Icha sudah cantik dengan baju terusan warna krem dan sepatu rata warna hitam dipadu dengan tas samping warna sesuai sepatunya. Ia duduk manis di teras rumahnya menunggu Wulan sambil mengutak atik gawainya.
"Wulan belum datang, nak?" Tanya sang mama yang tiba-tiba sudah ada saja di samping Icha.
"Belum, ma. Masih di jalan. Dikit lagi pasti dah nyampe." Jawab Icha tersenyum manis.
Tidak lama terdengar suara bel motor. Icha segera pamitan pada mamanya dan berlari kecil menuju Wulan. Icha melambaikan tangannya pada sang mama dan mereka pun segera pergi.
Sampai di parkiran mall, Wulan memarkirkan motornya dan mereka segera masuk ke dalam mall. Walaupun ada beberapa mata pengunjung sedikit tertawa menghina melihat motor butut Wulan. Wulan melototkan matanya pada orang-orang itu dan mengancam mereka dengan tunjunya. Icha menarik tangannnya segera masuk.
"Sebel banget jadi orang. Emang motor butut nggak boleh masuk mall ya?!" Wulan mengomel dengan emosinya karena hinaan orang-orang tadi.
"Udah... nggak usah diladenin. Santai aja lagi." Icha terus menarik tangan Wulan masuk ke dalama mall.
Di hari minggu begini mall ini selalu penuh dengan pengunjung. Di stand-stand makanan juga pasti ramai dengan pengunjung. Banyak keluarga kaya yang menghabiskan akhir
pekannya di sini.
Wulan dan Icha terus berputar di dalam mall. Mereka hanya sekedar cuci mata melihat pakaian-pakaian branded yang bagus dan perhiasan-perhiasan mahal lainnya.
Dua gadis SMA ini hanya bisa memuji semua barang-barang bagus tanpa bisa menyentuhnya. Tapi itu tidak membuat mereka berkecil hati. Justru mereka terlihat senang dan bahagia karena bisa menikmati hari libur. Mereka terus berputar keliling mall sambil terus bercerita. Hingga tanpa sengaja, Icha melihat seseorang yang hampir sebulan ini membuat hatinya tak karuan sedang asyik menikmati makanannya ditemani seorang gadis cantik. Yang pasti gadis itu bukan dari kalangan bawah seperti dirinya. Terlihat dari penampilannya yang berkelas.
Ya, itu Marco. Guru tampan yang sudah berhasil menciptakan sebuah rasa aneh di hatinya. Marco mengusap ujung bibir gadis itu dengan tissu. Mereka terlihat bahagia satu dengan yang lainnya. Ada rasa aneh menjalar di hati Icha. Tapi bukan rasa senang dan bahagia sebagaimana seperti biasa kalau ia menatap wajah itu di sekolah.
Apalagi ini? Icha bergumam dalam hati. Rasa apalagi ini? Kenapa hati ini sakit? Icha masih membeku dengan tatapannya dan gejolak hatinya.
"Chaaaa.. Ichaaaa... " Icha kaget karena suara Wulan yang sedikit besar. Ia kelagapan. "Liat apa sih? Dari tadi aku ngomong kamu dengar nggak?" Sewot Wulan.
"hah?" Icha masih bingung.
"Kamu kenapa?" tanya Wulan masih penasaran.
"Nggak papa... Ayo, kita liat-liat ke sana." Icha menarik tangan Wulan menjauh dari Marco. Icha tidak mau Wulan melihat Marco karena pasti Wulan akan heboh sendiri.
"Makan, yuk. Lapar." Rengek Wulan setelah mereka berkeliling cukup lama.
"Makan bakso di luar aja, ya? Supaya lebih murah." Bisik Icha di telinga Wulan.
"Iya deh... " Jawab Wulan lemas. Karena sebenarnya ia juga pengen merasakan makanan di dalam stand mall ini. Tapi akhirnya Wulan tertawa melihat ekspresi Icha.
"Iya... iya, Icha sayang. Yuk, makan di luar aja. Aku ngerti kok. Kita kan bocah ingusan yang belum mampu makan di stand mahal begitu." Kata Wulan sambil menarik tangan Icha ke luar.
"Itu tau... " jawab Icha masam.
Icha senang mempunyai teman yang mengerti seperti Wulan. Mereka pun keluar dari dalam mall tanpa membawa satu barang pun yang mereka beli. Mereka tidak peduli. Intinya sekarang makan. Kampung tengah sudah mengamuk karena kelaparan.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Wulan terus bercerita dengan semangat. Tanpa Wulan tahu Icha sama sekali tidak mendengarkan ocehannya. Icha masih terbayang wajah Marco. Wajah tampan yang kelihatan berbeda saat di sekolah dan saat bersama teman wanitanya tadi.
Rasa apalagi ini? Gumam Icha sakit.