Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 103 - This is me trying

Chapter 103 - This is me trying

Ruby's Store

Ruby POV

"Kamu terlihat semakin kurus." bisik Gwen.

Aku hanya tersenyum kecut. "Sekarang aku harus mengikuti diet ketat karena harus tampil catwalk malam ini."

"Jika Lukas menginginkanmu kembali, apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu akan menerimanya?" tanya Anika tiba-tiba.

Bayangan semua kejutan dan waktu yang sudah aku dan Lukas habiskan muncul dalam benakku. Aku tidak dapat melupakan Lukas yang sudah menanamkan perasaan-perasaan yang mulai berkembang di dalam hatiku. Namun, aku juga tahu Lukas membuatku takut karena dia mungkin tidak akan pernah bisa setia.

"Bagaimana bisa dia melupakan Ruby secepat itu dan berpesta pora dengan banyak wanita?" potong Gwen kesal.

Anika langsung menggeleng, membantah Gwen. "Aku tidak merasa begitu. Toh semua menganggap aneh ulah Lukas yang katanya hanya duduk dan termenung memandangi wanita-wanita itu."

Aku membiarkan kedua wanita itu berkicau dengan segala dugaannya. Selama ini baik diriku maupun Lukas sama-sama menjauh. Setiap kali kami berjumpa aku harus berusaha keras agar tidak memandangi Lukas. Hatiku masih sakit, namun di satu sisi aku juga merindukan Lukas.

***

Jakarta

Meeting Room W Resort

Sebenarnya aku merasa lebih letih daripada biasanya. Semenjak aku berpisah dengan Lukas, aku sibuk mengikuti diet ketat yang dipersiapkan ibuku. Jadwal olahraga yang semkain mengurangi jam istirahatku di malam hari, ditambah pekerjaan di ruko yang semakin memenuhi hari-hariku. Kepalaku sedikit pening saat aku tidak sengaja tersorot blitz dari kamera asistenku. Aku menggigit bibir lebih kuat agar tetap terjaga dan berdoa agar press conference kali ini berjalan dengan lancar dan memuaskan. Aku melihat sepatu dengan hak yang sangt tinggi sudah disiapkan asistenku. Sepatu dengan kilau perak dan beberapa mata berwarna hijau emerald itu benar-benar memukau.

Sambil menarik napas panjang, aku berusaha berdiri tegak. Brina sudah membuka lebar pintu di hadapanku. Aku mendengar suara MC dari ruangan meeting memanggil namaku. Aku harus segera memasuki ruangan.

Aku mulai berjalan dengan hati-hati. Berusaha untuk mengangkat dagu dengan penuh percaya diri. Asisten-asistenku masih memegangi sampai aku berdiri di tengah-tengah pintu masuk meeting room. Pada detik yang sama semua tangan yang memegangi tubuhku segera terlepas dan berlari ke balik pintu. Aku semakin mengangkat dagu. Memasang ekspresi wajah serius nan elegan. Berusaha menatap lurus ke depan panggung. Aku berpose dengan natural selama beberapa detik dan membiarkan semua awak media mengabadikan diriku. Blitz yang tiba-tiba menggelapkan mataku membuatku mengernyit kaget, namun aku berusaha keras agar tidak terlihat terkejut. Aku masih berpose seperti semula. Menghitung sampai tiga dan menarik napas yang entah kenapa sulit aku lakukan. Tali yang melilit korsetku seakan mengikat paru-paru. Aku berusaha sekali lagi untuk menarik napas. Namun, tidak bisa. Sesak di dadaku membuat aku sedikit panik.

Aku melupakan langkah yang harus aku ambil berikutnya. Aku hanya terdiam menatap lurus ibu dan Mbak Gwen yang juga menatapku dengan ekspresi bingung. Kepalaku semakin berat dan yang aku tahu tiba-tiba aku hanya melihat kegelapan. Suara gaduh menambah keributan di sekitarku. Dan aku hanya mendengar suara-suara yang aku kenali memanggilku.

***

Hospital

Lukas POV

Aku tiba tepat di depan lobi pintu masuk utama sebuah rumah sakit terkenal di Jakarta satu jam kemudian. Di dalam pikiranku hanya di mana aku bisa menemukan Ruby. Brina hanya memberitahu bahwa Ruby dibawa ke rumah sakit ini.

Begitu sampai di lorong tidak jauh dari meja resepsionis. Aku mendapati kerumunan orang yang berjalan ke arahku. Seorang dokter yang ditemani satu suster berdiri berdampingan dengan Kinanti, ibu Ruby yang mendengarkan penjelasan dokter tersebut dengan wajah tegang. Sedangkan Gwen bersama Rangga ikut mendengarkan dengan wajah sedih. Asisten Ruby ada di belakang mereka.

"Korset yang digunakan Ruby menekan bagian dadanya terlalu kuat. Ia tidak mendapat asupan oksigen yang cukup. Sepertinya korset tersebut sudah ia gunakan selama beberapa lama. Harus saya katakan, ini tidak baik unutk kesehatannya."

Aku mampu mendengarkan penjelasan dokter yang semakin mendekatiku. Rombongan tersebut tidak memperhatikan diriku yang sudah berdiri cukup dekat.

"Gizinya juga rendah. Berat badannya saat ini di bawah standar." Dokter tua yang terlihat sabar itu menjelaskan dengan perlahan. Mata tante Kinanti tampak menatap kosong dokter di sampingnya.

"Berat badannya sempat meningkat. Kemudian saya memutuskan untuk melakukan pembatasan asupan kalori untuknya. Jadi selama ini dia diet ketat, Dok." ucap tante Kinanti kaku.

Dokter tua itu menggeleng tidak setuju sambil mendesah pelan. "Index body Ruby bukan lagi underweight bahkan sudah di bawahnya. Diet terlalu ketat tidak baik untuk kesehatan tubuhnya. Masih untung dia hanya pingsan."

"Kapan Ruby bisa keluar dari rumah sakit dan boleh bekerja lagi, Dokter?" tanya tante Kinanti tanpa ada perubahan raut wajah.

"Ibu! TANTE!"

Aku dan Gwen berseru menghentikan pertanyaan tante Kinanti secara bersamaan. Namun, kerasnya suaraku membuat mereka terkejut dan mengalihkan pandangan kepadaku yang berdiri beberapa meter di depan mereka. Aku hanya membutuhkan beberapa langkah lebar untuk sampai di hadapan mereka. Aku merasakan kemarahan menggumpal di dada dan aku menatap lurus tante Kinanti yang memandangku bingung.

"Apakah pantas tante mengungkapkan pertanyaan itu saat kondisi Ruby sudah seperti ini?" ucapku lantang.

Kening tante Kinanti langsung mengerut, matanya menatapku dengan sangat heran. "Apa kamu bilang?" tanyanya dengan nada yang terdengar meninggi. Seakan memberikan peringatan "sebaiknya kamu diam Tuan Wardana."

Namun, darah di kepalaku sudah memanas. Aku bahkan melupakan ponsel dan dompet yang masih ada di mobil, hanya demi ingin segera melihat kondisi Ruby.

"Ruby juga anak tante kan? Bahkan tante sendiri sudah mendengar yang dikatakan Dokter. Tapi kenapa tante malah memikirkan kapan Ruby bisa kembali bekerja? Apa tante tidak merasa bersalah? Ruby bahkan severely underweight. Apa tante hanya menjadikan Ruby sebagai sapi perah sampai-sampai tidak memperhatikan kesehatan anak tante sendiri?"

"Kamu begitu perhatian pada Ruby," ucap tante Kinanti singkat dan ketus.

Aku menghela napas sejenak sebelum membalas ucapan tante Kinanti. Dengan yakin aku membuka mulut, "Saya menyukai anak Tante. Sangat mencintai Ruby. Saya sempat berhubungan dengannya selama beberapa bulan. Saya berencana untuk berbicara serius dengan tante."

"Saya tidak merestuinya," potong tante Kinanti tanpa basa-basi tanpa sedikit pun mengubah raut wajahnya.

"Maaf, sepertinya saya harus permisi dulu," sela dokter itu yang tampak tidak nyaman dengan pembicaraan yang merambat ke masalah pribadi.

"Tidak, Dokter. Kita lanjutkan saja pembicaraan kita mengenai Ruby. Jangan hiraukan anak muda ini." Salah satu alis tante Kinanti terangkat sekilas, memberikan isyarat bagi sang dokter untuk melanjutkan keterangan medisnya.

Dokter yang mengenali isyarat itu langsung tersenyum canggung padaku. "Ruby sudah bisa dipindahkan ke kamar rawat inap. Infus akan tetap kami berikan. Selang oksigen sudah tidak dibutuhkan lagi karen Ruby sudah cukup bisa bernapas. Namun, saya menyarankan agar Ruby tinggal di kamar rawat inap selama beberapa hari supaya kami dapat memastikan asupan gizi Ruby bisa kembali terpenuhi."

Tante kinanti perlahan lalu tersenyum pada dokter. "Kalau begitu saya akan biarkan asistennya yang mengatur segala keperluan untuk rawat inap. Saya akan menghubungi dokter kembali."

"Baiklah. Kalau begitu saya permisi." Dokter itu tersenyum ramah pada tante Kinanti.

Tanpa memedulikan Rangga dan Gwen, aku kembali menatap lekat-lekat tante Kinanti dan melanjutkan perkataanku. "Ruby bukan aset investasi yang dapat tante..."

"Simpan pidatomu untuk bertemu denganku di ruko malam ini." potongnya dengan cepat

Sementara itu tante Kinanti beralih menatap Rangga dan Gwen. "Kalian sebaiknya pulang untuk beristirahat," sarannya. Kemudian ia kembali memandangku. "Datang ke ruko dan lanjutkan ocehanmu," ucapnya singkat.

Aku tertegun dan memandangi tante Kinanti yang berlalu dengan cepat dari hadapannya.

"Heh!" Pukulan di dada mengejutkanku. Aku menoleh, mendapati Rangga yang berkacak pinggang.

"Kamu mau mati?" tanyanya tanpa basa-basi. Matanya yang membelalak, memandangku. Sebalikny aku hanya diam.

"Berani-beraninya kamu tadi main semprot ibu mertuaku seperti itu. Kamu cari mati, ya?" tanya Rangga sekali lagi.

"Aku akan menemui Ruby. Di mana dia?" tanyaku pelan.

Dalam pikiranku, aku ingin segera bertemu Ruby dan tidak memedulikan apa yang nanti akan terjadi padaku ketika menemui ibu gadis itu, termasuk kemungkinan orangtua kami yang akan melarangku berhubungan Ruby.

"Masih ada di ruang gawat darurat. di belakang sana." Gwen menunjuk ke balik tubuhnya, membuatku kembali memandang ke depan. "Sebaiknya kamu bergegas ke sana. Kamu ingin melihat Ruby, kan?"

Aku mengangguk singkat lalu berlari meninggalkan pasutri itu. Aku benar-benar tidak dapat menahan keinginanku untuk menemui Ruby. Memastikan wanita itu baik-baik saja. Detik ini juga yang aku butuhkan hanya melihat Ruby tersebyum padaku.

Begitu aku melihat dua pintu dengan signboard bertuliskan emergency room, kakiku terhenti seketika. Aku membuka pintu itu dengan hati-hati. Jantungku masih berdetak kencang sementara mataku menatap ke segala arah, mencari keberadaan Ruby. Hanya butuh beberapa detik untuk mendapati Ruby yang masih menutup matanya tengah terbaring di ranjang pasien.

 Aku melangkah perlahan. Kedua mataku terpaku pada Ruby yang ada di hadapanku. Seorang suster membuka oksigen yang terpasang di hidung Ruby. Selang infus terpasang di tangan kanannya. Ruby terlihat seperti tertidur. Aku langsung mengelus wajahnya, menunduk dan menatap lekat-lekat wajah kekasih hatiku.

Jariku menelurusi pipinya yang tampak jauh lebih tirus daripada yang terakhir kali aku lihat. Bayangan hitam di bawah kedua matanya juga terlihat jelas. Wajah putih Ruby tampak lebih pucat. Tidak ada lagi rona kemerahan yang baisanya aku lihat.

Kedua tanganku menangkup wajahnya. Aku mendekatkan wajah, menunduk semakin rendah. Dan menyapukan bibirku ke bibirnya sekilas. Kemudian aku kecup kening gadis itu. Setelah beberapa lama, aku menarik wajah menjauh dan mendapatinya masih menutup mata. Kemudian aku mendekatkan bibir ke telinganya dan berbisik. "I love you, sweetheart."

To Be Continued