Chereads / Soul Crystal - The False Crystal / Chapter 2 - Herben Shua

Chapter 2 - Herben Shua

Kupikir, kami telah tewas karena kecelakaan bus tadi, momen itu sangat mengerikan hingga tidak bisa kulupakan. Bagaimana nasib mereka ya, kami tadi sempat bersama tetapi sekarang terpisah. Tidak ada satupun dari kami yang membahas mengenai kecelakaan itu, aku rasa mereka tidak ingin mengingat pengalaman mengerikan itu.

Dalam keadaanku yang terus turun ke bawah dengan kecepatan yang sedang, aku berusaha mengingat masa laluku, tetapi perasaan ingin pulang semakin memudar ketika mengingatnya. Meskipun aku mengingat orang tuaku yang khawatir, perasaanku tidak berubah, aku tidak ingin kembali.

Makhluk serba putih itupun datang setelah cukup lama membuangku ke sini. Tanpa menunggu dia turun dari atas dan berada di posisi yang sama denganku, aku langsung bertanya mengenai teman-teman yang lain, bagaimana keadaan mereka. Makhluk ini menjawab bahwa teman-temanku sangat baik-baik saja.

Di bawahku tidak ada apa apa, hanya ujung yang putih, mungkin sedikit abu-abu karena tidak terlalu terang. Makhluk yang sudah sejajar posisinya denganku, menawarkan sebuah kekuatan yang aku sendiri mencurigai tentang kekuatan itu.

"Pilihlah, Herben Shua, kau satu satunya manusia terpilih yang mendapatkan kekuatan ini." Dia menjulurkan tangan kanan dan memperlihatkan telapak tangannya yang putih tanpa apapun di atasnya.

"Aku satu-satunya yang terpilih? Hanya aku?" Tanyaku tak percaya.

"Ya, hanya kau seorang yang mendapatkan kekuatan ini." Dia menunjukkan senyum meyakinkan.

"Lalu bagaimana dengan yang lainnya?"

"Jangan memikirkan hal lain, kau adalah manusia yang spesial, jika kau mengkhawatirkan mereka, carilah saat kau turun nanti."

"Oke..."

Aku sulit untuk percaya dengannya, apa peranku di dunia yang akan aku datangi. Untuk sekarang aku akan memilih kemampuanku. Padahal dia hanya mengulurkan tangannya, tetapi banyak sekali informasi yang masuk ke kepalaku dan banyak icon yang bertebaran di sekitarku. Saat aku memusatkan pandanganku ke suatu icon, icon itu memberikanku informasi tentang kekuatan dan juga efek sampingnya. Aku bingung memilih kemampuan dan kekurangan yang cocok denganku. Andai saja aku bisa memilih efek samping yang tidak terikat dengan kemampuannya, ini akan mudah. Tetapi, keuntungan dan kerugiannya jadi satu paket.

Aku mencoba bertanya mengenai peranku, sambil mencari kemampuan yang cocok dengan kerugian yang mudah diatasi. "Heii... apa tujuanku berada di dunia yang akan aku datangi?"

"White, panggil saja White. Kupikir tadi aku sudah memperkenalkan diriku."

"..." Aku tak menanggapinya dan terus mencari kemampuan.

"Kal- kau akan dipanggil oleh kerajaan, mereka memiliki sihir untuk memanggil pahlawan. Terserah bagaimana kau menjawab panggilan mereka, itu adalah hakmu untuk mengikuti permintaan mereka atau mengabaikannya." Lanjut White sambil mengarahkan punggungnya yang putih padaku dan melipat tangannya di dada.

"Terserah padaku ya..." Gumamku.

Beberapa saat kemudian, aku menemukan kekuatan yang cocok denganku, kerugiannya juga pasti bisa kuatasi. Ini akan mudah.

"Sudah kutemukan." Tegasku.

"Sekarang pilihlah."

"Aku sudah memilihnya."

"Baik, baik."

Dia berbalik dan menjulurkan tangannya seperti tadi. Perlahan, sebuah cahaya muncul di atas telapak tangannya, cahaya keemasan, mungkin itu adalah pancaran dari kekuatan yang aku pilih. Cahayanya, indah, atau mungkin itu hanya mataku saja. Kemudian terbentuklah kristal yang ditengahnya berwarna merah dan di sekitarnya ada cahaya keemasan yang menyelimutinya, seperti matahari. Kristal itu datang kepadaku dan melayang di depan dadaku. Akupun mengambilnya.

"Simpanlah Soul Crystal itu di tempat yang menurutmu aman." Usul White.

Tempat yang aman, aku tidak bisa menemukan satupun tempat yang aman di pakaianku, kecuali di "sana", tetapi aku tidak akan menaruhnya di sana, mungkin saja ada efek samping yang tidak dia katakan. Aku pernah melihat orang-orang di film mengenakan kalung yang gantungan atau takliknya berupa liontin ataupun mutiara. Kupikir lebih baik aku kalungkan saja.

"Kalung." Sebutku.

White hanya melihatku dan tidak berkata apa-apa. Soul Crystal ini mengeluarkan sebuah rantai keemasan juga, dan mulai memanjang, melingkar ke leherku. Tapi kristal ini terlalu besar untuk aku sembunyikan. Setelah aku berpikir seperti itu, kristalnya pun ikutan berubah bentuk, mengecil hingga seukuran satu ruas jari. Ini sangat praktis sekali. Aku mencoba memikirkan berbagai bentuk hingga bentuk atom, tetapi tidak berubah sedikitpun. Sepertinya dia hanya berubah hingga sekecil ini saja, tidak lebih.

"Itu mengecil sendiri untuk menghemat ruang, karena kau akan kesulitan karenanya jika dia menggelantung dalam bentuk yang cukup besar." Jelas White.

Ternyata begitu, kupikir karena kristalnya membaca isi kepalaku. Jadi aku hanya membalas ke White dengan singkat, "Ohh..."

Semakin lama, tanpa kusadari, tatapan White semakin terasa merendahkan. Seolah-olah dia berada di atas, dan ternyata memang benar. Aku turun, semakin lama semakin cepat seperti terjun dari pesawat terbang. Aku tidak bisa menahannya, bukan karena takut ketinggian, tetapi kecepatannya sangat gila. Pikiranku dipenuhi rasa takut, seluruh organku terasa ditarik sangat kuat ke atas, dan pandanganku mulai buram, padahal sejak awal hanya warna putih di sekitarku tapi sekarang aku merasa ingin pingsan. Mual mulai terasa, tapi tidak ada yang ingin keluar melalui tenggorokanku. Keringatku sudah bertebaran dan melayang ke atas, berlawanan dengan arah jatuh. Aku tak kuat, tak sanggup, detak jantungku sangat kencang, aku tau karena aku mendengarnya. Suara angin semakin kuat dan perlahan hilang bersamaan dengan penglihatanku, yang aku rasakan hanyalah detak jantung, yang aku dengar hanyalah detak jantung, detak jantung yang menggema di rongga dadaku. Tak lama kemudian, tubuhku rileks dan aku buka mataku untuk melihat sekitar. Bukanlah sambutan meriah yang aku dapatkan, melainkan orang orang berjubah dan ada hologram dengan warna yang berbeda di setiap orang berjubah itu. Hologram atau lingkaran sihir, aku tidak yakin.

Di bawahku ada sebuah lingkaran sihir, awalnya aku kira itu sebuah lingkaran dalam pemanggilan 'sesuatu'. Aku mengangkat kepalaku lagi dan melihat sekeliling, sepertinya mereka terkejut dengan kehadiranku. Aku berusaha berdiri, mengangkat satu persatu kakiku dan tubuhku yang berat. Seseorang mendekat ke arahku, dia memakai jubah berwarna biru terang dan berambut keemasan. Melihat rambutnya, aku seketika memeriksa sesuatu yang ada di dadaku, soul crystal. Benda itu masih ada, mataku kembali ke arah seseorang di depanku. Dia menaruh telapak tangan kanannya di depan dadanya dan sedikit membukuk, mungkin itu adalah salam formal di tempat ini atau memberi hormat.

"Selamat datang, sang pahlawan. Maaf jika kami memanggilmu tiba-tiba, tolong ampunilah perbuatan kami yang seenaknya. Mungkin anda memiliki banyak pertanyaan, tapi bisakah anda ikut denganku ke tempat yang lebih baik?"

Orang itu menyambutku dengan hangat, kukira aku akan mendapatkan tatapan yang mengerikan karena orang di sekitarnya menutup wajah mereka di balik bayang-bayang jubah mereka. Aku memang memiliki banyak pertanyaan, tapi aku bisa bersabar hingga mendapat suasana yang bagus.

Aku dibawa melewati lorong yang besar, dengan dinding bebatuan dan pilar yang dihiasi pencahayaan dari obor, tetapi terasa mencekam karena tidak ada cahaya matahari. Tempat ini seperti bangunan kerajaan di abad pertengahan, aku juga tidak tau bagaimana bangunan kerajaan yang sebenarnya. Lantainya sendiri dilapisi oleh karpet hitam, tetapi itu berakhir di pertigaan yang tengahnya ada altar. Kami mengarah ke kanan. Lorong di sini cukup cerah dibandingkan sebelumnya, karena ada cahaya yang masuk melalui jendela. Aku baru sadar kalau kami tidak berdua saja, melainkan ada beberapa pelayan yang mengikuti di belakang. Pelayan-pelayan itu adalah wanita semua, tetapi aku tidak bisa melihat wajah mereka karena tertutup kain. Apa ada peraturan yang membuat mereka menutupi identitas mereka? Pertanyaanku bertambah.

Pertanyaanku tak bisa dibendung lagi, jadi aku coba tanya satu pertanyaan. "E... Oh iya, lingkaran warna warni yang ada di depan dada mereka tadi, apakah itu lingkaran sihir juga?"

Dia menoleh padaku sedikit, "Ya, pemanggilan pahlawan butuh banyak energi dan kami menggunakan energi dari berbagai elemen agar bisa memanggil pahlawan dengan kekuatan yang tinggi dan mungkin saja pahlawan itu bisa menggunakan elemen dari energi yang kami korbankan."

"Maaf, sepertinya aku tidak sesuai dengan kriteria itu." Aku menggosok leherku, merasa tidak enak.

"Bagiku tidak masalah, karena pemanggilan pahlawan sendiri sangat sulit dilakukan dan kemungkinan berhasil cukup kecil."

"Jadi, siapapun pahlawan yang kamu panggil, kamu tidak masalah?"

"Ya, mungkin."

Setelah sedikit bertanya-tanya, aku mulai melihat sekitar lagi dan semakin risih dengan keberadaan pelayan yang tidak menampilkan wajahnya di belakang kami. Mereka seperti menyebarkan aura keburukan. Jadi aku sangat waspada dengan sesuatu di belakangku. Aku berusaha untuk menyembunyikan keraguan dan kekhawatiranku.

Lorong-lorong panjang ini sudah cukup jauh kami lewati, aku harap kami segera sampai di ruang yang dimaksud. Aku masih belum mengetahui nama orang di sampingku, tetapi rasanya tidak enak jika aku tidak memperkenalkan diriku lebih dulu dan kurang nyaman jika sedang berjalan dan diikuti seperti ini.

Di arah kiriku selalu ada jendela yang mengarah ke luar dan aku bisa dengan mudah melihat ke luar karena aku lebih tinggi daripada orang di sampingku.

Sekarang aku malah berpikir tentang kekuatanku. Pasti akan lebih cocok jika ada pedang, kekuatanku akan bisa digunakan dengan maksimal, seperti ksatria di film-film.

Saat aku membayangkan diriku menaiki kuda dan sedang asik dengan khayalanku, tiba-tiba pelayan di belakang menerkamku dan akan menggigitku, entah di mana tapi sepertinya di leher. Aku reflek membantingnya ke lantai dan orang di sebelahku menendang pelayan satu lagi yang berlari ke arah kami. Kami mulai berlari menjauh, tetapi orang di sebelahku mengusulkan untuk melumpuhkan mereka semua. Aku ingin pergi saja, tetapi niatku hilang setelah menabrak armor pajangan dan melihat ada pedang. Aku meminjam pedang itu dan mengarahkan ke pelayan yang mengejar. Mereka tidak berhenti, aku pun mencoba kekuatanku namun tidak ada yang terjadi. Aku berusaha memfokuskan pikiranku, aku genggam pedangnya dengan kedua tanganku dan menyebutnya sangat keras di dalam hati, "CAHAYA!" Seketika pedangku dilapisi oleh cahaya keemasan. Pelayan yang tadinya berlari sangat cepat, mulai melambat dan terdiam melihat pedang cahaya. Orang di sampingku tampak tidak terkejut, sepertinya ini hal yang biasa atau malah sesuatu yang rendahan.

Kulangkahkan kaki kananku kedepan, diikuti kaki kiriku. Aku berlari ke arah mereka dan mengayunkan pedangku lima kali untuk menebas lima targetku. Mereka terjatuh dan darah menodai karpet berwarna cerah di atas lantai.

"Tidak masalah, ayo pergi." Ajak orang yang sudah duluan berlari.

Aku mengikutinya dan kulihat jari jemariku gemetar memegang pedang yang penuh darah. Cahaya yang menyelimuti pedang juga sudah pudar dan menyisakan bekas darah yang kental. Biasanya pedang akan disarungkan jika tidak dipakai, tetapi aku tidak tau harus menyarungkannya di mana, jadi aku lempar ke sisi lorong. Sekarang kedua tanganku masih gemetar, ini pertama kalinya aku mengayunkan benda tajam melewati daging. Sejak lahir, aku belum pernah memotong sesuatu kecuali sayur atau buah.

Pintu besar mengadang di hadapan kami, pintu ini sangat mewah dan di belakang kami ada lorong yang terlihat megah. Sangat berbeda dengan lorong yang kami lewati sebelumnya. Aku kagum dengan orang di sebelahku yang napasnya masih teratur, sedangkan aku jelas sekali terlihat kelelahan.

Dia membuka pintunya, cukup aneh karena tidak ada penjaga di depan pintu ini, tetapi di dalam ruangan ini ada banyak sekali penjaga yang berbaris dan membuka kan jalan untuk orang-orang yang ingin lewat ke hadapan seseorang yang sedang duduk di singgasana.

Kami berjalan masuk, perlahan. Seseorang yang duduk di singgasana adalah raja dari negeri ini, pastinya. Siapapun akan tau kalau dia adalah penguasa negeri ini. Ada seseorang yang terlihat seperti penasehat atau malah perdana menteri, sedang berdiri di samping singgasananya. Orang-orang yang berdiri berbaris saling berhadapan di samping karpet merah ternyata adalah bangsawan, kukira itu adalah prajurit yang memakai baju mewah. Para prajurit atau penjaganya ada di belakang bangsawan itu. Ada juga uskup di antara para bangsawan dan kemungkinan ada anak-anak raja juga. Aku tidak melihat adanya ratu atau wanita yang layak dianggap ratu. Ditambah singgasananya hanya ada satu dan tidak ada kursi lainnya di sekitar raja.

Orang di sebelahku berlutut di hadapan raja, akupun mengikutinya. Dia juga menundukkan kepala, sedangkan aku kadang melihat ke arah raja dan kadang menunduk berulang kali, tapi sepertinya itu malah membuat para bangsawan melihatku dengan sinis.

"Yang Mulia, aku telah membawa sang pahlawan ke dunia ini dan menghadap kepadamu. Tolong terimalah apapun kelebihan dan kekurangannya." Orang di sebelahku gemetar dan berusaha menahan sesuatu di mulutnya, mungkin dia takut kalau mengatakan hal yang buruk.

Rasanya, aku seperti dipersembahkan, meskipun nyatanya tidak demikian.

"Kenapa, dia terluka?" Tanya yang mulia.

"I.. I-itu karena para pelayan menyerang kami, sepertinya mereka telah menjadi vampir." Nadanya terdengar jelas bahwa dia ketakutan.

"Semua itu adalah masalahmu, sekarang pergilah ke ruang ritual pemanggilan, pasti para pemanggil itu juga sudah menjadi vampir." Sang raja tak menunjukkan belas kasih sama sekali.

"Ba-baik, yang mulia."

Orang di sebelahku berdiri dan melihatku mengisyaratkan untuk pergi. Aku berdiri dan sedikit membungkuk seperti salam formal yang aku lihat saat pertama kali datang. Tapi itu sepertinya malah menjadi kesalahan terbesar, karena tatapan raja semakin mengintimidasi. Aku mempercepat langkahku dan menyusul orang di sebelahku tadi. Benar juga, aku harus mengetahui namanya.

Setelah keluar dari ruangan ini, pintu ditutup oleh penjaga yang ada di dalam. Aku menghela nafas lalu mencoba bertanya setelah memperkenalkan diri.

"Aku Herben Shua, ka-" Dia memotong kalimatku.

"Shihre Jeana, panggilanku Siana." Siana mempercepat langkahnya.

"Ah iya, kamu adalah perempuan." Aku baru menyadarinya saat dia menghadap raja, karena sebelum itu kurang jelas.

Tidak ada balasan darinya, apa dia marah ya.

"Vampir, kenapa mereka... tapi sebelum itu, apa kamu adalah orang yang dekat dengan raja?"

"Ya, aku adalah anaknya."

"Eh? Tapi dia, seakan tidak peduli denganmu."

"Itu sudah biasa, lagipula aku memiliki 17 saudara, yang berarti kehilangan satu peneruspun tidak akan berpengaruh apapun."

"Haaaa....!" Aku tidak sengaja berteriak. "Bukankah itu tidak berperasaan, ini em.. kamu kan anaknya, kenapa dia tidak menunjukkan kepeduliannya?"

"Tidak perlu mencampuri urusan pribadiku, yang perlu kamu lakukan hanya bertempur dengan kerajaan lain." Dia terlihat khawatir setelah mengatakan itu.

"Tapi kan... Huuhh...." Aku menenangkan diriku. "Kalau begitu, aku akan membantumu mendapatkan takhta."

"Mustahil, wanita hanya menjadi alat untuk berhubungan dengan negeri lain dan bisnis antar kerajaan. Yang lebih penting sekarang, apa kemampuanmu hanya itu?" Dia menatapku dengan tajam.

"Maksudmu kemampuan cahaya? Itu... aku juga tidak tau."

Dia menghela napas yang terdengar jelas bahwa dia kecewa. Jika begini terus, kelemahan dari kekuatanku akan semakin kuat, cahayanya akan hilang. Orang lain tidak boleh membenciku, mereka semua harus menganggapku baik atau mereka harus baik padaku. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan para vampir itu dan mendapatkan nama yang baik. Tapi dengan kekuatanku yang sekarang, apakah itu mungkin?

Sebelum aku berhasil menjawab pertanyaanku, kami telah sampai, tidak terasa jauh seperti saat kami datang. Para pemanggil tidak berpindah dari posisi awalnya, mereka tetap berdiri di sana hingga kami kembali. Orang di sebelahku, Siana memposisikan tangannya seperti menarik busur dan tiba-tiba sebuah busur muncul, busur yang sangat indah. Dia melepaskan tali busur dan anak panah yang seperti cahaya putih melesat mengenai kepala seorang pemanggil, dan mereka pun mulai menunjukkan sifat vampir mereka atau bisa dikatakan dipengaruhi vampir.

Para pemanggil tidak menyerang seperti para pelayan, tetapi dengan sihir mereka dan dengan elemen yang berbeda. Kami bersembunyi di sebelah pintu dan aku mulai menggunakan kekuatan cahaya, aku membayangkan pedang terbang, tetapi sulit sekali karena berkali kali cahayanya muncul dan redup. Siana sepertinya sudah kecewa dan dia berjuang sendirian sambil memanah beberapa kali.

Tiba-tiba dari lingkaran sihir tempat aku datang sebelumnya, muncul makhluk raksasa yang tingginya sekitar empat manusia dan tubuhnya sangat besar. Siana menyebutnya golem. Golem itu memiliki setiap unsur elemen, ada api, air, tanah atau batu, tumbuhan, angin, dan petir. Aku jadi ragu apakah bisa melawannya.

"Sebaiknya kita pergi dulu, lebih baik kabur daripada mati di sini." Siana pergi tanpa menunggu tanggapan dariku.

Namun, aku adalah pahlawan, aku harus menyelesaikan ini, aku tidak ingin dianggap sebagai tak berkemampuan. Sudah cukup dengan sebutan 'beban keluarga', aku tidak ingin menjadi beban kerajaan. Sekarang aku punya kekuatan.

Aku mengabaikan Siana yang pergi dan saling berhadapan dengan golem. "Cahaya, berikan aku kekuatanmu." Tidak ada yang terjadi.

Golem itu menyerangku dengan melempar jarinya yang terbuat dari batu serta ada unsur api di sana. Aku menghindar dengan berlari ke sana ke mari, tetapi para pemanggil itu ikut menyerangku dengan berbagai elemen.

Ini cukup sulit, serangan mereka beberapa kali mengenaiku, hampir seluruh tubuhku terluka, namun ini tidak akan menghentikanku.

"Cahaya kumohon bantulah aku, jika tidak kita akan mati di sini." Aku berusaha memanggil cahaya yang ada di kristalku.

Sepertinya aku akan mati, karena golemnya sudah ada di depanku dan akan memukulku dengan tinjuan segala element. Apakah pasrah di sini saja, tetapi aku belum melihat teman-temanku. Hanya mereka yang baik padaku, e... mungkin yang satu itu tidak. Tapi aku ingin bertemu dengan mereka lagi. Sudah berakhirlah hidupku, tinjuannya ada di depan mataku.

Aku menutup mataku untuk menahan rasa sakitnya, tapi tidak ada rasa sakit apapun, apa kematian memang tidak sakit? Tidak-tidak, tentu saja sakit, aku telah merasakannya saat kecelakaan bus. Tapi kenapa? Aku pun membuka mataku dan ternyata ada cahaya yang menghadang tinjuan golem.

Sekarang bukanlah akhir. Aku berdiri dan membayangkan cahayanya melontarkan tangan golem itu dan terjadi, golemnya terhempas jauh terjatuh ke dekat pemanggil yang paling jauh dari tempatku berdiri. Sekarang aku membayangkan pedang cahaya yang terbang di sekitarku dan terbentuk. Tetapi di ujung cahayanya ada sesuatu seperti kegelapan, namun aku tidak bisa peduli dengan hal itu saat ini. Pedang-pedang cahaya itu aku terbangkan mengarah ke golem yang terjatuh dan menebasnya berkali kali.

Kuangkat kepalan kedua tanganku lalu mengayunkannya ke bawah sekuat tenaga, membuat pedang pedang yang melayang di atas golem turun dengan sangat cepat. Aku buat pedang cahaya yang besar lalu menusuk golem itu dari atas. Golempun hancur berkeping-keping. Sekarang tersisa para pemanggil. Tanpa kusadari, ada batu besar yang datang ke arahku, tiba-tiba batu itu hancur. Siana kembali dan langsung menghujani para pemanggil dengan anak panah perak. Aku menghabisi sisa-sisa pemanggil dengan pedang cahaya.

Tak kusangka ini akan sangat melelahkan. Mungkin saja menggunakan cahaya sama halnya menggunakan stamina, membuatku lelah seperti habis berlari. Sekarang tidak ada lagi ancaman, ternyata lingkaran sihir yang ada di depan para pemanggil telah menghilang. Aku duduk bersandar di salah satu pilar, lalu Siana menghampiriku.

"Bisa berdiri?" Tanyanya dengan senyuman dan mengulurkan tangan.

"ya." Balasku sambil meraih tangannya.

"Untuk sekarang, kita ke ruanganmu dulu. Sebelum pemanggilanmu, aku sudah mempersiapkannya."

"Ah... terima kasih. Aku cukup lelah."

Wajah Siana terlihat jelas sekarang, dia sangat cantik saat tersenyum, aku tidak tau jika dia marah. Rambutnya berwarna perak, sangat pas dengan wajahnya, seolah dia adalah ciptaan terbaik. Apa semua wanita di dunia ini secantik dia ya.... Seketika aku teringat dengan salah satu bangsawan di ruang singgasana yang jelek.

"Di ruanganmu harusnya ada makanan juga, kamu bisa langsung istirahat di sana."

"Ya, terima kasih."

Apa dia memang begini? Kukira tadi lebih formal, tapi yah sudahlah, aku juga sudah lelah. Kami berjalan ke arah kamarku yang aku sendiri tidak diberi tau di sebelah mana, aku hanya mengikutinya menyusuri lorong.

"Siapa yang mengurus tubuh mereka?" tanyaku sambil menunjuk ke arah ruang pemanggilan.

"Para penjaga."

"Mereka pasti sibuk ya, mengurus golem juga."

Mungkin tidak buruk tinggal di sini, sekarang misiku adalah membuat semua orang mengenalku dan berteman baik dengan mereka semua.