Wardana's House
Gwen POV
Jangan lupakan janjimu
Aku menatap pesan yang Tuan Rama kirimkan. Sudah tiga hari berlalu dan Tuan Rama terus saja mengirimkan pesan yang berisi ancaman.
Aku segera menghapusnya sebelum Rangga melihatnya nanti.
"Kamu tidak berangkat kuliah?" Mas Rangga datang dan mengecup keningku yang tengah membuatkan sarapan untuknya.
"Aku rasa, aku butuh istirahat." Ujarku berbohong.
"Kamu sakit?" Mas Rangga memeriksa suhu tubuhku.
"Tidak. Aku hanya lelah dan ingin tidur seharian." Aku menghadapkan tubuh dan memeluknya dengan manja.
Para asisten rumah tangga yang berada di dapur segera menyingkir menyaksikan itu. Aku memang terlihat lebih manja beberapa hari ini.
"Apa aku perlu bolos juga hari ini dan menemanimu di rumah saja?"
"Tidak perlu." Aku merenggangkan pelukan. "Mas sudah sering bolos akhir-akhir ini."
"Tidak masalah. Aku bisa titip absen sama Satya."
"Jangan, Mas harus tetap kuliah. Mas berjanji akan mengajakku ke Korea bulan depan. Jadi jangan sampai liburan kita gagal hanya karena tugas kuliah Mas yang menumpuk."
"Baiklah." Mas Rangga membiarkanku memeluknya sekali lagi. "kenapa kamu jadi manja begini?"
"Memangnya tidak boleh?" Aku cemberut mendengarnya.
Mas Rangga tertawa. Mengecup puncak kepalaku. "Tentu saja boleh. Aku suka melihatmu yang seperti ini. Lucu dan menggemaskan."
"Memangnya aku anak anjing?"
Mas Rangga kembali tertawa. "Siapa yang bilang begitu?"
"Sudahlah, aku malas berdebat dengan Mas. Ayo kita sarapan." Aku menariknya menuju meja makan dan kami sarapan bersama.
"Jangan kemana-mana, istirahat saja di rumah." Mas Rangga meraih sejumput anak rambutku yang menutupi wajah, meletakkannya di balik telinga.
"Iya, lagipula aku harus pergi kemana?"
"Kenapa hari ini aku tidak semangat ya?" keluhnya.
"Jangan mencari-cari alasan untuk bolos. Sana pergi."
Mas Rangga tertawa pelan. Ia mengecup bibirku sekali lagi. "Aku pergi kuliah dulu."
"Hati-hati." Aku tersenyum dan memerhatikan langkahnya menuju garasi. Bibirku membentuk sebuah senyuman yang lebar untuknya.
Begitu mobilnya sudah tidak terlihat lagi. Senyum itupun lenyap dari bibir. Aku hanya memandang kosong ke depan. Lalu mendesah dan berbalik menuju kamar.
Aku mengunci pintu kamar, aku lalu duduk di tepi ranjang dan menatap lurus ke depan.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak tahu harus bagaimana. Rasanya sungguh berat memikirkan semua ini. Satu sisi aku tidak ingin pergi. Tapi satu sisi lagi, aku juga ingin membalas budi kepada Tuan Rama dan keluarganya.
Jika bukan karena mereka, hingga saat ini aku, ibu dan Ruby masih hidup di jalanan. Dan Tuan Rama sudah mengancam akan membakar Ruby's Store. Aku tahu sekali bagaimana tabiat ayah mertuaku itu. Dia tidak akan segan-segan melakukan tindakan kejahatan jika hal itu bisa membuatnya mencapai tujuannya.
Dan aku tidak ingin mengambil resiko menyakiti ibu dan adikku yang tidak bersalah hanya karena keegoisanku. Aku tidak akan bisa membiarkan Ruby kehilangan impiannya. Aku pernah merasakan kehilangan dan aku tidak akan sanggup menanggung rasa bersalah seumur hidup.
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
***
Rangga POV
Aku memasuki rumah dengan langkah cepat. Rasanya sudah tidak sabar ingin bertemu istriku. Seharian aku merasakan gelisah yang tidak mendasar. Membuatku tidak fokus dalam kuliah lalu memutuskna untuk pulang lebih cepat.
"Sayang?!" Aku berteriak dari dapur. "Kamu dimana?!" Aku menuangkan air dingin ke gelas lalu meminumnya. Jika biasanya aku minum langung dari botol, sejak Gwen sering mengomeliku, aku mengubah kebiasaan itu.
Gwen tak kunjung datang. Aku menatap heran.
"Bibi, dimana istriku?"
"Ah, Nyonya." Bibi yang datang dari arah teras samping menatap tuannya. "Nyonya tadi pergi sebentar keluar. Katanya mau ke supermarket, ada yang harus dibeli?"
"Sudah lama?"
Bibi menatap jam dinding yang ada di dapur. "Sekitar... dua jam yang lalu."
Keningku berkerut heran. Tumben sekali Gwen pergi tanpa memberitahuku. Aku segera mengeluarkan ponsel untuk menelponnya. Tapi suara nada dering terdengar daru ruang TV.
"Ponsel Nyonya muda." Bibi menatapku heran. "Apa Nyonya muda lupa membawa ponselnya?"
Aku melangkah menuju ruang TV dan menemukan ponselnya tergeletak di atas meja. Aku meraihnya. Lalu mendesah. Kemana perginya Gwen? Kenapa dia sampai lupa membawa ponselnya?
"Tuan muda mau kemana?" Bibi bertanya saat aku hendak menuju garasi. "Bagaimana kalau kita tunggu saja dulu? Mungkin Nyonya muda terjebak macet."
"Apa Gwen membawa dompetnya?"
Bibi diam beberapa saat, "Tadi Nyonya muda bawa tas kecil."
Aku mengusap wajah cemas. Berjalan hilir mudik karena cemas. Gwen tidak pernah pergi tanpa memberikan kabar dan wanita itu selalu membawa ponselnya kemana-mana.
"Tuan muda mandi saja dulu. Saya akan siapkan makan malam."
Aku mengangguk. Melangkah menuju kamar Gwen yang kini juga menjadi kamarnya. Pria itu mandi dengan cepat lalu kembali duduk di ruang TV, menunggu Gwen.
Satu jam menanti, Gwen tak kunjung pulang. Aku menjadi semakin cemas.
Apa terjadi sesuatu dan Gwen tidak bisa menghubungiku karena wanita itu lupa membawa ponsel? Bagimana kalau terjadi sesuatu di jalan, bagaimana kalau mobil Gwen mogok? Atau sesuatu yang lebih...
Ah, Aku tidak berani memikirkannya. Karena hal itu membuat jantungku berdebat takut.
"Tuan muda, makam malam sudah siap."
"Aku tidak lapar." Aku duduk diam di sofa, memelototi ponsel, menunggu jika ada yang menghubungi atau Gwen menghubungiku.
"Apa dia bilang mau ke supermarket daerah mana?"
Bibi menggeleng. "Nyonya muda hanya bilang ada barang yang harus ia beli."
"Ini sudah tiga jam lebih, kenapa dia belum kembali?" Aku berdiri frustasi.
Aku menyambar ponsel dan menghubungi Satya.
"Ada apa?" Satya menjawab pada dering kedua.
"Gwen pergi dan ponselnya tertinggal di rumah. Bibi bilang dia hanya pergi ke supermarket. Tapi ini sudah lebih dari tiga jam. Aku akan mencari di sekitar komplek, tolong bantu cari di tempat lain. Kalau bisa, kunjungi semua supermarket yang tidak terlalu jauh dari sini."
"Baiklah."
Aku menyambar kunci mobil dan ponsel Gwen yang tergeletak di atas meja. "Kalau Gwen kembali, hubungi aku."
Bibi mengangguk patuh.
Aku menjelajahi setiap supermarket yang ada di dekat komplek. Tapi mobil Gwen juga tidak terlihat dimanapun.
Satu jam memutari daerah sekitar rumah, kepanikanku semakin menjadi.
"Sudah menemukannya?"Aku kembali menghubungi Satya.
"Aku, Lukas dan Devan sedang berpencar mencarinya."
Aku menghela napas. "Terus hubungi aku kalau terjadi sesuatu." Ujarku mematikan ponsel dan terus berkeliling. Mencari-cari tanpa tujuan yang pasti.
Aku sedang berhenti di salah satu minimarket saat ponselku berbunyi. Aku dengan cepat bertanya.
"Sudah menemukan Gwen?"
Satya terdengar menghela napas berat di seberang sana, dan itu semakin menambah ketakutan yang aku rasakan.
"Apa terjadi sesuatu?!"
"Devan menemukan mobil yang kamu berikan kepada Gwen berada di salah satu dealer penjualan mobil bekas."
"Apa maksudmu?!" Aku memegang ponsel dengan tangan bergetar, ketakutanku semakin menjadi-jadi.
"Pemilik dealer mengatakan tadi sore Gwen datang dan menjual mobilnya, lalu wanita itu pergi dengan menggunakan taksi."
"Tidak mungkin" Aku berujar tidak percaya. Untu apa Gwen menjaul mobilnya? Apa wanita itu kekurangan uang? Bukankah aku sudah memberinya ATM dan juga kartu kredit?
"Devan sedang di dealer itu, aku sudah mengirim foto mobilnya padamu."
Aku segera memeriksa ponsel dan benar. Foto yang ada disana adalah foto mobil Gwen yang aku berikan.
"Tolong cari istriku. Dimanapun, tolong cari dia."
"Tentu."
Aku membanting ponsel ke dashboard mobil. Sebenarnya apa yang Gwen pikirkan? Apa ada sesuatu yang wanita itu sembunyikan? kalau memang wanita itu kekurangan uang, ia tinggal menggunakan kartu yang aku berikan.
Aku meraih ponselnya, membuka daftar panggilan milik Gwen. Hanya ada beberapa orang yang Gwen hubungi selama ini. Namaku tertera sebagai kontak yang paling sering Gwen hubungi, lalu Ruby, Ibunya, Anika, Alvaro dan bibi. Tidak ada kontak lain lagi.
Aku lalu membuka pesan. Hanya ada pesan dariku dan bibi.
Tidak ada petunjuk.
Saat aku hendak menjalankan mobil keluar dari parkiran minimarket, sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Gwen. Aku dengan cepat membukanya.
Sudah kamu tepati janjimu?
Tuan Rama Wardana
To Be Continued