Flashback On
Bandung
Author POV
Seorang wanita paruh baya keluar dari bilik kaca nomor 1 ketika printer yang mulai usang di hadapan Hara berderit mengeluarkan kertas putih memanjang. Layar monitor tabung di sampingnya menampakkan angka-angka.
"Lima ribu rupiah," Hara gesit merobek kertas dari printer, menyerahkannya.
Wanita di depannya lantas berbalik menyerahkan uang sepuluh ribuan. "Karyawan baru?" tanyanya kemudian.
Hara mengulas senyum ramah lalu mengangguk sopan. Memberi kembalian yang ia ambil dari laci. "Terima kasih," ia tersenyum kembali pada pelanggan pertama pagi itu.
Perasaannya sedang sangat baik. Ia belajar dengan cepat, memahami angka-angka tarif telepon lokal, interlokal dan internasional yang diajarkan ayah tadi malam. Setelah dengan berat hati, berhari-hari menimbang-nimbang, akhirnya ayah mengizinkan putri semata wayangnya untuk membantu mengurus wartel di samping kesibukannya sebagai siswa SMA kelas tiga di kota. Kesepakatan dibuat, Hara akan memulai pengalaman barunya pada liburan tahun baru.
Gadis itu membalik-balik buku yellow page entah untuk apa. Melihat alamat, nomor telepon, mencocokkan, barangkali ia menemukan alamat kawan-kawannya, melihat iklan-iklan baris, bergurau dengan diri sendiri saking senangnya. Tetapi saat membuka buku besar berisi pembukuan wartel beberapa waktu belakangam, wajahnya mandadak murung. Angka-angka di sana menunjukkan diagram yang menurun drastis. Ini alasan ayah memberhentikan Aa' Wawan beberapa waktu yang lalu, karyawan wartel yang membantu ayah sejak wartel ini berdiri tujuh tahun yang lalu, sejak ayah mendapat modal dari ibu yang memutuskan menjadi buruh migran di Taiwan.
Mengurus wartel sendirian, berangkat pagi, hingga malam, membuat ayah drop dan harus istirahat sejenak di rumah.
Lantas dengan berat hati mengizinkan putrinya ikut terlibat mengurus wartel. Padahal itu adalah hal yang ayah hindari sejak memutuskan membangun usaha wartel. Semua ada masanya, ia membantun, mengingat teknologi ponsel yang mulai dikenal banyak orang bahkan kalangan menengah ke bawah, maka tak heran kalau warung telekomunikasi juga mengalami penurunan pelanggan.
Selanjutnya ia meraih earphone yang tersambung di radio bulat warna putih buatan Cina hadiah dari ibunya di ulang tahun yang ke-17 pada maret tahun lalu. Dikirim langsung dari negeri beton khusus untuknya. Spesial sekali.
"Selamat pagi, pendengar setia Way FM di mana pun kalian berada. Selamat tahun baru. Semoga di tahun ini kita menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Yeay.... Tahun baru, semangat baru!" Celoteh penyiar bersemangat terngiang di telinga Hara lewat earphone. Hara sampai lupa hari ini tahun baru. Sabtu pagi, akhir pekan, awal tahun yang menyenangkan untuknya. Senyum kembali terulang merayakan suka cita di hatinya.
Melihat tawamu mendengar senandungmu
Terlihat jelas di mataku warna-warni indahmu
Menatap langkahmu meratapi kisah hidupmu
Terlihat jelas bahwa hatimu anugerah terindah yang pernah ku miliki
Lagu Sheila on Seven yang masih menduduki billboard sejak beberapa waktu lalu dirilis terngiang di telinga Hara. Setelah penyiar bercuap-cuap dan melayani ucapan salam-salam dari pendengar yang menelpon ke stasiunnya. Berujung dengan memutar lagu permintaan mereka.
Kepala Hara bergerak mengikuti irama, bibirnya membisikkan lirik yang ia hafal di luar kepala, kakinya mengentak-entak lantai marmer berwarna cokelat muda pelan. Sampai seseorang masuk melewati pintu wartel, memecah kekhusyukkan gadis penjaga wartel. Buru-buru ia melepas earphone dari telinga, merapikan rambut kesayanganku yang beraroma gel rambut dengan jari-jemari.
"Selamat pagi" sapa Hara tersenyum ramah.
Lelaki yang baru masuk berdiri di seberang meja Hara, menoleh, menghadap Hara dan menelisik gadis itu.
"Hmm... Karyawan baru, ya?"
"Iya," sekenannya Hara menjawab
"Benarkah? Kurasa bukan." Pemuda setinggi kurang dari 170cm yang membuat Hara mendongak saat menatapnya lantas mengambil kursi plastik di sisi meja dan duduk menghadap Hara di seberang meja.
Kaget. Hara terdiam, siapa lelaki ini, pikirnya. Wajahnya yang bersih terawat cukup menawan apalagi saat tersenyum, ada lesung di pipi yang menyambutnya.
"Kamu pasti Hara."
"Hah?"
Pemuda itu menatap tulisan di kaca besar tembus pandang di sisi mereka, yang ditulis menggunakan cat berwarna biru, "Wartel Hara," cukup membuat gadis di hadapannya mengernyitkan dahi.
"Kamu mendengarkan apa?" Gesit tangannya meraih earphone di depan Hara, mengabaikan raut penuh tanya di wajah gadis itu. Tangannya melewati printer putih tulang.
Gadis itu lupa belum menekan tombol off di radionya.
"Hmm ... Way, ya? aku juga suka mendengar acara di gelombang itu. Sudah pernah coba kirim-kirim salam di acara sabtu malam dan minggu pagi?" Sejenak menggoyangkan kepala pelan, menikmati irama lagu yang terngiang. Lalu melepasnya dan mengembalikan ke tempat semua. "Sesekali cobalah, kamu punya telepon yang bisa kamu pakai kapan saja." Terakhir, menjentikkan jari tepat di depan hidung Hara.
"Kamu mau melakukan sambungan telepon?" Hara bertanya setelah sempat memejamkan mata karena terkejut, tak mengacuhka perkataan pemuda di depannya yang ia tebak seumuran dengannya. Meskipun penasaran bagaimana ia bisa tahu namanya. Padahal, sejak ayah membangun usaha wartel ini, baru kali ini ia diperkenankan duduk berlama-lama di wartel. Hanya sesekali ia datang namun tidak pernah lama apalagi mengenal banyak orang asing.
"Tidak. Maksudku, belum, jam teleponku baru dimulai nanti malam. Sabtu malam. Kau tahulah, jam kencan. Aku harap kau masih di sini, kita bisa double date." Ia tertawa renyah.
Ngarang. Hara berseru dalam hati. "Oh." bibirnya membulat kemudian.
"Oh?"
Hara diam, kembali menggerakkan mouse di hadapannya. Pura-pura sibuk. Tidak tertarik menanggapi, apalagi orang asing. Ayahnya memang berpesan untuk selalu ramah pada pelanggan, tetapi tidak untuk menanggapi gurauan orang asing.
"Kamu tidak balik bertanya siapa aku?"
"Pemuda yang hendak menelpon kekasihnya nanti malam." Hara sekenanya menjawab membuat pemuda itu terkikik dan Hara sempat melirik senyumnya sekali lagi.
"Cerdas."
Beberapa waktu kemudian pemuda itu beringsut pergi tetapi kembali lagi.
"Biar tidak kesepian." Tangannya meletakkan sebuah buku di atas meja di hadapan Hara yang refleks melepas earphonenya lagi. "Aku tahu kamu belum terbiasa menjaga wartel. Pasti akan membosankan. Oiya, selamat tahun baru, ya, gadis yang mengaku karyawan baru!"
Belum sempat Hara mengatakan sesuatu, pemuda itu meninggalkan Hara yang masih mematung menekuri sebuah buku bersampul biru muda dengan desain cover seorang perempuan memegang payung. Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, dengan tanda 'Pustaka Sarah' ditempel di ujung buku. Hara tersenyum, ini kan buku milik toko buku dan peminjaman buku di sebelah wartel ayah, batin Hara sambil menatap ke luar jendela kaca besar di sebelah tempat duduknya. Pandangannya mencari pemuda tadi tetapi tak ia temukan sosoknya.
Gadis itu lantas merenggangkan badan, memundurkan kursi, mengangkat tangan tinggi-tinggi, bergemelutuk. Pemuda tadi banyak benarnya, selain ia memang bukan karyawan baru, ia juga bisa bosan. Tangannya mulai membuka halaman pertama buku itu sebelum sesaat kemudian pemuda asing tadi berlari terengah-engah kembali memasuki wartel, mengagetkan Hara.
"Kau!"
"Maaf, aku buru-buru. Sore nanti, tepat senja datang, tolong kamu hubungi nomor ini, bilang kalau aku tak bisa menelponnya. Ini medesak sekali." Suaranya parau beradu dengan napas yang memburu, ia menyerahkan secarik kertas putih berisi angka-angka pada Hara.
Belum sempat Hara mengatakan apapun, pemuda itu berlari ke luar dan menghilang untuk kedua kali di balik keramaian jalanan pasar tempat wartel ayah berada. Gadis itu reflek berlari ke luar hendak mengejar, tetapi tidak menemukan pemuda tadi. Ia tak sempat mengatakan bahwa hari ini wartel akan tutup lebih cepat.
Flashback Off
***
Surabaya
Gwen POV
Yang kukenal dari patah hati bukanlah ucapan selamat tinggal atau kepergian. Tapi, kenangan indah nan menyenangkan yang terus mengikuti ke mana diri ini pergi. Potongan-potongan kesenangan yang dulunya adalah obat bagi kerinduan, kini menjadi rasa sakit penuh penyesalan.
Memeluk setiap malam, mengingat kembali bahwa dulu kamu adalah sosok teman di kala aku sendiri. Lagi dan lagi aku tidak memahami, mengapa patah hati selalu dapat melukai inspirasi. Mungkin karena dulu, kamu yang selalu setia menemaniku menulis di kala temanku tidak menggubris. Mungkin karena dulu, kamu yang tetap baik menyapaku ketika semesta mengejek tulisanku. Mungkin sebab dulu, kamu adalah sumber inspirasiku. Sedangkan kini, saat aku menulis buku ini, segala hal tentangmu tinggallah kemungkinan yang tidak akan pernah terjadi lagi.
Aku memang bodoh sebab telah memaksa menulis tentangmu lagi kali ini. Tapi, bagaimana? Inspirasiku menghilang dalam beberapa waktu terakhir, menghentikan kewajiban yang harus segera aku selesaikan. Aku rasa, dengan mengenangmu sebagai patah hati terbaik mampu menjadikanku berani melanjutkan apa yang memang sudah menjadi kewajibanku.
Terima kasih.
***
Hospital
Author POV
Mika membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit putih yang bercorak aneh di atasnya. Kepalanya masih sakit, lutut dan bagian tulang keringnya juga ngilu. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ah, dia ternyata berada di rumah sakit.
Mika mencoba bergerak. Telinganya menangkap suara di dekatnya.
"Apa? Mama sudah sadar?"
Perlahan Mika menoleh, mendapati Anika tengah membelakanginya. Tubuh Mika bergetar hebat. Mama? Sudah sadar? Yang Mika tahu Mama tidak ada di Jakarta dan Anika tak terlalu sering mengunjungi Mama.
Dia mendengar Anika terisak, pelan-pelan air matanya meluruh. Dia juga rindu Mama. Hanya Mama Hara yang dia punya. Hanya Mama Hara yang pernah memberikan perhatian keibuan
kepadanya.
Dia ingin bertemu Mama.
Mika terisak. Dia menatap punggung Anika. Kata maaf sepertinya tidak cukup untuk mengubah segalanya. Anika terlalu membencinya.
Mika berpaling saat menyadari Anika membalikkan badan. Gadis itu menatap tajam, seakan siap membunuh Mika.
Mika memejam ketakutan. Air mata masih terus mengalir dari pipinya.
Mika menyesal. Sungguh dia menyesal. "An." Dia berani menyapa, walau pening langsung menyerang.
Anika menatap Mika angkuh. Syukurlah gadis itu sudah sadar. Ia bisa langsung pergi ke Bandung untuk mengunjungi Mama.
Ia tak perlu repot-repot menyuruh orang untuk menjagai gadis itu.
Di alam bawah sadarnya Anika masih memedulikan Mika. Anika berusaha mengelak. Tidak! Perasaannya tak segampang itu untuk dipermainkan.
Kalau saja semuanya tak serumit itu, pasti Anika bisa memaafkan Mika.
"Aku juga pengin ketemu Mama."
Cih. Apa dia geger otak beberapa hari ini hingga melupakan segalanya?
Anika berdesis tajam. "Kamu pikir aku akan izinkan kamu ketemu Mama? Dia mamaku, bukan mamamu!"
Mika hanya memejam, meremas selimut rumah sakit, kembali terisak. "Aku kangen Mama."
Anika menggeleng sebal, lalu berdecak. "Menurutmu, aku peduli?" ucapnya ketus, berniat beranjak dari ruangan itu segera mungkin.
Namun, betapa kagetnya Anika ketika tiba-tiba Mika meraih tangan Anika.
"Lepas!" teriak Anika keras.
Mika tak menghiraukan tepisan Nana. "Tolong, aku juga pengin ketemu Mama. Tolong..."
Anika melirik Mika, membisu. Gadis itu seakan merintih kesakitan.
Anika peduli apa?
"Itu mamaku! Mamamu sudah mati!" ucap Anika dengan penekanan pada kata "mati".
Air mata terus mengalir di wajah Mika. Dia tak punya tenaga untuk menyusul Anika, berbicara pun sangat susah.
Anika menatap Mika. "Aku bukan keluargamu dan kamu bukan keluargaku! Jangan mimpi terlalu tinggi!" Anika membanting pintu rumah sakit dan pergi begitu saja.
Biar saja Mika rasakan hidup sebatang kara seperti yang pernah Anika alami.
To Be Continued