Icha menjalani hari-harinya masih dengan rasa yang ada di hatinya. Antara bahagia tapi sedih kalau mengingat pertemuannya dengan Marco dan perempuan itu. Tapi lagi- lagi, ia hanya menyimpan itu sendiri dalam hatinya.
Tanpa terasa mereka sudah mau masuk semester akhir. Sebentar lagi ujian nasional dan mereka akan lulus. Icha sudah tidak sabar untuk kuliah jauh dari tempat ini. Bukan tidak ada alasan kenapa ia memilih kuliah di luar Bandung. Salah satunya karena ia ingin menghindari Marco dan pelan- pelan melupakan wajah itu dan menghilangkan rasa aneh dalam hatinya. Karena ternyata rasa ini benar-benar mengganggu hatinya. Tiba-tiba kangen dan ingin sekali melihat Marco. Tiba-tiba sedih ketika teringat kembali Marco dan perempuan asing. Dan itu sangat mengganggu hari- harinya.
"Nggak kerasa ya, cha... kita udah mau lulus. Senang deh. Akhirnya bisa jadi mahasiswa." Oceh si Wulan. "Kamu jadi kuliah di Jakarta?" Lanjut Wulan.
Icha menganggukkan kepalanya.
"Jadilah... udah nggak sabar pengen cepat-cepat ke Jakarta." Jawab Icha cepat.
"Kenapa harus jauh-jauh sih, cha? Lagian dulu planning kita nggak gitu deh. Kita tetap kuliah di Bandung aja. Kenapa sekarang berubah?" Tanya Wulan serius sambil meminum es jeruknya.
"Ya biasalah... namanya juga planning, pasti bisa berubah- ubah kan?" Jawab Icha santai.
"Iya, tapi kenapa harus ke Jakarta?"Sergah Wulan cepat
"Nggak papa... pengen aja di Jakarta. Cari suasana baru." Icha menyeruput es tehnya. Wulan hanya mendengus kesal. Ia mengaduk-aduk es jeruknya sedikit kasar.
"Berarti kita berpisah dong?" Tanya Wulan sedih.
"Diiiih... lebay. Jakarta Bandung dekat, Wulan. Kan kalo liburan bisa ketemu. Aku balik Bandung atau kamu yang jalan-jalan ke Jakarta. Bereskan?"Ucap Icha berusaha menghibur Wulan.
"Terserah deh... " Wulan pasrah atas keputusan sahabatnya itu.
Setelah asyik menikmati jam istrahat di kantin, Icha dan Wulan segera masuk ke kelas. Dalam perjalanan ke kelas, mereka berpapasan dengan Marco. Aura dingin itu tetap ada. Tapi tatapan Icha berbeda. Tatapan penuh rasa. Icha menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya.
"Siang, pak." Sapa Wulan hormat pada Marco.
"Siang." Jawab Marco singkat. " Kalian dari kelas XII Ipa 1?" Tanya Marco tanpa senyum.
"Iya, pak." Jawab Wulan agak gugup.
"Tugas kemarin segera kumpulkan. Beritahu ke teman-teman kalian. Dan kamu... " Marco menahan ucapannya sambil menatap Icha yang tertunduk. Wulan menyikut lengan Icha.
"I-iya... " Jawab Icha gugup. Dengan kuat hati ia berusaha menatap ke mata itu. Mata dingin penuh misteri.
"Antarkan tugas kalian ke ruangan saya." lanjut Marco dan langsung berlalu begitu saja.
Wulan dan Icha masih terpana. Dan akhirnya Icha segera sadar dan menarik tangan Wulan ke dalam kelas.
Icha bingung. Kenapa harus ia yang disuruh mengantar tugas- tugasnya? Apa ia sanggup berada di satu ruangan dengan pujaan hatinya?
Apa? Pujaan hati? Yang benar aja, cha? Dia nggak anggap kamu pujaan lho
"Cha... ini tugas-tugasnya. Semua udah terkumpul." Kata Steno, si ketua kelas mengagetkan Icha dari lamunannya.
"Eeh... i-iya. Makasih, ya." Jawab Icha gagap.
Mereka segera keluar dari kelas. Hari ini Marco tidak mengajar Ia hanya memerintahkan mereka menyelesaikan tugasnya dan segara dikumpul. Dan sialnya, Icha yang diberi amanat untuk mengantar tugas-tugas itu.
"Wulan, temani aku ke ruangan Pak Marco ya?"
"Ogah ah... takut dimarahin. Aku tunggu di luar ruangannya aja."Tolak Wulan.
"Iiih.. kok gitu? Tega kamu. Masa aku sendiri masuk ke ruangannya? Kan serem." ucap Icha memelas. Ia berharap Wulan mau menemaninya masuk ke dalam ruangan Pak Marco.
"Tadi kata Pak Marco kan kamu sendiri, cha... Nggak papa. Justru kamu beruntung dong bisa menatap wajahnya yang aduhai tampan itu. Kamu bisa... "
Belum selesai Wulan bicara, Icha sudah pergi meninggalkan Wulan dengan membanting-banting kakinya. Wulan tertawa lucu.
"Aku tunggu di parkiran yaaaaa " Teriak Wulan lagi.
Ya Tuhan... Kuatkan aku. Kenapa juga harus gugup? Pak Marco nggak makan orang, kan? Santai aja, Cha kamu bisa.
Buang perasaan kamu yang aneh itu. Belum tentu juga dia punya perasaan yang sama kayak kamu.
Icha terus menguatkan dirinya.
Ketika sampai di depan ruangan Marco...
"Tok... tok... tok.. " Icha mengetuk pintu sambil menelan ludahnya yang terasa mengering.
"Masuk!" Perintah suara dari dalam ruangan itu. Dengan pelan Icha membuka pintu ruangan. Gugup? Pasti! Tapi Icha berusaha sekuat tenaga untuk tenang dan terlihat baik-baik saja.
"Selamat siang, pak." Ucap Icha setelah sampai di hadapan Marco. Dia menatap Marco sesaat dan langsung menundukkan wajahnya kembali. Marco menatap Icha datar.