Malam yang hening,
Sang Angin, enggan hembuskan nafasnya.
Awan terbang memeluk sang bulan.
Bahkan bintang pun, sembunyi dalam dekapan langit yang gelap.
Terdengar suara derap kaki memecahkan kesunyian malam.
Dan terlihat dari kejauhan, seorang lelaki paruh baya yang berlari terpincang, seolah ada yang mengejarnya.
Lelaki itu berambut pendek berwarna nyaris keperakan, postur tubuhnyan tegap bak seorang prajurit yang siap tempur, akan tetapi semua itu seolah pudar melihat ekspresinya.
Wajahnya pasi, dari pelipisnya terlihat darah yang mengucur deras dan terlihat ada luka seperti tertebas sesuatu di betisnya.
Singkat cerita, lelaki tua itu terus berlari tanpa tau arah, darah terus mengucur dipelipis dan dari luka di betisnya, hingga akhirnya dia tersudut dalam sebuah lorong berbatu tinggi.
Hilang akal, hilang arah lelaki itu mencoba memanjat tembok batu landai tersebut dan ia pun berteriak:
"Aaargh, aku ngga mau mati sekarang, pergi kamu!! Pergi kamu bersama ibumu yang gila itu!!".
Namun, usahanya sia-sia, tembok itu terlalu landai dan licin, semakin ia mencoba, semakin ia tak mampu mendakinya.
Ia pun akhirnya berusaha untuk keluar dari lorong itu mencari jalan lain, namun ketika ia membalikkan badan, ada sesuatu yang mendorongnya dan membuatnya tersungkur persis di sudut tembok yang ingin dipanjatnya.
Dan tiba-tiba, muncul sosok bayangan hitam berjalan mendekatinya.
Masih dalam keadaan tersungkur dan ketakutan lelaki paruh baya itu berusaha untuk bangkit kembali, namun usahanya kembali sia-sia karena sosok bayangan hitam itu segera melempar tubuhnya, mencekiknya dan menyudutkannya ke tembok tersebut.
Dalam keadaan terdesak lelaki paruh baya itupun berkata :
"Tolong, ampuni aku, aku tidak bermaksud melakukannya, aku mencintaimu dan ibumu, aku tak bermaksud membunuh ibumu, ampuni aku nak." Ujar lelaki paruh baya itu penuh ketakutan.
Sosok bayangan hitam yang menyudutkannya ke tembok akhirnya terlihat. Seorang pemuda berpostur sama dengannya dan terlihat seperti versi muda dari lelaki paruh baya itu.
Pemuda itu menggunakan pakaian serba hitam dan memakai jaket berpenutup kepala, pemuda itupun menjawab :
"Ampun? Maaf?", ujar pemuda itu dengan nada dingin, "apakah dengan kalimat itu bisa membuat ibukuhidup kembali?", "apakah dulu kau memberikan kesempatan kepadanya?", "saat dulu kau menyiksanya"?.
"Aku khilaf nak, waktu itu aku tak bisa menerima kondisi ibumu yang memiliki kemampuan khusus, aku hampir gila nak, maafkan aku yang membuatmu sendirian", ujar lelaki paruh baya itu dengan ketakutan.
"Waktu itu aku gelap mata, aku tak kuasa mendengar ocehan gila ibumu tentang kematianku di tanganmu", Lanjut lelaki paruh baya itu.
Sambil mencekik, pemuda itu membuka penutup kepalanya, dan terlihat wajah yang sama dengan lelaki paruh baya itu, hanya saja 20 tahun lebih muda.
Dengan sorot matanya yang dingin dan penuh kebencian, sambil tersenyum sinis pemuda itu berkata:
"Lalu bagaimana sekarang Ayah?", kata pemuda itu penuh dengan nada kemenangan, ia pun melanjutkan:
"Apakah kau sudah puas? Kau membunuh Ibu dan tak ada keadilan untuknya?", tanya pemuda itu.
"Cukup nak, aku harus memohon dengan cara seperti apa agar kau memaafkanku nak?", ujar lelaki paruh baya itu dengan suara tercekat karena kuatnya cekikan pemuda itu.
"Aku sudah menebus perbuatanku di penjara, dan aku menyesali perbuatanku, aku ingin hidup bersamamu dan menghabiskan sisa hidupku sebagai ayahmu", kata lelaki paruh baya itu penuh memohon.
Pemuda itu tertawa keras, tawa dingin dan mengerikan, kemudian ia kembali menatap ayahnya dan berkata:
"Sudah terlambat Pak Rama, sekarang waktunya kau menebus perbuatanmu", pemuda itu kemudian menarik pisau dari balik jaketnya dan menebas tenggorokan ayahnya.
"Hnggh, ohkk", terdengar suara Pak Rama selayaknya suara hewan yang disembelih, darah ayahnya muncrat ke wajah pemuda itu dengan ekspresi yang terlihat menikmati seolah sedang mandi di pancuran yang dingin.
"Rasakanlah ayah.. Rasakanlah darah mengucur dari urat lehermu… rasakanlah bagaimana rasa saat ibu mati di tanganmu." Kata pemuda itu masih mencekik ayahnya yang mulai meregang nyawa.
Pak Rama pun mulai tak berdaya, tatapannya mulai kosong menatap mata anaknya , mulutnya menganga dan tubuhnya mulai melemas serta darah terus mengucur dari tebasan di lehernya.
Sambil menatap mata ayahnya yang sedang sekarat, pemuda itupun menyanyikan syair dari lagu Requiem Lacrimosa milik Mozart.
"Lacrimosa dies illa.", "Qua resurget ex favilla", "Judicandus homo reus". dengan nada yang mencekam. (Lacrimosa adalah lagu terakhir yang diciptakan mozart dalam seri requiem/peringatan kematian)
Pak Rama akhirnya meregang nyawa di tangan anaknya. Tubuh tegap bak pahlawan itu menjadi lemas tak berdaya dan bersimbah darah.
Pemuda itu melempar jasad ayahnya ke tanah, dan kemudian mengelap pisaunya ke baju sang ayah.
Ia pun merokok dan meninggalkan tempat itu bagaikan tanpa dosa dan penuh kemenangan.
"Kring-kring" , alarm hpku berbunyi dan aku terbangun terduduk.
Syukurlah, cuma mimpi buruk pikirku. Dengan berusaha sekuat tenaga sambil malas malasan aku berusaha tuk berjalan ke kamar mandi.
Aku pun mencuci wajahku dan alangkah terkejutnya aku ketika melihat tanganku bersimbah darah, pun ketika melihat wajahku di cermin penuh dengan darah seolah disiramkan ke wajahku.
Aku terdiam dan akhirnya aku tersadar bahwa yang terjadi semalam itu nyata. Terlihat pakaian hitam yang kukenakan saat pembunuhan semalam serta pisau militer milik ayahku yang kugunakan untuk menebas leher ayahku.
Ya,
Akulah Ravi , orang yang dianggap ayahku sebagai ancaman kematian olehnya, aku lah yang diceritakan ayahku selalu ada dalam visi ibuku yang memiliki kemampuan khusus dan aku lah yang diselamatkan oleh ibuku dan berhasil melarikan diri dari perbuatan keji ayahku.
Namun, aku tidak berlari sendiri, kematian ibuku memberikan luka mendalam dan memberikan dendam terhadap ayahku.
Ya, sosok yang membunuh ayahku bukanlah aku, dia lah Rava "diriku yang lain" yang terlahir dari luka dan dendamku.