Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

not so ordinary life

cottoncloud
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.3k
Views
Synopsis
Sejak berhenti menjadi Atlet Karate, Hanna hanya memiliki keinginan yang sederhana. Mendapatkan pekerjaan yang biasa-biasa saja, bekerja sebagai karyawan yang biasa-biasa saja, membangun keluarga yang biasa-biasa saja dan menghabiskan hidupnya dengan biasa-biasa saja. Darren tidak pernah memiliki kehidupan yang biasa-biasa saja sejak lahir. Orang-orang kalau tidak memujanya, ya membencinya. Pikirnya, kehidupan yang biasa-biasa saja sangat jauh dari pandangannya. Namun takdir selalu senang bermain-main dengan manusia, bukan?
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1: Encounter

Awan terasa jauh dari pandangannya saat ini.

Hanna saat ini berada di atap sekolahnya. Menyandarkan punggungnya pada salah satu sisi dinding dengan pakaian olahraganya, menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya.

Tidak, tidak. Ia bukan gadis kesepian bernasib malang yang tidak punya teman. Ia hanya gadis biasa, sangat biasa. Wajah yang biasa-biasa saja, keluarga yang biasa-biasa saja, kelompok teman yang biasa-biasa saja, serta kemampuan akademis yang biasa-biasa saja.

Tapi ia, mungkin, memiliki kemampuan fisik diatas rata-rata.

12 tahun sudah ia melakukan seni bela diri Karate. Ia cukup yakin dengan karirnya sebagai atlet setelah memenangkan beberapa kompetisi tingkat nasional.

Tadinya.

Tepat enam bulan lalu, dokter mengatakan bahwa Hanna sudah tidak mungkin melanjutkan karirnya sebagai seorang Atlet Karate. Cidera lututnya cukup parah saat itu, akan sangat berbahaya jika ia melanjutkan karirnta sebagai seorang Atlet. Ia dapat kembali berjalan dengan normal saat ini pun merupakan suatu keajaiban kata therapist-nya.

Sebenarnya sejak awal bukanlah keinginan Hanna untuk menjadi seorang Atlet. Ayahnya yang merupakan pelatih seni beladiri asal Jepang itu yang menginginkan putri sulungnya untuk berkecimpung di dunia yang sama dengannya. Oleh karena itu, cidera yang dialami Hanna lebih berdampak besar pada ayahnya daripada dirinya sendiri.

Hanna sendiri menanggapi cideranya dengan santai, sangat santai untuk ukuran gadis seusianya. Tapi toh, ia masih bisa berjalan dengan normal dan menjalani kehidupan yang normal.

Biasanya Hanna berada di sini untuk merenungkan apa yang harus ia lakukan dengan hidupnya setelah ia berhenti menjadi atlet. Nilainya sangat biasa-biasa saja karena ia terlalu berfokus kepada kegiatan seni bela diri itu selama ini. Tidak memungkinkan baginya untuk masuk ke Universitas ternama di kotanya.

Namun hari ini, Hanna sudah memutuskan apa yang akan dia lakukan dalam hidupnya. Hanna tidak menginginkan hal yang muluk-muluk. Lulus SMA, masuk ke salah satu universitas negeri, lalu bekerja sebagai karyawan biasa di perusahaan manapun yang dapat memberinya gaji yang layak.

Ini mungkin akan menjadi terakhir kalinya Hanna berada disini, karena ia berniat mengejar ketertinggalannya dalam hal akademis demi mencapai apa yang diinginkannya.

Ding! Dong!

Mendengar bel tanda masuk berbunyi, Hanna bergegas meninggalkan tempat itu.

Gadis berambut panjang dengan poni mencapai alis matanya itu berjalan dengan santai. Ia tau betul, mata palajaran berikutnya adalah sosiologi, yang diajar oleh guru yang semua siswa dan siswi pun tau, sangat sangat sering terlambat masuk.

Bugh..!

Suara itu berasal dari gang sempit di sebelah kamar mandi pria. Dan Hanna pun tahu betul suara apa itu.

Perundungan.

"Jangan terlibat.. jangan terlibat.. jangan terlibat.." Hanna terus mengulang kalimat itu di dalam kepalanya. Melibatkan diri dengan hal-hal seperti ini tidak akan membawa dampak baik untuknya. Tentu ia tau ini tidak benar, tapi menjadi bystander* adalah pilihan terbaik untuknya saat ini.

"Bagaimana kalau kita patahin aja jari-jari tangan si brengsek ini?"

Hanna menghentikan langkahnya. Cukup. Ini sudah keterlaluan.

"Ehem!" Hanna menyilangkan lengannya sambil menyandarkan punggungnya ke salah satu sisi dinding gang kecil itu. Menatap 4 pria yang tampangnya tampak seperti bapak-bapak baginya.

"Why are they still in high school?" Keluhnya dalam hati.

"God this is embarrassing.." Korban perundungan, siswa kurus berkacamata itu akhirnya mengangkat wajahnya. Pria malang itu terlihat mengenaskan dengan luka di beberapa bagian wajahnya. Hanna bahkan dapat melihat sisa-sisa darah di ujung bibirnya.

"4 lawan 1? Apa kalian gak malu sama tampang kalian yang kayak bapak-bapak itu?" Hanna berkata dengan enteng sambil menatap 4 perundung itu satu persatu dengan tatapan meremehkan.

Keempat perundung itu saling bertatapan, salah satunya berjalan mendekati Hanna.

"Mau jadi pahlawan eh?" Hanna melirik lelaki yang kini berdiri di hadapannya ini. Menaikkan ujung bibirnya mendengar ucapan pria di hadapannya ini.

He sure has guts..

"Kita bisa aja lepasin cacing itu, kalo lo mau seneng-seneng sama kita. Ya gak?" Ia menoleh ke arah teman-temannya seolah meminta persetujuan, yang disambut dengan terikan heboh dari mereka.

Sexual Harrasment eh?

Hanna tertawa kecil, ia dapat melihat perundung-perundung itu terkejut dengan reaksinya.

"Boleh.. Yuk kita seneng-seneng?"

- end of chap 1 -

----------------------------------------------------------------------

*Bystander: Pengamat, orang yang tidak melakukan apa-apa meskipun melihat orang lain membutuhkan pertolongan.

----------------------------------------------------------------------

author note:

hi! ini adalah karya pertamaku di platform ini and i am very new in this platform. i've always liked pouring my imagination into words. i still have a lot to improve so i need your support and constructive criticism. thank you!