Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 93 - Honeymoon

Chapter 93 - Honeymoon

Wardana's House

Author POV

"Aku harus ke Bali." ujar Rangga begitu menjemput Gwen sewaktu pulang kuliah.

"Kapan?" Gwen menatap Rangga.

"Malam ini juga."

Gwen tampak diam, terlihat murung. "Berapa lama Mas disana?"

"Seminggu."

Gwen tidak lagi menjawab, wanita itu hanya duduk di samping Rangga dan menatap keluar jendela dengan tatapan murung.

"Bagaimana kalau kamu ikut denganku?"

"Tidak mungkin, aku harus kuliah."

"Cuti saja."

"Tidak bisa begitu, Mas." Gwen mendesah. "Aku tidak bisa mengambil cuti mendadak seperti ini."

"Tapi aku tidak bisa meninggalkan kamu selama itu." Selama pernikahan mereka, belum pernah sekalipun Rangga meninggalkan Gwen keluar kota. Kalau saja ini bukan hal yang penting tentang bisnis ressort keluarga Wardana disana, Rangga tentu tidak akan pergi. Tapi sejak awal proyek ini memang menjadi tanggung jawabnya dan Lukas. "Aku akan menghubungi Prof Ilham dan meminta izin langsung padanya. Dia pasti mengizinkanmu."

"Bagaimana kalau Prof Ilham tidak memberiku izin?"

"Tenanglah, dia pasti memberikanmu izin. Dia juga seorang suami, dia pasti mengerti kenapa aku tidak bisa meninggalkan istriku sendirian disini."

Setiap kali mendengar Rangga menyebutnya istri, hati Gwen terasa hangat dan wajahnya merona. Panggilan itu terdengar begitu indah di telinganya.

Setelah makan malam, mereka menuju bandara dimana jet pribadi keluarga Wardana sudah menunggu.

"Aku tidak terlalu suka naik pesawat." Bisik Gwen memasuki kabin pesawat.

"Kamu takut terbang?"

Gwen mengangguk dengan wajah lucu. Merapat ke samping Rangga. "Aku takut pesawat ini akan jatuh."

Rangga tertawa, merangkul bahu istrinya. "Pilot tidak akan membiarkannya. Ayo kita duduk." Rangga membawa Gwen duduk di sampingnya di dalam jet yang mewah itu. "Kamu boleh peluk aku kalau kamu merasa takut."

"Bukankah itu namanya mengambil kesempatan dalam kesempitan?"

"Salah. Itu namanya memanfaatkan keadaan." Kilah Rangga sambil tertawa, memasangkan belt pengaman ke pinggang Gwen.

"Sama aja." Ujar Gwen memegangi lengan Rangga begitu pesawat akan lepas landas. "Apa Mas yakin pilotnya bisa di percaya?"

Rangga menahan tawa, ia merangkul bahu Gwen. "Percayalah, pilotnya sudah bekerja sama hampir sepuluh tahun di keluarga Wardana." Ia meletakkan kepala Gwen ke dadanya. "Bagaimana kalau kamu tidur saja?"

"Aku tidak bisa tidur." Suara Gwen terdengar gelisah.

"Lalu apa yang akan kita lakukan selama dua jam penerbangan?"

"Aku tidak tahu." Gwen mengangkat kepalanya. Wajahnya terlihat takut.

"Bagaimana kalau kita mendengarkan musik saja?" Rangga mengeluarkan ponselnya dari saku celana, memasang airpods ke telinga Gwen. "Ini lagu-lagu kesukaanku." Ujarnya kemudian memutar playlist tersebut.

Ia kembali meraih kepala Gwen dan meletakkannya ke dadanya. Membelai rambut itu untuk membuat Gwen merasa rileks dan tidak lagi ketakutan.

Sepanjang dua jam penerbangan Jakarta-Bali, Gwen mendengarkan playlist di ponsel Rangga sambil memejamkan mata, menikmati belaian tangan Rangga di rambutnya. Rasanya nyaman dan menenangkan. Ia balas memeluk pinggang Rangga dengan senyum di wajahnya.

Ketika keluar dari bandara, sudah ada sopir yang menunggu disana.

"Kamu ingin membeli camilan dulu sebelum kita langsung ke hotel?"

"Tidak, aku ingin tidur saja." Ujarnya lelah.

"Baiklah." Rangga menggandeng Gwen menuju mobil yang akan mengantarkan mereka ke W Resort. Mereka menempati kamar penthouse di lantai teratas hotel. Wajah Gwen yang lelah langsung bersinar saat memasuki kamar yang luas dan mewah. Kamar itu seperti sebuah apartemen studio. Ada dapur kecil, meja makan, ruang TV dan ranjang berukuran besar di tengah-tengah ruangan. Juga kolam renang dan balkon yang sangat luas.

Gwen membuka pintu kaca ke arah balkon dan menatap pantai di depannya. Ia berdiri disana menikmati angin malam, menatap lampu-lampu dari bar yang ada di tepi pantai, banyak turis yang sekedar duduk, menari dan berdansa ataupun yang tengah bermain-main di bibir pantai bersama pasangannya.

"Kamu suka?" Rangga berdiri di belakang Gwen sambil menatap wajah istrinya.

Gwen menoleh sambil mengangguk dengan senyuman lebar. "Aku tidak pernah ke hotel semewah ini sebelumnya." Ujarnya sambil tertawa geli. "Jangan bilang aku kampungan."

"Siapa yang berani bilang istriku kampungan, hm?" Rangga mendekat, lalu memeluk Gwen dari belakang, ikut menikmati pemandangan di bawah sana.

"Semua orang terlihat menikmati liburan mereka." Ujar Gwen membiarkan Rangga meletakkan dagu di bahunya. "Pati menyenangkan sekali bisa berlibur sesuka hati tanpa memikirkan banyaknya tugas dan pekerjaan di toko."

"Kita bisa liburan kapanpun kamu mau."

"Aku bisa di Drop Out jika cuti seenaknya."

"Tidak akan. Itulah salah satu keuntungan jika suamimu adalah salah satu pemilik saham kampus itu. Kamu tidak akan di Drop Out."

Gwen tertawa pelan. "Aku lelah, aku ingin tidur."

"Masuklah ke dalam lebih dulu. Aku akan tidur di sofa."

Gwen mengangguk, membiarkan Rangga melepaskan pelukannya dan melangkah masuk ke dalam kamar. Sedangkan Rangga masih berdiri disana, menatap gelapnya lautan di kejauhan. Ia menengadah pada langit yang tampak cerah.

Seharusnya ia membawa Gwen ke Villa Keluarga Hilmar saja, disana lebih banyak kamar dan ia tidak harus tersiksa menyaksikan Gwen kesana kemari di dalam kamar bertelanjang kaki dan mengenakan piyama. Memang bukan gaun tidur, tapi menatap Gwen mengenakan piyama saja sudah membuat darah Rangga terasa mendidih. Meski sudah beberapa bulan berlalu sejak peristiwa pahit itu, Rangga belum mampu melepaskan ingatan tentang tubuh Gwen dari benaknya.

Ia mengutuk dirinya sendiri karena terus mengingat hal itu. Tapi ia juga tidak bisa menepis bayangan yang selalu datang mengusik tidurnya. Seringkali ia merasa tidak mampu menahan diri, tapi kemudian ia juga merasa bersalah karena menginginkan Gwen seperti itu.

Rangga sengaja berdiri disana lama-lama dan berharap Gwen sudah tidur ketika ia masuk ke dalam kamar. Saat ia melangkah masuk, Gwen sudah bergelung di dalam selimut, Rangga mendesah lega. Pria itu melangkah menuju sofa, lalu membaringkan dirinya disana. Sesekali matanya menatap ke arah ranjang, lalu kembali mendesah dan mencoba memejamkan mata.

Sedangkan Gwen membuka mata saat lampu kamar sudah redup dan hanya menyisakan lampu tidur di atas nakas. Wanita itu diam-diam mendesah pelan. Ia ingin sekali menghampiri Rangga, memeluk pria itu dan meminta pria itu menyentuhnya. Tapi ia tidak punya keberanian seperti itu. Rasa takut masih menguasainya.

Hanya saja, kini perasaan ingin di sentuh itu terus menghantuinya, setiap sentuhan kecil dari Rangga, baik kecupan ataupun pelukan membuatnya ketagihan. Dan terkadang Gwen merasa tidak mampu mengekang keinginannya.

Apa yang harus ia lakukan? Beranikah ia meminta Rangga tidur bersamanya disini?

To Be Continued