Februari 2017..
"Jika kehidupan adalah masalah , akan ku tantang masalah itu dengan tanganku sendiri!"
Seorang wanita keras kepala itu terlihat geram dan mengepalkan tangannya. Matanya nampak membara dengan semua kemarahan. Rasa kesal tengah memeluknya hidup-hidup.
Dialah Mellin , dara 17 tahun dengan segala pengalaman pahit di otaknya. Hidup dengan keadaan keluarga yang broken tentu tidak mudah untuknya. Sebagai imbas kehidupan kelam yang ia miliki , lahirlah wataknya yang keras lagi kasar. Jauh sebelum perceraian orang tuanya , Mellin ialah anak kecil yang super aktif , ceria , dan banyak bicara. Kehidupannya glamour dan serba terpenuhi. Namun setelah perpiasahan orang tuanya itu , ia hidup bersama nenek kakek dari pihak ayahnya di desa. Ia jadi lebih irit bicara.
Di dalam bilik kamarnya ia menahan air mata yang hampir tumpah. Menurutnya menangis itu memalukan. Sederet pelecehan dan bullying yang ia alami hari ini begitu menguras semua emosi yang ada.
"Apa yang salah dengan tubuhku? Aku bahkan memakai kerudung yang kedodoran bahkan punggungku pun aneh karena skoliosis! Dasar bejat! Bejat! Bejat!" Mellin memukuli pahanya.
Wajahnya menghadap ke cermin. Tertujulah lagkah kakinya mendekati cermin bundar itu. Sedikit ia termenung.
"Nggak.. Aku gak boleh lemah..... Jika menjadi peempuan adalah kesengsaraan...." Mellin melepas ikat rambutnya.
"Maka sekarang , aku bukan lagi perempuan.... perempuan hanya cangkang!"
Ia mulai memotong rambutnya lebih pendek.
#########
Desa Bawangan.....
Desa berudara sejuk yang ada di kecamatan sebelah ini terkenal akan kerupuk puli nya yang gurih. Tak jarang mak emak disana mengolah nasi menjadi kerupuk puli yang nikmat. Terlihat wahid , seorang anak bungsu dari dua bersaudara membantu Santi , emaknya menjemur kerupuk di atas genteng. Padahal ia sudah hendak pergi kerja. Kehidupan desa ini begitu kental dengat adat jawa yang masih dijunjung tinggi.
"Sudah kesiangan , mak. Aku harus berangkat."
"Kalau begitu tunggu sebentar , emak ambilkan bekalmu" mak Wahid bergegas ke dapur.
Wahid menunggu sembari mengecek hp nya.
"Hati hati. Naik motornya jangan kenceng kenceng Le. Musim hujan musim orang jatuh." Nasehat mak Wahid sambil menyerahkan bekal untuknya.
"Inggih , mak.. Aku kurangin kecepatannya kok. Assalamualaikum." Wahid mencium tangan emaknya.
"Waalaikumsalam"
Mata Santi memandang sang anak yang hendak menyalakan motor bututnya untuk pergi bekerja sejauh 15km. Berdirilah ia didepan rumah melihat Wahid berangkat mencari pundi pundi rejeki. Ia benar benar memastikan anaknya mengendarai motor dengan pelan sesuai nasehatnya. Namun begitu heran beliau melihat Wahid yang masih saja membara dengan jiwa muda nya menaiki motor dengan laju kencang.
"Huhh.. Anak zaman sekarang kalau gak ngebut gak enak.." Herannya menggeleng gelengkan kepala.
Bapak Rusdi , suaminya mendekatinya.
"Sudahlah.. Dia sudah besar. Anakmu itu sudah 22 tahun." Ia bermaksud menenangkan istrinya itu.
Santi hanya tersenyum. Mereka pun melanjutkan segudang kesibukannya sebagai petani di sawah .
Mungkin diantara sekian banyak pemuda di desa , Wahid ini lah pemuda yang paling doyan dengan kerja keras. Bayangkan saja sejak usia 12 tahun ia sudah bekerja di sebuah bengkel saudaranya setelah pulang sekolah.
Uang upah yang tidak seberapa di waktu itu menurutnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan uang sakunya atau bahkan membelikan susu untuk keponakannya yang masih balita. 10 tahun berlalu , kini Dia menjadi seorang Jejaka dan bekerja menjadi Office Boy di sebuah rumah sakit. Terkadang ia mengeluh dengan tugas OB yang kadang kadang tidak manusiawi. Mengeluh adalah manusiawi dan semua orang pernah merasakannya. Baginya boleh saja mengeluh asalkan tetap gigih untuk menjalani hari hari yang berat.
Banyak pula wanita yang mendekatinya. Namun semua untuknya terasa semu. Wahid mempunyai keinginan menikah sejak ia menginjak usia 19 tahun. Wanita wanita yang mendekatinya layaknya sebuah kapal yang hanya mampir bersinggah lalu pergi begitu saja. Tak ada yang pasti , begitupun tentang hari esok. Terkadang ia sendiri termenung memikirkan misteri hari esok yang sedang menantinya.
Sesampainya di tempat kerja dan memarkirkan motornya, suasana rumah sakit terpantau sepi.
"Bismillah.. Semoga hari ini penuh kelancaran" Do'a Wahid mengawali serangkaian pekerjaannya.
####
Pagi hari di SMA – SMK Delta Bangsa. Hiruk pikuk siswa siswi yang berbondong bondong memenuhi sekolah sangat ramai. Jam berdenting masih menunjukkan pukul 06:30 Pagi. Ada pula dari mereka yang berjalan kaki, mengendarai motor, atau bahkan bercengkerama dengan teman atau mungkin ada pula yang sedang PDKT dengan crush mereka sendiri didepan gerbang. Suatu pemandangan yang lazim di lingkungan sekolah. Mellin terlihat baru saja sampai di sekolah bersama motor maticnya. Kerudungnya lepek kesana kemari hasil kebiasaannya mengendarai motor kebut kebutan. Dengan segera ia menata kembali kerudung putihnya itu. Seragam putih abu abu menjadi kebanggaan yang ia miliki saat ini sebagai siswi kelas 2 SMA.
Tiga orang temannya, Dwi, Kiki dan Nur terlihat menunggunya di depan ruang Lab TIK. Mereka terlihat gembira dengan kedatangan si keras kepala yang masih berada di halaman parkir sekolah.
"Buruan naik ke kelas! Udah tinggal 5 menit lagi masuk woe!" Cakap Dwi dengan lantang kepadanya.
Sementara Nur dan Kiki terlihat tertawa kecil.
"Tumben amat lu ah berangkat mepet mepet gini" Senggol Kiki.
"Bukannya daily routine ya gue dateng jam segini?" Tanya Mellin tersenyum.
Dan mereka pun tertawa bersama. "Hahahaha".
Terlihat salah satu guru hendak memencet bel masuk. Memekik lah suara bel yang nyaring, tanda jam pelajaran akan segera dimulai.
"Agak menyebalkan sih jam pertama gini mau ulangan harian kimia" keluh Nur.
"Yaa mau gimana lagi. Yuk naik ke kelas" Imbuh Mellin.
Mereka pun menaiki satu persatu anak tangga bersama segerombolan anak anak lain.
"Btw jangan lupa satu untuk semua lho" Celetuk Dwi.
Mellin tersenyum. "Kalau soal satu untuk semua kita nurut apa jawaban Kiki aja haha".
"Lah kok gue!"
"Yang gak nyampek kelas duluan upilnya asin!" Mellin pun mendahului ketiga temannya di tangga sekolah.
Teman temannya tertawa sambil berceloteh ria.
"Dih! Woee! Tungguin napa"
"Mellin freak bener!"
Disaat ulangan harian berlangsung, semua terlihat antusias mengerjakan semua soal soal yang tertera. Terkecuali Mellin yang malah tertidur pulas dengan wajahnya yang menempel pada kertas ulangan.
"Kebiasaan!" bisik Dwi.
"Pssstt! Bangun napa! Gue udah ngerjain 8 soal nih" Dwi membangunkan teman sebangkunya yang bandel itu.
Sebenarnya jauh sebelum hari ini, Mellin adalah salah satu murid yang lumayan berprestasi saat ia duduk di bangku SD dan SMP. Ia tak pernah luput dari peringkat 5 besar bahkan sempat menikmati berada di ranking 3 besar dikelasnya. Sayangnya sejak hari itu, disaat ia terjerumus di dunia balap liar yang begitu menyenangkannya ia mulai kendor dengan semangat belajarnya. Dari yang awalnya seorang pendiam dirumah menjadi pemberontak yang mengatas namakan kebebasan berekspresi. Seringkali ia membolos karena saking inginnya ia menikmati waktu bermain yang seru. Namun semua itu terjadi tidak begitu saja. Semenjak perceraian kedua orang tuanya, Mellin terdidik ketat oleh nenek kakeknya. Bahkan untuk bermain bersama anak tetangganya pun tidak boleh lama lama. Rasa kekangan yang begitu mencekiknya membuat ia muak. Kesepian menjadi teman sejatinya sejak kecil. Tanpa teman curhat, tanpa teman berbagi. Menurutnya curhat ke keluarganya adalah nihil dan sama seperti bunuh diri. Hanya dia dan imajinasinya yang selalu tertoreh di buku diarynya. Dibesarkan di lingkungan strict parents sepertinya kurang cocok dengan kepribadian yang susah ditebak sepertinya.
Selain itu, Ia adalah anak yang kekurangan kasih sayang Ibu dan pengawasan orang tua. Betapa besar dampak perpisahan orang tua baginya. Dibalik semua tingkah lucunya, hatinya begitu hampa dan nyaris saja menyerah. Belum lagi dampak bullying dan serangkaian pelecehan yang seringkali ia hadapi.
"Mmm.. 8 soal?" Ia terbangun dari tidurnya.
Dwi menyodorkan jawabannya diam diam untuk Mellin. Dengan segera Mellin mengcopy paste semua jawaban Dwi yang ia sendiri tak mengerti apakah jawaban itu benar atau salah. Menurutnya hanya satu, yang penting ia sudah mengerjakan. Sesekali matanya menoleh ke guru pengawas yang sedang sibuk memoles bibirnya dengan lipstick merah merona. Hatinya sangat senang. "Situasi aman!" bathinnya.
30 menit berlalu, jam istirahat telah tiba. Seperti biasa Mellin dan kawan kawan nya menuju kantin. Beraneka jajanan dan minuman tersuguh beraneka rasa dan rupa. Ada pula yang gurih, manis, bahkan pedas. Semuanya begitu menggoda selera. Tak terkecuali sebotol cola. Minuman bersoda itu sangat digemari Mellin dan ketiga temannya. Tak lupa mereka sembari mengutak atik sosmed masing masing. Facebook adalah yang paling terfavorit. Beraneka isi hati dan aktifitas manusia terpampang didalam layar dalam sekali scrolling. Ada yang gembira, ada pula yang sedih, ada pula yang tidak jelas.
####
Nampaknya di belahan bumi yang lain, Wahid pun sama sama menikmati jam istirahat kerjanya. Keringatnya masih segar membasahi dahinya. Sebuah tanda rasa lega dan letih atas pekerjaan yang baru saja ia laksanakan. Jari jemarinya mengscroll laman facebook di layar hp nya yang mungil.
"Mellin-chan?"
Wahid dengan asal asalan mengklik permintaan pertemanan ke pemilik akun itu yang tak lain ialah Mellin.
"Gak kenal sih, dan gak tau juga dia siapa. Tapi lumayan buat friendlist" gumamnya di hati.
"Bro! Makan siang dulu yok!" Ajak salah satu rekan kerjanya.
Wahid sedikit terkejut. "Eh iya, iya! Tunggu aku!". Ia pun terburu buru menyusul temannya yang sudah masuk warung duluan.
####
Notifikasi di ponsel Mellin berbunyi.
"Satu permintaan pertemanan ya?" bathinnya.
"Wahid Hamid, wuishh! Cowok lo ye?" Ceplos Kiki yang mengintip aktifitas layarnya.
"Sok tau lo. Ini orang ngeadd gue! Tapi siapa sih? Mana foto nya pakek slayer ,apaan coba?" Heran Mellin.
"Entar dikonfirmasi tuh cowok lo ngamuk ngamuk dah" Imbuh Nur.
"Cowok apaan. Gue lagi males pacaran"
"Aji kakak kelas gue waktu smp masa bukan pacar lo?" Tanya Dwi.
"Yang katanya buka fb aja harus izin" Celetuk Kiki sekali lagi.
"Dih. Haha, itu cuma abang abangan gue aja. Lagipula mana tahan gue sama orang overprotektif kayak gitu." Kata Mellin.
Aji adalah salah satu seseorang yang mengagumi Mellin. Karena ketertarikannya, Ia mencoba mendekati Mellin sejak ia tahu bahwa Mellin telah putus dengan Anang, teman sebangku Aji dulu saat SMP. Hanya saja, sifatnya yang terlalu protektif membuat Mellin tidak nyaman. Sifat pria yang rata rata susah peka, membuatnya tidak menyadari hal itu.
Selain itu, Aji juga tidak ragu ragu untuk memarahi beberapa Pria yang mencoba mendekati wanita yang ia sukai itu.
"Gue hanya ingin punya banyak teman! Dan Lo merusaknya!" Flashback kekesalan Mellin beberapa hari yang lalu.
Aji dengan santai nya membalas "Kamu tidak suka aku jagain begini?"
Suasana malam dua hari yang lalu begitu ramai dengan gemerlap lampu alun alun kota. Namun atmosfer panas kemarahan Mellin tak mampu ia bendung. Mellin menghela nafasnya dalam dalam menenangkan rasa kesalnya.
"Lo berlebihan... Cukup!"
"Tapi..."
Belum selesai Aji dengan bicaranya, Mellin menyerobot. "Lo gak akan paham, Ji! Gue capek gue harus pulang dulu."
Melihat wanita yang ia kagumi memasang raut muka masam membuatnya kebingungan.
"Ada yang salah? Apalagi yang salah? Aku hanya berniat menjaga saja gak lebih." Gumamnya.
Aji hanya bisa terdiam melihat Mellin meninggalkannya sendiri di alun alun.
Mellin sendirian menyusuri kota dengan motor maticnya. Tak terasa air mata jatuh di pipinya. Ia semakin yakin tak ada orang yang mampu memahami hati kecilnya itu. Bahkan Mellin pun sering kali tak mengerti keinginan hatinya sendiri. Yang ada hanyalah kesepian dan kesunyian, membiarkan hatinya bentrok dengan logika di otaknya.
Beberapa waktu sebelum Aji ada di hidupnya, Ada penghianatan Anang yang membawanya ke jurang dendam membara. Anang tak lain ialah laki laki yang ia kenal saat ia duduk di bangku kelas 1 SMA. Kala itu, Anang adalah seorang murid kelas 3 jurusan Mesin di SMK Delta Bangsa. Perkenalan mereka tak terjadi begitu saja. Mellin mengenalnya lewat temannya saat itu yang berkata "Orang ini Jomblo". Berawal dari beberapa kali pertemuan di kantin, hingga akhirnya Anang menyatakan isi hatinya untuknya. Tentu saja Mellin yang kala itu juga menyukainya menerima pernyataan dari pemuda 19 tahun tersebut. Hanya saja ia tak mengerti jalan pikir Anang hingga mengkhianatinya berkali kali. Rasa kecewa dan trauma menusuk hatinya. Hingga akhirnya di pagi itu, sekitar awal Januari 2017 Mellin memutuskan pergi dari hidupnya.
Kembali ke cerita, Mellin menerima permintaan pertemanan dari akun Wahid. Sekalipun ia sedikit bimbang karena ia tak tahu siapa dia. Tanpa menghiraukan sikap posesif seorang Aji. Baginya "duniaku tetaplah duniaku, bukan dunia dengan campur tangan aturan orang lain".
####
Hari demi hari berlalu. Seminggu bekerja tanpa libur membuat Wahid ambil cuti sendiri karena kelelahan. Sore hari menyapa. Wahid sedang beberes kamar miliknya. Emak Bapaknya bercengkrama di ruang tamu bagai dua burung dara yang berkicau dalam riuh sunyi. Sembari ditemani secangkir teh dan secangkir kopi hitam tumbuk khas racikan Emaknya.
" Anak kita sepertinya memang sudah ingin menikah, pak" cemas Santi.
Bapaknya menikmati sebatang rokok yang baru saja Beliau nyalakan.
"Wahid itu kerjanya masih serabutan. Kamu mau istrinya hanya dikasih makan batu?"
"Iya juga sih pak."
"Kita ini orang sederhana. Apa yang kita harapkan dari sepetak sawah? Eh dia malah enak banget kepengen kawin. Dipikir rumah tangga itu gampang?" gumam Rusdi.
"Dengerin tuh Bapakmu bicara, hid" senggol Santi untuk anaknya yang berada didalam kamar.
Wahid hanya diam termenung memikirkan kata kata Bapaknya.
"Dia tidur. Sepertinya tidur" Tebak Rusdi.
Santi mendekati suaminya. "Sudah biarkan. Dia kelelahan."
Rusdi hanya mengangguk.
Sebenarnya Wahid sendiri masih belajar tentang arti pernikahan jauh didalam diamnya. Tak sedikit wanita yang ia tawari untuk menjadi pendamping hidupnya. Terkadang keraguan menggerus hatinya. Bathinnya selalu berkata "Apa aku sudah pantas menjadi imam yang baik?" Tapi baginya itu semua tak mengapa. Ia bukan tipikal orang yang gegabah dalam mengambil keputusan. Bahakan untuk satu keputusan yang akan ia ambil, ia akan memikirkannya kembali berkali kali.
Sudah beberapa kali ia mencoba memejamkan mata. Namun, ia tak kunjung terlelap. Kembali ia membuka hp nya dan menjelajah di beranda facebook miliknya.
"Udah dikonfirmasi?" heran Wahid melihat notifikasi akun Mellin-chan menerima permintaan pertemanannya beberapa hari yang lalu.
Rasa penasaran menyeruak di benak Wahid membuatnya menelusuri semua hal di akun itu. Semua postingan Mellin membuatnya beberapa kali tertawa karena tingkah lucunya. "Wanita ini hahaha. Dia punya sense of humor yang gak biasa. Ceria juga" bathin Wahid. Melihat foto Mellin yang mengenakan seragam sekolahnya membuat Wahid lebih penasaran dengan sosok Mellin. "Siswi SMA Delta Bangsa? Lah lumayan deket juga" gumamnya. Akhirnya muncul lah ide untuk sekedar basa basi. Dia mencoba untuk sekedar nimbrung di kolom komentar postingan itu. Terlihat postingan foto Mellin yang bertingkah konyol menaiki sapu lidi layaknya penyihir di zaman victorian. "Sapunya semoga baik baik saja" komennya.
####
Malam hari di kamar tidur yang nyaman. Mellin larut dalam lamunan. Sesekali ia merabai tangannya dan badannya.
"Berapa kalipun aku menutupi rasa jijik itu, rasa itu selalu saja menempel di tubuhku. Padahal aku telah mengubah diriku sendiri"
Otaknya tengah memutar semua kejadian yang tidak mengenakkan. Ia sulit lupa dengan tangan tangan kotor yang berani melecehkannya.
"Badanku.. Maafkan aku.." Mellin merangkul dirinya sendiri dengan menahan air matanya.
Mellin bukan lagi gadis feminim dengan lagu lagu mellow di playlistnya. Dia sudah begitu lelah menjadi wanita yang menurutnya selalu terinjak dan terhina. Meskipun ia selalu mengenakan pakaian longgar sekalipun, tak menutup kemungkinan ada orang bodoh yang berani untuk melecehkan dirinya itu. Pelecehan seksual tidak mesti terpaut dengan wanita berpakaian minim. Di zaman yang semakin gila ini, wanita berpakaian tertutup pun masih bisa menjadi sasaran manusia brengsek. Terkadang sebagian dari korban pelecehan adalah anak kecil dan bahkan bisa juga terjadi pada kaum laki laki baik itu dewasa atau masih dibawah umur. Ya, di masa kini sudah terlalu banyak penyimpangan dan kerusakan. Suatu hal miris yang telah diperbuat oleh seonggok daging yang diberi nyawa .
Terlalu banyak berfikir membuat asam lambungnya melonjak naik. Mellin mempunyai riwayat penyakit asam lambung akut. Sesekali ia menahan rasa panas asam yang tengah menjalar ke kerongkonganya. Tangannya mengambil obat antasida yang berada di dalam sakunya. Segera ia kunyah tablet itu. Penyakit itu tidak datang begitu saja. Kebiasaan Mellin yang gemar makan masakan pedas dan kebiasaan minum cokelat hangat membuatnya bertemu penyakit itu. Terlebih lagi ia adalah overthinker. Semua kejadian tidak mengenakkan yang ia alami atau bahkan semua masalahnya tak pernah diketahui oleh orang tuanya. Keluarga besarnya pun tak pernah tau. Mellin selalu menyimpan dan menghadapi masalahnya sendiri. Dia bukan tipikal wanita manja yang selalu merengek ketika tertimpa masalah. Didikan keras nenek kakeknya telah berhasil membuatnya menjadi orang tertutup yang tidak mau berbagi kesedihannya sendiri. Menurut Mellin, tidak semua orang peduli disaat dirinya bersedih. Pasti akan tetap ada orang yang tertawa dengan kesedihannya.
"Anak gadis jangan banyak banyak di kamar" Tegur nenek Mellin yang tengah lewat didepan kamarnya.
"Emangnya kenapa lagi sih? Capek lho abis ngerjain PR banyak bener"
Neneknya berbalik ke kamarnya. "Kamu gak takut dikawinin Joko Dholog? Ya gitu tuh ciri ciri gadis yang disukai Joko Dholog. Suka mager dikamar terus!"
Mellin terlihat kesal. "Keluar rumah gak boleh. Diam dikamar pun salah!? Apa maunya sih Nek?"
"Dasar anak bandel! Duduk duduk nonton tv di ruang tamu kan bisa?" Ujar Neneknya.
Mellin terdiam. "Daripada nambah masalah baru mending nimbrung didepan tv dah" bathinnya.
Keluarlah ia dari tempat ternyamannya itu. Neneknya terlihat sedikit kaget dengan rambut Mellin.
"Sejak kapan kamu potong rambut?" Tanyanya.
"Kemarin" Jawab Mellin singkat.
"Bodoh ya kamu itu. Rambut dah bagus bagus panjang lurus. Dipotong jadi sependek ini? Mau jadi apa kamu? Mau kayak anak punk yang rambutnya gak karuan kek gitu?" Omelnya melihat rambit Mellin yang jadi Boyish.
"Bahkan yang rambutnya panjang lurus terurai pun ada kok yang gagal. Tuh ada yang jadi PSK dipinggir jalan!" Mellin sudah sangat kesal.
"Eeehh anak kemarin sore dah berani jawab ya kalau di nasehatin. Membangkang terus!" Kesal Nenek Mellin.
"Daripada nenek capek capek marahin Mellin, mending nonton tv bareng disini deh. Kalau aku udah nurutin Nenek nonton tv didepan kayak gini masih aja dimarahin mending aku balik tidur aja"
Nenek Mellin terdiam dengan tatapan yang tajam. Beliau pun duduk di kursi. Tampak kakeknya yang duduk di teras terheran heran. Setiap hari beliau mendengarkan adu celoteh istri dan cucunya itu. Sudah jadi kebiasaan baginya dengan suasana rumah yang gaduh. Lalu ia mengambil langkah masuk kedalam rumah dan menemani istrinya menonton tv.
"Buk, percuma.. Anak anak sekarang susah di nasehatin. Capek sendiri kamu jadinya" bisik Kakek Mellin.
Nenek mellin hanya diam saja melihati Mellin didepannya.
"Ya namanya anak tanpa figur ibu, maklumi saja" lanjut Kakek.
"Tapi mbah, mau jadi apa cucu kita? Dia luar biasa bandel. Bahkan ayahnya saja jengkel dengan bandelnya itu!"
"Masa depan dia yang merancangnya sendiri" jawab kakek santai.
"Kamu lihat tuh, Mel. Cucu depan rumah. Dia nurut bukan jadi pembangkang sepertimu. Udah pinter bantu bantu, bisa masak juga." Neneknya mulai membanding bandingkan dia.
Mellin diam menahan emosinya dan mencoba bersikap bodoamat.
"Padahal gue paling males dibandingin. Ayah aja gak pernah bandingin gue. Ini tua bangka banyak omong" bathinnya.
Ia beranjak dari duduknya.
"Mau kemana lagi kamu?" tanya Nenek dengan nada tidak enak.
"Mau tidur daripada kuping panas" Mellin menuju kamar tidurnya.
"Kebiasaan!" gumam nenek.
Diatas kasur, dia membuka akun facebooknya. Tak sengaja ia melihat komentar dari akun Wahid Hamid yang tadi dikonfirmasi olehnya itu dan berkata " Apa ini? Sok akrab sekali".
"Padahal aku dan postinganku begitu terbalik. Sampai kapan aku membohongi diriku sendiri dengan topeng gembira seperti ini?" gumamnya di hati.
Tangannya membalas komentar lelaki itu hanya dengan stiker. Mellin adalah orang yang tidak mudah akrab dengan orang yang baru ia kenal. Sudah wajar baginya untuk membalas secuek itu untuk orang yang baru ia tau. Hanya saja ada sedikit rasa penasaran di hatinya hingga ia mencoba membuka profil akun itu. "Hmm.. Aku tak pernah tau pria ini. Semua fotonya buram, pakek hp dari jaman apa dia?" bisik hatinya.
HP nya tiba tiba berdering. Satu panggilan masuk mengganggunya. Terlihat yang menelponnya adalah Anang, mantan pacarnya itu.
"Ada apa lagi?" Mellin mengawali obrolan.
"Kamu apa kabar?"
"Penting banget ya nanyain kabar gue. Tanpa lo pun gue masih hidup".
"Bukan begitu. Aku mau minta maaf masalah kemarin."
Mellin lantas mematikan telponnya. Dia sudah cukup muak mendengar suara pria yang kini telah 6 bulan berada di perantauan tersebut. Mendengar suaranya saja sudah cukup membuat Mellin teringat semua kebohongan dan penghianatan yang pernah menghancurkannya kemarin.
####
"Lah, dimatiin." geram Anang.
Anang, seorang pria yang ditahun ini masih merantau di Jakarta sejak lulus SMK tahun kemarin. Tak menutup kemungkinan dia masih peduli terhadap Mellin sekalipun wanita itu telah membencinya. Kebodohannya tentang hati, membuatnya sering kali terpikat dan memacari banyak wanita. Tak ada penyesalan baginya dengan semua itu. Baginya semua hanya seleksi.
Orang tuanya seringkali menanyakan kabar Mellin. Mereka jauh lebih peduli dengan wanita pemarah itu daripada pacar pacar Anang yang lain. Bahkan keduanya telah menganggap Mellin seperti anak sendiri. Hal ini yang kerap kali membuatnya pusing. Disaat hubungannya telah berakhir, Orang tuanya masih saja mengharapkan Mellin. Mereka sering bertanya "Kamu sudah telpon dia hari ini?" , "Kamu masih baik baik saja dengan dia?" , atau "Kabar Mellin bagaimana?".
"Keputusanku untuk menerima diputusin dia sepertinya salah" pikir Anang
Tiba tiba pinggangnya terasa sakit. Sudah beberapa hari ini Anang terkadang merasakan sakit pinggang yang hebat. Namun ia tidak terlalu peduli tentang itu. Menurutnya itu karena dia kurang minum. Segera ia meminum segelas air. Kemudian, dia menuju depan teras kost nya. Dia hisap sebatang rokok di jari jarinya yang kekar.
"Aku dulu tidak menyukai rokok. Tapi kenapa ya, sejak dia pergi aku malah senang dengan hal ini?" gumamnya sambil melihati sepuntung rokok yang menyala di tangannya.
Tanpa disadari otaknya kembali mengingat satu kata dari Mellin di tahun itu. "Jangan pernah kamu coba coba tau! Aku gak suka cowok dengan bau tembakau dimulutnya"
Hatinya terasa sedikit pedih.
Seorang wanita datang dihadapannya. Ayu, perempuan sunda karyawati kantin tempatnya bekerja yang sekarang ia pacari.
"A'a teh ngapain malam malam gini diluar?"
"Kamu kenapa belum tidur? Balik ke kontrakanmu sana"
Ayu merajuk. "Oh , sekarang A'a galak sama abdi."
"Bukan... bukan gitu".
Anang berdeham lalu merangkulnya. "Aku lagi kangeeen banget dengan ayah dan ibuku di Lamongan. Jadinya disini deh mikirin mereka". Ia tahu bahwa begitu salah ia membohongi Ayu. Padahal kenyataannya, Dia sedang memikirkan Mellin.
"Rencanain pulang kampung atuh, A'" jawab polos Ayu.
Anang sedikit melamun. "Pulang pun malah bikin aku makin keingetan" bathinnya.
"A'a! Kok malah melamun sih!" gertak Ayu.
Anang terkaget dari lamunannya. "Eehhh iya iya. Mungkin aku mulai mengantuk. Tidur dulu yuk biar besok bisa ketemu lagi di kantin"
"Beneran nih A'a ngantuk?" Ayu ragu.
"Beneerr.. Dahlah, aku masuk kost duluan yaa. Hati hati pulangnya"
Dengan segera Anang menutup pintu kostnya.
"Si A'a teh belakangan ini aneh banget. Lieur aing" gumamnya dengan menghela nafas panjang.
####
Siang yang begitu menusuk dengan panasnya. Aji terlihat sedang sibuk dengan banyak pembeli di tokonya. Toko kecil yang melayani kebutuhan kebutuhan petani itu ia jaga setiap hari.
"Alhamdulillah, hari ini toko rame dan laris" Ucapnya dengan melihat uang yang tertata rapi di laci kasirnya.
Di hatinya ada keinginan membelikan sebuah boneka beruang untuk Mellin. Namun ada keraguan yang terlintas di benaknya. "Dia mau gak ya?". Lalu di sela sela waktu senggangnya, ia meluangkan waktu untuk menelpon gadis itu.
"Halo, iya ada apa Ji?" suara Mellin terdengar di telinganya.
"Oh ya halo. Kamu suka boneka gak?" tanpa basa basi Aji langsung to the point dengan keinginannya.
"Mm.. Maaf nih, gue gak suka dengan hal hal yang imut seperti itu"
"Serius cewek gak suka sesuatu yang imut?"
"Semua cewek suka yang imut imut kecuali diriku sendiri" jawab Mellin.
"Emang ada apa sih?" lanjutnya.
"Gak apa apa. Cuma tanya aja" pungkas Aji.
Mellin membathin di hatinya. "Sejak saat itu gue beneran gak suka dengan hal hal girly, padahal dulu bonekaku dikamar sangat banyak".
"Halo, Mel?.... Mellin?"
Mellin terkaget, "Iya halo!"
Aji mengira Mellin sedang sibuk. "Kamu lanjut dulu ya. Maaf nih pasti kamu sedang bersiap siap pulang sekolah kan? Aku lanjut ngelayani pembeli dulu. Byee"
"Bye" jawab Mellin singkat.
"Tau aja kalau lagi jam kosong" bathin Mellin heran.
Ketiga temannya melihatinya. Mereka sedang menikmati jam kosong setelah mengerjakan serangkaian rangkuman di kelas.
"Mas mas posesif ya?" Tanya Kiki
"Well, yeah" jawab Mellin pelan.
Dwi mendekati Mellin seraya berkata "Kasihan lho kalau kamu PHP in terus. Sepertinya dia memang cinta sama lo sih".
"Gue gak bisa, wi. Beneran gak bisa" Ucap Mellin tegas.
"Karena kamu belum move on dari Anang?" Sahut Nur.
Mellin mulai sedikit emosi. "Bukan.. Bukan itu!"
Sedikit ia menghela nafas dan mencoba menyambung kata katanya.
"Apa cinta itu penting? Maksud gue, lihat! Membuka hati itu gak gampang!"
Kiki beranjak dari duduknya dengan memasang muka bak motivator tersohor. "Oh.. Begitu, gue tau apa yang lo butuhin, Mellin!"
Bibir Mellin ternganga saking herannya dengan tingkah Kiki.
"Yang lo butuhin adalaaahh... Cwimie aceh terbaru dari Dapur Utami. Kemarin diskon lho gratis ongkir minimal pemesanan 2 porsi!!!" sambung Kiki diluar nalar.
Semua teman nya tercengang, mereka menundukkan kepalanya dengan menghela nafas.
"G-gue pikir apaan..." Bathin Dwi.
"Sangat langka sekali Kiki bisa seperti ini" bisik Nur.
Mellin masih tampak bingung dan lesu. Dwi menghampiri bahunya.
"Ya, jalan kita masih panjang. Ga masalah lo masih kesulitan membuka hati untuk saat ini. Kita berempat harus fokus untuk persiapan try out bulan depan, bukan begitu?"
"Yep! Dwi benar!" sahut Kiki.
Mellin mulai sedikit tersemangati. "Baiklah baiklah.. Kalian semua emang the best!" Ujar dia dengan senyum tipisnya.
Namun Mellin sedikit termenung. Salah satu rahasia tergelap mengapa ia sulit membuka hati untuk pria adalah dampak pengalaman pelecehan yang dia alami belakangan ini. Sepertinya itu sedikit membuat dia frustasi.
Sementara itu dirumah Nenek Mellin, terlihat sang Kakek yang baru saja pulang kerja. Kakeknya seorang tukang becak motor yang sudah sepuh. Sang Nenek menghampiri seraya berkata "Tumben siang begini sudah pulang?. Kakek Mellin melepas topinya. Terlihat peluh keringat kerja keras meluncur dari pelipisnya yang sudah keriput.
"Hari ini aku rame tarikan. Ini uang ngebecak hari ini. Jadi aku pulang lebih awal" Kakeknya memberi uang hasil membecak.
"Alhamdulillah pak. Ga bingung lagi kita soal beli beras kalau begini" Sang Nenek terlihat sangat bahagia.
"Mellin belum pulang ya?" Tanya Kakek.
"Ya kan dia sudah kelas 3 SMA. Pulangnya sore terus."
"Tapi entah itu les sampai pulang sore beneran atau malah main gajelas" imbuh Nenek lagi.
Mereka lalu duduk di teras rumah.
"Mellin itu sudah besar. Dia sudah 17 tahun. Semakin kamu kekang dia semakin menjadi." Peringatan dari Kakek.
"Tapi mau jadi apa cucu kita tanpa didikan yang ketat? Kamu mau cucumu tidak menjadi anak yang penurut dan kelak dia tidak berbakti untukmu!?" Tanya Nenek sedikit kesal.
Kakek tau betapa besar rasa sayang istrinya untuk cucu pertama mereka itu. Terlebih Mellin dibesarkan jauh dari Ibu kandungnya. Pemikiran orang orang jaman dulu yang mengira anak broken home kelak jalang dan bandel membuat Si Nenek mendidik cucunya itu sekeras mungkin agar kelak Mellin tak menjadi anak yang salah jalur. Hanya saja menurut Kakek , cara didiknya sudah terlalu keras. Tak jarang Mellin mendapat sambitan selang air, atau mungkin pukulan dari sapu ijuk Neneknya hanya karena pekara sepele. Tanpa sadar, rasa sayang yang terlalu besar itu membuat sang Nenek telah melampaui batas wajar untuk mendidik seorang perempuan rapuh sepertinya.
"Terserah Nenek saja. Yang pasti , Mellin itu udah tau mana yang baik dan benar. Dan jangan membuat dia tidak mandiri dengan ketergantungan kita. Dia sudah bisa membuat dan memilih jalan hidup seperti apa yang akan ia lalui". Kata Kakek.
"Sekarang buatkan aku telur ceplok. He he he. Aku laper." sambungnya.
"Iya deh iya" Jawab Istrinya.
Didalam dapur, Nenek merenungi perkataan Kakek dalam bathin.
"Ada benarnya juga dia bilang begitu".
Namun otak sang Nenek memutar sekilas bagaimana tetangga tetangga depan rumah meremehkan cucunya. Suara suara itu terngiang dikepalanya
.
"Cucumu mana bisa menjadi orang sukses kalau dia saja belum bisa seperti cucuku."
"Lihat, keponakanmu lebih pandai daripada cucumu.."
"Cucuku sudah bisa masak sendiri, bagaimana dengan Mellin?"
Alis sang Nenek mengrenyit dan merasakan sedikit emosi yang mengalir di dirinya.
"Cucuku bisa lebih dari kalian semua. Dia (suaminya) memang tak akan pernah mengerti mendidik seseorang agar ia menjadi orang yang sungguh sungguh! Mau sampai kapan dimanjakan, didiamkan!?" bathinnya kesal.
##.######
Di siang itu, Wahid sedang menyapu lobby rumah sakit. Sudah kebiasaan setiap harinya sebagai seorang OB dengan menjaga lingkungan kerjanya bersih. Tanggal gajian sudah didepan mata. Seperti biasa , ia selalu menyisihkan sebagian rejekinya untuk emak bapaknya. Namun sebagai pria yang memiliki hati, terbesit si benaknya wanita yang ia kagumi. Sebut saja Tisha, seorang gadis lugu yang telah menarik perhatiannya. Ada keinginan di otaknya untuk mengajak perempuan itu sekedar hang out santai. Dengan segera ia menghubungi gadis itu lewat chatting.
"Meet yuk. Di cafe biasanya"
Selisih 5 menit ia pun membalasnya. "Kalau kamu mau pukul 3 sore aja ya".
"Jam 3 sore? Mendadak sekali!!?" gumam Wahid.
Tapi tidak masalah untuknya. Ia pun berkemas dan hendak bersiap pulang.
Singkat cerita di pertemuan sore itu. Wahid dan Tisha duduk berhadapan menyantap ayam geprek di cafe langganan mereka. Tidak seperti biasa suasana pertemuan mereka kali itu sangat hening hingga membuat Tisha mengrenyitkan dahi.
"Kamu melamun? Mikirin apa?" tanyanya.
"Tidak.. Gapapa kok" jawab Wahid
"Omong omong bagaimana kelanjutan hubunganmu?" sambung Wahid menanyakan status Tisha dengan pacarnya.
"Yaaa.. Aku akan menikah tahun depan"
Seketika hati Wahid tersentak terlihat dari raut mukanya yang mulai tidak nyaman.
"Tapi aku pasrah. Itu karena aku dijodohkan orang tuaku" sambung Tisha.
"Y-ya bagus kalau begitu.." tutup Wahid.
Tisha merasa bersalah dengan perkataanya baru saja.
"Kamu marah dengan ini?"
Wahid berusaha membohongi dirinya sendiri dengan tersenyum.
"Kenapa aku harus marah? Semua urusan sudah ditangan Tuhan kan. Kalau kamu milih dia ya silahkan."
"Pada akhirnya semua terasa seperti misteri. Tidak ada yang pasti. Bahkan perempuan yang terlihat memberiku harapan tinggi seperti dia justru malah membuatku semakin tidak mengerti lagi dengan teka teki hidup ini." bathin Wahid yang mulai mengajaknya overthinking.
"Kamu masih bisa mengajakku berwisata kok" saut Tisha.
Wahid bingung. "Yang benar saja kamu? Aku mengajak wanita yang mempunyai calon suami untuk pergi liburan bersama? Itu konyol."
Tisha menghela nafas. "Calon suamiku itu orang yang kasar. Dia sering kerja diluar kota dan lama sekali pulangnya. Kalau kita ada kesempatan kenapa tidak?"
"Kamu terlihat seperti kurang kasih sayang." Bathin Wahid dalam diam.
#.#.#.#.#.#.#.#
Malam hari selepas dating , Wahid sedang rebahan santai di atas kasur kecilnya. Ia scroll dan scroll beranda facebooknya. Terpampang banyak sekali foto Mellin di lewat di beranda.
"Anak ini lagi. Siapa sih dia sebenarnya?"
Ia pun memberanikan diri untuk memulai chat via messenger dengan wanita itu. Tanpa banyak cingcong pertanyaan Wahid langsung cesspleng ke intinya.
"Sebenarnya kamu anak mana?"
Notifikasi HP Mellin memekik. Satu chat dari pria yang baru menjadi friendlist facebooknya itu masuk.
"Heuh? Kepo sekali. Tapi terserah deh" gumamnya.
Dengan segera ia mengetik text chat untuk pria itu dengan singkat. "Aku tinggal di Desa Landak."
Pesan dari Mellin sampai di ponsel Wahid.
"Cuek sekali cewek ini." Herannya.
Jam demi jam berlalu. Tak terasa mereka berdua terlalu asyik dengan obrolan online mereka hingga menciptakan topik yang sangat random. Awal perkenalan itu terlihat mengesankan. Namun hari esok tetaplah masih menjadi misteri.