Banyak simpatisan belum tentu berperasaan. Ada sisi simpati dan empati.
Tapi, kalau ego sudah dijunjung tinggi, keduanya telah mati.
....
"Dan aku masih di sana.
Melihat warna-warni trotoar yang aku cat sendiri, sepanjang jalan yang menjadi perjalanan"
"Baiklah, terus terang saja: aku ingin beranjak dari sana.
Aku ingin menemui ujung trotar yang bompal, lalu ku benahi sepenuh hati. Daripada meracuni fikiran sendiri kalau hati ini separuh mati"
....
Ranu mengalami proses yang sama, terlebih ia dalam masa remaja. Karena abangnya adalah teman seperjuanganku, ranu sering kali bercerita tentang keluh kesah hidupnya padaku, dibanding pada abangnya sendiri. Ia tetap bersosialisasi, meski dikecewakan beberapa kali.
...
"Orang yang berpotensi membuat kecewa, adalah dia yang paling dekat denganmu"
...
Ranu betul-betul terngiang pada pedoman itu, dan mengingatnya dalam-dalam saat ia larut dalam kesedihan, dalam kecewa yang cukup dalam.
Ia sedikit banyaknya bercerita padaku tentang tragedi yang terjadi. Kita berbincang dengan bahasa sehari-hari, mengikuti trend kata yang berjalan. Agar ia tak merasa malu dan kaku terhadap aku yang saat itu berteman dengan abangnya.
Waktu itu, saat ia termenung, dan badannya seperti setengah bernyawa.
...
"Ada apa nu? Dari tadi lemes banget kayak gak punya tulang. Keluar yuk, ceritain ke gue, barangkali gue bisa bantu"
.
"Eee.... Eeenggaaa bang, inii biasalah bang"
.
"Halah, udeh, yuk jalan"
.
"Ii... Iiiiyyyaa deh bang, yuk deh"