Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 71 - Game is Not Over

Chapter 71 - Game is Not Over

Wardana's Corp

"APA?!" Om Sultan geram saat melihat bagian tangan kiri Anika yang tak tertutup perban masih kemerahan. Itu karena cipratan air panas yang tadi disiramkan seseorang.

"Kurang ajar!" Om Sultan marah sekaligus tak tega Anika menjadi korban. Mereka harus bertindak cepat. Mereka perlu segera menyusun strategi untuk menghancurkan mantan keluarga Anika.

"Seharusnya kamu langsung memberitahu Om, Anika!"

Rencana paling baru tersusun dalam otak Anika. Ya, dia masih ingat soal undangan dari W Resort.

Om Sultan memandang Anika tak mengerti. Gadis itu fokus pada pikirannya sendiri. Tapi ia tak akan mengganggu Anika. Gadis itu terlalu pintar, dan Om Sultan menyadari itu saat dia menceritakan peristiwa yang sebenarnya terjadi pada ayah kandungnya.

"Om," panggil Anika.

Om Sultan menoleh, melihat mata Anika berbinar, ingin menyampaikan sesuatu.

"Tender di Bali, aku ikut ya?" ucap Anika. "Sudah saatnya kita

say hi sama mereka."

Om Sultan tersenyum lebar. Ya, inilah momen yang selama ini ditunggunya: Anika membuka gerbang perang.

"Kamu yakin?" ucap Om Sultan memastikan.

Anika mengangguk mantap. "Mereka harus tahu bagaimana nyawa dibalas nyawa."

Walaupun sudah bertahun-tahun perusahaan ini Sultan kelola dengan baik. Dia tak akan pernah melupakan Hara yang diperlakukan tidak adil oleh keluarga barunya.

Anika mengingat sesuatu. "Om?"

"Ada apa, Anika?"

"Mmm..." Anika ragu. "Kenapa..." Ah, kenapa dia malah gugup?

"Kenapa Om kasih izin Satya ngajak aku pergi pagi itu?"

Om Sultan menyipit, mencoba mengingat-ingat kejadian itu. "Dia bilang dia mau bikin kamu senang karena baru aja keluar dari rumah sakit."

Kenapa jawaban Om Sultan berbeda dengan ucapan Satya?

"Bukannya Oom yang nyuruh dia supaya bawa aku?"

Om Sultan menautkan alis, tak mengerti tuduhan Anika. Rasanya dia tak pernah berbicara seperti itu. Subuh itu, saat Sultan baru saja pulang dari kantor, Satya sudah ada di kamarnya. Pemuda itu minta izin untuk mengajak Anika jalan-jalan seharian dan memberikan suprise. Satya sempat menanyakan bunga kesukaan Anika. Sultan hanya mengangguk karena sangat mengantuk. Tapi kenapa...

"Ah, iya ya? Om lupa," ralat Om Sultan, berbohong.

Anika mencium gelagat aneh pada Om Sultan. Dia yakin ada yang Om Sultan sembunyikan darinya. Kenapa harus disembunyikan?

"Yang penting hari itu kamu bahagia kan, Anika? Dia benar-benar sayang sama kamu."

Anika tertunduk malu.

"Dan kamu juga, kan?"

Anika mengangkat wajah dan melihat Om Sultan yang tersenyum menggoda. Wajahnya terasa panas. Setelah beberapa detik, Anika kembali menunduk, menghitung luas ubin di situ. Dia mendadak merasa bodoh.

"Tapi, Anika, Om harap kamu tidak melupakan alasanmu datang ke Jakarta. Kalau ingin menang, kamu harus fokus. Singkirkan penghalangmu."

***

Kampus

Satya menatap ragu ke arah Anika. Sejak kemarin dia belum bertegur sapa dengan Anika, walaupun mereka pulang bersama. Kemarin, saat menjemput Anika dari kantor, gadis itu diam seribu bahasa.

Bahkan saat turun dari mobil Satya pun, Anika membuka pintu dengan cepat lalu berjalan begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah kata.

Dan di sekolah ada saja alasan yang membuat Satya kesal. Kenapa parkir harus dipindahkan ke tempat yang lebih jauh dari kelas mereka? Membuat dia dan Anika harus lebih lama berjalan dalam diam. Satya tidak tahu apa yang dipikirkan Anika

Anika berhenti, menoleh ke samping, dan melihat Satya melakukan gerakan yang sama. Pandangan mereka bertemu. Anika merasa detak jantungnya memburu.

"Aku ke toilet dulu. kamu nggak usah nungguin," ucap Anika ketus,

lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.

Satya mencibir. "Siapa yang mau nungguin? Bunglon!" balasnya sengit, kemudian melangkah mendahului Anika. Kenapa mereka malah bertengkar secara terang-terangan seperti itu?

Anika menatap punggung Satya, merasa tak percaya. Juga kesal. Ya, sebenarnya dia hanya kesal kepada Satya yang tak mau mengerti dirinya. Sejak kemarin pemuda itu terus-terusan memandangnya aneh, seolah dia binatang yang siap dimangsa.

Terserah. Aku tidak peduli, ujar Anika dalam hati.

Gadis itu melangkah cepat ke toilet. Dia yakin melihat siluet itu masuk ke sana. Ia membuka pintu toilet hati-hati. Memperhatikan dirinya di cermin yang cukup besar sambil menunggu seseorang keluar dari bilik toilet.

Anika memutar badan tepat saat pintu kamar kecil itu terbuka. Ia tak pernah salah prediksi. Ia memandang tajam ke arah orang tersebut. Lalu detik berikutnya ia tersenyum sinis saat Elisa terlihat gugup di depannya. Sewaktu gadis itu mengalihkan pandangan sambil berjalan ke arah pintu keluar toilet, dengan cepat Anika mengangkat kaki hingga membuat tubuh Elisa jatuh seketika.

"Sudah selesai main-mainnya, Tuan Putri Elisa?" desis Anika tajam. Ia membungkuk, mendekati Elisa yang terduduk kesakitan. Tatapannya ganas dan menyakitkan. Anika menjambak rambut Elisa keras ke belakang, membuat gadis itu memekik dan menengadah seketika. "Kalau aku bicara itu di lihat dong!"

Elisa tak bisa berkata apa-apa. Anika begitu menakutkan. Sorotan tajam kedua mata gadis itu seperti siap menerkam. Elisa belum pernah merasa setakut itu.

Anika mengertakkan gigi, berusaha keras mengendalikan emosi. Semuanya: Papa, Adena, Mama. Setelahnya, Anika menarik napas dalam-dalam, meregangkan tangan, membuat jambakan pada rambut Elisa berkurang.

Gara-gara keluarga Elisa!

Masih dalam posisi berdiri, Anika menatap wajah Elisa lekat-lekat. Emosinya memuncak, darahnya mendidih. Ia ingat lontaran kata-kata gadis itu.

Buk...

Tendangan sepatu keras Anika berhasil memerahpadamkan wajah Elisa. Wajah gadis itu hampir saja mencium lantai karena tidak kuasa menahan badannya.

"Ahhh!" Elisa menjerit tertahan, memegang pipi kiri yang ditendang Anika. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Ia kesakitan. Juga ketakutan.

"Itu cuma secuil dari apa yang kamu lakukan ke aku. YOU STARTED

THE GAME!" ucap Anika tajam sambil berjalan ke pintu.

Elisa meringis. "Pembawa sial!"

Anika berhenti. Tidak. Dia tak akan selemah itu untuk luluh gara-gara sumpah serapah andalan Elisa. Tidak akan!

Anika berani bersumpah, dia tak pernah membenci orang sedalam kebenciannya pada keluarga tirinya. Amat sangat membencinya.

To Be Continued