Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 89 - Night With Husband (2)

Chapter 89 - Night With Husband (2)

Wardana's House

Gwen tertidur di dalam pelukan Rangga tanpa wanita itu sadari. Rangga masih duduk disana, menikmati memeluk Gwen, ia bisa seperti ini selamanya. Memeluk istrinya dan tidak berniat melepaskannya. Rangga membelai rambut Gwen dan mengecup pundaknya beberapa kali. Rasanya ia mampu memberikan dunia dan seluruh isinya untuk wanita ini.

Rangga meraih remot TV dan mematikannya, lalu menggendong Gwen menuju kamarnya. Wanita itu tampak nyenyak dalam tidurnya. Rangga membaringkan wanita itu dan menyelimutinya, ketika ia hendak menunduk untuk mengecup kening Gwen, mata wanita itu tiba-tiba terbuka dan terkesiap takut. Gwen segera duduk dan memeluk selimut erat-erat di dadanya, matanya membelalak menatap Rangga yang segera bergerak menjauh.

"Gwen, ini aku."

Gwen hanya menatap Rangga seolah tidak mengenali pria itu. Ia memeluk selimut kian erat di dadanya, bergerak ke tepi ranjang. Tampak sangat ketakutan.

"Tenanglah, aku akan menjauh." Rangga kembali mundur ke dekat pintu. "Apa ini lebih baik?"

Sekilas Gwen tampak tidak mengenali Rangga, tapi lambat laun mata wanita itu mengerjap dan bibirnya bergetar pelan.

"Mas?" Suaranya memanggil ragu.

Rangga mendesah lega. "Ini aku. Tenanglah."

Gwen mengangguk, masih waspada sambil menatap Rangga.

"Kamu ingin aku pergi sekarang?"

Gwen hanya diam beberapa saat dan Rangga pikir itu artinya Gwen setuju agar Rangga segera keluar. Tapi begitu Rangga hendak melangkah pergi, suara Gwen yang ragu-ragu menghentikan langkahnya.

"Jangan pergi..."

Rangga menoleh, menatap Gwen yang sudah kembali berbaring di ranjang.

"Kamu perlu sesuatu?"

Gwen menggeleng, namun tangannya menepuk sisi kosong di sampingnya. Pandangan Rangga terarah pada sisi ranjang yang kosong.

"Bisa temani aku sebentar?"

"Tentu." Rangga mendekat dan duduk di tepi ranjang, sedangkan Gwen menatapnya dengan matanya yang jernih itu. "Tidurlah." ujar Rangga duduk disana.

"Ceritakan sesuatu padaku." pinta Gwen dengan suara pelan.

"Tentang apa?"

"Apa saja."

"Baiklah. Boleh aku mendekat?"

Gwen mengangguk, Rangga naik ke atas ranjang dan bersandar di kepala ranjang, sebelah tangannya terulur untuk membelai rambut Gwen.

"Ini kisah yang cukup memalukan."

"Kalau begitu ceritakan padaku."

"Aku berusia delapan tahun saat itu," Rangga mulai membelai rambut Gwen dengan gerakan perlahan." Aku baru saja naik ke kelas tiga sekolah dasar. Pagi itu cuaca sangat mendung. Bunda sudah berpesan padaku agar jangan terlalu banyak minum es di sekolah, karena kalau terlalu banyak minum air yang dingin, aku pasti akan ke WC berkali-kali karena tidak bisa menahan keinginan buang air kecil." Lalu tatapan Rangga menatap Gwen yang menatapnya. Gwen tampak seperti seorang anak bayi dengan selimut sebatas leher, mata yang bulat dan polos yang tengah menatapnya. "Berjanjilah untuk tidak tertawa."

"Aku tidak bisa berjanji kalau ceritanya memang lucu."

"Ini tidak lucu, tapi memalukan."

"Kalau begitu aku memang harus tertawa."

Rangga memelotot, membuat Gwen tertawa kecil.

"Mau kulanjutkan tidak?"

"Kalau tidak Mas lanjutkan, aku bersumpah tidak akan pernah bicara dengan Mas lagi."

"Kamu mengancamku?"

"Ya, Mas merasa terancam?" Mata Gwen yang bulat itu menatap Rangga lekat-lekat.

Rangga tertawa geli. "Ya, aku merasa terancam."

"Kalau begitu harusnya Mas takut padaku dan harus mematuhi perkataanku."

"Siap, Nyonya." Rangga menggerakkan tangannya untuk memberi tanda hormat, hal itu berhasil membuat Gwen kembali tertawa.

"Lanjutkan." Pintanya.

"Baiklah." Rangga menarik napas secara berlebihan hanya untuk menggoda Gwen.

"Mas merasa terpaksa?"

"Tidak." Mas berkilah.

"Kenapa wajah Mas seperti itu?!" Gwen mendelik sebal.

"Memangnya ada apa dengan wajahku?"

"Menyebalkan."

Rangga tertawa keras. "Kenapa semua perempuan mengatakan wajahku ini menyebalkan?"

"Memang begitu. Mas tidak sadar ya?"

"Menurutku, aku ini tampan."

"Harry Styles lebih tampan."

"Sayangnya dia bukan suamimu. Jadi aku pasti lebih tampan."

"Mas ini narsis ya?" Gwen menatap sinis.

Rangga lagi-lagi tertawa. "Katakan dulu kalau aku lebih tampan, jika tidak, aku tidak akan melanjutkannya."

"Kenapa jadi Mas yang mengancamku?"

"Aku tidak mengancammu."

"Lalu barusan itu apa?"

"Aku hanya memintamu mengatakan bahwa aku lebih tampan."

"Tapi menurutku Harry Styles memang jauh lebih tampan."

"Sekarang kamu yang bersikap menyebalkan." desah Rangga putus asa.

"Mas bilang apa? Aku menyebalkan?!" Gwen menatap Rangga berang dan bangkit untuk duduk, menatap Rangga tajam. "Kenapa jadi Mas yang mengatai aku menyebalkan?!" bentaknya marah.

"Karena kamu tidak mau mengakui aku ini tampan."

"Aku baru tahu kalau Mas senarsis ini." Gwen mendelik sinis.

"Tidak ada pasal yang melarangnya, kan?"

"Aish!" Gwen memukul Rangga dengan bantalnya. "Sana pergi,aku mau tidur."

"Kamu tidak ingin mendengarkan kelanjutan ceritaku?" Rangga menghindari pukulan-pukulan dari Gwen.

"Aku sudah tidak tertarik."

"Cerita ini akan lucu. Aku berjanji."

"Sudahlah, aku mau tidur saja." Gwen menghempaskan kepalanya ke bantal. Lalu memunggungi Rangga.

"Kamu benar-benar mau tidur?" Rangga mencolek bahu Gwen. "Tidak ingin mendengarkan ceritaku?"

"Tidak."

"Baiklah. Selamat tidur." Rangga menunduk, mengecup kening Gwen. "Mimpikan aku." Ujarnya geli.

"Aku mau memimpikan Gong Yoo saja."

"Tadi Harry Styles dan sekarang Gong Yoo, sebenarnya ada berapa banyak pria impianmu?" Rangga bertanya dengan nada cemburu.

"Banyak. Sampai aku sendiri bingung bagaimana menghitungnya."

"Baiklah. Tidur sana. Aku juga akan memimpikan Song Hye Kyo saja." ujar Rangga sebal sambil turun dari ranjang.

Gwen membalikkan tubuhnya dan menatap Rangga kesal. "Sebenarnya yang jadi istri Mas itu aku atau Song Hye Kyo?"

"Lalu yang jadi suamimu siapa sebenarnya?" Rangga balas bertanya sambil berkacak pinggang.

"Mas sengaja mengajakku berdebat ya?"

"Kenapa selalu aku yang kamu salahkan?" Rangga berusaha keras menahan tawa.

Keduanya bertatapan lekat, saling melemparkan pandangan kesal. Lalu keduanya terdiam dan kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Sudah, jangan tertawa lagi. Ayo kita tidur." Rangga kembali naik ke atas ranjang dan Gwen kembali berbaring di bantalnya. Rangga duduk bersandar, membelai kepala Gwen dan melanjutkan ceritanya dengan suara pelan.

Saat ia menoleh sepuluh menit kemduian, Gwen sudah tertidur nyenyak di sampingnya.

Rangga tersenyum, membungkuk untuk mengecup kening Gwen lalu ia turun dari ranjang menuju pintu. Keluar dari kamar Gwen dan menuju kamarnya sendiri.

Betapa inginnya Rangga tetap disana sepanjang malam, menemani istrinya. Tapi ia tidak berani melakukannya. Ia tidak ingin Gwen terbangun lalu terkejut mendapati ia masih berada disana. Ini saja sudah kemajuan yang sangat besar.

Hampir delapan bulan berlalu. Dan perjuangannya masih belum selesai. Rangga tahu ini tidak akan mudah. Tapi ia memang pantas mendapatkannya. Gwen sudah tidak terlalu takut dengan sentuhannya, itu saja sudah membuatnya bahagia.

Ia hanya perlu tetap berjuang, menebus kesalahan kejam dan brutal yang pernah ia lakukan. Bahkan bekas cambukan itu masih membekas di punggung Gwen, yang akan terus mengingatkan Gwen pada apa yang pernah di alaminya.

Rangga sendiri masih sering mengalami mimpi buruk itu. Hal paling kejam yang pernah ia lakukan. Memerkosa Gwen dan menyakitinya begitu mendalam. Rangga tahu ia tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua, tapi ia hanya manusia biasa yang berharap bahwa hidup akan memberinya satu lagi kesempatan memperbaiki kesalahannya.

Dan Rangga berjanji, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Jika Gwen memilih untuk memberinya satu kesempatan lagi, ia berjanji akan menjadi suami yang akan menjaga Gwen selamanya.

To Be Continued