"Innalillahi wa innailaihi roji'un! Telah meninggal dunia Muhammad Arya Wiguna ...,"
Sebuah suara berasal dari pengeras suara masjid memecah kesunyian di malam menjelang pagi yang dingin (subuh).
"Ha?? Arya?? Muhammad Arya Wiguna??? Arya yang tinggal di dekat kebun jeruk itu? Anak pak Edi dan ibu Yati itu kan ibuk?"
"Innalillahi! Ibuk juga kurang tahu nak."
Aku Firly, seorang remaja yang tinggal di desa Jayabati. Aku tinggal bersama dengan ayah dan ibuku. Ayahku bernama Zainal dan ibuku bernama Nevi. Aku dan orang tua ku telah tinggal di desa ini sejak aku kecil, saat berumur 2 tahun kata ibuku.
"Bu! Ayah akan pergi keluar untuk nanya ke warga lain tentang Arya!"
"Ah! Iya, yah!"
"Jaga rumah Firly! Ayah akan pergi menanyakan apa itu Arya anak pak Edi atau saudara warga sekitar."
Aku hanya menganggukkan kepala ku atas perkataan yang ayahku katakan.
Jam enam lewat 7 menit sekarang, aku duduk di kursi dan merenungkan apa yang baru terjadi.
Muhammad Arya Wiguna atau biasa ku panggil Arya adalah teman masa kecilku. Kami berteman sejak umur 5 tahun. Kedua orangtuanya telah meninggal karena kecelakaan saat ia berusia 7 tahun. Dia sekarang tinggal bersama dengan bibi dan pamannya bernama mbak Nia dan mas Dika. Kami selalu bersama sejak SD, SMP, dan SMA tahun kedua kami. Arya adalah teman yang baik. Ia selalu membantu orang-orang oleh karena itu ia selalu akrab dengan warga sekitar dan orang lain. Walau kami telah menjalin pertemanan sejak lama, Arya seperti masih menyimpan sesuatu dariku.
Aku masih tak percaya dengan yang aku dengar dari yang ayah ceritakan.
Arya memang telah tidak pulang ke rumahnya sejak 3 hari yang lalu. Ia berkata akan pergi namun tanpa memberi tahu kemana ia akan pergi. Menurut warga mayat Arya ditemukan di dalam hutan dengan kondisi yang mengenaskan. Isi perutnya berserakan dan darah terlihat dimana-mana. Nampaknya ia di bunuh oleh para begal sadis.
"Ayo nak! Kita pergi ke rumah mbak Nia!"
Aku menerima ajakan ibuku untuk pergi ke rumah mbak Nia. Ayah ku telah pergi duluan untuk membantu. Sembari berjalan ibuku mengajak berbincang agar aku tidak terlalu murung karena kematian teman baikku. Pagi hari ini cukup sunyi dan dingin.
Tak terasa kami akhirnya tiba di rumah mbak Nia. Terlihat banyak orang berdatangan. Tak hanya itu ada beberapa polisi datang ke rumah mbak Nia dan mas Dika. Mbak Nia dan mas Dika tidak ada di rumah karena harus menjemput jenazah dari rumah sakit dan membuat laporan di kantor polisi.
Terlihat ayahku juga ada disana. Bapak bapak menyiapkan tempat pembaringan jenazah dan tempat mensucikan jenazah. Aku yang berada disana membantu apa yang dapat aku bantu.
"Eh, kudengar Arya dirampok!"
"Ha, masa sih?"
"Iya, beneran."
"Bukannya Arya bisa beladiri?"
"Mungkin aja dikeroyok banyak orang dan lawannya bawa senjata."
"Ih! Kok ngeri."
"Saya denger juga kalo isi perutnya keluar dan berserakan."
"Iiiiiiihhhhhhh!"
Aku tak sengaja mendengar obrolan dari ibu-ibu.
Setelah 1 jam mobil ambulans datang. Yang pertama kali keluar adalah mbak Nia. Mbak Nia tiba-tiba terduduk dan perlahan Idak tangis terdengar. Tak lama kemudian mas Dika keluar dan menenangkan mbak Nia. Mas Dika dan beberapa orang membantu membopong tubuh mbak Nia yang lemah. Isak tangis mbak Nia membuat diriku juga ikut sedih mengingat kenangan diriku dengan Arya. Beberapa orang membantu memindahkan jenazahnya keluar untuk dibawa kedalam rumah.
Setelah beberapa saat mas Dika datang menghampiriku.
"Nak Firly!" Panggil mas Dika.
"Iya, mas. Ada apa?" Tanyaku.
"Jujur, mas tahu nak Firly sedang sedih tapi jangan sampe keterusan gak sehat."
"Iya, mas. Mas, apa Arya sebelumnya gak bilang akan kemana?"
"Dia gak bilang. Waktu itu pas asar, Arya ijin pergi ada urusan tapi gak bilang kemana sama urusannya apa."
"Gitu toh, mas. Gimana mbak Nia?"
"Mbak Nia gak kenapa napa. Ia masih syok dan lelah dengan yang terjadi."
Aku mengangguk dan menunduk.
"Nih!" Mas Dika menyodorkan sebuah kertas.
"Apa ini mas?" Tanyaku.
"Sebelum pergi Arya menitipkan ini kepada mas. Katanya kalo dia kenapa napa kasih surat ini ke Firly. Mas kagak tahu isinya apa karena dilarang nak Arya, seolah ia tahu apa yang akan terjadi," Mas Dika menjelaskan.
Aku pun mengambil surat itu dan melihatnya bolak-balik.
"Itu aja ya. Mas masih ada urusan."
"Oh, iya mas. Makasih mas."
Mas Dika kemudian pergi masuk ke rumah. Aku pun melihat kembali surat itu.
"Ini ..... Apa?"
~bersambung