Seorang pria terlentang di atas tanah yang mengapung di antara lava yang membara seolah siap menelannya. Pria itu tersenyum pahit, melihat takdirnya yang begitu menyedihkan. Kematian siap datang kapan saja untuk menjemputnya. Dia menutup matanya. "Apa ini akhirnya? Bodohnya aku termakan rayuan sij*lang bodoh itu". Dia mengedipkan matanya beberapa kali, menghela nafas berat.
Tanah yang ditidurinya terkikis, kakinya menyentuh lava dan mulai terbakar, namun dia tidak merasakan apapun selain rasa sedih dan penyesalan yang begitu besar di dadanya. Seluruh anggota tubuhnya sudah mati rasa.
"Andai saja aku mendengar ucapan bocah itu dulu, mereka mungkin masih ada samapai sekarang disisiku, bagaimana bisa aku melupakan mereka dan berdiri bersama para pengkhianat itu?"
"HA HA HA HA HA hiks hiks" Tawa sedihnya terdengar keras, air mata yang dia kira tidak akan keluar, mengalir deras melalui pipi tirusnya. Ya, dia menangis kencang, menyesali setiap perbuatannya dahulu. Seolah mengerti keadaannya, langit menurunkan hujan, namun apalah daya sebelum menyentuh permukaan air hujan langsung menguap begitu saja karena panasnya lava.
'bahkan alam tidak berpihak kepadaku', pikirnya.
Menutup matanya rapat, tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Tanah yang ditumpanginya mulai tenggelam, sudah tidak dapat bertahan.
'inilah akhir hidupku'.
.
.
.
.
"Itu bukanlah akhir hidupmu, namun itu adalah awalan hidupmu".
Suara samar-samar terdengar di telingaku. 'bukankah aku sudah mati?'.
Aku bersusah payah membuka mataku secara perlahan. Di depannya nampak orang berjubah putih dan ada sayap di belakangnya. 'Malaikat?' pikirku singkat. Aku melihat kesekelilingku dan melihat ada banyak sekali malaikat menatapku, beberapa diantaranya memiliki sayap yang lebih besar dari pada yang lain dan nampak lebih berwibawa. Sepertinya saat masih kecil aku pernah membaca tentang mereka, archangel? Kalau tidak salah itu julukan mereka. Entahlah aku lupa karena sudah lama sekali aku tidak pergi ke gereja. Sekarang aku harus mengamati keadaanku saat ini. Surga? Tidak suasananya terlalu sedih untuk dikatakan sebagai Surga.
"Hai anakKu yang malang". Suara besar terdengar bergema di kepalaku. Aku melihat para malaikat menunduk merasa segan. 'mungkinkah?'
"Malang sekali nasib anakKu yang ini". Jangan diperjelas, aku tau nasibku sangat menyedihkan. Hatiku suntuk namun aku tidak berani mengungkapkannya.
"Kau melakukan banyak kejahatan di akhir hidupmu, namun Aku juga melihat banyak sekali perbuatan yang kau perbuat selama ini". SuaraNya terhenti sejenak seolah memberiku kesempatan untuk bernafas. "Maka dari itu Aku akan memberikanmu kesempatan untuk memulai kembali, jadi manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya". Suara itu menghilang dari kepalaku, dan para malaikat menegakkan badannya kembali. Salah seorang malaikat tinggi datang menghampiriku sembari menjulurkan tangannya.
"Mari!" Katanya.
Aku meraih tangannya, lalu tiba-tiba kami berpindah tempat. Di sekelilingku berlangit hitam bertabur bintang-bintang, sangat indah. Lalu aku melihat sebuah bintang meledak dengan kekuatan yang sangat dasyat, aku baru pertama kali melihat hal tersebut di sepanjang hidupku. Debu-debu bintang itu berceceran kemana saja, memenuhi angkasa. Tidak lama kemudian debu bintang itu tersedot kesebuah lubang, dan intensitas kekuatan serta ukuran lubang itu semakin besar, menyerap segala yang berada disekitarnya. 'lubang hitam' Pikirku. Termenung melihat fenomena yang sangat luar biasa, membuatku tidak sadar bahwa posisi kami sangat dekat dengan lubang hitam tersebut.
"Ma-malai-" aku menoleh kebelakang, terbelalak karena tiba-tiba malaikat yang bersamaku sudah menghilang. 'Sial!' Tanpa butuh waktu yang lama badanku tersedot lubang itu.
'Apa aku akan mati lagi?'
.
.
.
.
.
.