Mobil hampir saja menabrak separator jalan.
"Fiuh ..." Patra begitu lega tidak terjadi apapun, Cleo juga langsung diam karena ketakutan, tidak hanya nyawanya tetapi juga mungkin ia akan mendapat kasus dan orang tuanya akan datang menjemputnya.
"Kamu mau membuat kita celaka!" kesal Patra.
"Maaf, Hidung Belang. Makanya jangan antar aku ke rumah. Antar saja aku ke apartemenmu."
"Tidur saja di kolong jembatan!" sahut Patra tidak perduli.
"Jahat sekali. Aku bisa tidur di sova, aku tidak akan merugikanmu. Semalam saja!" Cleo memohon.
Ia langsung ingat dengan pesan Areliam, Patra menghela nafas dengan panjang. "Kalau kekasihku datang dia bisa saja mengira kita ..." Lebih berat ketimbang suruhan dari Areliam.
"Kalau itu alasannya. Ya sudah! Mau bagaimana lagi ..." putus Cleo hening sesaat. Dia memikirkan bagaimana bisa tidur aman di malam begini. Mencari hotel juga agak sulit jika sudah tengah malam.
"Bagaimana kalau aku tidur di mobil mu saja." Langsung terbesit sebuah cara lain.
"Baiklah. Tapi pagi-pagi kamu harus segera pergi karena Devina akan datang."
Cleo hanya memutar bola matanya dengan malas. Dia pun setuju meski harus bangun awal.
"Katanya kamu sangat gemar sekali dengan temanku, Zain." Patra ingat, Areliam pernah cerita jika Cleo begitu mengidola sahabatnya sesama aktor. Zain terkenal dengan ketampanannya, tidak hanya itu, ang membuat para gadis itu menyukai Zain karena dia sosok pria yang dijuluki sebagai es.
Tidak ada jawaban, "Yah ... ternyata dia tidur." Patra justru Ilmenguap dan tiba-tiba matanya ikut memberat. Patra memarkirkan mobilnya dan ikut tertidur karena sudah tidak tahan lagi.
Tanpa terasa hari sudah pagi, Patra dengan malas membuka mata. Ia merasa aneh dengan dirinya yang semalam tidur dalam keadaan duduk itu berubah menjadi tidur biasa, saat matanya terbuka lebar ia sangat terkejut karena rupanya tertidur di atas rumput lapangan. Cleo rupanya juga ada tepat di sampingnya. "Apa yang terjadi?" Patra tidak tahu kenapa mereka berdua ada di sini sementara ingatannya semalam tidaklah berbohong.
Dia berdiri dan menatap gadis yang tidur begitu pulas. Tanpa ragu pria itu menendang kakinya hingga Cleo bangun, ia merinis kesakitan karena pukulan pada ujung sepatunya.
"Menyebalkan sekali." Gadis itu langsung duduk.
"Kamu yang memindahkan aku semalam?" tuduh Patra.
Gadis itu mengerutkan keningnya, "Apa maksudmu?" Cleo langsung sadar dimana posisinya sekarang, sembari beranjak ia memasang wajah garang, "Beraninya kamu memindahkan aku. Jangan jangan kamu sudah ...." Cleo segera memeriksa pakaiannya yang masih lengkap.
"Pakai acara pura-pura." Patra masih tidak percaya.
Cleo lega dengan keadaannya yang baik-baik saja. "Kamu kan yang pindahkan aku. Jahil sekali."
"Mana mungkin. Bahkan saat aku bangun aku sudah terbaring di sini," bela Patra.
"Oh ya?" Cleo pura-pura tidak percaya.
Patra langsung ingat jika ia dan Devina akan jalan-jalan hari ini. "Dimana mobilku?" Pria itu makin panik ketika kendaraannya tidak ada. Patra mengacak rambutnya dengan frustasi, "Sial! Mobilku hilang."
"Memangnya kamu parkirkan dimana?" tanya Cleo.
"Aku yakin. Semalam menaruhnya disini."
"Ya ampun. Aku turut berduka cita atas hilangnya mobilmu. Aku harus pergi sekarang." Seolah tidak perduli. Patra mengikuti langkah Cleo yang bersikap santai, "Hey. Kamu harus tanggung jawab dong!"
"Itu kan mobilmu. Aku harus pergi sekarang sebelum ayah menemukanku."
"Kamu ini menyebalkan sekali. Mobilku hilang juga gara-gara kamu!" Patra sangat marah.
"Eh tunggu dulu! Aku mendengar sesuatu." Langkah Cleo terhenti mendadak.
"Suara bayi menangis. Memangnya kenapa?" Patra juga mendengarnya.
Cleo menunjuk sumber suara, di atas tumpukan sampah itu rupanya seorang bayi yang menangis karena kelaparan.
"Kenapa bisa ada bayi di sini?" Patra sangat terkejut.
"Kasihan sekali. Tolong kamu yang ambil bayi itu!" pinta Cleo.
"Kamu saja. yang biasa membawa bayi kan perempuan!" tolaknya.
"Aku tidak bisa menggendong bayi. Kamu kan saudaranya banyak pasti sering menggendok anak kecil," tungkas Cleo dengan enteng.
Patra memutar bola matanya dengan malas. tidak ada pilihan lain, pria itu segera mengambil bayinya. Bukannya berhenti ketika ditimang-timang, bayi itu justru menangis semakin keras.
Tiba-tiba saja dua mobil, yang satu berwarna silver dan yang satu berwarna hitam metalik menghampiri pinggiran lapangan, keduanya begitu mengenal kendaraan itu.
"Ayah?" Cleo begitu terkejut, Areliam berhasil menemukannya.
Rupanya Parmija juga datang, "Bayi siapa itu, Patra?"
"Aku menemukan bayi itu di tong sampah. Bagaimana ini Ayah? Sebaiknya kita bawa ke panti saja."
Keduanya turun dari mobil masing-masing, "Bayi itu kelaparan. Kita harus segera memberinya susu." Areliam segera mengajak Cleo dan Patra untuk satu mobil. Membeli susu di toko terdekat. Bayi itu meminum dengan lahapnya karena sangat kelaparan. Sejak tadi Patra terus saja menggendongnya karena Cleo tidak mau.
"Akan kita apakan bayi ini, Ayah?" tanya Cleo.
"Kita bawa pulang," putusnya.
Tidak lama kemudia sampai juga di rumah Areliam. Keduanya nampak senang sekali menimang bayi perempuan itu.
"Kita beri nama bayi ini, Elfa." Areliam begitu bersemangat.
"Aku akan memberi nama belakangnya, Annandita." Parmija tidak mau kalah.
"Namany seperti kartun Frozen saja," tungkas Cleo. Dua anak muda itu hanya terdiam dengan fikiran masing-masing. Cleo sedang berikir jika ia gagal kabur kali ini, sementara Patra gagal bertemu dengan kekasihnya karena Parmija tidak memberinya ijin untuk pergi, ingin menghubungi kekasihnya, tapi sayang ponselnya mati kehabisan baterai.
"Kita bawa ke panti saja." Patra segera memutuskan agar semua berjalan dengan cepat.
"Kita harus merawat bayi ini," putus Parmija. Dua orang tua yang saling bersahabat itu sangat bahagia sekali.
"Ayah akan menjadikannya anak ke kesebelas dari sepuluh putramu?" Patra begitu malas, keturunan Parmija yang begitu banyak itu sepertinya tidak juga cukup.
Cleo menahan tawanya. Ia langsung ingat jika Patra anak ke sembilan dari istri Parmija yang ketiga. Ya pria lanjut usia itu memiliki satu istri. sementara Patra memiliki satu adik kandung yang saat ini masih Sekolah Dasar.
"Tidak. memang harus ada orang tua yang merawatnya ..."
"Siapa Paman?" tanya Cleo penasaran.
Parmija justru melirik Areliam yang sejak tadi senyum-senyum. Dengan bersamaan mereka berkata, "Kalian berdua."
"Apa?" keduanya begitu terkejut.
"Apa maksud kalian." Patra beranjak dari duduknya.
"Kalian berdua akan menikah!" ungkap Areliam.
"Maksud Ayah apa?" Kali ini Cleo.
"Ayah apa ini maksudnya? Aku tentu tidak mau." Patra protes.
"Kalian harus mau. Kasihan bayi ini. Kalian akan jadi orang tua asuhnya."
"Kalau begitu tidak perlu menikah. kita hanya cukup mengasuh," tutur Cleo enteng.
"Lalu bagaimana juga anak itu sudah besar. Dia tidak memiliki data diri. Dia harus masuk di Kartu Keluarga."
"Tapi Ayah!" Cleo ingin menangis. Ia tahu jika ayahnya sudah memberi keputusan maka keputusan itu tidak bisa ditolak begitu juga dengan Parmija.
"Putuskan Devina dan menikah dengan Cleo. Aku akan memberi restu untuk mu menjadi aktor." Parmija memang tidak pernah mengijinkan Patra menjadi Aktor.
Areliam mengajak Cleo agak menjauh dari Parmija dan Patra, "Kamu ingin keluar dari rumah ini kan?"
"Tidak Ayah. Aku hanya ingin kebebasan, aku ingin mengejar cintaku untuk Zain."
Areliam menghela nafas dengan panjang, "Kamu tidak perlu mengejarnya lagi. Patra juga seorang aktor yang tidak kalah tampan. Aku akan memberimu kebebasan, kamu bebas keluar bersama dengan Patra. Kamu bisa keluar dari rumah ini dan tidak akan bertemu dengan ibu tirimu lagi," jelas Areliam tanpa jeda.
"Jika kamu menolak, kamu tidak hanya akan kehilangan Zain, tapi juga kebebasanmu. Jika kamu menikah kamu hanya akan kehilangan Zain."
Cleo tidak habis fikir, "Kenapa sih Ayah selalu mengurungku seperti ini?"
Areliam terdiam, setiap kali ditanya pria itu tidak pernah menjawabnya.
"Aku akan memutuskan setelah Ayah memberi penjelasan padaku!" Ini jawaban yang selalu Cleo inginkan dan sekarang saatnya. Sejak ibunya meninggal karena kecelakaan Areliam selalu mengurungnya. Ia tidak diijinkan sekolah di tempat umum seperti anak lain, selama ini ia hanya belajar secara privat.