"Hah.. haah haah"
hembusan nafas kasar disertai deru nafas kencang. Hidung yang tak kunjung mendapat cukup oksigen membuat nafas seorang pemuda tersengal-sengal seperti ikan yang terkapar di darat. pemuda yang berpakaian putih namun sudah menguning, lusuh dan kusut itu memiliki bibir yang mengering dan pecah-pecah. Ini menjadi pertanda bahwa pemuda itu tak mendapatkan cukup air untuk sekedar mengolesi bibirnya yang kering .
Ia menutup mata nya dan alis yang tidak mengerut walau sang tubuh sudah meraung-raung meminta istirahat tak juga menggoyahkan pemuda itu yang kini sedang berlutut dan menangkupkan kedua telapak tangannya dan memposisikan tangan itu didepan wajah yang menunduk. Ekspresi wajah yang sangat khusyuk membuat pemuda itu semakin jatuh lebih dalam pada doanya. karena terlalu khusyuk, pemuda itu tak sadar bahwa dirinya sudah pada ambang batas kematian.
tangan itu didekatkan ke arah bibirnya yang mengering dan berisi bercak-bercak darah karena kulit luar bibirnya terkelupas dengan parah. Doa panjang yang selalu ia keluarkan walau suara sudah serak dan habis tak membuat pemuda itu goyah sedikit pun.
"wahai dewa matahari yang mulia dan terkasih, bawalah dombamu yang malang ini kesisi mu yang mulia dan bersinar. bawalah dombamu ini ke tempat paling terbaik di sisimu. Terangkan lah jalanku untuk menuju ke sisimu. Amin."
sudah berkali kali ia melontarkan kalimat itu, dan sudah berkali kali ia mengaminkan doanya yang tak kunjung di kabulkan. sudah 3 hari lamanya ia berada dalam posisi itu tanpa beranjak sedikitpun walau hanya untuk mengisi perutnya yang lapar dan tenggorokannya meradang.
sejauh mata memandang, hanya terlihat tanah yang kering dan tandus tanpa ditumbuhi satu pun tanaman hijau. Angin kencang yang saling bersautan disertai teriknya matahari yang memancarkan cahaya serta panasnya yang membara.