Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 129 - Sebuah Kisah Klasik

Chapter 129 - Sebuah Kisah Klasik

Flashback On

Bandung

Hara POV

Malam ini sabtu malam, aku mematung di atas tempat tidur. Selimut warna cream membalut tubuhku, hangat. Kampung tempat tinggalku berada di lereng gunung, malam begini menyisakan suara jangkrik dan katak selain udara di luar yang dingin. Langit-langit kamar yang pucat memenuhi netra. Kemudian berguling ke kanan, ke kiri. Tak kunjung memejamkan mata, padahal besok aku harus bangun pagi-pagi dan kembali menjaga wartel.

Mengingat wartel seperti mengundang memori tentang pemuda asing yang bilang malam ini adalah jam kencan. Jadwal percakapan bersama kekasihnya yang berada di luar kota, ia tahu dari kode area nomor telepon yang aku telepon tadi. Aku melenguh, lalu membatin. Pasti lelaki itu sangat mencintai kekasihnya. Lalu apa dia bilang? Mengajak double date? Padaku yang tidak memiliki kekasih sejak lahir?

Seketika aku tertawa, menertawakan diriku sendiri lebih tepatnya. Ringan saja, karena bagiku, jomblo bukan nasib, tapi prinsip, yang ditanam ayah lewat nasehat-nasehat berkala yang menancap kuat padaku.

Selanjutnya aku beringsut bangun meraih ransel merah kesayanganku, mengaduk isinya. Mengabaikan rambut yang acak-acakan. Menemukan buku berwarna cream pemberian pemuda tadi. Pinjaman, lebih tepatnya.

Selain suka mendengarkan siara radio sejak memiliki radio, aku juga tidak buruk dalam hal membaca buku. Meski belum bisa dikatakan menjadi seorang book addict, tapi aku punya koleksi majalah-majalah di rak kecil di sudut kamar. Tidak banyak, ayah yang sengaja membelikan untukku agar aku tidak kesepian.

Sebelum akhirnya benar-benar terlelap setelah menuntaskan membaca buku, tanpa kuduga, senyum pemuda itu lewat begitu saja di kepalaku hanya untuk membuatku bertanya, apakah aku akan melihatnya lagi? Tapi demi apa juga aku bertanya?

Flashback Off

***

Jakarta

Tina POV

Ini yang sedang kucoba lakukan, menghilangkanmu dari ingatan. Memercayakan segala resah kepada Tuhan. Kembali berbaik hati dengan perasaan. Mulai menyadarkan diri sendiri bahwa menjadi pilihan itu menyakitkan.

Pilihan yang hanya dicari ketika kamu membutuhkan hiburan. Pilihan yang hanya berguna ketika kamu dalam kesedihan. Pilihan yang sejujurnya tak ingin aku berdiri di barisan itu, tetapi tetap kulakukan dan berharap agar segala hal baik berpihak padaku.

Namun denganmu, hal baik itu berlalu. Tidak tersisa, bahkan tanpa kata. Aku kehilanganmu, lebih tepatnya adalah ketika kamu menendangkku dari deretan pilihan-pilihanmu. Jika saja saat itu aku memaksamu untuk mempertahankanku, mungkin aku tidak akan merasa kehilangan. Tapi, aku tetap menjadi pilihan yang dipertahankan sebagai hiburan, bukan yang dipilih sebagai tujuan masa depan.

Akhirnya, aku pun tersadar, berterima kasih padamu yang telah membuangku. Aku memang kehilangan kesempatan dalam membahagiakanmu. Tapi, aku mendapatkan hal baik di sisi lain hidupmu. Hal baik yang belum aku tahu isinya tapi sudah kuyakini, bahwa Tuhan pasti akan memberi. Jika tidak sekarang maka pasti suatu saat nanti.

Kelak, segala hal baik itu hadir di saat hati telah siap kembali menerima. Semuanya akan seperti semula ketika kehilangan dicermati dengan nama kepulangan.

Pulang yang membawa senang, bukan hanya kenang dari apa-apa yang pernah dibuang. Pulang yang melatih hatiku untuk tetap bertahan dalam ketegaran dan menunjukkan keadaan hati yang baik-baik saja. Pulang yang mungkin akan kembali kulakukan setelah kepergian, setelah kehilangan, setelah patah dan dalam keterpurukan.

Pulangku kali ini karena sebuah kerelaan yang sedang kucoba lakukan akibat dari kegagalan menjadi pilihan yang dibanggakan. Pulangku kali ini karena aku ingin berbaik hati dengan apa-apa yang telah terjadi, agar tak ada lagi yang perlu disesali.

***

Author POV

Anika meremas ujung baju. Perjalanan menuju bandung terasa sangat lama karena Satya ada di sebelahnya. Anika mencoba tak peduli akan hadirnya kembali pemuda ini di dekatnya. Aku tak akan jatuh ke lubang yang sama, mantapnya dalam hati. Tapi, tunggu! Bagaimana cara ampuh membohongi 

perasaan?

Satya berdeham pelan, tapi terdengar begitu keras di telinga Anika. Ia melirik Anika sekilas. Mobil yang dikendarainya memasuki jalan tol. Satya membayar, dan keadaan tetap hening.

Satya tak ingin mengulur waktu, tapi juga sadar bahwa apa yang ingin ia katakan butuh keberanian besar. Baru kali itu ia gugup karena perempuan.

Anika mengalihkan pandangan ke jalan, lelah menunggu. Ya, dia terlalu lelah mengikuti kemauan Satya.

"An."

Anika masih menumpukan matanya ke samping jalanan.

"Aku mau minta maaf."

Anika mendengar jelas ucapan Satya, namun berpura-pura tak mendengar. Hatinya masih menjerit ngilu.

"An, aku tahu kamu marah sama aku. Oke, aku emang brengsek. Aku bener-bener minta maaf."

Anika menahan napas. Bukankah aku berjanji untuk tak peduli, ikrarnya dalam hati. 

"Aku tahu ini nggak mudah buat kamu, buat perasaanmu, ta..."

"Jangan berlebihan menilai perasaanku. Saat itu aku cuma labil. Setelah pikiranku terbuka, aku sadar itu kesalahan," potongku cepat.

Aku memang menyayanginya, ah lebih dari itu, mencintainya. 

Cinta pertamanya. Tentu saja itu tak terlupakan. 

"Terserah, mau anggap perasaanmu itu kesalahan atau bukan. Aku cuma pengin kamu tahu aku merasakan yang sama, dan maaf aku menyia-nyiakan kesempatan itu kemarin-kemarin. Aku menyesal. Aku baru sadar bahwa..." Satya menggantung ucapannya. Keberaniannya memudar. Satya gugup.

Anika menoleh, mendapati Satya kebingungan. Dia menunggu lanjutan ucapan Satya.

Satya menatap Anika. "...bahwa aku terlalu sayang sama kamu dan 

tidak bahagia di samping Tina."

Darah Anika berdesir cepat. Hatinya mengembang dan wajahnya tersenyum manis. Sesaat kemudian dia menghela napas. Kata itu, kata yang dinantinya dari dulu, meluncur dari bibir Satya. Tidak! Dia tidak mau lagi. Saat dirinya serius, justru Satya mempermainkannya. 

Bagaimana dia tahu Satya hanya ingin bermain-main dengannya atau tidak?

Tegas Anika memilih untuk menyiram bunga yang baru saja bermekaran di hatinya itu dengan air asam, memilih menyakiti hatinya sendiri.

Anika memilih mengabaikan ucapan Satya. Dia hanya menatap jalanan dari balik kaca mobil.

*** 

"Kamu bener-bener pemain perasaan ya? Setelah kamu putusin Tina, masih berani deketin aku?" ucap Anika saat turun. Dia membanting pintu mobil Satya sekeras mungkin. Mungkin itu kali terakhir dia bisa bersebelahan dengan Satya.

Satya merasakan hatinya berdenyut nyeri saat Anika mengucapkan hal tersebut. Dia baru tahu dicerca orang yang paling disayangi terasa sesakit ini. 

Anika memutar badan, terbelalak mendapati Satya berada tepat di belakangnya dengan napas tersengal-sengal. Bagaimana Satya bisa masuk ke sini?

"Anika... hhh... hhh..." Satya berusaha mengatur napas.

Anika melepas genggaman Satya dengan kasar, membuat pemuda 

itu kaget dan memilih melanjutkan perjalanan. Anika tidak sabar untuk segera bertemu ibunya.

"ANIKA, AKU SAYANG KAMU!"

Apa?

"WOULD YOU BE MY GIRL?"

Kenapa Satya berani melakukan hal senekat itu? Anika berhenti Terperangah. Hanya sesaat. Kesadarannya menjemput gadis itu hingga ia segera pergi dari tempatnya.

Satya mengabaikan pandangan aneh orang-orang kepadanya setelah dia berteriak tadi. Pemuda itu berjalan lemah, sungguh tak punya kekuatan apa-apa.

Benarkah Satya kehilangan Anika?

Satya berbalik dan menatap pintu ruang tunggu dengan nanar. Benarkah dia kehilangan kesempatan atas kesalahan yang pernah dia buat?

Dio beranjak dari tempatnya, kaget saat melihat Devan berada di depannya dengan wajah pucat pasi bersama Ruby, Lukas, dan Rangga.

"Anika sudah pergi?" tanya Ruby cemas.

Satya mengangguk lemas. Yang dia butuhkan sekarang adalah ketenangan untuk menjernihkan pikiran. Namun saat melihat Ruby mulai menangis, Satya menjadi tegang, menatapnya tajam.

Ruby terisak. "Kata Om Sultan, Anikaaa..."

Satya mengguncang tubuh Ruby. "Anika apa?" tanyanya mendesak.

Ruby menunduk. "Anika pindah ke Bali, setelah itu melanjutkan kuliah di Hamburg," lanjut Ruby bergetar. 

Lukas mengambil tempat di samping Ruby, merangkul gadis itu dalam tangisannya.

Satya terdiam mematung, melirik Devan dengan tatapan tak suka.

"Kamu tahu semua ini?"

Devan hanya mengangguk pelan. Lemas karena kehilangan sahabat terbaiknya.

To Be Continued