"Baiklah, berhubung sebentar lagi kalian akan memasuki masa liburan, bapak harap kalian bisa memanfaatkan waktu kalian dengan sebaik-baiknya" Ucap pria berkemeja putih itu didepan kelas seraya membetulkan posisi kacamatanya.
- - -
Siang pukul 01.00, aku sedikit tidak memperhatikan mendengarkan pesan pada jam pelajaran terakhir sebelum liburan musim hujam dimulai. Seharusnya aku menyebut ini liburan musim dingin bersalju, namun karena aku berada di negara tropis makanya liburan musim hujan lebih cocok untuk dijadikan nama.
Setiap tahun begitu. Hanya pesan-pesan yang sama, terus diulang-ulang oleh wali kelasku kepada khalayak ramai dalam kelas. Tidak ada evaluasi atau semacamnya. Perkataan yang membosankan.
Aku melirik jendela disebelah kiriku. Terik matahari menembus bingkai jendela, menyengat mataku. Aku berpaling dan menemukan Joko, teman kelasku yang jarang bersosialisasi dengan orang lain selain diriku.
"Yan, aku baru saja membeli buku yang kamu beri tahu ke aku, lho…" ia menyahutku
Aku menoleh ke arahnya, mendapati dirinya sedang membuka buku catatan Fisika dan pena biru di tangan kanannya.
"Jadi, apa tanggapanmu?" Aku sedikit memutar badanku.
"Lumayan, tapi jujur buku itu belum memenuhi kriteria top rate bagiku."
"Mengapa?"
"Disitu tidak terpampang salah satu tokoh favoritku. Padahal dia lebih bagus dibandingkan tokoh-tokoh lain. Divinitasnya pun tidak bisa dibilang rendah." Ia menggerutu.
Aku bergumam. "Hmmmm… Mungkin saja dia lebih dikenal dengan nama yang lain. Kamu tahu kan, orang awam tidak akan paham dengan perbedaan kecil pada detai suatu karakter. Lagipun, mitologi memiliki banyak versi. Beberapa tokoh bisa menjadi tokoh yang sama atau berbeda tergantung bagaimana orang melihat tokoh tersebut."
"Sudah kuduga, buku itu tidak terlalu baik. Memang dari ilustrasi dan gaya bahasa naratif bisa dinilai hebat, namun dari segi informasi, buku itu tidak…."
Joko masih mengutarakan pendapatnya sementara wali kelasku memanggilnya dengan nada tinggi.
"JOKO!!"
Aku secara spontan berbalik ke depan. Joko yang panik segera menghadap depan dan berdiri.
"Iya, pak!"
"Ada apa, Joko? Apa yang kau bicarakan dengan Yani sehingga kau tidak memperhatikan omonganku?
"Tidak pak! Aku benar-benar memperhatikan kok!"
"Lalu, apa tugas yang harus kau dan selesaikan selama liburan ini?
"E… Menulis puisi tentang tumbuh-tumbuhan setiap harinya, pak" Ia melantur. Seisi kelas pun tertawa mendengar hal itu.
Wali kelasku menundukkan pandangannya dan menepuk dahi.
"Jonathan… Aku tidak menyuruhmu itu. Makanya lain kali kau harus mendengar dengan lamat-lamat perkataan wali kelasmu didepan. Mungkin terdengar membosankan, tapi setidaknya perkataan yang terus bapak ulang-ulangi ini bisa membantumu di masa depan. Malahan ini adalah kali terakhir kau mendengar bapak berbicara seperti ini didepan kelas. Jadi, apa salahnya mendengarkan ini dengan simak sekali saja?"
Wali kelasku kembali membetulkan posisi kacamatanya.
"Biar bapak terangkan kembali. Bapak akan memberi kalian tugas laporan yang akan menjadi syarat bagi kalian untuk mengambil Ijazah. Bagi siapa yang belum menyelesaikan laporan dan melunasi tunggakan SPP, maka bapak akan menahan ijazahnya. Ngomong-ngomong, tema untuk laporan kalian adalah "Warisan Leluhur", jadi silahkan dipikirkan baik-baik tentang judul laporan kalian. Bapak akan membagi kalian dalam beberapa kelompok beranggotakan empat orang dengan masing-masing satu guru pembimbing. Demikian bapak sudah bekerja sama dengan beberapa guru yang bisa kalian bertanya tentang langkah-langkah membuat laboran yang baik dan benar. Kalian juga bisa meminta revisi kepada guru pembimbing kalian masing-masing."
Wali kelasku lalu mengeluarkan smartphone miliknya.
"Terkhusus untuk para siswa-siswi yang didampingi bapak sendiri ada lima orang, dan kalian wajib meng-follow Instagram bapak!" Ucapnya sambil menunjukkan akun Instagram miliknya.
Bel pun berbunyi, tanda jam terakhir pada hari itu sudah selesai. Aku dengan perasaan lega akhirnya dapat keluar dari ruang kelas yang membosankan. Sepanjang hari aku terus berharap waktu yang kuinginkan tiba.
Aku berjalan di koridor lantai dua. Sebelum tangga turun, aku berhenti untuk melihat mading persis seperti teman kelasku yang lain lakukan. Pasalnya wali kelasku menempel data pembagian kelompok tugas laporan disana. Aku menyelidik, mencari namaku diantara 41 orang yang terpasang namanya pada lima kertas yang dipasang secara berjejeran.
"Kita sekelompok, Yan. Padahal aku sudah bosan bertemu denganmu hampir setiap harinya…" Seketika Joko muncul disampingku tanpa kusadari. Kehadirannya yang tiba-tiba itu membuatku sedikit terkejut.
Joko menunjuk kertas lembar kedua dari kiri. Akupun menemukan namaku berada di posisi pertama dalam kelompok "3" disusul nama Joko dibawahnya. Aku memasang ekspresi kecewa.
"Sungguh, dengan peluang hanya sekitar 2,5 persen, mengapa aku harus bersamamu…?" Aku bertanya retoris.
"Takdir yang buruk, ya…"
"Benar, tidak diragukan…"
Aku tidak membenci Joko. Malahan kami adalah teman dekat. Namun, justru karena itulah aku tidak ingin bersamannya. Joko dan diriku memiliki satu kesamaan. Kami memiliki ketertarikan dengan sejarah. Aku menyukai sejarah, begitu pula dengan Joko. Aku suka ketika bercerita tentang sejarah. Aku suka ketika mendengar tentang sejarah. Membaca tentang sejarah, berdiskusi tentang sejarah. Dari belahan bumi manapun, dari lini waktu kapanpun, mau fakta atau konspirasi, sejarah tidak pernah membuatku bosan. Namun, membahas sejarah memerlukan pemikiran yang berat untuk menganalisis segala informasi dan mereplikasikannya dalam benak agar bisa terbayang secara utuh mengenai rentetan kejadiannya. Hampir setiap hari di kelas, aku yang selalu duduk disamping Joko tidak pernah berhenti membahas tentang kejadian di masa lampau. Kami pun tidak bisa berhenti untuk mengobrol, Meski kami ingin berhenti sekalipun rasanya sangat sulit untuk dilakukan. Karena akan selalu ada hit spot dimana pembicaraan kami akan terus berlanjut sampai benar-benar hal mendesak yang memberhentikan kami, seperti teriakan wali kelasku.
Aku ingin bersantai ketika liburan. Dalam artian, aku tidak ingin membebani pikiranku dalam dialog historis yang menyenangkan namun perlu kerja extra dari otak untuk memahami segala informasi yang didiskusikan. Jujur, pembahasan kami tidak seringan pembahasan sejarah di kelas. Informasi yang kami bicarakan cukuplah berat. Kamu akan tahu apa maksudku. Joko pun tahu kalau dia akan merasakan hal yang sama jika bertemu denganku ketika waktu kosong. Dia akan terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Dia juga butuh istirahat. Makanya dia tidak sedang ingin berkelompok denganku sebagaimana diriku yang sedang tidak ingin berkelompok dengannya.
Namun…
"Tapi yah, tidak terlalu buruk sih… Toh kita juga melakukan penelitian bersejarah. Sepertinya kita bisa melewati ini." Ujarnya.
Aku kembali menatap mading dan tidak merespon kalimatnya. Aku melihat nama guru yang akan membimbing kami.
"Joko, Bu Lana Eisoptro ini…"
"Ah, guru asli dari Yunani itu ya? Begitu ya…? Jadi dia adalah pembimbing kita selama ujian. Hebat ya, kita diajar oleh guru dari luar negeri. Eksklusif!"
Hidungku mengkerut.
Tapi, bukannya akan susah kalau pembimbing kita orang asing? Bagaimana kalau dia ditanyai dan dia malah tidak bisa menjawab karena dia tidak mengenal budaya kita? Ingat kita meneliti tentang warisan leluhur. Sudah jelas kita perlu guru pembimbing yang mengerti tentang kebudayaan leluhur Indonesia." Tukas ku.
"Tenang saja! aku dengar Bu Lana sudah tinggal di Indonesia sejak umurnya 15 tahun. Jadi setidaknya dia memiliki sedikit pemahaman tentang budaya Indonesia."
"Aku tidak yakin, Joko. Apa kamu serius?"
"Lalu, apakah kamu mau mengajukan guru lain sebagai pengganti ke Pak Norman?"
Pak Norman adalah nama dari wali kelasku.
"T… tidak. Aku tidak memiliki keberanian…"
Aku lalu kembali menatap mading.