Chereads / Oneirataxia: The illusionist / Chapter 1 - Seorang 'Biasa saja' dan Dunia Fantasi

Oneirataxia: The illusionist

🇮🇩Diva_Aulia_1509
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Seorang 'Biasa saja' dan Dunia Fantasi

Hai, namaku Inain. Inain Ashlaya. Aku bukanlah siapa-siapa.. sungguh. Aku hanyalah seorang gadis SMP biasa berumur 12 tahun. Namun, aku tak bisa mengatakan bahwa aku benar-benar 'gadis biasa'...

Aku memiliki kemampuan untuk seorang 'gadis biasa' sepertiku. Tetapi, aku lebih suka menyebutnya kutukan. Ya, kutukan... Aku memiliki keahlian untuk membuat diriku gila karena sering melihat sesuatu yang orang normal tidak lihat. Bukan hantu. Jangan konyol.

Aku selalu berhalusinasi akan sesuatu yang aneh. Misalnya seperti sekarang... di langit saat ini, aku bisa melihat silau kaca yang berkilauan. Aku bahkan bisa bercermin dari bawah sini. Dan tanpa kusadari pun, aku selalu memperbaiki diriku sambil menatap ke atas di tempat umum. Memalukan bukan? Itu hanyalah salah satu contoh kecil yang bisa kusuguhkan saat ini..

"INAIN!"

Aku berjengit kaget mendengar teriakan guruku. Aku segera menatapnya dengan gugup. "Maafkan aku, guru..."

Dia mendengus dan berbalik menghadap papan tulis sembari berkata, "kau bisa berbicara dengan sahabat imajinermu nanti, Inain. saat ini, dengarkan guru menjelaskan." Dia berucap dengan intonasi yang mengolok-olok. Aku bisa mendengar kekehan teman kelasku yang tertuju kepadaku.

Aku mendesah lelah. Aku sudah kenyang memakan kejadian yang sama berulang kali. Aku menyandarkan kepalaku di atas meja sembari menghadapkan tatapanku pada langit biru dan seketika aku bisa melihat refleksiku di sana.

Eh... Aku mengernyitkan dahi. Apa ini karena penglihatanku yang memburam.. atau memang ada siluet orang lain di sana? Seorang laki-laki... seumuran denganku, sedang memperhatikanku lewat langit di atas sana. Dia menyandarkan kepalanya dengan tangannya sembari melihatku dengan intens. Aku mengerjap. Apa aku tidak salah lihat?

Dia tiba-tiba melambai ke arahku dan tersenyum tipis, membuatku melotot dan tak kuasa menahan diriku untuk tidak berteriak kaget. Sekali lagi, aku harus mendapatkan hukuman dari guruku.

------------

Bel pulang sekolah telah berdering sekitar satu jam yang lalu, tetapi disinilah aku, menetap di perpustakaan, bersiap untuk tidur. Aku tidak memiliki rumah untukku kembali. Rumah yang biasa kuanggap tempat kembali telah tiada. Aku tidak memiliki alasan untuk kembali ke 'gubuk tua' yang kosong itu. Aku hanya akan kembali jika ada hal yang mendesak, misalnya untuk mengambil uang jajan. Kepala sekolah yang baik hati membiarkan aku menjadikan sekolah ini sebagai rumahku. Dia bahkan terkadang menyiapkan makan malam di meja kerjanya untukku.

Sebelum tidur, tentu saja aku harus belajar. Aku tidak memiliki hobi yang bisa kugunakan untuk mengisi waktu luang. Yang ada dipikiranku saat ini hanyalah bagaimana caranya segera lulus dari tempat ini. Aku sudah dua kali lompat kelas berkat kerja kerasku. Pertama saat SD, aku melompati kelas empatku menuju kelas lima. Dan yang kedua, aku tidak mendapatkan kelas 7 saat penerimaan murid baru berkat kepala sekolah yang telah melihat raporku bagaikan melihat sebongkah emas di tangannya. Jika ulangan kenaikan kelas ini aku mendapatkan predikat yang baik lagi, kemungkinan aku akan lulus beersama kakak kelas tiga lainnya dan segera naik ke jenjang SMA.

Tiba-tiba, seorang penjaga tua yang berpatroli muncul dari balik rak buku dan tersenyum melihatku. "Belajar lagi, Inain?" Tanyanya. Di tangannya, terdapat nampan yang diatasnya sepiring kue dan secangkir teh hangat, seperti biasa.

Aku tersenyum simpul, "Halo, kakek. Anda bekerja keras seperti biasa. Terima kasih.."

Beliau terkekeh sembari meletakkan nampan tersebut di atas meja. "Kau terlihat lebih berkerja keras dibandingkan aku, Inain. Makanlah. Istriku membuat ini spesial untukmu." Dia menghela napas sembari melihatku dengan penuh iba. "Seharusnya anak muda sepertimu pergi keluar dan bermain dengan teman-teman. Tapi, lihatlah engkau. Aku bukannya melarang kau untuk belajar, bagus malah. Tetapi, tidakkah kau ingin menghabiskan masa mudamu dengan bersenang-senang?"

Aku hanya tersenyum dan menggeleng sebagai jawaban. Kakek ini selalu menanyakan pertanyaan itu setiap kali dia datang, dan inilah jawabn yang selalu kuberikan kepadanya setiap kali dia bertanya. Aku bukannya tidak tertarik untuk berjalan-jalan. Hanya saja, aku terlalu kesepian untuk berjalan-jalan di dunia ramai. Aku tidak memiliki teman yang bisa kuajak jalan. Tapi, aku sudah nyaman dengan ini. Tak ada yang perlu diubah.

Setelah bercakap-cakap cukup lama dengan kakek, beliau pun pamit untuk melanjutkan patrolinya.

Aku akhirnya bisa bernapas lega. Aku menoleh ke samping dan mendapati boneka beruang yang tiba-tiba saja muncul di atas meja, terus menatapku dengan intens. Aku mengernyitkan dahi. "Apa kau akan terus menatapku seperti itu?"

Terdengar suara kekehan dari beruang itu. Tiba-tiba, boneka itu bergerak dan berdiri. "Aku ketahuan."

Aku memutar bola mataku. "Auramu terlalu pekat. Kau tidak bisa mengontrol auramu, hm?"

"Aku bisa mengatakan hal yang sama padamu, nona." Dia mengangkat bahunya. Dia berjalan menghampiriku dan duduk di atas pangkuanku. "Kau tinggal di sini, nona?"

Aku mengangguk sebagai jawaban. "Kau sendiri? Kau tinggal di sini juga?" tanyaku.

"Kau bisa bilang begitu. Aku hanya berjalan-jalan sebentar di sekitar lorong saat tiba-tiba aku merasakan aura yang cukup pekat dari dalam perpustakaan dan ternyata aura itu berasal darimu nona." Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Apa kau menginginkan sesuatu dariku?"

Boneka beruang itu duduk perlahan di pangkuanku. "Pertama-tama biarkan aku memperkenalkan diriku. Namaku Zuzu. Seorang wizard yang hebat di Dunia Fantasi!"

Aku mengernyitkan dahi. Apa-apaan nama itu. Semakin lama sepertinya aku semakin gila saja. Apa aku coba ke psikiater saja ya? Aku menggeleng dan menghela napas. "Baiklah, tuan Zuzu... Apa maumu?"

Dia menyilangkan tangan mungilnya di depan dadanya. "Ayolah.. Apa kau tidak ingin menanyakan lebih jauh? Anak muda sepertimu seharusnya memiliki segudang keingin-tahuan yang tinggi kan? Kau belajar membuktikan bahwa kau anak yang banyak ingin tahu." Ucapnya penuh keyakinan.

Aku menghela napas. Ikuti saja percakapannya. Dia akan menghilang seperti makhluk-makhluk aneh lainnya. "Baiklah... Apa itu dunia Fantasi? Di mana letaknya? Di belahan dunia mana ia?" Aku mengangkat sebelah alisku.

Dia tertawa kecil. "Dunia Fantasi itu tidak di belahan dunia manapun, gadis manis. Dunia Fantasi ada di semua tempat! Di India, Arab Saudi, Inggris, di hutan-hutan kecil maupun besar, di gang-gang yang gelap, bahkan di belakang rumah setiap manusia pun dunia itu sudah hadir!"

Aku mengernyitkan dahi. Kenapa kalimatnya persis seperti penglihatanku sehari-hari? Memang benar aku selalu melihat adanya kehidupan lain yang lebih rumit di setiap jengkal tempat manusia tempati. Tapi, aku selalu mengira bahwa itu hanyalah halusinasiku yang perlu ku obati sesegera mungkin. Aku menelan ludah.

"Kalau begitu... Dunia Fantasi itu seperti apa..?"

Zuzu terlihat berpikir untuk memilih kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaanku. "Tempat itu dipenuhi dengan keajaiban yang tak terbayangkan dan kebahagiaan yang berlimpah!" Dia berseru dengan semangat. Aku menatapnya dengan skeptis. Itu tidak terdengar meyakinkan sama sekali. Indah mungkin memang deskripsi yang bagus untuk sebuah 'Dunia Fantasi'. Tapi, Dunia Fantasi tidak selalu dideskripsikan sebagai itu kan?

Zuzu tiba-tiba terkekeh saat melihat wajahku. Dia tiba-tiba menatapku dengan tajamnya membuatku meneguk ludahku.

"Kau mau melihatnya?"

"Eh?"

"Dunia Fantasi itu... Apa kau tidak mau melihatnya?"

Aku terdiam. Jujur, aku sangat ingin melihatnya. Sejak aku kecil, aku selalu mampu untuk melihat dunia 'itu' dari kejauhan tanpa mampu untuk menghampirinya. Aku selalu menahan rasa keingintahuanku selama 8 tahun sampai-sampai aku melupakan rasa ingin tahu itu. Tapi, berkat teddy bear sialan ini....

Aku menghela napas. "Baiklah... Aku ingin melihatnya."