Tidak terkunci. Ia melirik sinis Satya yang sudah susah payah memanjat. Satya mengumpat dan melompat turun, memilih melewati pintu pagar yang sudah Rangga buka.
Rangga mendekati pintu rumah, mengeluarkan dompet dan menyelipkan tiga lembar uang kertas ratusan ribu kesana, lalu mendekati Satya yang tengah memetik mangga. Ketika mereka tengah memegang mangga-mangga itu, sebuah anjing tiba-tiba berlari mendekat sambil menyalak keras.
Anjing berjenis Labrador itu membuat keduanya terkejut. Refleks, keduanya berlari menuju pagar sedangkan anjing itu terus mengejar.
"Buruan!" Rangga berteriak sedangkan Satya tengah sibuk mengambil kunci motor dari saku celanannya. Anjing semakin dekat, keduanya melompat ke atas motor dan Satya langsung mengebut meninggalkan anjing yang menyalak-nyalak di belakang mereka. Setelah cukup jauh. Keduanya tertawa kencang, terbahak-bahak dengan begitu keras.
Boys will be boys. Itu ungkapan yang sempurna sekali untuk keduanya. Keduanya bahkan masih tertawa terbahak-bahak begitu sampai di rumah.
Saku jaket Rangga dan juga Satya bahkan terkena getah mangga yang mereka petik karena menaruh mangga itu kesana. Melihat itu, keduanya kembali tertawa kencang.
To Be Continued