Senin, 6 Juli 20xx
Gedung D03
Gangga telah menyadari perasaan yang selama ini dipunyai untuk Bisma adalah cinta. Entah apakah Bisma juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya atau tidak. Semua pertanyaan tentang itu hanya sebatas rasa penasaran yang sudah tak dapat lagi dipastikan. Dia tidak lagi bisa bertanya kepada yang bersangkutan.
Tangannya memegangi handout materi presentasi dengan Stella. Sembari berlatih, pikirannya bercabang ke mana-mana.
"Siap, Ngga? Masih 30 menit lagi."
"Belum Stel. Aduh gimana ya, aku nervous banget dan nggak konsen."
"Mikirin apa?"
Gangga tidak menjawab, dia hanya tersenyum. Meski pun dia dan Stella terbilang dekat, dia tidak pernah bercerita mengenai Bisma.
"Ya udah, coba merem, fokus. Tenang. Bu Omih Sutia, dosen Sprechen für Anfänger itu baik. Kita udah 3 kali pertemuan dan dia nggak killer kok. Kayaknya dink, siapa tahu kalau presentasi berubah jadi serigala heheh."
Gangga mengangguk dan mengehela nafas berkali-kali. Dia memejamkan mata.
"Nggak usah khawatir, Mbas. Yang penting kamu udah usaha semaksimal mungkin. Kalau ada pertanyaan, santai aja jawabnya."
"Kalau pertanyaannya susah dan aku nggak bisa jawab, gimana?"
"Jawab aja secara demokratis. Dan bilang kalau kamu nggak begitu menguasai dan sedang usaha belajar. Dari pada berkelit-kelit dan malah bikin jawaban tambah muter-muter, lebih baik gitu kan?"
"Iya sih."
"Udah nggak usah tegang gitu, nanti aku di belakang pegang buku paket. Kalau kamu nggak bisa jawab, aku bantu dari belakang. Oke? Semangat, Gambas jelek!" kata Bisma sambil meledek.
Gangga membuka mata. Dia mendapatkan kembali semangat untuk berjuang setelah slide-slide kenangan bersama Bisma terpampang di pikirannya.
"Ayo, Stel, aku udah siap. Kita siapin LCDnya."
~
Laboratorium, Universitas Vanguard
Laboratorium Universitas Vanguard menghadap ke timur dengan toilet di bagian barat atau belakang yang juga terdapat pintu keluar. Beberapa langkah dari pintu keluar bagian barat terdapat sebuah pohon besar yang di sampingnya berdiri bangunan kecil. Bangunan itu adalah markas HIMA sastra Jerman.
Sebelumnya, Kendrik tidak pernah keluar menggunakan pintu belakang. Dia selalu menggunakan pintu depan (timur). Namun setelah mengetahui Gangga berkuliah di jurusan sastra Jerman, kaki Kendrik tidak dapat dikontrol untuk menggunakan pintu sebelah timur. Kaki itu seolah punya keinginan sendiri untuk menuju ke barat.
Pastinya dia ingin bertemu dengan sang pujaan hati jika saja sang pujaan hati itu mengikuti kegiatan di HIMA.
Dia ikut HIMA nggak ya? (Kendrik).
Kendrik berdiri di dekat pintu barat laboratorium sembari memandangi pohon dan markas HIMA sastra Jerman. Seorang laki-laki keluar dari markas itu dan mengunci pintu. Laki-laki itu adalah seorang yang semalam hampir saja berduel hompimpah dengannya.
Hash, ngapain orang itu ke markas? Kalau Gangga masuk HIMA berarti dia bakal ketemu orang itu terus? Aku musti gimana ya Tuhan, aku doa supaya Gangga masuk HIMA atau enggak ini? (Kendrik).
"Mapala, hoy, kamu dicari mahasiswa yang mau praktikum minggu depan."
"Pak Wardiman gangguin orang lagi sibuk aja."
"Sibuk apaan, dari tadi aku lihat kamu melongo lihatin pohon aja. Apa kamu sekarang aliran animisme?"
"Enggak, Pak."
Kendrik kemudian menceritakan tentang gadis yang mengusik hatinya selama ini tentang bagaimana mereka bertemu untuk pertama kalinya, juga tentang semalam dia bertemu di rumah mertua kakaknya sendiri. Dan ternyata gadis bermata amber pujaannya itu sedang dalam keadaan berkabung karena kematian sahabatnya, Kubis atau Bisma.
"Si Kubis itu meninggalnya karena apa? Jadi inget keponakanku yang juga meninggal di usia sekolah," kisah Pak Wardiman.
"Nggak tahu juga Pak, nggak berani nanya. Takut bikin sedih. Eh, malah curcol panjang lebar begini. Saya ketemu mahasiswa dulu, Pak."
Mereka berjalan bersama menuju ke bagian timur. Pak Wardiman menuju ke kantor sedangkan Kendrik menuju laboratorium yang saat itu sedang tidak digunakan. Seorang mahasiswa sudah menunggunya di sana.
"Pagi, Ken," sapa mahasiswa itu yang adalah adik tingkat Kendrik saat masih kuliah dulu. Karena dia adalah mahasiswa yang kuliahnya lambreta, dia banyak mengenal dan akrab dengan adik tingkatnya.
"Heh, panggil 'Pak', sekarang aku staf di sini."
"Heheh. Pak Ken. SIngkat, padat dan jelas aja, Pak Ken. Biokimia minyak dan lemak."
"Hah kamu nih, kalau kuliah ngapain? Tidur? Lagian ada di panduan praktikum kok."
"Responsi*ku semester kemarin kurang bagus, jadi aku minta kita sering-sering diskusi biar masuk ke otakku."
Bukan urusanku sih itu. Dulu waktu kuliah, aku berjuang sendiri tuh, nggak pernah minta tolong staf lab buat bantu belajarku. (Kendrik).
Kendrik memandangi mahasiswa itu dengan mata sedikit melotot.
Merasa kurang diberi respon, mahasiswa itu membujuk lagi. "Pak Ken, nanti Bapak minta doa apa aja pasti aku doain. Aku ini orang teraniaya lho, doaku sering dikabulin."
Cling, bagai mendapat mukjizat dari langit, mata Kendrik langsung berbinar. "Kamu mau doain aku biar bisa deket sama mahasiswi sastra Jerman?"
"Bisa, siap! Deal ya?"
"Oke. Ehem, begini. Minyak dan lemak itu lipida yang simple. Kegunaannya tahu sendiri di kehidupan sehari-hari kayak buat masak, buat pengencer cat, dan lain-lain."
"Dari segi kimia lipida itu apa?"
"Hayah, masak nggak tahu. Itu turunan ester asam-asam lemak tinggi dan gliserol."
"Oke-oke, nah ini intinya deh. Biasanya pertanyaannya apa buat responsi."
"Oh, dari tadi muter-muter cuma mau nanya itu kan?"
"Heheh. Bocoran dong, Pak Ken. Nanti kan aku doain biar si mahasiswi sastra Jerman itu mau jadi Bu Kendrik."
"Aku ya nggak tahu dosen bakal nanya apa. Kan nggak selalu sama. Ya udah aku kasih contoh pertanyaan. Nanti kamu praktik sama belajar yang bener ya. Kemungkinan yang ditanyain itu angka asam lemak bebas. Mungkin juga ditanyain apa efeknya terhadap kualitas minyak."
"Siap, makasih Pak Ken. Hadiahnya langsung aku panjatkan doa."
~
Gedung D03
"Yes, lancar. Kamu lihat Bu Omih tadi manggut-manggut, Ngga. Itu artinya kita bagus," kata Stella.
Gangga mengangguk dan tersenyum.
"Udah ya, aku mau ketemuan sama temenku di FE (Fakultas Ekonomi)," pamit Stella.
Gangga pun pergi dari gedung itu mengikuti langkah kakinya menuju markas HIMA sastra Jerman.
Bukan, bukan markas itu yang dituju Gangga, melainkan pohon yang berada di samping markas, di belakang laboratorium.
~ Kilas balik ~
Setelah selesai mengikuti penerimaan mahasiswa baru, Gangga dan Bisma duduk di bawah pohon itu. Tiba-tiba Bisma berdiri dan memeluk pohon itu.
"Ngapain sih Bis?"
"Aku ngerasa punya chemistry yang kuat sama pohon ini." Dia mencium pohon itu dan membuat Gangga merasa jijik.
"Howek ngapain kamu cium-cium pohon?"
"Hai pohon, ini temenku si Gambas. Tolong kasih tempat yang sejuk buat dia biar nggak stres mikirin kuliah nantinya. Dia itu orangnya gampang stres. Kalau hujan, kasih tempat berteduh ya walau tetep aja basah. Tos!" Bisma menepuk pohon itu seperti sedang melakukan tos.
~ Masa sekarang ~
Gangga memandangi markas HIMA yang tertutup itu. Dia pun berbelok sedikit ke timur dan mencapai pohon besar di sana. Dia duduk di bawah pohon itu sembari membuka buku bindernya.
Buku itu khusus memuat tentang Bisma. Dia menempelkan bunga melati yang telah kering di sebuah kertas dan melapisinya dengan plastik. Dia juga menempelkan foto kebersamaan mereka saat bertamasya di kebun binatang. Dia juga mengaitkan kalung hitam milik Bisma di bagian tengah binder itu.
"Hai." Kendrik menyapa dan duduk di samping Gangga.
"Uhm, hai Kak Ken," jawabnya sembari buru-buru menutup binder itu. "Kok ada di sini."
"Tuh, lab. Aku tugas di situ. Kamu sering ke sini?"
"Dulu waktu penerimaan mahasiswa, aku ke sini sama Bisma. Ehm maksudnya Kubis. Dia kayaknya terobsesi banget sama pohon ini. Oh iya, makasih banget semalam udah anter aku."
Kendrik mengangguk. Dia menyusun kata dalam hatinya, ingin bertanya penyebab kematian Bisma. "Uhm, Kubis itu sakit apa?"
"Nggak sakit. Meninggalnya karena kecelakaan."
"Kamu pasti kehilangan banget ya. Sorry to hear that."
Gangga mengangguk, kemudian menunduk. "Nggak apa-apa. Karena dia terobsesi banget sama pohon ini, aku bakal sering ke sini. Aku anggap pohon ini adalah si Kubis."
Kendrik mengangguk.
"Moga-moga Kak Kendrik nggak keganggu ada aku di sini."
"Enggak lah, malah seneng banget."
Astaga, terlalu excited. (Kendrik).
Dih. (Gangga).
"Ahahah, maksudnya, aku seneng banget ada pohon di sini," ralat Kendrik.
Dan kamu. (Kendrik).
Kemudian hening ....
"Ehem, aku pergi dulu, Kak."
"I-iya. Ehm, boleh aku minta nomer handphonemu?"
"Buat apa?"
"Buat ... ehm ... buat koleksi."
Ha? Apa? Kenapa bisa aku ngomong gitu? Sumpah itu bukan aku. (Kendrik).
"Koleksi?"
"Ehm, nggak boleh ya? Ya udah, aku pergi dulu." Kendrik beranjak. Dia sudah malu dengan kata-kata absurd yang meluncur.
"Eh Kak, tunggu. Siapa yang bilang nggak boleh?"
"Oh, jadi, boleh?"
"Enggak juga. Aku kan cuma nanya, yang bilang nggak boleh itu siapa?"
Vangke, kenapa aku malah dikerjain gebetan sendiri? (Kendrik).
Kendrik pun meninggalkan Gangga dengan perasaan kesal. Saat memasuki gedung lab dari pintu belakang, dia terkejut karena Pak Wardiman sedang berdiri sambil bersidekap di sana.
"Siapa itu tadi?"
"Itu ehm ..."
"Oh, nggak usah dijawab. Dari pipimu yang tiba-tiba merah kayak pake blush, aku tahu itu tadi yang namanya Gangga kan? Yang punya sahabat udah meninggal namanya Kubis yang tadi pagi kamu ceritain kan?"
Kendrik mengangguk. "Sssttt, jangan keras-keras. Malu, Pak." []
Jogja, 6 Oktober 2021
***
Footnote
*Responsi: ujian mata kuliah praktikum (biasanya dilakukan 1x per semester namun bisa juga lebih dari itu tergantung seberapa banyak praktikum yang dilakukan pada semester tersebut).