Chereads / Ronin Showdown / Chapter 5 - Tekad

Chapter 5 - Tekad

"Sehar, senjata apa saja yang kau bawa?" tanya Ran ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju hutan gelap.

"Aku bawa pisau, dan busur panah," jawab Sehar.

"Kau mahir menggunakan keduanya?"

"Pisau aku belum pernah gunakan. Tetapi panah aku cukup mahir karena sering berburu dengan ayahku."

Tak perlu waktu lama, mereka tiba. Sebelum masuk Sehar sempat merasa ragu. Keringatnya mulai mengalir dari dahi hingga ke leher. Dan kemudian dia menelan ludah karena di depannya, ada pepohonan besar, tinggi dan jalan setapak memasuki sebuah hutan yang gelap dan berbahaya.

"Apa kau ragu?" Ran melirik ke arah Sehar.

Sehar tak menjawab. Dia malah mengusap keringat yang ada di dahinya.

"Jika kau ragu, lebih baik kau pulang dan biarkan aku masuk sendirian ke hutan ini," Ran langsung melangkahkan kaki.

"Tu...tunggu," Sehar mengikuti Ran dari belakang.

Semakin masuk ke dalam, keadaan semakin gelap. Sehar masih terus mengikuti Ran dari belakang. Dia menghunus pisaunya dan memegangnya dengan kedua tangan untuk jaga-jaga. Sementara itu Ran hanya diam sambil memperhatikan Sehar secara diam-diam.

"Sehar, kau pernah bertarung sebelumnya?" Ran memulai percakapan saat mereka berdua berjalan semakin dalam ke dalam hutan gelap.

"Belum. Kecuali melawan babi hutan kecil," jawab Sehar yang kedua tangannya masih erat memegang pisau.

"Lalu?"

"Aku berhasil membunuhnya dengan satu tembakan anak panah."

"Kau memakannya?"

"Warga desa kami tidak memakan babi."

"Warga desaku juga."

"Kenapa kau bertanya begitu?"

"Karena sebentar lagi kita akan bertarung melawan hewan yang kita tidak tahu wujudnya bagaimana."

Setelah berjalan satu jam, Ran berhenti. Dia melihat-lihat ke kiri, kanan, depan, belakang, atas dan bawah. Di sini tempat dia mendengar suara geraman kemarin. Dan di sini juga ternyata terdapat banyak sekali pohon besar dan tinggi.

"Kau bisa memanjat pohon?" tanya Ran sambil kepalanya terus menengadah ke atas.

"Itu mainan sehari-hariku."

Ran lalu menurunkan tangan Sehar yang sedang memegang pisau. Sehar paham maksud Ran yang menyuruhnya untuk memasukkan kembali pisaunya ke dalam sarung. Tak berapa lama, tiba-tiba terdengar geraman dari arah jam dua. Di mana itu tempat semak belukar yang tinggi. Dengan refleks Sehar memakai busur panahnya, mengambil satu anak panah lalu membidik, menarik, dan melepaskan anak panah ke arah suara geraman itu.

Anak panah langsung melesat menembus semak belukar. Tetapi tidak terdengar suara apa pun. Bahkan suara jeritan binatang kesakitan pun tidak terdengar.

"Refleksmu cukup bagus," puji Ran.

"Terima kasih. Aku takut sebenarnya," Sehar kembali mengusap keringat di dahinya.

"Begini, aku punya strategi. Tapi aku perlu memastikan satu hal lagi."

"Apa itu?"

"Kau pegang pisaumu. Dan tetaplah berada di dekatku."

"Baiklah."

Sehar menghunus pisaunya dan dia lebih dekat di belakang Ran. Sementara itu Ran hanya diam tenang sambil memegang caping dari anyaman bambunya. Beberapa menit kemudian suara geraman itu terdengar lagi. Asalnya masih dari dalam semak belukar yang tinggi itu. Ran kemudian menirukan suara mendesis. Seketika suara geraman itu semakin terdengar keras. Bahkan Sehar merasa telinganya mau pecah karena dia ketakutan setengah mati mendengar suara geraman itu.

Mata Ran langsung berubah menjadi tajam. Lalu dengan cepat, sesosok makhluk besar seperti serigala berbulu perak, melesat ke arah Ran dan Sehar. Tetapi Ran tak kalah cepat. Dia segera menghunus katananya. Cakar makhluk itu dan katana milik Ran saling beradu dan gesekkan antara keduanya sangat nyaring terdengar. Tetapi makhluk itu kembali melompat dan masuk lagi ke dalam semak-semak.

"A...apa itu tadi?" mata Sehar melotot dan tangannya bergetar setelah dia melihat makhluk besar itu. Walau hanya sekilas.

"Makhluk itu lebih besar daripada perkiraanku," kata Ran dengan tatapan yang tenang.

Tiba-tiba Sehar terduduk ketakutan. Dia lalu memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Dia mulai menangis karena saking takutnya.

"Aku mau pulang," rintih Sehar sambil menangis.

Ran sedikit kecewa dengan Sehar. Dia sudah percaya kepada anak ini. Sebab Sehar memiliki rasa yang sama dengannya. Yaitu dendam.

"Mana rasa dendammu," kata Ran sambil membelakangi Sehar.

"Apa maksudmu?" Sehar bingung.

"Bukankah kau mau membalaskan kematian ibumu?"

"Iya. Tapi lawannya binatang raksasa. Aku tak bisa."

"Seberapa pun kuat lawanmu, jika tekad dan dendammu sudah memuncak, kau akan berani melawannya meskipun kau akan kalah."

"Apa gunanya tekad kalau nanti akan kalah?"

"Tekadmu tidak diukur dari hasilnya. Tapi bagaimana kuat kau menjalankan tekad itu."

Sehar lalu terdiam.

"Coba ingat lagi apa yang dilakukan makhluk itu kepada ibumu."

Sekali lagi, Sehar terdiam. Otaknya tiba-tiba memutar balik ingatannya bersama ibu tercintanya. Hingga meninggal diserang oleh hewan yang sekarang berada dekat di sekitarnya. Ini adalah kesempatan untuk membalaskan perbuatan hewan tersebut terhadap ibunya.

"Baiklah," Sehar mencoba bangkit.

Ran lalu tersenyum tipis melihat tekad Sehar.

"Aku akan jelaskan strategiku. Kau memanjatlah ke atas pohon. Cari sudut pandang yang tepat untuk membidik anak panah," jelas Ran.

Sehar mengangguk. Dia langsung memanjat ke salah satu pohon dengan berpegangan ke ranting-rantingnya. Ketika dia memanjat setinggi sepuluh meter, Sehar berpijak ke ranting yang paling besar dan bersiap dengan busur panahnya.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanya Sehar ketika dia berdiri tegar dan kedua tangannya bersiap dengan busur panah.

"Aku akan beri tanda jika saatnya tiba untukmu membidik."

"Bagian apa yang harus aku bidik?"

"Kaki. Kau bisa kan?"

Sehar mengangguk lalu menjawab, "Aku coba."

Ran lalu kembali menirukan suara mendesis. Tak berapa lama suara geraman itu terdengar lagi. Sehar langsung bersiap dengan busur panahnya. Ran terdiam tenang. Ketika suara geraman itu semakin jelas terdengar, dengan cepat makhluk itu melesat lagi dan Ran pun tak kalah cepat menghunus katananya dan beradu dengan cakar makhluk itu.

Kali ini, makhluk itu tidak masuk ke dalam semak lagi. Tetapi dia berbalik dan melihat Ran dengan tatapan yang mengerikan. Tubuhnya setinggi dua meter lebih. Mirip serigala. Bulunya perak, matanya merah menyala, di dalam mulutnya, keluar asap berwarna merah. Taringnya panjang seperti singa, dan cakarnya, tebal dan tajam seperti pisau.

"Besar sekali," ucap Sehar dalam hati.

Makhluk itu lalu melesat menyarang Ran dengan cakar sebelah kanannya. Tetapi Ran melompat dan mengayunkan katananya secara horizontal yang mengenai taring makhluk itu. Seketika makhluk itu terpental ke belakang dan menghantam pohon besar.

Ran lalu mengangkat tangan pertanda Sehar harus membidik. Dengan sigap Sehar membidik ke arah kaki makhluk itu. Anak panah pun melesat tetapi sayangnya meleset.

"Sial!" teriak Sehar.

"Kita coba lagi," kata Ran.

Makhluk itu bangkit dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian makhluk itu melihat ke arah Sehar dan berlari melewati Ran dan dengan cepat memanjat ke atas pohon. Sehar tahu dia akan diserang oleh makhluk itu. Sehar malah berteriak ketakutan. Tetapi dengan cepat tiba-tiba Ran muncul di depan Sehar dan ketika makhluk itu menyerang dengan cakar kirinya, Ran langsung menahan dengan katananya.

"Sehar, lompat!" kata Ran.

"Tapi ini terlalu tinggi," Sehar ragu.

"Lompat saja."

Sehar berteriak lalu dia melompat. Sekitar satu meter sebelum menghantam tanah, tiba-tiba Ran melesat dan menangkap Sehar lalu berlari bersembunyi di balik semak-semak.

"Bagaimana bisa kau berpindah tempat dengan cepat?" tanya Sehar ketika mereka bersembunyi.

"Aku belajar mengendalikan aliran tenaga dalam," jawab Ran.

"Lalu, bagaimana rencana kita selanjutnya?"

Ran mulai berpikir. Sepertinya jika Sehar di atas pohon sekalipun, makhluk itu akan bisa menyerang.

"Begini saja. Kau bersembunyi di balik semak-semak ini. Jika aku memberi tanda, kau menembak dengan panah. Setelah menembak, kau cari tempat lain untuk membidik. Pokoknya setelah menembak, kau cari tempat berbeda-beda tetapi masih di dalam semak-semak.

"Baik," Sehar mengangguk.

Setelah Sehar bersembunyi, Ran keluar dari semak-semak. Dia lalu melempar caping yang terbuat dari anyaman bambunya ke tanah. Makhluk itu melihat Ran dan menggeram. Badannya bergetar lalu berlari menyerang dengan cakar kanannya. Ran menghunus katananya dan menahan. Tetapi dia langsung melompat lalu menebas taring makhluk itu hingga terpental.

Setelah Ran mendarat di tanah, dia mengangka tangan. Sehar langsung membidik dan anak panah pun melesat. Kali ini tembakannya tidak melesat. Anak panah itu tepat menancap di kaki belakang sebelah kanan makhluk ini yang membuat makhluk itu menggeram kesakitan.

"Bagus!" ucap Ran sambil mengangkat jempol.

"Yes!" Sehar mengepalkan tangan kanannya.

Sehar lalu berjalan secara sembunyi-sebunyi ke tempat berbeda.

Makhluk itu kini berjalan tertatih-tatih. Tetapi dia masih bisa berlari dan menyerang Ran dengan cakar kirinya. Tetapi sekali lagi Ran menahan. Dia lalu memutar ke kanan sambil menebaskan katananya. Tetapi makhluk itu menahan dengan cakar kanannya. Ran lalu melompat ke belakang. Makhluk itu juga melompat dan menyerang dengan cakar kanannya. Ran menghindar ke kanan lalu berlari dengan cepat ke belakang makhluk itu. Dia memasukkan katananya ke dalam sarung lalu menarik ekor makhluk itu dan membantingnya.

Sehar langsung membidik ketika Ran mengangkat tangan kanannya. Anak panahnya melesat dan mengenai kaki belakang sebelah kiri. Sehar langsung mencari tempat lain untuk membidik.

Makhluk itu berdiri tetapi tidak bisa karena kedua kaki belakangnya kini sudah tertancap anak panah. Tetapi secara tiba-tiba, anak panah itu keluar sendiri dan luka di kedua kaki belakang makhluk itu tiba-tiba kembali sembuh.

"Apa?" ucap Ran.

"Kenapa bisa?" Sehar matanya melotot.

Kini makhluk itu menggeram lalu melolong dengan sangat keras. Bulunya yang perak berbuah menjadi hitam pekat. Tubuhnya menyusut dan berubah menjadi manusia serigala yang tingginya sama seperti Ran.

"Makhluk apa dia itu?" tanya Ran dalam hati.

Manusia serigala itu menatap tajam ke arah Ran. Sepertinya, dia berubah ke wujud aslinya. Dan Ran merasa manusia serigala itu jauh lebih kuat.

"Baiklah, kita mulai pertarungan yang sesungguhnya," kata Ran sambil bersiap dengan katananya.

Bersambung...