Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 146 - I Hate You

Chapter 146 - I Hate You

Lombok

Karina POV

"Jadi, kamu benar tidak mau ikut aku pulang ke Jakarta?" tanya Juna sekali lagi saat kami sudah duduk di restoran untuk minum kopi.

Aku mengajaknya ke sini setelah menyuruh pegawai yang bertugas untuk melayani tamu Ka Rangga yang rewelnya seperti balita itu.

"Maaf ya." Aku tidak enak mengecewakan Juna. Bagaimanapun, dia kandidat terkuat untuk menjadi cinta masa depanku.

"Yha, mau gimana lagi" Juna mengedik pasrah.

"Jum'at atau Sabtu, aku akan ke kota untuk belanja. Nanti aku hubungi." Aku mencoba menghibur.

"Kalau sudah pasti, kabari supaya akku jemput." Juna tersenyum. Dia terlihat semakin tampan dengan ekspresi itu. Seharusnya tidak perlu usaha untuk menyukainya. Kenapa hatiku seperti mati rasa?

Juna satu-satunya kandidat cinta masa depanku sekarang, tetapi aku tidak ingin terlalu memberi harapan. Bukankah baru semalam aku menyadari kalau statusnya sekarang hanya sebatas tameng? Aku pernah diberi harapan palsu dan rasanya menyesakkan. Aku tidak ingin melakukan hal yang sama kepada Juna. Namun, mungkin sudah terlambat. Juna pasti bisa merasakan kalau akhir-akhir ini aku tidak lunak kepadanya.

"Aku akan kesana sendirian seperti biasa. Akan kuhubungi kalau sudah di sana."

Juna akhirnya kembali ke kantornya setelah menghabiskan kopi dan pisang gorengnya. Aku kemudian lanjut ke perkebunan untuk melihat-lihat. Kegiatan rutinku setiap pagi sebelum mandi dan masuk kantor.

"Sepertinya tomat yang di sebelah sana sudah siap panen ya?"

Aku menoleh cepat. Aku tidak mendengar kedatangan lelaki itu. Dia tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku. "Apa anda perlu sam..."

"Aku tahu kamu tidak suka melihatku, tapi tidak perlu formal seperti itu," potongnya. Dia bergerak ke sampingku. "Kedengarannya malah aneh."

Aku mendengus. Siapa yang mau beramah-tamah kepadanya?

"Katanya lahannya hampir 70 hektar, ya?" nadanya terdengar biasa, seperti tidak ada masalah apapun di antara kami.

"Iya, hampir 70 hektar." Kekanakan kalau aku tidak menjawab pertanyaan seperti itu.

"Sudah ditanami semua?"

"Kebanyakan sudah. Tapi masih ada yang belum. Tidak sampai 10 hektar lagi."

"Kelihatannya menjanjikan."

"Begitulah." lebih baik menjawab pendek, sesuai pertanyaan.

"Kamu betah kerja di sini?"

"Tentu saja." Aku langsung defensif. "Tapi itu bukan urusanmu, kan?"

Meskipun tidak menoleh ke arahnya, aku tahu kalau dia sedang menatapku. Aku bisa merasakannya. Mungkin dia mencari-cari sisa-sisa pemujaan di wajahku. Ingin tahu apakah aku masih perempuan bodoh yang sama seperti dulu. Maaf saja, tetapi aku tidak akan membuatnya bahagia dengan menunjukkan jika dugaannnya benar.

"Memang bukan urusanku. Aku hanya ingin tahu. Aku ikut senang kalau kamu betah di sini. Kelihatannya tempat ini memang sangat tenang."

Arti kalimatnya itu adalah, aku seharusnya memang tinggal di sini, kan? Aku juga tidak berharap pindah ke mana-mana dalam waktu dekat. Aku suka pekerjaanku sekarang, walaupun berbeda jauh dengan apa yang aku kerjakan dulu.

"Silahkan kalau masih mau lihat-lihat. Aku mau pulang dulu." Aku berbalik

"Aku juga mau balik ke vila saja. Sambil menunggu Rangga." Dia ikut berjalan di sebelahku. "Ibuku benar, tangan kamu itu sangat dingin. Apapun yang kamu pegang pasti hasilnya bagus. Kata Rangga, kamu yang membuat tempat ini jadi seperti sekarang."

"..."

"Oh ya, aku tidak suka kopi yang mereka buat. Kamu bisa buatkan kopi untukku, kan? Kopi buatan kamu rasanya selalu enak."

Aku mendelik. "Aku pengelola tempat ini, bukan tukang bikin kopi!"

"Aku tamu di sini."

"Dan aku belum pernah bikin kopi untuk semua tamu yang datang ke sini. Bahkan tidak untuk Ka Rangga." Aku mempercepat langkah. Namun, sulit melarikan diri dari seseorang yang kakinya jaug lebih panjang.

"Aku berbeda dengan semua tamu yang pernah datang ke sini."

"Karena kamu adiknya Ka Rangga? Di mataku sama saja." Kenapa perkebunan ini luas sekali? Seharusnya, aku tadi tidak jalan kaki. Kemana semua kendaraan yang biasa mengangkut pengunjung petik buah saat dibutuhkan."

"Tidak ada yang salah dengan secangkir kopi demi masa lalu, kan?"

Aku menghentikan langkah. Wajahku yang menoleh ke arahku kutatap lekat. "Kamu tahu kenapa aku berada di sini? Karena aku tidak terlalu suka masa laluku. Aku ingin melupakannya. Jadi aku tidak akan buatkan kopi untuk kamu demi merayakan pertemuan kita. Kalau bisa menghindari pertemuan ini, aku akan menghindarinya."

Aku benar-benar benci karena kehilangan kendali seperti barusan. Sulit sekali mengabaikannya. Mungkin itulah yang membuatku berlari menjauh darinya. Karena aku tidak bisa terus berada di dekatnya tanpa merasa tersakiti.

***

Jakarta

Author POV

Sarah memastikan segala sesuatunya sudah sempurna. Meja untuk dua orang. Cahaya lilin di sekeliling meja. Sekuntum mawar merah di tengah meja. Hari ini restorannya mendapat pesanan pribadi. Ada seseorang yang menyewa seluruh restoran untuk jam makan malam. Sarah sudah sering melakukan hal yang serupa. Beberapa kali restorannya di sewa untuk acara pribadi 

ataupun untuk acara lamaran. Karena sang penyewa memesan untuk dua orang, Sarah menyimpulkan malam ini akan ada acara lamaran. Matanya menerawang.

"Apa yang kamu pikirkan?" Tanya Hara ketika memasuki restoran dan mendapati Sarah sedang tersenyum sendiri.

"Aku memikirkan setiap lamaran pernikahan yang terjadi di restoran ini. Sangat romantis rasanya jika seorang pria menyewa seluruh restoran dan meminta seorang wanita menikahinya. Seandainya saja suamiku orang yang romantis." Sarah mendesah.

Hara tersenyum. Ia sudah sering di undang makan malam bersama Sarah dan keluarganya. Aslan suami Sarah ,seorang pialang saham. Walaupun sudah menikah lama, mereka belum dikaruniai keturunan. Itulah Setelah 

beberapa kali bertemu dengan Aslan, Sarah tahu pria itu bukan pria romantis.

Tetapi tatapan mereka, cara mereka menyentuh tangan satu sama lain, Hara melihat cinta yang besar di sana.

"Suami kamu memang bukan orang yang romantis," komentar Hara. "Tapi dia benar-benar mencintaimu. Kalau kamu mau,aku bisa memasak untukmu dan Aslan besok malam. Kamu tidak perlu menyewa restoran. Kapanpun kamu mau,restoran ini akan selalu tersedia untuk kamu."

Sarah tersenyum. "Thanks, Hara. Kamu tidak perlu melakukannya. Tapi usulmu boleh juga. Kapan-kapan aku akan berbicara sama Mas Aslan."

"Dan aku selalu siap memasak untuk kalian berdua." Hara melihat muka temannya tersenyum cerah.

"Apakah menurutmu pengaturannya sudah sempurna?" Tanya Sarah.

Hara melihat hasil kerja Sarah. "Ya. Sangat sempurna. Aku yakin sang wanita pasti tidak akan bisa menolak lamaran sang pria. Aku harus ke dapur untuk mempersiapkan bahan makanan."

Sejam berikutnya, Hara sudah siap menerima pesanan. Sarah masuk dengan wajah murung. 

"Ada apa?" Tanya Hara bingung.

"Aku rasa sang pria sudah tercampakkan. Sang wanita tidak datang ke restoran." Sarah mendesah. "Dasar pria malang."

Hara ikut sedih. "Oh. Menyedihkan sekali."

Sarah mengangguk setuju. "Tapi dia tetap memesan makanan."

"Aku akan memasak seenak mungkin. Semoga saja masakanku bisa menghiburnya. Apa pesanannya?" Tanya Hara.

"Seblak."

"Hah?" Tanya Hara bingung.

"Iya. Aku juga sudah menyarankan menu lain,tapi pria itu cuma ingin seblak."

"Tidak apa-apa. Aku akan tetap memasak seblak khas bandung yang enak."

Setengah jam kemudian Sarah kembali ke dapur.

"Apakah ada masalah dengan seblaknya?" Tanya Hara.

"Pria itu ingin menemui orang yang memasak makanannya."

Hara melepaskan celemeknya dan melangkah keluar dapur. "Oke. Aku akan menemuinya."

Hara mendorong pintu dapur. Langkahnya berhenti saat melihat pria yang duduk di meja tengah. Pria itu berdiri lalu berjalan ke kursi di seberangnya.

Dia menggeser kursi tersebut. 

"Silahkan duduk, Hara." ujarnya.

Hara memandang sepasang mata cokelat yang memintanya untuk duduk. Sultan. Dia yang telah menyewa restoran Wijaya. Hara menarik napas panjang. Ia harus menghadapi Sultan lagi. Hara melangkah maju dan duduk di kursi.

Sultan duduk di hadapannya.

"Rasa seblak mu semakin lezat," komentar Sultan.

"Menyewa restoran rasanya terlalu berlebihan,bukan?" Tanya Hara sedikit 

kesal.

Sultan menghadapi Hara dengan tenang. "Aku sudah mencoba meneleponmu, tapi kamu tidak pernah menerimanya. Aku tidak tahu nomor telepon pribadimu. Ini satu-satunya cara agar aku bisa bertemu denganmu tanpa gangguan."

Hara terdiam.

"Terima kasih, Hara. Terima kasih kamu telah membantuku berani mengejar impianku sampai di Hamburg."

"Apakah itu alasanmu ingin berbicara denganku? Kalau begitu aku menerima ucapan terima kasihmu," tegas Hara

Sultan menggeleng. "Bukan itu saja alasanku ingin berbicara denganmu. Aku juga ingin minta maaf karena tidak pamit saat itu, saat aku pergi ke Hamburg"

Hara menatap Sultan lurus-lurus. "Semua itu sudah menjadi bagian masa lalu. Aku menerima permintaan maafmu. Apakah ada yang lain lagi?"

"Kenapa kamu berpura-pura tidak mengenalku didepan Anika?" Tanya Sultan langsung.

Hara memutuskan untuk tidak menjawabnya. "Bagaimana kabar Ka Adam?"

Sultan tersenyum. "Dia baik-baik saja. Sedang berbulan madu ketiga ke Eropa."

Berita yang disampaikan Sultan membuat Hara terkejut.

"Di hari aku berangkat ke Hamburg ,aku mencarimu ke mana-mana, tapi kamu pergi. Aku mencoba menemuimu di rumah tapi tidak bisa menemukanmu. Aku menelepon HP mu, tapi tidak aktif. Hari itu aku menyadari bahwa aku menyukaimu, Hara. Sampai sekarang pun aku masih menyukaimu"

Napas Hara terhenti. Kedua tangannya gemetar di bawah meja. Tangan kanannya menyentuh kaki kanan tempat lukanya berada. Dua puluh enam tahun tahun yang lalu, betapa ingin Hara mendengar Sultan berkata bahwa dia menyukainya. Kini, Hara mendengarnya. Hanya saja sekarang sudah terlambat.

"Maaf. Aku rasa kamu lebih baik pulang sekarang," kata Hara. Benaknya dengan cepat memikirkan solusi agar Sultan tidak menemuinya lagi. Akhirnya Laura berbohong. "Aku sudah punya Anika dan Mika sekarang."

Jawaban Sultan mengejutkan. "Aku tahu," katanya perlahan. "Tapi aku tidak akan menyerah, Hara."

Tiba-tiba Sultan mengeluarkan sebuah kotak cincin dan membukanya. Dia menyodorkan cincin bintang yang dibuatnya ke hadapan Hara.

"Aku memesannya enam tahun yang lalu. Aku memesannya hanya untuk menanti dirimu terbangun dari tidur panjangmu." Sultan menatap mata Hara sunguh-sungguh.

Rasa sakit tak terpikirkan merasuki hati Hara. Ia melihat cincin bintang di hadapannya, lalu menatap Sultan. Sultan memandang Hara penuh harap. Dan Hara harus mematikan harapan tersebut. Sultan berhak mendapatkan seorang wanita yang lebih baik darinya. Walaupun hatinya sakit, Hara menatap Sultan dengan berani.

"Sultan....," katanya perlahan, "apakah kamu ingat perkataan pertama yang kamu ucapkan padaku saat kita pertama kali bertemu?"

"Tentu saja." Sultan balas menatap Hara. "Bagaimana mungkin aku melupakannya? Saat itu di pasar malam kamu ketakutan untuk naik bianglala dan bilang 'mau menemani aku naik bianglala?'."

Hara menggeleng. "Kita bertemu satu bulan setengah sebelum itu. Kamu datang ke wartel ayahku di pasar dekat sekolah dan kamu bilang 'kamu karyawan baru?'." Hara menyodorkan kembali kotak cincin bintang ke 

hadapan Sultan. "Aku tidak bisa menerima cincinmu, Sultan."

Sultan menatap Hara dengan bingung. Dia tidak bisa mengingat kejadian yang Hara utarakan. Tapi dia tahu Hara mengatakan yang sebenarnya. "Kamu tidak adil, Hara," protes Sultan. "Aku belum mengenalmu saat itu."

Hara berdiri dari kursinya. "Kamu tidak pernah mengenalku, Sultan."

Sultan mengambil kotak cincin di depannya dan memasukkannya kembali ke saku bajunya. 

"Baiklah, kali ini aku mengalah. Aku akan pergi. Tapi aku akan kembali lagi. Walaupun aku tidak bisa mengingat pertemuan pertama kita, aku tahu kamu menyukaiku. Kamu menuliskannya fotoku di buku tahunan sekolah."

Hara terperangah.

Melihat reaksi Hara, Sultan tersenyum. "Apakah menurutmu selamanya aku tidak akan tahu perasaanmu?"

"Aku memang menyukaimu, tapi dulu," ujar Hara perlahan. "Sekarang pergilah dan untuk pertemuan kita tempo hari, lupakan saja pertanyaan konyolku. Aku baru menyadari kita ini terlalu tua untuk membahas apakah kita have sex saat kita remaja, dan anggap saja aku memaklumi semua itu, karena saat itu kita dalam tidak sadar"

"Kamu bilang kamu memaafkanku." Sultan memandang Hara dengan sedih."Setidaknya, biarkan aku menjadi temanmu."

Hara menggeleng perlahan. "Kita tidak akan menjadi teman, Sultan. Maaf. Kumohon, pergilah." Aku harus kejam. kata Hara dalam hati. Aku tidak punya pilihan lain.

"Baiklah." Sultan berbalik pergi. Suara denting lonceng terdengar, lalu di ikuti oleh bunyi pintu tertutup.

Hara jatuh terduduk. Sarah menghampirinya dan menyentuh pundaknya.

"Dia Sultan ,bukan?" Tanya Sarah.

Hara mengangguk. "Dia bagian dari masa lalu yang ingin aku lupakan."

"Kenapa kamu tidak memulai hubungan baru dengannya?" Saran Sarah. "Kelihatannya dia benar-benar menyukaimu."

Hara menatap Sarah dengan sedih. "Bagaimana mungkin aku memulai hubungan dengannya, kalau setiap aku melihatnya aku merasakan kesedihan yang mendalam? Lagi pula, dia berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku."

"Kamu tidak menyukainya?" Sarah meraih tangan Hara.

"Bagaimana perasaanku padanya tidaklah penting," Hara mengelak. "Aku hanya tahu bahwa dia tidak akan bahagia bersamaku. Kami berpisah tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Kami tidak pernah mendapatkan sebuah penyelesaian. Sekarang dia sudah mendapatkannya."

"Aku akan ada di sampingmu selalu kalau kamu membutuhkanku." Sarah menggenggam tangan Hara. "Kamu bisa menangis, kalau kamu mau."

"Tidak." Hara menggeleng, lalu berdiri. "Aku sudah menangisi dirinya dua puluh enam tahun yang lalu. Hubunganku dengannya sudah berakhir sejak saat itu."

Beberapa jam kemudian, Hara sudah berada di kamar tidurnya.Ia tidak bisa tidur. Sejak kecelakaan yang menimpanya enam tahun lalu, dan pertama kali ia melihat luka di kakinya, sesuatu dalam diri Laura ikut mati hari itu. Mungkin kemampuannya untuk mencintai seorang pria.

Hara berusaha memejamkan mata. Tapi kenangan-kenangan bersama Sultan malah bermunculan. Ia bangun dan berusaha menyibukkan diri memasak resep baru di dapurnya. Setelah kelelahan memasak selama dua jam, hati Hara masih juga belum tenang. Kaki kanannya terasa sedikit lelah. Ia duduk dan akhirnya tertidur di kursi ruang tamu. Pikiran terakhirnya sebelum tidur 

adalah seorang pria dengan sepasang mata cokelat yang indah.

To Be Continued