Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Rasa Lega

🇮🇩P3nink_ID
1
Completed
--
NOT RATINGS
1.3k
Views
Synopsis
Seorang anak perempuan baru saja mengalami pengalaman buruk dan hal ini benar - benar membuatnya terpuruk. Alih - alih menunggu waktu berlalu, orang tuanya malah memilih untuk menghapus ingatan anaknya agar ia tidak terlalu lama menderita, sayangnya hal tersebut tidak sesuai ekspektasi.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Rasa Lega

Sicho adalah seorang anak perempuan yang berbakti pada kedua orang tuanya, di siang hari ia membantu ayahnya untuk menebang pohon di hutan, sedangkan di malam hari ia membantu ibunya merajut pakaian. Setiap hari ia melakukan aktivitasnya dengan sabar dan ikhlas. Tidak seperti anak umur 6 tahun pada umumnya, Sicho tidak memiliki teman sebab ia tinggal di hutan. Keuntungannya adalah ia sudah bisa mandiri sejak dini, build different adalah dua kata yang cocok untuk mendeskripsikan dirinya.

Dikarenakan ekonomi keluarganya yang pas - pasan, rumahnya yang terbuat dari kayu tidak akan sanggup menahan terjangan badai, untuk mengantisipasi terjadinya hal yang tak dinginkan, sang ayah lantas membuatkan area basement sebagai tempat berlindung darurat. Sang ayah terlalu bersemangat dalam membangun basement rumahnya sampai - sampai rela begadang terus - terusan. Istrinya lantas bertanya, "Kenapa kau rela bersusah payah memaksakan dirimu seperti ini?"

Sang suami menjawab, "Sebenarnya kemarin, aku mendengar berita dari radio kalau seminggu lagi badai petir akan melintasi hutan ini."

Sambil membawakan kopi yang telah diseduhnya, si istri lanjut menasihatinya, "Aku akan mendukungmu jika itu demi kebaikan kita semua, tapi tolong jangan terlalu memaksakan diri. Kalau sampai jatuh sakit, nanti susah juga nyembuhinnya, mengingat kita tinggal di tempat terpelosok."

Sang suami tersenyum sembari mengucapkan terima kasih, sebelum pada akhirnya ia bergegas kembali ke hutan untuk mengumpulkan lebih banyak kayu. Sicho yang baru saja menyelesaikan sarapannya, segera berlari mengikuti ayahnya keluar rumah. Ayahnya lalu mengajak anaknya bercanda sejenak selama perjalanan, ia sengaja melakukannya agar Sicho tidak mengiranya sedang marah karena kecepatan jalannya yang lebih cepat dari biasanya.

Berjam - jam telah berlalu, Sicho juga kecapekan setelah menebang banyak pohon, setelah melihat ke langit dan mengetahui kalau sudah waktunya beristirahat, ia pun berteriak, "Ayah, ayo makan siang!"

Namun ayahnya malah menjawab, "Haha, tenang saja… ayah masih kuat kok!"

"Ta-tapi, ayunan kapak ayah mulai terlihat melemah itu."

"Kalau kau sudah merasa lapar, makanlah saja duluan. Sekarang bukanlah waktu bagi ayah untuk berhenti, Hiyaa…!"

Sicho lalu bertanya - tanya dalam hati, "Bukankah sekarang waktunya makan siang? Biasanya saat mentari sudah berada tepat di atas kepala, kami akan duduk di atas tikar dan menyantap bekal yang dibuatkan oleh ibu."

Sicho lantas berdiri lagi untuk ikut lanjut menebang pohon tanpa istirahat seperti yang dilakukan ayahnya. Satu jam telah berlalu, akan tetapi hasil yang diperoleh justru lebih sedikit dari jam - jam sebelumnya. Sicho kecapekan bukan main, selain ayunan kapaknya yang melemah, penglihatannya pun mulai tidak fokus. Sicho lemas sampai - sampai ia mengayunkan kapaknya setiap 10 setik sekali, disaat seperti itu sang ayah masih saja melanjutkannya seakan melupakan nasihat istrinya. Benar saja, Sicho tidak memperhatikan arahnya menjatuhkan pohon. Sang ayah yang tau kalau ia akan tertimpa pohon besar sudah tidak bisa berbuat banyak, tubuhnya yang lemas membuatnya susah menghindar, lantas ia hanya dapat meneriakkan kata terakhirnya, "ANAK PINTAARRR…!"

Sontak mendengar kata tersebut membuat mata Sicho kembali melek lebar. Tak terselamatkan, terlihat darah ayahnya yang termuntahkan di hadapannya, hal itu disebabkan dada ayahnya telah tertekan oleh benda berat. Ketakutan setengah mati membuatnya tidak bisa berkata apa - apa, ia pun langsung pulang dengan berlari sekencang - kencangnya. Sesampainya di rumah ia langsung masuk ke kamarnya, membuat sang ibu bertanya, "Lho Sicho, dimana ayahmu juga kapak yang kamu bawa?"

Sambil menangis ia berbohong, "Ayah memaksakan diri untuk terus menebang pohon, makan siangnya saja tidak dihabiskan, jadi aku tinggalkan dia sendirian disana."

"Begitu ya… sudah, berhentilah menangis, ibu yang akan menjemputnya," ucap sang ibu sebelum ia bergegas keluar rumah.

Sicho yang berada di rumah sendirian segera mengambil kunci pintu kamarnya yang terletak di laci kamar ibunya. Ia memutuskan untuk mengunci dirinya di dalam kamar dan menangis sejadi - jadinya sebagai tanda penyesalan atas perbuatannya itu.

Sang ibu menelusuri jejak rumput yang terinjak, di ujung jalan ia kaget saat melihat mayat suaminya yang tertindih pohon besar. Disaat itu juga ia merasakan adanya orang lain di sekitarnya, lantas ia menoleh ke belakang, terlihat seorang pria dengan jas putih yang mengatakan kalau ia adalah dokter yang diutus oleh pemerintah untuk bekerja di daerah pelosok. Sang ibu masih tidak percaya sehingga ia langsung mengambil kapak dan terus menjaga jarak, sebaliknya si dokter justru mendekat untuk melihat sumber darah yang tercecer. Panik, si dokter langsung berusaha mengangkat pohon tersebut saat mengetahui kalau itu adalah temannya, "Sial, Alfred bertahanlah!"

Perlahan ayah Sicho mulai tersenyum, "Ka-kau menyadari… ka-lau aku ma…sih… bernafas?"

Sembari meneteskan air mata, si dokter terus berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan pohon yang menahan temannya itu, "Diamlah! Jangan membuang - buang energi lebih banyak, a-aku pasti bisa menyelamatkanmu!"

Ayah Sicho mulai mengambil nafas panjang sebelum menyampaikan pesannya, "Su-dahlah… tolong, kau hapus… ing-atan an-naku ten…tang kejadian ha-ri ini, ak-ku tidak ingin… anak-ku yang… baik, men-dapat…kan trauma. Ma-aff…kan aku, istriku…."

Ibu Sicho langsung melepaskan kapak yang dipegangnya setelah melihat suaminya memejamkan mata, ia juga menutupi kedua matanya dengan kedua telapak tangannya untuk menahan tangis. Sebaliknya si dokter malah meneriakkan kekesalannya sekeras - kerasnya, "Sial… sial, andai saja aku tidak bermalas - malasan tadi, mungkin aku bisa sampai disini lebih cepat. Padahal ini hari pertamaku bekerja, tapi malah… HUUAAA…!"

Kenyataan kalau ayah Sicho bernama Alfred membuat ibu Sicho telah sepenuhnya percaya pada dokter tersebut, ia lantas mengantarnya ke rumah agar bisa megindahkan keinginan terakhir ayah Sicho. Sesampainya di rumah, ia mengetuk - ngetuk kamar Sicho yang tidak bisa dibuka. Bukannya jawaban yang didapatkan, justru tangisan Sicho menjadi lebih keras dari sebelumnya. Sang dokter mengatakan kepada ibu Sicho kalau sebaiknya ia memberikan waktu bagi anaknya untuk sendirian, mengingat kejadian tadi adalah hal yang sulit diterima. Setelah ibu Sicho mengiyakan sarannya, dokter tersebut meminta ijin untuk pulang.

Sicho tidak tau harus berbuat apa, ia terlalu memikirkan kejadian tadi siang sehingga tidak membantu ibunya malam ini. parahnya lagi, hal ini masih terus berlanjut dikeesokan harinya. Sicho terus - terusan menangis dan tak kunjung keluar dari kamarnya, palingan ia hanya membukakan pintu jika ibunya menyuguhinya makanan.

Seminggu sejak kematian Alfred telah berlalu, sang dokter kembali ke rumah Sicho dengan membawa suntikan. Seperti biasa sang ibu mengetuk pintu kamar Sicho untuk memberikannya sarapan, saat Sicho perlahan membukakan pintu kamarnya, sang dokter langsung menerobos masuk dan membuatnya pingsan terlebih dahulu dengan menepis tengkuknya, setelah itu baru sang dokter dapat menyuntikkan ramuan penghilang ingatannya ke kepala Sicho dengan aman seperti yang diminta oleh Alfred. Sang ibu lantas bertanya, "Apa dengan begini ia akan kembali hidup normal?"

Dokter menjawab, "Entahlah, aku hanya menjalankan keinginannya saja. Tapi dengan dosis yang kuberikan ini, seharusnya Sicho kehilangan ingatannya sampai dua minggu yang lalu."

Benar saja, saat Sicho terbangun, ia seakan tidak ingat apa - apa. Ia membuka tirai jendela kamarnya, terlihat hari sudah gelap. Sicho pun bergegas ke dapur untuk makan malam bersama keluarganya, akan tetapi disana ia hanya melihat ibunya. Lantas ia bertanya keberadaan ayahnya, "Ibu… Ayah dimana?"

Sang ibu segera memeluk erat anaknya sembari berkata, "Ayahmu sudah mengalami masa - masa yang berat menghadapi penyakit ganas, sekarang biarkan ia beristirahat dengan tenang."

Sicho rasanya ingin menangis tapi tidak bisa, seakan kehabisan air mata, tubuhnya hanya gemetaran sebagai respon. Setelah keduanya dengan ikhlas menerima kenyataan tersebut, mereka lalu makan malam bersama. Saat menyantap makanan itu, sang ibu bercerita kalau ia akan mengajari teknik baru untuk merajut kain menggunakan banyak benang yang berbeda warna sehingga membentuk pola unik. Hal tersebut membuat Sicho bersemangat, sang ibu lantas bersyukur sebab anaknya telah terlepas dari rasa penyesalan yang berlebihan.

Sayangnya hal tersebut tidak bertahan lama. Disaat Sicho kembali ke kamarnya untuk mengambil benang dan jarum miliknya, dari jendela kamarnya ia menyaksikan seseorang dengan jas putih membawa sekop yang berlumuran darah sedang menguburkan ayahnya di halaman rumahnya. Karena ketakuran, ia pun langsung berlari ke tempat perapian dimana ibunya berada. Ia lebih memilih diam dan tidak menceritakan kejadian yang baru saja ia saksikan.

Kini Sicho tidak hanya menggantikan pekerjaan ayahnya sebagai penebang pohon, tetapi ia juga sering berolahraga, lebih tepatnya melatih tubuh. Dalam lubuk hati Sicho berharap, suatu hari nanti ia bisa membalaskan dendam ayahnya dengan membunuh pria yang mengenakan jas putih di malam itu.

Sedikit penjelasan, sekop yang dibawa oleh dokter bisa berlumuran darah sebab sang dokter terus mencoba sekuat tenaga untuk meminggirkan pohon yang menimpa Alfred di hari pertama. Dikarenakan malam harinya hujan ditambah sang dokter sangat kecapekan, ia pun tertidur pulas di tengah hutan. Pagi harinya ia baru terbangun sehingga sekopnya yang ternodai oleh darah sudah mengering dan menjadikannya sulit dibersihkan, mengingat sang dokter memiliki sifat pemalas, mana mungkin ia mau bersusah payah membersihkan sekopnya. Lalu alasan sang dokter menguburkan mayat Alfred di halaman rumahnya Sicho adalah dikarenakan permintaan dari istri Alfred sendiri, berharap ia bisa selalu mengenang kebersamaannya bersama sang suami.

Istri Alfred beserta anaknya akhirnya kembali hidup damai hingga Sicho berumur 14 tahun, karena disaat itulah sang ibu meninggal. Setelah Sicho menguburkan mayat ibunya di samping kuburan ayahnya, ia mulai menajam pisau dapur yang biasa di pakai ibunya untuk memotong daging. Dengan mengenakan mantel bulu peninggalan ayahnya, Sicho hendak berkeliling hutan untuk mencari pria yang dulu dilihatnya sebagai pembunuh ayahnya.

Ia mulai keluar rumah saat sore hari, untungnya tidak memerlukan waktu yang lama, disaat mentari hampir terbenam, ia melihat pria berjas putih sedang berjalan sambil membawa keranjang berisi buah beri. Setelah Sicho memastikan kalau wajahnya adalah orang yang sama dengan yang dilihatnya di malam itu, ia lantas mengikutinya sampai pulang ke rumah. Selepas pria itu masuk ke dalam rumahnya sendiri, Sicho menunggu sejenak sebelum akhirnya ia juga ikut masuk ke dalam rumah yang tidak dikunci itu.

Awalnya Sicho berjalan jinjit agar langkahnya tidak terdengar, tapi tiba - tiba terdengar suara anak perempuan, "Eh, apakah kakak sedang mencari ayah saya."

Sicho terkejut luar biasa saat melihat ada anak perempuan yang terbaring di kasur, yang menjadi titik keanehannya adalah kasurnya berada di ruang keluarga tempat sofa dan radio berada. Ia lantas berusaha fokus ke tujuan utamanya, "Iya, dimana ayahmu sekarang?"

Anak ini memang tidak mengenali Sicho, tapi karena kepolosannya itu, ia tidak terlalu memikirkan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh orang asing, "Ayah sedang berada di kamarnya, mungkin ia sedang membuatkanku obat. Omong - omong kenapa ada pisau di saku kakak?"

"Oh, ini hanya untuk berjaga - jaga. Karena yang namanya hutan, pasti ada hewan buas," jawab Sicho sembari berjalan mendekati bocah tersebut.

"Maaf ya, aku tidak sopan begini. Padahal ada tamu, tapi aku masih terbaring di kasur. Sebenarnya kakiku ini mengalami kelumpuhan, tapi ayah mengatakan kalau kakiku ini pasti masih bisa disembuhkan."

"Ayahmu seorang dokter?"

"Iya, awalnya kami tinggal di apartemen kota, tapi sekarang aku tinggal di hutan ini adalah karena permintaanku sendiri. Hutan rasanya memiliki suasana tersendiri, karena itulah kebanyakan dongeng mengambil latar hutan, dan aku ingin merasakan berada di dalam dongeng."

"Begitu ya Lily?" (nama itu tertera di kaos yang dikenakannya)

"Iya, apa tujuan kakak menemui ayah? Seingatku ayah belum pernah menceritakan apa pun tentang kakak."

"Ini mungkin tidak pantas untuk didengar, tapi memang alasanku datang kemari… adalah untuk membunuh ayahmu."

Mendengar perkataan tersebut, sontak Lily langsung berteriak histeris memanggil ayahnya, "AYAAHHH…!"

Sicho terkejut sehingga langsung menusukkan pisaunya ke dada Lily, tepat saat sang dokter keluar kamar. Terjadilah dialog diantara keduanya, "Sicho, kenapa kau tega melakukan hal ini, Lily sama sekali tidak bersalah!"

Dengan berani Sicho ikut membentak, "Anda juga telah membunuh ayah saya disaat saya masih seumurannya, kenapa anda tega melakukannya?!"

"Bodoh! Itu kau sendiri yang melakukannya," teriak sang dokter sambil menyodorkan pistol ke arah Sicho.

Tanpa banyak bicara, Sicho langsung melesat ke arah sang dokter. Tiada keraguan dalam diri sang dokter sehingga ia rela menembakkan peluru sebanyak - banyak untuk dapat membunuh Sicho lebih dulu. Akan tetapi itu sia - sia, reflek Sicho sangat bagus sehingga dapat menghidari semua peluru dengan sempurna. Disaat pistol tersebut kehabisan amunisi, disitulah Sicho langsung mengakhiri hidup sang dokter dengan satu tusukan di bagian dada, sama seperti yang dilakukannya kepada Lily secara spontan.

Akhirnya kedamaian yang sesungguhnya benar - benar dapat Sicho rasakan. Sama seperti perlakuan pria tersebut, Sicho menguburkan mayat Lily dan ayahnya di halaman rumah Lily. Melihat rumah sang dokter jauh lebih layak ditinggali dibandingkan dengan rumahnya, ia memutuskan untuk mengambil kepemilikan rumah sang dokter.

Bertahun - tahun telah berlalu, Sicho tumbuh menjadi wanita dengan tubuh ideal. Namun dikarenakan Sicho tinggal di hutan yang tidak ditinggali oleh banyak orang, ia pun terpaksa menikahi dokter lain yang bekerja di daerahnya agar tetap bisa meneruskan hidup secara berkeluarga. Mengingat rumah yang ditinggalinya pernah menyimpan sebuah kejadian yang tidak disengaja, Sicho pun memutuskan untuk menamai putrinya dengan nama Lily.