Dua murid SMP saling menjalin sebuah hubungan yang disebut sahabat, mereka bernama Hakim dan Hilman. Mereka bukanlah murid yang pintar maupun terkenal, hanya murid biasa yang sering melakukan pelanggaran, yaitu bolos pelajaran. Kelakuan mereka berdua yang seakan tidak tau diri, malah membuat gurunya jadi enggan menambahkan nilai mereka yang dibawah rata - rata ke angka yang aman di rapot. Dikarenakan tiada kata tidak naik kelas di SMP tersebut, Hakim ingin berhenti melakukan hal konyol saat ia naik ke kelas dua.
Akan tetapi Hilman justru menertawakannya, mengatakan bahwa semuanya akan baik - baik saja, ia tau kalau ada SMA yang tidak memerlukan nilai bagus untuk diterima di sana. Tentu sesuai faktanya, SMA tersebut jauh dari kata, "Favorit." Alasan mendasarnya adalah sebab fasilitasnya yang kurang layak, juga jarangnya murid yang berprestasi di SMA tersebut. Namun SMA seperti ini masih tetap ada karena dibutuhkan bagi siswa dengan nilai - nilai rendah, jelas saja kualitas pemberian materi di SMA itu tidak sebagus dan serinci SMA pada umumnya. Setelah Hilman berpanjang lebar menceeritakan tentang SMA itu, Hakim langsung percaya dan kembali mengindahkan arti kata, "Sahabat."
Hakim dan Hilman benar - benar menikmati masa remaja mereka dengan penuh suka ria. Berbeda dengan murid lain yang mulai fokus untuk meningkatkan nilai saat naik ke kelas tiga, Hakim dan Hilman masih meneruskan kebiasaan membolosnya. Hal ini membuat guru killer sekalipun menjadi malas untuk menanyai kehadirannya. BK di sana bukannya tidak mau tau tentang murid yang tidak disiplin, hanya saja kepala sekolahnya bahkan tidak terlalu memedulikan kata, "Tidak naik kelas."
Tidak ada yang namanya, "Keabadian," di dunia ini, setidaknya hal inilah yang dialami oleh Hakim. Mereka memang sudah berhasil masuk ke SMA dan terus melakukan bolos pelajaran bersama - sama. Akan tetapi saat pembagian rapot, nilai Hilman jauh lebih bagus dari Hakim dan bahkan masuk peringkat sepuluh besar di kelasnya. Sekalipun di semester selanjutnya Hakim benar - benar megikuti jejak Hilman sampai rumahnya, ia tetap saja bermain bersama dan tidak terlihat sedikit pun kata, "Rajin," ada pada diri Hilman. Sedikit berbeda dari sebelumnya, kini Hilman bahkan masuk peringkat tiga besar di kelasnya.
Hingga pada suatu malam Minggu, Hakim hendak pergi ke pasar malam. Di tengah ia melewati Sekolahnya, ia melihat lampu di ruang kepala sekolah masih menyala. Rasa penasaran membumbung tinggi, ia pun hendak mendekat agar bisa mengintip lewat jendela. Namun setelah Hakim melewati outdoor AC, rasanya ia ingin sekedar berdiam di dekat situ, dikarenakan ia dapat menguping obrolan yang ada di dalam ruang kepala sekolah. Perasaannya mulai tidak enak, dalam hati ia berkata, "Sepertinya ini adalah topik tentang penyogokan, namun suara yang berbicara kepada bapak kepala sekolah… rasanya tidak asing." Disaat itu juga Hakim bergegas menyalakan perekam suara dari HPnya.
"Bagaimana? Apakah itu cukup?"
"Waduh… bakal sulit sih ini."
"Ta-tapi itu kan sudah sama seperti sebelumnya."
"Kalau mau yang lebih enak lagi, kamu bukan hanya butuh nilai yang bagus tapi juga bertingkat."
"Ini kan juga sudah saya lebihkan."
"Saya sarankan untuk membawa lebih banyak lagi."
"Cukup, intinya bawa saja dulu yang itu. Beberapa bulan ke depan saya akan datang lagi, pegang saja omogan saya."
"Hoho, baiklah… saya sangat menantikan itu, semoga rejeki anda terus mengalir."
"Saya permisi dulu."
"Silahkan."
Setelah mendengarkan kalimat perpisahan itu, sontak Hakim yang terkejut segera mencari cara untuk bersembunyi. Perlahan ia melihat sekitar, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk benar - benar bersembunyi di balik tong sampah. Ternyata Hakim memang tidak salah mengira kalau ternyata Hilman lah orang yang baru saja berbincang dengan bapak kepala sekolah, tapi tujuan utama Hakim saat ini bukanlah tentang memarahi temannya karena telah mengkhianati persahabatan mereka, melainkan Hakim berkeinginan kuat untuk menyadarkan bapak kepala sekolah akan perbuatan yang baru saja dilakukannya.
Hakim dengan tegak berjalan masuk setelah Hilman menjauh dari Sekolahnya, di hadapan bapak kepala sekolah ia memberi tau kalau ia sudah merekam semua dialog yang dilakukannya tadi. Seakan karma kini tengah menimpa Hakim yang dulunya tidak pernah mendengarkan nasihat guru SMPnya untuk tidak bolos pelajaran, kini bapak kepala sekolah yang diajaknya bicara ternyata memiliki sifat kolot. Seperti tiada pilihan lain, satu - satunya cara untuk dapat menyelamatkan diri bapak kepala sekolah adalah dengan membungkam muridnya, ia langsung berlari mendekat lalu mencekiknya agar Hakim berhenti bicara. Tapi nahasnya, hal tersebut malah berujung kematian karena Hakim terlanjur kehabisan nafas. Kebingungan, bapak kepala sekolah langsung menggendongnya dan memasukkan mayatnya ke dalam loker tua berkarat yang terbengkalai di halaman belakang sekolah.
Hari Senin tiba, semuanya masih berjalan normal. Hakim memang sudah meninggal, seakan keberadaannya sudah dihapuskan, tiada satu orang pun yang mengingat keberadaannya. Bahkan seluruh foto yang mengandung kehadiran Hakim, seluruhnya telah menghilang secara misterius. Bisa jadi ini disebabkan mayat Hakim yang tidak dikuburkan dengan benar.
Kejanggalan yang sebenarnya baru dapat dirasakan ketika malam telah tiba. Untungnya, semua siswa telah dipaksa pulang cepat karena besoknya akan diliburkan sebab ada kepentingan rapat guru. Bertepatan saat matahari telah terbenam, bapak kepala sekolah keluar dari ruangannya. Ia terkaget sampai - sampai melepaskan kunci ruangan yang dipegangnya, hal ini disebabkan dinding beton yang dilihatnya perlahan berubah menjadi kayu lapuk, lama - kelamaan merambat hingga bangunan sekolah sepenuhnya menjadi bangunan tua yang hendak roboh. Lantas bapak kepala sekolah langsung berlari tunggang - langgang menuju mobilnya. Sebaliknya, satpam yang mengetahui hal tersebut malah masuk ke dalam sekolah untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Keesokan harinya memang keadaan sekolah kembali normal. Namun sayangnya, keesokan harinya sang satpam pemberani tersebut sudah menghilang bak ditelan bumi. Sejak kejadian itu, bapak kepala sekolah dengan tegas menyatakan peraturan baru bahwa, seluruh siswa diharuskan segera meninggalkan sekolah setengah jam sebelum matahari terbenam. Jika melanggar, maka akan mendapatkan sanksi yang berat.
Peraturan tersebut sangatlah dipatuhi, tentunya setelah ada total tiga kasus murid yang menghilang sebab berani melanggarnya. Sekalipun bukti kalau sanksi berat itu benar - benar ada dan berhasil membuat banyak siswa ketakutan. Akan tetapi seorang siswa bernama Felix tidak terlalu memedulikan hal tersebut.
Suatu hari, sesampainya Felix di rumah, ia mengecek isi tasnya. Setelah beberapa saat, ia baru menyadari kalau buku paket biologinya telah hilang. Ia lantas berjalan mengelilingi rumahnya sembari mencoba mengingat kembali jejaknya sejak pagi, tidak lama kemudian ia pun teringat kalau buku paketnya ternyata tertinggal di kolom mejanya, ia pun langsung memutuskan untuk kembali lagi ke sekolahnya hanya untuk mengambil barangnya yang tertinggal. Felix bukanlah tipe orang yang suka menunda - nunda pekerjaan, karena itu ia ingin sesegera mungkin menyelesaikan PR yang baru saja diberikan gurunya hari ini.
Di tengah perjalanannya, ia sudah diperingati oleh tukang parkir kalau hari sudah hampir gelap, namun Felix tidak mendengarkan dan terus fokus pada tujuannya. Merasa diacuhkan, tukang parkir itu langsung menutup tempat parkirnya dengan palang. Tanpa memedulikan motor Felix, ia pun langsung pulang. Terpaksa Felix memarkirkan motornya di depan gerbang sekolah dekat pos satpam. Sebelum Felix melewati gerbang, ia mendengar suara yang entah dari mana asalnya, "Kau yakin ingin masuk ke dalam sekolah?"
"Tentu saja aku yakin," jawab Felix dengan sungguh - sungguh.
"Sepenting itukah nilai bagimu?"
"Tidak, hanya saja aku ingin tetap pada sifatku… disiplin."
Dirasa sudah tidak ada lagi suara yang mengganggunya, Felix pun lajut berjalan masuk ke dalam sekolah. Sesampainya di lantai tiga, ia bergegas menuju kelasnya. Di sana ia berhasil menemukan buku paket biologi yang dicarinya. Akan tetapi saat ia hendak keluar kelas, terlihat dari jendela kelas kalau bapak kepala sekolah sedang melakukan pengecekan di berbagai ruangan, memastikan kalau tidak ada lagi siswa yang melanggar peraturannya. Tanpa pikir panjang, Felix langsung berjalan ke bangku belakang dan berbaring di lantai. Benar saja, hal sesimpel itu bisa mengelabui mata bapak kepala sekolah yang sudah tua. Setelah keadaan aman, ia pun kembali berdiri dan hendak pulang ke rumah.
Namun saat ia keluar kelas, seketika bangunan sekolah lagi - lagi secara perlahan berubah menjadi bangunan tua. Merasa ada yang aneh di sekitar sini, Felix pun mencoba untuk mencubit pipinya sendiri agar ia bisa terbangun dari mimpi buruk. Percuma saja, keadaan yang tengah dialaminya saat ini adalah realita, dari pada menyakiti diri sendiri, Felix sadar kalau seharusnya ia mulai berlari agar bisa terhindar dari kejaran tengokrak hidup.
Selain Felix harus berlari, ia juga perlu memerhatikan jalan. Sebab dihadapannya selain ada banyak box kardus yang berserakan menghalangi jalan, lantai kayunya juga memiliki banyak lubang dengan ukuran yang berbeda - beda seakan siap membuat siapa saja yang melintasinya akan berakhir tersandung atau malah terjatuh dari ketinggian. Tiba - tiba Felix melihat secarik kertas yang tergeletak di jalan, entah mengapa hal itu sangat membuat Felix penasaran, ia pun mengambilnya. Di balik kertas itu tertulis, "Untuk seseorang yang telah menemukan kertas ini, segeralah meneriakkan kata tolong."
Tanpa berpikir panjang, Felix langsung berteriak sekeras - kerasnya sambil memejamkan mata. Tentu suara langkah kaki tengkorak masih terus mengikutinya, tapi Felix percaya kalau dirinya pasti akan selamat. Benar saja, dari arah belakangnya terdengar suara hantaman sekali, diikuti suara langkah tengkorang yang mendadak menghilang. Perlahan Felix membuka matanya juga menghadap ke belakang. Terlihatlah seorang pria dengan seragamnya yang berwarna hitam dengan pentungan di genggaman tangan kanannya, sosok sang satpam yang pernah diberitakan menghilang secara misterius kini menampakkan diri di hadapan Felix.
Mereka pun berkenalan, sang satpam mengatakan kalau namanya adalah Ernest, selama ini tugasnya berpindah dari yang awalnya menjaga gerbang sekolah menjadi pembasmi tengkorak hidup. Ia juga menceritakan kalau tengkorak hidup yang dipukulnya sampai tulang berulangnya lepas, tetap saja akan tersambung lagi secara perlahan. Lebih lanjut, Ernest menjelaskan kalau setiap malam tiba, sekolah ini akan berubah menjadi bangunan tua terbengkalai. Bagi siapa saja yang masih berada di dalam sekolah semalaman lalu tidak segera keluar sebelum matahari terbit, maka ia akan menjadi bagian penghuni tempat ini, artinya dia akan terjebak di dalam bangunan ini dan tidak akan bisa keluar lagi meski di malam selanjutnya ia berusaha untuk melewati gerbang sekolah.
Ia sendiri bahkan masih belum mengetahui alasan sekolahnya mendadak berubah menjadi tempat supranatural. Akan tetapi dirinya memang sengaja menetap di dalam sekolah itu untuk memastikan keselamatan seseorang yang mungkin saja masih berada di sekolah sampai malam hari, untuk itulah ia menyebarkan banyak kertas secara acak, berharap suatu waktu ada seseorang yang mengambilnya. Giliran Felix yang berbicara, Ernest terkejut kalau bapak kepala sekolah tiba - tiba membuat aturan baru seperti itu. Sang satpam berpikir kalau bapak kepala sekolah adalah orang sebenarnya yang menjadi dalang di balik semua kekacauan ini, "Mungkin ini adalah efek samping setelah melakukan semacam ritual keberuntungan, penambah rezeki atau apa pun itu."
Felix juga menceritakan tentang adanya tiga murid yang menghilang setelah melanggar peraturan tersebut, akan tetapi Ernest mengatakan kalau ia tidak pernah bertemu dengan mereka di sini. Felix berpikir sejenak dengan berjalan memutari tubuh sang satpam, terlihat tidak sopan memang, tapi beginilah kebiasaan Felix saat ia mencoba berpikir keras. Setelah lima putaran, ia lalu mengatakan, "Bisa jadi ketiga murid itu terus bersembunyi dari tengkorak hidup dan menolak untuk berteriak, mereka mungkin berpikir kalau itu adalah jebakan yang malah akan memancing lebih banyak tengkorak. Kalau begitu, bagaimana kalau kita mengelilingi sekolah untuk mencari mereka bertiga?" Ernest langsung setuju dan mereka pun memulai perjalanan.
Pertama, mereka berjalan menuju kantin yang berada di pojok sekolah. Di tengah perjalan, tiba - tiba mereka mendengar suara keras teriakan seseorang yang seperti sedang melakukan bela diri. Seketika Felix berlari mendekati suara itu, dari kejauhan terlihatlah di lorong yang gelap, ada anak kelas tiga yang tengah melindungi dirinya sendiri dari sekumpulan tengkorak hidup dengan tongkat pramuka yang digenggamnya. Ernest tidak ingin tinggal diam, lantas melesatlah ia untuk segera membereskan tengkorak yang tersisa. Setelah semua tengkoraknya berhasil dikalahkan, anak pramuka itu menyuruh Felix yang terdiam agar ikut membantunya dengan cara membuangkan kerangka tengkorak yang berserakan ke tempat yang berbeda.
Anak pramuka itu mengenalkan dirinya sebagai Candra, ia adalah mantan ketua pramuka tahun lalu. Candra bisa terjebak di sekolah ini dikarenakan hal konyol, yaitu ia dikunci di dalam gudang oleh seseorang secara tidak sengaja pada saat ia hendak mengambil peralatan kemahnya yang tertinggal. Mungin ini juga merupakan kesalahan Candra sendiri, sebab ia terlalu lama di dalam gudang dengan pintu yang tertutup saat menjelang malam, sehingga pasti tidak ada orang yang kepikiran kalau sedang ada orang di dalamnya, ditambah lagi gudangnya kedap suara, sehingga suara dari dalam tidak akan terdengar di luar. Candra yang saat itu baru sadar dengan kondisinya, ia pun terpikir untuk menghubungi temannya, sayangnya di dalam gudang juga tidak ada sinyal internet. Disitulah tembok sekolah mulai berubah bentuk, Candra lantas mengambil benda di gudang yang sekiranya bisa untuk menghancurkan temboknya, namun karena dobrakannya yang terlalu kuat, hal tersebut juga berpengaruh pada kayu yang diinjaknya, tak disangka ia malah terjatuh dari lantai dua. Akan tetapi dikarenakan kakinya cidera, ia pun tidak bisa mencari jalan keluar dan berakhir terjebak semalaman di sekolahnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tengkorak hidup yang berkeliaran di sekeliling sekolah adalah tengkorak yang biasanya dipakai untuk praktik biologi, tapi dikarenakan kekuatan supranatural yang entah dari mana asalnya, tengkorak - tengkorak itu pun bisa bergerak dan menyerang manusia yang dilihatnya. Jumlah tengkorak di sekolah ini memanglah banyak. Sebab konon katanya, sekolah ini sengaja dijadikan tempat pembuangan barang bekas dari sekolah lain, agar sekolah murahan ini setidaknya memiliki fasilitas yang setara dengan sekolah pada umumnya, meskipun bekas. Candra juga menceritakan, kalau ia pernah melihat tengkorak yang sudah dikalahkannya, tiba - tiba bangkit dengan cara yang ajaib. Rangka - rangka tengkorak yang sudah jatuh berserakan, secara perlahan saling mendekat dan tersambung kembali. Sebab itulah, kini Candra menyuruh Felix untuk membuang kerangkanya ke tempat yang berbeda, dengan jaraknya yang saling berjauhan, sudah dipastikan kalau tengkorak yang baru saja dikalahkannya tidak akan bisa bangkit lagi dalam waktu yang dekat
Setelah semuanya beres, mereka pun mengikuti saran Candra untuk lanjut berjalan ke lantai dua belakang sekolah, lebih tepatnya menuju ruang musik. Candra mengatakan kalau akhir - akhir ini ia sering mendengarkan melodi yang mengalir begitu indah, akan tetapi ia begitu malas sehingga tidak mengecek sumbernya, "Jujur, awalnya kupikir hanya aku sendiri yang berada di bangunan terkutuk ini, hingga ada suara musik yang terdengar setiap berapa jam sekali. Melodinya yang begitu indah dan menengkan, memang berhasil membuatku penasaran. Tetapi saat kucari, selalu saja terlihat ada banyak tengkorak yang seperti berbaris di sepanjang koridor. Tentu aku tidak ingin membuang - buang tenaga untuk hal yang konyol, jadi aku tidak lagi tertarik untuk mendekatinya. Selama aku bisa mendengarkan piano yang dimainkannya, aku akan tetap merasa tenang disini," ucap Candra.
"Apa kau tidak pernah berpikir tentang nasib orang yang memainkan piano tersebut?" tanya Ernest dengan wajah marah.
"Untuk apa khawatir? Toh, dia masih bisa memainkan lagu lagi di jam - jam berikutnya, itu tandanya dia berada di tempat yang aman."
"Setidaknya sapa lah dia, kau kan bisa bertarung dengan banyak tengkorak hanya berbekal tongkat pramuka itu," sindir Felix.
"Sungguh malas, lagi pula aku juga tidak akan mengikuti kalian sampai sini kalau bukan karena dari tadi kau menggerutu tentang cara membebaskan kutukan."
"Ehehe… makasih, dah mau bantu kami buat nyelesein masalah ini," kata Felix sambil cengar - cengir.
"Ga masalah, lagi pula aku juga pengen pulang."
Baru saja Candra menyelesaikan kalimatnya, tiba - tiba terdengarlah suara piano. Dengan cepat mereka semua berlari mengikuti sumber suaranya. Namun tak disangka, seperti kata Candra sebelumnya, bersamaan dengan dimulainya melodi lagu dimainkan, sekumpulan tengkorak seketika berkumpul memenuhi lorong yang menuju ke arah ruang musik. Tanpa basa - basi, Ernest memberanikan dirinya untuk menerjang daerah tersebut, Candra yang merasa senang sebab ada orang lain disisinya pun merasa tidak ingin kalah dalam menghabisi semua tengkorak hidup itu. Sesuai namanya, Felix artinya beruntung dalam bahasa latin, ia memang tidak bisa bertarung, akan tetapi ada orang lain yang bersedia membantunya secara cuma - cuma.
Setelah semua tengkoraknya berhasil dikalahkan, Felix langsung melemparkan kepala tengkorak jatuh ke lantai satu sehingga membuatnya retak. Tengkorak hidup memang masih terus bermunculan, meski begitu Candra tetap menyuruh Ernest untuk masuk duluan ke ruang musik. Menganggap Candra memanglah sosok yang kuat, Ernest langsung mengikuti perintahnya. Ia pun mendobrak pintu ruang musik yang ada di hadapannya, seketika itu membuat orang yang ada di dalam ruangan tersebut kaget dan menghentikan permainannya, Ernest lantas berteriak, "Keluarlah, kami akan menyelamatkanmu dari malam tak berujung ini!"
"Apa kau yakin kalau ada jalan keluar dari mimpi buruk ini?" jawab si pemain piano.
"Ada… pasti ada, kita akan segera menghapus kutukannya malam ini juga, karena itu… segeralah keluar!"
"Percuma saja, orang yang tidak pergi dari sekolah ini saat malam pertama, maka ia akan terjebak disini untuk selamanya."
"Aku sudah tau hal itu, karenanya mari kita hapuskan kutukannya agar kita bisa keluar bersama!"
"Keluar bersama? Huh… aku jadi teringat dengan kejadian itu, malam dimana sang wakil ketua OSIS membantu anak yang akan mengikuti olimpiade untuk keluar dari sekolah ini. Sayangnya sang wakil ketua OSIS itu tidak bisa keluar, akan tetapi tanpa rasa bersalah si anak kelas prestasi itu tetap keluar sendiri dengan penuh suka ria."
Keadaan seketika menjadi hening, Ernest tidak tau harus berkata apa. Felix pun perlahan berjalan masuk ke ruang musik, "Berbeda, ini memanglah malam pertamaku, akan tetapi aku tidak ingin sekedar bisa keluar dari sini dengan selamat. Aku ingin… semuanya juga bisa keluar dengan selamat! Karena itu, mohon kerja samanya!" ucap Felix sembari membungkukkan punggungnya.
Dikarenakan masih tidak ada tanggapan dari si pemain piano, Candra menjadi kesal, "Dasar bodoh! Cepatlah keluar! Banyak tengkorak hidup disini, kau pikir aku akan terus - terusan melindungi orang bodoh sepertimu!"
Seketika itu si pemain piano mengeluarkan suara, "Hah… kak Candra? Kenapa kakak juga bisa ada disini?"
"Heh… sudah kuduga, ternyata memang kau yang ada disitu, cepatlah! Kita harus segera pergi ke tempat yang lebih aman!" teriak Candra sambil tersenyum.
Si pemain piano itu akhirnya menunjukkan dirinya. Dipandu oleh Candra, mereka semua pun berhasil melarikan diri dari gerombolan tengkorak hidup yang seakan hendak mengepung. Untungnya sebelum itu bisa terjadi, mereka sudah mengamankan diri di ruang auditorium. Di situ pun mereka mulai bertengkar, "Dasar Ihsan bodoh! Jelas - jelas ayah ibu lagi khawatirin kamu siang malam tanpa henti, ni anak malah sibuk main piano terus!"
"Lha, lu pikir aku tau gitu? Lagi pula aku juga masih sibuk waktu itu!"
"Halah… sibuk kok tiba - tiba ga pulang, terus besoknya hilang tanpa jejak."
"Kak Candra sendiri juga ada disini, maksudnya apa?!"
"Yo jelas nyariin kamu toh, coba kalo kamu diem - diem baik di rumah, ga bakal kakak repot sampe segininya!"
Setelah mereka puas bertengkar, Candra pun menjelaskan kalau si pemain piano ini adalah adiknya yang masih kelas satu, namanya Ihsan. Sebenarnya Candra merasa khawatir saat ada kabar tentang adiknya yang menghilang secara misterius, sama halnya seperti sang satpam. Akibatnya, setiap Candra bersekolah, ia merasa seakan tidak fit. Hal itulah yang membuatnya tepar setelah terjatuh dari lantai dua, "Padahal kak Candra yang sebenarnya tidaklah selemah itu, aku yakin! Dulu saat aku dipalak oleh gangster, kak Candra langsung datang untuk menolongku. Sekalipun ia sendirian melawan lima berandalan, ia sama sekali tidak gentar. Meskipun luka mengujur di seluruh tubuhnya sebab sayatan celurit, akan tetapi ia masih bisa berdiri dengan tegak," kata Ihsan sambil cemberut.
Keadaan pun menjadi hening sejenak sampai Ernest mulai mencairkan suasana, "Sekarang sudah ada empat orang disini, kira - kira kurang berapa orang lagi ya… orang yang harus dicari di sekolah terkutuk ini?"
Dengan cepat Ihsan langusng menyaut, "Satu! Kurang satu lagi… Johni, si wakil ketua OSIS!"
"Johni? Apa kau tau dimana dia berada?" tanya Felix.
"Setelah kejadian malam itu, seingatku dia berjalan ke arah ruang guru."
"Dia kan wakil OSIS, mungkin saja dia mengurung diri di dalam ruang OSIS," ucap Ernest.
"Tapi kenapa… orang - orang selalu mengunci dirinya pada satu ruangan saja?" tanya Candra.
"Disini kan kita tidak bisa merasakan lapar maupun haus, ditambah lagi para tengkorak hidup itu tidak punya cukup tenaga untuk mendobrak maupun menghancurkan pintu, itulah sebabnya kami memasrahkan diri dengan berdiam pada satu ruangan."
Felix yang tercengang akan penjelasan Ihsan segera memimpin jalan menuju ruang OSIS. Anehnya, pintu ruang guru terkunci dan tidak bisa terbuka. Candra berspekulasi kalau Johni ingin memiliki tempat persembunyian yang luas, sehingga ia benar - benar menjaga satu bangunan ini dengan menguncinya, mengingat kalau ruang OSIS berada di dalam ruang guru, sedangkan ruang guru sendiri berada di bangunan yang terpisah dengan kelas - kelas lain, hal ini dikarenakan ruang guru memiliki kualitas tembok yang lebih bagus dibandingkan bangunan lain di sekolah ini.
Seketika Candra terpikir untuk mengambil alat yang pernah digunakannya untuk membuka pintu gudang. Ia pun segera berlari tanpa pamit, hal itu membuat adiknya merasa resah. Untungya Ernest berhasil memegang tangan Ihsan yang ingin ikut bersama Candra, "Tenang saja, kakakmu itu tidak akan melakukan hal yang dapat membahayakan keselamatannya," ucap Ernest yang berusaha meyakinkannya.
Felix kehabisan ide, ia malah melakukan hal konyol seperti berusaha mendobrak tembok kayu yang lebih kuat itu hanya dengan menggunakan bahunya. Ernest juga tidak dapat berbuat apa - apa, ia bahkan sadar kalau tongkat satpamnya yang tumpul tidak mungkin dapat merusak kayu tersebut.
Tak perlu waktu lama, Candra pun kembali dengan membawa sabit yang sebelumnya pernah ia pakai untuk mendobrak pintu gudang. Sayangnya dikarenakan Candra sudah merasa capek, ia pun berbaring sejenak di teras ruang guru. Agar tidak membuang banyak waktu, Ernest segera mengambil sabit yang dibawakan Candra untuk menghancurkan tembok kayu. Saat lubang mulai terbentuk, tiba - tiba terlihat ada bayangan yang melintas dari dalam ruang guru. Bersamaan dengan suara, "Hentikan!" Johni si wakil ketua OSIS segera membukakan pintu ruang guru yang dikuncinya.
Tanpa basa - basi, Felix segera mengatakan tentang tujuannya untuk membebaskan sekolahnya dari kutukan. Johni paham akan perasaan Felix, tapi ia menanyai, "Lalu, bagaimana caramu untuk menghilangkan kutukan ini?"
"Setiap kutukan pasti ada penyebabnya!" kata Felix.
"Masa lalu ya…."
"Anu… apa Kak Johni tau tentang sejarah sekolah ini?"
"Lucu sekali, dari pada bertanya kepadaku, kenapa kau tidak tanyakan saja itu pada satpam?"
"Oiya, benar juga… Pak Ernest?"
"Entahlah… aku tidak yakin, seingatku waktu pertama kali ada kejadian seperti ini adalah… malam hari, saat ada seorang siswa yang entah sedang berkonsultasi atau negosiasi bersama bapak kepala sekolah," jawab Ernest.
"Mencurigakan…," sela Candra.
"Hoh… kau juga berpikir seperti itu?" tanya Johni.
"Apa lagi kalau bukan begitu?"
"Masuk akal, pasti ada orang lain yang tidak terima sehingga ia melontarkan kutukan pada sekolah ini."
"Ada yang punya nomor bapak kepala sekolah?!" teriak Candra.
Dikarenakan tidak ada yang menjawab, mereka pun bergegas menuju ruang kepala sekolah. Tidak jauh berbeda dengan ruang guru, tembok kayu pada ruang kepala sekolah ini juga tidak kalah tebalnya. Ditambah lagi kaca yang ada juga ikut berubah jadi kayu, sehingga satu - satunya cara untuk mendobraknya masuk adalah dengan melubangi kayunya dengan sabit yang diambil Candra. Sabit ini bisa ada di gudang sebab biasa digunakan untuk kerja bakti, lebih tepatnya saat bagian memotong rumput liar.
Hampir memakan waktu satu jam, meskipun lubang yang dibuat memanglah kecil, akan tetapi setidaknya muat bagi Felix. Merangkak masuk ke dalam, hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah meja kepala sekolah. Benar saja, ia menemukan kartu pengenal bapak kepala sekolah yang tertinggal, untungnya di situ juga tertulis nomor teleponnya. Felix segera menyalakan ponselnya untuk menelpon bapak kepala sekolah, "Permisi… maaf mengganggu waktunya, saya Felix dari kelas satu ingin berbincang empat mata dengan bapak."
"Hah… ada apa?"
"Bisa bapak datang ke sekolah sekarang?"
"Lho, bukannya saya sudah larang biar ga ada yang di sekolah saat malam hari?"
"Memang, tapi kalau bapak tetap menolak untuk datang ke sekolah sekarang, maka saya akan segera memanggil polisi agar mereka bisa meringkus semua kejahatan yang telah bapak lakukan selama ini."
Merasa terpojok, bapak kepala sekolah terpaksa mengikuti perintah Felix, "I-iya iya, sudah… bapak segera OTW, tolong jangan panggil polisi."
"Terima kasih atas kerja samanya, saya tunggu di depan ruangan bapak," ucap Felix sebelum menutup telponnya.
Puas menunggu setengah jam, akhirnya bapak kepala sekolah tiba di depan gerbang. Seakan takut untuk masuk, sang bapak hanya bisa melambaikan tangannya dari kejauhan. Sontak Candra tersulut amarah, "Dasar kolot! Cepat kemari, sudah jelas kalau ini semua pasti akibat dari perbuatanmu!"
Seketika bapak kepala sekolah menjadi jengkel seusai mendengarkan kalimat yang tidak sopan dari mulut seorang murid. Lantas, tanpa pikir panjang bapak kepala sekolah langsung berlari mendekati Candra dengan kepalan tangan yang begitu kuat sampai membuat tubuhnya bergetar seakan hendak memukulnya. Namun, seketika itu kabut mendadak tebal menyelimuti sekumpulan orang yang berada di sekolah. Suara misterius yang sebelumnya terdengar saat Felix hendak melewati gerbang kembali terdengar, "Kau pikir sudah berapa lama aku menunggu momentum ini?"
Baru saja mendengar suara tersebut, bapak kepala sekolah mendadak sujud ketakutan sambil berkata, "Maaf… maafkan aku, saat itu aku tidak bermaksud seperti it-"
"Diam! Semua sudah terlambat, dasar tikus berdasi!"
Sebelum kabut menghilang, terdengar suara ledakan dari belakang sekolah. Diikuti oleh Felix, Ernest dengan sigap langsung berlari menuju sumber ledakan. Dikarenakan kabut tebal tersebut membuat Ihsan ketakutan setengah mati, ia pun kehilangan keseimbangan hingga terpleset tanpa sebab. Di luar dugaan, Ihsan secara tidak sengaja menduduki muka bapak kepala sekolah. Ihsan pun reflek untuk segera menjauh, apalagi setelah melihat mata bapak kepala sekolah yang melotot tajam. Merasa ada yang aneh, Candra mendekat lalu memeriksa detak jantung bapak kepala sekolah dengan tangan kanannya. Seperti yang diduganya, bapak kepala telah menghembuskan nafas terakhir bersamaan dengan menghilangnya kutukan sekolah ini.
Di sisi lain, Ernest menemukan mayat manusia yang tergeletak di tong sampah sampai sudah menjadi tulang berulang. Ernest memperirakan kalau orang inilah yang telah menjatuhkan kutukan bagi sekolah ini, kemudian jasadnya baru bisa tenang setelah ia berhasil membalaskan dendamnya kepada bapak kepala sekolah. Demi menghormatinya, Felix dan yang lainnya pun menguburkan jasadnya dengan pantas, yaitu di dalam tanah lengkap dengan taburan bunga dan batu nisan.
Sayangnya setelah keesokan hari kutukan di sekolah menghilang, seluruh orang yang terlibat dalam kejadian malam itu seketika lupa ingatan. Mereka sama sekali tidak bisa mengingat kejadian apa yang telah terjadi, bahkan sampai menganggap tidak pernah ada kejadian yang seperti itu. Hanya saja saat Felix, Ernest, Candra, Ihsan, dan Johni melihat batu nisan sang jasad, mereka merasa seakan ingin menangis tanpa tau sebabnya. Sekolah kembali damai juga peraturan yang tidak memperbolehkan siswa bermalam di dalam sekolah pun mendadak tidak ada yang ingat dan menghilang begitu saja. Perwakilan dari WAKA pun dimusyawarahkan untuk menggantikan sementara posisi kepala sekolah yang sedang kosong.