Seorang gadis cantik dan ceria, namun nasibnya tidak seberuntung wajahnya dan sifatnya selalu ceria.
Dara Eliza Amelia adalah gadis yang belum genap delapan belas tahun, dia sekarang sudah kelas tiga SMA. Dan perjalanannya masih lumayan panjang untuk segera menuju kelulusan dan mencari pekerjaan.
Kecantikan tidak menjamin dirinya hidup dari keluarga kaya. Nyatanya dara atau yang lebih akrab dipanggil dea alias nama panjangnya yang disingkat, harus menjalani kehidupan yang serba kekurangan.
Sejak meninggal nya ayahnya, Dea hidup hanya berdua bersama sang ibu yang bekerja sebagai buruh cuci dan setrika baju dari rumah ke rumah, untuk membiayai dirinya sekolah dan mencicil uang pada rentenir yang pernah ayahnya pinjam. Sampai ayahnya meninggalpun hutang itu semakin besar bunganya.
Saat ini Dea masih bersekolah, dan ibunya bekerja keras untuk bisa menyekolahkan Dea hingga selesai.
Keinginan semua orang tua tentu adalah membahagiakan anaknya dan mewujudkan cita-cita anaknya, dan itu sudah menjadi kewajiban semua orang tua untuk membiayai dan menyekolahkan anaknya sampai berhasil. Tapi karena faktor ekonomi yang tidak memungkinkan sebagai seorang anak Dea juga tidak mau menuntut lebih bahkan dirinya juga ikut membantu mencari biaya untuknya sekolah, dan uang yang didapat oleh ibunya dapat digunakan untuk mencicil hutang kepada rentenir.
Sudahlah jatuh tertimpa tangga pula, itulah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan nasib Dea. Kerja banting tulang untuk mendapatkan uang, dan para rentenir lintah darat yang menikmati. Sungguh sangat sangat miris nasib Dea.
"Deaaaaaaaaa.. sudah jam berapa ini? Kamu tidak bangun..!?" Suara seruan sang ibu sembari memukul panci untuk membangunkan Dea. seperti itulah kebiasaan ibunya untuk membangunkan nya, Dea sudah kebal dengan semua itu.
Anggap saja itu adalah musik terindah yang selalu Dea rindukan, jika suatu saat dirinya sudah tidak bisa mendengar suara nyaring yang merdu seperti toa itu.
"Mau sekolah atau mau tidur terus Dea?, kalau mau tidur terus lebih baik kamu tidak usah bekerja cari uang untuk sekolah lagi!." Seperti itulah ceramah yang hampir setiap hari ibunya ucapkan yang mana malah membuat Dea semakin nyenyak dalam tidurnya.
Bunda Indri yang selalu sabar menghadapi sifat Bangkong putrinya itu, Dea yang sangat susah sekali untuk dibangunkan jika tidak dengan memukul panci ditelinga Dea.
"Aaaaauh bunda... Telinga Dea sakit loh Bun, iya iya Dea bangun ini," Dea langsung merengek ketika Indri terus menerus memukul panci di telinganya yang masih terlelap. Sudah kebiasaan Dea jika bangun harus disapa dengan panci dulu.
"Bunda sudah sabar loh de. tapi kamu nya yang bandel, susah banget di suruh bangun." Indri terus saja mengomel karena kesal dengan putrinya itu, setiap pagi selalu saja dirinya di buat emosi oleh sang putri.
"Bunda nya aja yang kurang sabar sedikit lagi, coba kalau bunda lebih sabar lagi pasti bunda gak bakalan emosi. huh.." jawab Dea sembari berjalan malas ke arah kamar mandi.
Jam masih menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit, dan bunda nya itu sudah koar koar di kamarnya. Padahal dirinya masuk sekolah pukul setengah delapan.
"Jadi anak gadis harus rajin bangun pagi. kalau kamu bangun saja susah, mana akan ada pria kaya yang mau sama kamu yang sudah seperti kerbau itu. Yang ada kamu hanya bisa berhalu lalu mimpi menikah dengan pria kaya."
Sifat cerewet Dea ternyata turunan dari sang bunda, jadi tidak heran kalau Dea juga sangat cerewet.
"Aduh Bun.. jangan ngomongin Suami deh, Dea ngehaluin Suga saja sudah bahagia." Jawab Dea yang masih berdiri diambang pintu kamar mandi yang berdekatan dengan dapur. Ya,, Dea memang sangat mengidolakan boygrup yang berasal dari Korea selatan itu, terutama Suga yang sangat ia idamkan menjadi suaminya.
"Nanti juga kalau Dea sudah sukses, Dea akan dicari pria yang super kaya." Sambung dea lagi.
Indri hanya mampu menggelengkan kepalanya mendengar ucapan sang putri.
"Heleh.... Dicari pria kaya, kamu itu menghayal nya terlalu ketinggian nanti kalau jatuh sakit. sudah sana kamu siap siap ke sekolah sana. Ibu mau selesaikan masakan dulu." Ujar Indri saat mendengar hayalan putri nya itu.
*****
Jika dulunya Dea berangkat kesekolah naik angkot, sekarang Dea lebih memilih naik sepeda karena selain bisa menghemat uang dirinya juga bisa sambil berolahraga dan badannya sehat. Apalagi sekolahnya tidak terlalu jauh, dengan mengayuh sepeda sekitar lima belas menit dirinya sudah sampai disekolah.
Lumayan jauh jika yang melakukannya orang kaya, tapi ini adalah Dea. Gadis tangguh yang tidak malu ataupun gengsi dengan keadaan yang dia alami, Justru Dea merasa bangga karena masih bisa sekolah.
Pukul tujuh lewat dua puluh, Dea selalu sudah sampai tepat waktu sebelum bel masuk berbunyi.
"Hah.. lama lama betisku gede kalau sampai lulus aku naik sepeda." Gumamnya yang baru saja memarkirkan sepedanya diparkiran paling ujung diantara motor teman temannya.
" Eh.. liat deh si Dea, baru datang udah bau keringat." Sindir siswi yang baru saja datang dengan masih duduk diatas motornya yang seharga puluhan juta itu.
"Iiiiiiiiyuh, eeew gue sensitif banget deh kalau ada yang bau begituan." Tukas teman satunya yang juga menaiki motor yang sama.
Dea hanya menghela nafas mengabaikan sindiran yang dilontarkan temannya sekolahnya itu. Dia mengambil tasnya yang ia letakkan dikeranjang sepedanya lalu berjalan menuju kelas.
"Ciiihh... Lo gk sadar apa buka aib lo sendiri." Jawab Dea sembari tetap berjalan tanpa menoleh sedikitpun. Ia geram dengan dengan tiga siswi yang terkenal centil dan sok cantik di sekolahnya.
"Wah. Lo ngajak kita war ya.!" Teriak salah satu dari ketiga siswi yang terkenal rusuh itu.
Dea hanya berbalik dan menjulurkan lidahnya mengejek mereka semua yang semakin kesal.
"Aaa Dea.. akhirnya kamu datang juga." Wajah sahabat Dea seketika langsung lega karena orang yang sejak tadi dia tunggu akhirnya muncul.
"Kenapa sih Nia,? Aku pasti datang kok, masa iya aku bolos." Jawab Dea dengan duduk disamping sahabatnya Nia, Dea menaruh tasnya di laci meja.
Tak lama guru yang mengajar saat jam pertama pun masuk ke kelas mereka.
*****
"Dea aku duluan yah, bapakku sudah jemput." Ucap Nia sembari menunjuk mobil yang terparkir didepan gerbang sekolah.
"Oke.. aku juga mau langsung berangkat kerja takut telat." Jawab Dea dengan tersenyum.
Nia senang melihat senyum Dea yang selalu ceria, meskipun dia tahu kehidupan yang Dea alami.
"Hati hati ya sayang, besok libur kita main." Nia berucap sambil tertawa melihat wajah masam Dea.
"Aku lebih suka kamu panggil Dea aja, sumpah Ni geli aku dengernya." Dea merinding sendiri mendengar panggilan Nia kepadanya.
Nia hanya tertawa dan berjalan sambil melambaikan tangan pada Dea.
"Kapan aku bisa diantar jemput pakai mobil begitu." Monolog Dea sembari melihat Nia yang dijemput ayahnya.
Dea sudah tidak memiliki ayah, bagaimana bisa diriny dijemput. Aneh aneh saja pikirannya itu.
Meskipun rasanya tidak mungkin, gadis itu tetap giat dan selalu ceria, karena dia tidak tahu jalan hidup kedepannya untuk dirinya akan seperti apa. Dia tidak akan menolak jika saja nasib baik datang menghampirinya.